“Aku tidak ingin hidup lagi. Tidak mau.”
Aksa hampir menangis mendengar kata-kata Eve saat pertama kali membuka matanya. Eve memegangi tangan Aksa dan menangis sedih. Ini dejavu, jerit Aksa dalam hati.
“Sayang, dengar, kami mengerti tapi pikirkan anak dalam kandunganmu juga,” kata Diana mengelus rambut Eve yang tergerai dan berantakan. Mata Eve masih bengkak dan tangannya gemetaran. Masih untung Eve tidak mencoba mencabut infusnya seperti apa yang dikatakan Darwin sebelumnya.
Diana takut, benar-benar takut. Berita kehamilan Eve itu sepertinya tidak berpengaruh sama sekali pada Eve. Padahal mereka berharap Eve akan lebih kuat jika mengetahui dirinya hamil, nyatanya tidak, Eve masih saja ingin mati atau lupa ingatan.
“Tidak, aku tidak bisa. Tolong, Mama, Papa, buat aku lupa lagi atau biarkan aku pergi bersamanya. Aku janji tidak akan meminta apa-apa lagi,” kata Eve pada Aksa dan Diana. Kata-kata dan sorot matanya memohon dengan penuh kepedihan. Ru
Terima kasih sudah membaca novel ini. Semoga kalian suka. Maaf, kemarin belum sempat update, benar-benar tidak ada waktu buka laptop. Hug and kiss, Josie.
Hanas baru dibawa kepada Eve saat Eve dalam kondisi sadar. Hanas memang tidak bisa jauh dari tempat tidur, masih butuh istirahat yang cukup. Eve memandang Hanas yang sedang duduk di kursi roda dan memakai baju rumah sakit, berusaha tersenyum meskipun tidak sepenuhnya terlihat jujur dengan senyuman itu. Hanas ingin memukul dadanya melihat Eve dalam kondisi seperti itu. Namun sebagian dirinya bersyukur karena tidak sampai membunuh Dexter, rencananya tidak pernah berhasil. Jadi dia cukup lega bukan dia yang menyebabkan Eve menjadi seperti saat ini. “Bapak,” sapa Eve lemah. “Kakek.” Eve tidak menjawab. “Panggil aku kakek. Anggap saja aku kakekmu.” “Tidak.” “Itu artinya kamu tidak percaya waktu aku bilang aku bukan pembunuh.” “Saya percaya.” “Kalau begitu…” Hanas memberikan tanda tanya dengan membelalakkan matanya yang terlihat ramah. “Kakek.” “Iya, Eve?” “Sudah sehat?” Baru kali ini Eve meras
Darwin menarik kerah baju pria yang ada di hadapannya. Tidak ada perlawanan meskipun tidak tampak adanya kelemahan. Mereka bisa adu jotos sampai beronde-ronde dan belum tentu ada yang mati setelahnya. Sama-sama kuat.“Rencana ini! Seharusnya aku tidak membantumu! Dexter yang mati ternyata tidak memperbaiki keadaan, Eve menjadi seperti mayat hidup, ini rencana gila!” Darwin berteriak di apartemennya.Dia baru saja pulang setelah berhari-hari berada di rumah sakit, khawatir dengan kondisi Eve dan tidak tega meninggalkannya. Saat kondisi Eve membaik, Darwin merasa lebih tenang untuk pulang, sekedar memeriksa apartemennya dan mengambil baju ganti.“Aku tidak…” sahut pria yang kerah bajunya masih ditarik Darwin tanpa ada keinginan untuk melepasnya. Pria itu menunduk dengan punggung yang masih menempel di tembok.“Aku bunuh kamu dengan tanganku sendiri kalau ada apa-apa yang terjadi pada Eve!” Rahang Darwin mengeras da
Eve bangun dalam keadaan yang lebih segar. Sedikit kecewa tanpa ada lengan kekar yang melingkari perut dan pinggangnya. Mungkin aneh kalau mimpinya bisa membuatnya merasa lebih baik dan tidur lebih nyenyak, tetapi mengingat siapa yang ada di dalam mimpinya dia merasa semuanya wajar-wajar saja.“Masih nyeri?” tanya Darwin. Eve mengerti kalau itu maksudnya perut Eve, bayi yang masih sebesar kacang dalam rahimnya, mungkin malah lebih kecil lagi.“Sedikit.” Eve tidak merasa sakit sama sekali, dia hanya tidak ingin pulang dulu.“Nanti kita USG.” Eve mengangguk.Eve memiliki banyak alasan mengapa dia ingin berada di sini dulu. Pertama, Eve sedang menunggu Om Johan memberinya kabar, dia hanya ingin menuntaskan semuanya. Dulu dia memulai penyelidikan itu dan menuntaskan kecurigaannya supaya Hanas tidak mengganggu Dexter lagi. Eve hanya tahu saja kalau Hanas akan lebih tenang kalau mengetahui memiliki cucu karena Rosalind melahi
Eve memang pintar, kata Johan dalam hati. Sepertinya anak itu berusaha memberikan celah untuknya kembali ke kamar perawatannya. Seperti kemarin, siang sampai sore, Johan mengamati kapan Eve akan sendirian lagi. Jam 3 sore, anak Eve dan pengasuhnya keluar ruangan, Johan yakin Eve yang mengusir mereka secara halus. Saat itu juga dia menerima pesan dari Eve untuk segera datang, tetapi mereka lebih suka bertemu. Johan berjalan di lorong sekitar ruang perawatan Eve. Kamar VVIP tidak memiliki kamar berhadapan, sebagian pintu keluar kamar itu menghadap ke kaca gedung yang memperlihatkan pemandangan gedung lainnya termasuk mall yang terletak di sebelah rumah sakit itu, seperti sebuah hotel saja. Jarak Johan dengan ruangan Eve sudah begitu dekat saat dia terpaksa harus menghentikan langkahnya. Dia tidak jadi maju ke depan karena melihat seseorang masuk ke dalam ruang perawatan Eve. Kelihatannya seorang dokter, pria tinggi besar dan tampan yang memakai jas dokternya. Tangan pr
