Sesuai perintah Hanas untuk membiarkan Eve membuktikan ucapannya, Wenas melakukan rencana itu dengan baik meskipun dia tidak sepenuhnya setuju. Dia mana mau repot-repot menangkap Eve kembali kalau wanita itu benar-benar kabur. Jadi dia tetap menaruh orang untuk mengawasi Eve dari balik pagar.
Wenas membiarkan Eve keluar dari kamar di hari kedua, membiarkan Eve berjalan-jalan di taman. Gaun putih susu selutut berlengan pendek yang dipakai Eve berkibar tertiup angin dan dia segera membetulkan letak gaunnya. Eve memakai baju-baju yang disediakan mereka begitu saja tanpa banyak bertanya. Pakaian dalam pun tampaknya baru dibeli setelah Eve memberikan ukurannya pada mereka.
Hanas menyuruh Wenas membiarkan Eve mengenakan baju-baju milik Rosalind. Rosalind tidak memiliki banyak gaun karena kepribadiannya yang begitu bebas dan lepas membuatnya lebih menyukai celana panjang daripada rok dan lebih menyukai kaos daripada gaun.
Hanas mengakui kalau Eve terlihat sepe
Terima kasih sudah membaca novel ini. Semoga kalian suka. Yang aku suka dari sebuah cerita adalah di saat aku bisa merasakannya seakan aku bisa sedih atau gembira saat membacanya. Aku harap kalian juga merasa begitu... Maaf ya, jadi terharu karena sudah mendekati akhir cerita. Hug and kiss, Josie.
Kalau tidak ada Daniel, mungkin keadaan Dexter tidak akan sebaik itu. Meskipun rambut-rambut di dagu dan garis rahangnya mulai terlihat, matanya juga kelihatan merah dan bengkak, tetapi dia masih bersemangat mencari Eve. Sudah dua malam dia tidak bisa memeluk Eve, tidurnya sulit dan makannya juga tidak enak. Apalagi hatinya juga tidak tenang tanpa mengetahui keadaan Eve. Daniel juga merasakan hal yang sama tetapi dengan efek yang lebih ringan karena masih ada Daddy yang menenangkannya. Dexter membiarkan Daniel dibawa ke kantor kalau memang tidak tenang di rumah, tetapi Nanny masih bisa menangani masalah Daniel jika Dexter bekerja, tidak tega kalau harus mengganggu Daddy yang memiliki tambahan tugas, mencari istrinya. “Sudah 3 hari,” kata Dexter. Suaranya terdengar sedih dibandingkan marah. Felix tidak tahu harus menjawab apa karena dia juga khawatir dengan Eve. Dia lebih terbiasa melihat Dexter yang berapi-api, marah bahkan memukul orang daripada Dexter yang se
Hari kelima Eve menemukan pintu gerbang yang terbuka. Eve juga tidak bodoh, semua ini mungkin saja hanya jebakan. Dia juga memiliki rencana dan rencananya ini tidak memperbolehkannya kabur ke mana pun. Wenas sempat kegirangan saat Eve berjalan menuju ke gerbang, Eve akan kabur, itu bagus. Tetapi dia harus kecewa karena Eve hanya mencari orang untuk melaporkan gerbang yang terbuka. Hanas akhirnya duduk di seberang Eve yang sedang menunggunya berbicara. Hari ini Eve memakai celana panjang model pipa dengan kaos berkerah berwarna biru muda. Rambutnya digelung asal-asalan dengan pensil yang dipakainya untuk memeriksa dokumen yang diberikan Hanas. Hanas bersumpah merasa sedang duduk di hadapan Rosalind. “Hasil kerjamu lumayan,” kata Hanas. Dia memelorotkan kacamata baca yang sejak tadi dipakainya memeriksa hasil pekerjaan Eve. Sejujurnya dia tidak merasakan perasaan benci pada wanita yang mungkin seumuran cucunya, kalau saja Raja dan Rosalind memiliki anak.
14 November 2019 “Membunuh Dexter? Apa kalian yakin ini langkah yang terbaik?” tanya pria yang saat ini duduk di kursi kerjanya. Tatapannya tajam pada pria lain yang umurnya sebaya dengannya. Dia hanya merasa rencana ini terlalu gila dan riskan. “Iya. Mungkin ini langkah yang paling baik yang bisa kita ambil. Semua orang akan mengira Hanas dan Wenas Harahap terlibat dalam kematian Dexter. Saat itulah bukti-bukti penyelewengan dana dan penyogokan serta beberapa bukti percobaan pembunuhan Dexter bisa kita keluarkan, ini akan menambah kesan bersalah mereka. Sekuat apa pun mereka mengelak, mereka tidak akan bisa lolos,” jawab pria lain. Dia tersenyum mengagumi idenya sendiri. “Lalu Eve?” Itu yang paling dikhawatirkan olehnya. “Eve akan bebas. Dan kamu bisa menghiburnya sementara waktu.” Darwin memandangi red wine di dalam gelas tingginya yang indah. Dia mengangguk lalu berkata, “Oke, kita akan memastikan rencana ini berhasil.”
“Tidak bisa. Bawalah dia ke rumah sakit. Keadaannya terlalu membahayakan untuk dirawat di rumah,” kata Burhan. Ini kedatangan Burhan, dokter pribadi Hanas, untuk yang kedua kalinya karena perawatnya menyerah dengan tingkah laku Eve yang merepotkan. Burhan harus rela bangun dari tidurnya pada jam 3 pagi. Sudah 3 kali Eve mencabut infusnya. Dia tidak peduli kalau darahnya menetes di mana-mana dan membuat para pelayan makin mengkhawatirkan kondisi Eve yang biasanya tenang itu. Tidak ada yang cukup tega mengikat pergelangan tangan Eve hanya supaya tidak terus-menerus mencabut infus itu. Dia akan tenang setelah diinfus dan tidak lama kemudian tertidur, tetapi dia akan terbangun tiba-tiba lalu melepaskan infusnya supaya bisa pergi dari rumah Hanas. “Aku tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Berikan dia obat tidur saja,” perintah Hanas pada Burhan. Burhan yang sebenarnya penasaran siapa Eve yang baru kali ini dilihatnya, tetapi terlihat cukup diperhatikan oleh Hanas. Burhan
Meskipun polisi belum memberikan keterangan resmi tetapi ucapan duka cita sudah banyak diterima oleh kedua keluarga, Wongso dan Daveno. Tampaknya juga tidak ada seorang pun anggota keluarga yang memberikan keterangan apa pun, semua benar-benar tertutup. Mungkin juga mereka masih enggan membuka rahasia kalau Eve juga menghilang. Eve diantar oleh sopir dan Hanas keesokan harinya, saat mentari baru saja muncul menerangi dunia yang masih terlihat gelap di mata Eve. Sepanjang perjalanan, Eve tidur saja di dalam mobil dan Hanas membiarkan Eve dalam senyap sambil sesekali meliriknya. Mereka berhenti di depan rumah sakit. Hanas sengaja mengantar Eve ke Asterix Medical Center untuk mendapatkan perawatan dan mengembalikan Eve pada keluarganya. Eve masih memegang telapak tangan Hanas yang mulai terasa dingin dan melihat Hanas tersenyum sendu. Hanas sebenarnya juga tidak ingin kehilangan Eve, kehilangan kehangatan yang dipancarkan Eve di rumahnya. Ah, seandainya saja Eve
“Aku tidak ingin hidup lagi. Tidak mau.” Aksa hampir menangis mendengar kata-kata Eve saat pertama kali membuka matanya. Eve memegangi tangan Aksa dan menangis sedih. Ini dejavu, jerit Aksa dalam hati. “Sayang, dengar, kami mengerti tapi pikirkan anak dalam kandunganmu juga,” kata Diana mengelus rambut Eve yang tergerai dan berantakan. Mata Eve masih bengkak dan tangannya gemetaran. Masih untung Eve tidak mencoba mencabut infusnya seperti apa yang dikatakan Darwin sebelumnya. Diana takut, benar-benar takut. Berita kehamilan Eve itu sepertinya tidak berpengaruh sama sekali pada Eve. Padahal mereka berharap Eve akan lebih kuat jika mengetahui dirinya hamil, nyatanya tidak, Eve masih saja ingin mati atau lupa ingatan. “Tidak, aku tidak bisa. Tolong, Mama, Papa, buat aku lupa lagi atau biarkan aku pergi bersamanya. Aku janji tidak akan meminta apa-apa lagi,” kata Eve pada Aksa dan Diana. Kata-kata dan sorot matanya memohon dengan penuh kepedihan. Ru
Hanas baru dibawa kepada Eve saat Eve dalam kondisi sadar. Hanas memang tidak bisa jauh dari tempat tidur, masih butuh istirahat yang cukup. Eve memandang Hanas yang sedang duduk di kursi roda dan memakai baju rumah sakit, berusaha tersenyum meskipun tidak sepenuhnya terlihat jujur dengan senyuman itu. Hanas ingin memukul dadanya melihat Eve dalam kondisi seperti itu. Namun sebagian dirinya bersyukur karena tidak sampai membunuh Dexter, rencananya tidak pernah berhasil. Jadi dia cukup lega bukan dia yang menyebabkan Eve menjadi seperti saat ini. “Bapak,” sapa Eve lemah. “Kakek.” Eve tidak menjawab. “Panggil aku kakek. Anggap saja aku kakekmu.” “Tidak.” “Itu artinya kamu tidak percaya waktu aku bilang aku bukan pembunuh.” “Saya percaya.” “Kalau begitu…” Hanas memberikan tanda tanya dengan membelalakkan matanya yang terlihat ramah. “Kakek.” “Iya, Eve?” “Sudah sehat?” Baru kali ini Eve meras
Darwin menarik kerah baju pria yang ada di hadapannya. Tidak ada perlawanan meskipun tidak tampak adanya kelemahan. Mereka bisa adu jotos sampai beronde-ronde dan belum tentu ada yang mati setelahnya. Sama-sama kuat.“Rencana ini! Seharusnya aku tidak membantumu! Dexter yang mati ternyata tidak memperbaiki keadaan, Eve menjadi seperti mayat hidup, ini rencana gila!” Darwin berteriak di apartemennya.Dia baru saja pulang setelah berhari-hari berada di rumah sakit, khawatir dengan kondisi Eve dan tidak tega meninggalkannya. Saat kondisi Eve membaik, Darwin merasa lebih tenang untuk pulang, sekedar memeriksa apartemennya dan mengambil baju ganti.“Aku tidak…” sahut pria yang kerah bajunya masih ditarik Darwin tanpa ada keinginan untuk melepasnya. Pria itu menunduk dengan punggung yang masih menempel di tembok.“Aku bunuh kamu dengan tanganku sendiri kalau ada apa-apa yang terjadi pada Eve!” Rahang Darwin mengeras da