Eve mematikan sambungan telponnya. Masih berusaha menarik napas dan menormalkan debaran jantungnya. Berpikirlah, Eve! Jangan memiliki perasaan apa pun, Eve! Perintah-perintah itu dibuat Eve untuk dirinya sendiri. Akhir-akhir ini dia sering sekali menggunakan perasaannya saat berpikir. Dia ingat benar kata-kata pria yang dia mintai keterangan, “Reveline Andrea Wongso lahir pada tanggal 5 Maret 1990, anak dari pasangan Angkasa Wongso dan Diana Hadis Wongso. Ini out of the record, Ibu Eve. Di berkas ini tertulis kalau Erickho Daveno berhasil membuktikan Reveline sebagai anaknya jadi akte kelahiran bisa berubah. Buktinya dengan test DNA.” Sebelumnya Eve memang tidak bertanya soal akte kelahirannya yang lama, dia hanya bisa bertanya soal pergantian namanya keluarga pada akte kelahirannya lewat sidang. Pria yang diajaknya bicara barusan dulu mengatakan kalau berkas Eve tidak lengkap. Eve mengabaikan instingnya kala itu, mengabaikan kalau pria itu menutupi sesuatu. Ja
Darwin menolak untuk merasa cemas akan tertangkap lagi. Untung didikan ayahnya membuat dia bisa mengendalikan emosi dalam berbagai suasana hati, jadi mudah saja untuk membohongi orang tua Eve dan Dexter yang tampaknya makin solid saja. Tetapi Eve adalah salah satu orang yang bisa membaca emosi Darwin di balik wajah tenangnya. Jadi Eve akan mudah sekali menangkap kecemasannya, yang untungnya masih tidur lelap. Tekanan jiwanya pasti terlalu banyak karena rupanya Eve lolos juga dari pengawasannya untuk mencari tahu tentang skandal kelahirannya yang mengejutkan. Kesalahan Eve yang jelas adalah informasi itu dipresentasikan dalam benaknya tanpa bicara pada saksi yang mengalaminya, mereka adalah orang tua Eve dan Dexter. Darwin berusaha menghalau orang tua Eve dan Dexter masuk ke dalam ruangan. “Eve belum bisa dikunjungi. Jangan khawatir, kami akan terus pantau. Nanti semua bisa masuk kalau dia sudah sadar.” Darwin bernapas lega karena tidak ada satu pun yang menya
Hubungan keempat manusia itu memang amatlah rumit dan sulit untuk dijelaskan. Erick yang mencintai Rosalind malah berakhir menikahi Rita. Raja yang mencintai Rita malah berakhir menikahi Rosalind. Entah bagaimana kisah mereka penuh drama yang memilukan bisa berakhir seperti itu. Namun mereka belum tahu saja kalau itu barulah sebuah permulaan dari skandal yang lebih besar lagi. Erick tidak sepenuhnya jatuh dalam pesona seorang Amrita Adira yang cantik dan lemah lembut. Meskipun sudah menikah, dia tidak pernah menyentuh Rita yang setia menunggunya berpaling kepadanya. Rita juga mengetahui siapa yang dicintai Erick tetapi dia juga tidak keberatan untuk menunggu entah sampai kapan, waktu memang tidak bertepi untuk Rita. Raja pun tidak berbeda, dia masih belum jatuh sepenuhnya dalam pesona Rosalind yang memiliki jiwa pemberontak, tetapi bedanya Raja menyetubuhi Rosalind berkali-kali meskipun wanita itu juga berkali-kali menolak. Keras kepalanya Rosalind membuat Raja berte
Dexter, anak kedua Diana, yang kala itu berumur hampir 4 tahun yang paling gembira dengan kabar itu. Dia paling suka menemani Rosalind ke mana pun sambil mengelus perut buncit bibinya itu. Selain menyukai calon anak Rosalind, Dexter juga sangat menyukai mata coklat keemasan Rosalind. “Cantik. Mata Tante Ros cantik,” kata Dexter dengan polosnya. Rosalind akan terkekeh mendengarnya. Di dalam keluarga Aksa memang tidak ada yang bermata coklat keemasan seperti Rosalind jadi wajar Dexter begitu terpikat. “Ini namanya warna amber, Ex. Nanti anak ini juga mempunyai mata seperti Tante,” sahut Rosalind geli. Warna mata Rosalind didapatnya dari sang ibu yang berasal dari Italia. Mata Erick dan mata Rosalind yang coklat pasti akan menurun pada anaknya. Rosalind sangat menyayangi Dexter sampai memberikan nama panggilan kesayangan padanya dan rajin mendengarkan ocehan bocah berumur 4 tahun itu. “Berarti anak Tante nanti pasti cantik,” celoteh Dexter lagi. “Bisa ju