Hari kelima Eve menemukan pintu gerbang yang terbuka. Eve juga tidak bodoh, semua ini mungkin saja hanya jebakan. Dia juga memiliki rencana dan rencananya ini tidak memperbolehkannya kabur ke mana pun.
Wenas sempat kegirangan saat Eve berjalan menuju ke gerbang, Eve akan kabur, itu bagus. Tetapi dia harus kecewa karena Eve hanya mencari orang untuk melaporkan gerbang yang terbuka.
Hanas akhirnya duduk di seberang Eve yang sedang menunggunya berbicara. Hari ini Eve memakai celana panjang model pipa dengan kaos berkerah berwarna biru muda. Rambutnya digelung asal-asalan dengan pensil yang dipakainya untuk memeriksa dokumen yang diberikan Hanas. Hanas bersumpah merasa sedang duduk di hadapan Rosalind.
“Hasil kerjamu lumayan,” kata Hanas. Dia memelorotkan kacamata baca yang sejak tadi dipakainya memeriksa hasil pekerjaan Eve. Sejujurnya dia tidak merasakan perasaan benci pada wanita yang mungkin seumuran cucunya, kalau saja Raja dan Rosalind memiliki anak.<
Terima kasih sudah membaca novel ini. Semoga kalian suka. Lucunya di bab ini aku bingung, apa sebutan untuk orang yang diculik, apakah itu terculik? Hehehe... Thank you, xie xie, gracias... for the support. Hug and kiss, Josie.
14 November 2019 “Membunuh Dexter? Apa kalian yakin ini langkah yang terbaik?” tanya pria yang saat ini duduk di kursi kerjanya. Tatapannya tajam pada pria lain yang umurnya sebaya dengannya. Dia hanya merasa rencana ini terlalu gila dan riskan. “Iya. Mungkin ini langkah yang paling baik yang bisa kita ambil. Semua orang akan mengira Hanas dan Wenas Harahap terlibat dalam kematian Dexter. Saat itulah bukti-bukti penyelewengan dana dan penyogokan serta beberapa bukti percobaan pembunuhan Dexter bisa kita keluarkan, ini akan menambah kesan bersalah mereka. Sekuat apa pun mereka mengelak, mereka tidak akan bisa lolos,” jawab pria lain. Dia tersenyum mengagumi idenya sendiri. “Lalu Eve?” Itu yang paling dikhawatirkan olehnya. “Eve akan bebas. Dan kamu bisa menghiburnya sementara waktu.” Darwin memandangi red wine di dalam gelas tingginya yang indah. Dia mengangguk lalu berkata, “Oke, kita akan memastikan rencana ini berhasil.”
“Tidak bisa. Bawalah dia ke rumah sakit. Keadaannya terlalu membahayakan untuk dirawat di rumah,” kata Burhan. Ini kedatangan Burhan, dokter pribadi Hanas, untuk yang kedua kalinya karena perawatnya menyerah dengan tingkah laku Eve yang merepotkan. Burhan harus rela bangun dari tidurnya pada jam 3 pagi. Sudah 3 kali Eve mencabut infusnya. Dia tidak peduli kalau darahnya menetes di mana-mana dan membuat para pelayan makin mengkhawatirkan kondisi Eve yang biasanya tenang itu. Tidak ada yang cukup tega mengikat pergelangan tangan Eve hanya supaya tidak terus-menerus mencabut infus itu. Dia akan tenang setelah diinfus dan tidak lama kemudian tertidur, tetapi dia akan terbangun tiba-tiba lalu melepaskan infusnya supaya bisa pergi dari rumah Hanas. “Aku tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Berikan dia obat tidur saja,” perintah Hanas pada Burhan. Burhan yang sebenarnya penasaran siapa Eve yang baru kali ini dilihatnya, tetapi terlihat cukup diperhatikan oleh Hanas. Burhan
Meskipun polisi belum memberikan keterangan resmi tetapi ucapan duka cita sudah banyak diterima oleh kedua keluarga, Wongso dan Daveno. Tampaknya juga tidak ada seorang pun anggota keluarga yang memberikan keterangan apa pun, semua benar-benar tertutup. Mungkin juga mereka masih enggan membuka rahasia kalau Eve juga menghilang. Eve diantar oleh sopir dan Hanas keesokan harinya, saat mentari baru saja muncul menerangi dunia yang masih terlihat gelap di mata Eve. Sepanjang perjalanan, Eve tidur saja di dalam mobil dan Hanas membiarkan Eve dalam senyap sambil sesekali meliriknya. Mereka berhenti di depan rumah sakit. Hanas sengaja mengantar Eve ke Asterix Medical Center untuk mendapatkan perawatan dan mengembalikan Eve pada keluarganya. Eve masih memegang telapak tangan Hanas yang mulai terasa dingin dan melihat Hanas tersenyum sendu. Hanas sebenarnya juga tidak ingin kehilangan Eve, kehilangan kehangatan yang dipancarkan Eve di rumahnya. Ah, seandainya saja Eve
“Aku tidak ingin hidup lagi. Tidak mau.” Aksa hampir menangis mendengar kata-kata Eve saat pertama kali membuka matanya. Eve memegangi tangan Aksa dan menangis sedih. Ini dejavu, jerit Aksa dalam hati. “Sayang, dengar, kami mengerti tapi pikirkan anak dalam kandunganmu juga,” kata Diana mengelus rambut Eve yang tergerai dan berantakan. Mata Eve masih bengkak dan tangannya gemetaran. Masih untung Eve tidak mencoba mencabut infusnya seperti apa yang dikatakan Darwin sebelumnya. Diana takut, benar-benar takut. Berita kehamilan Eve itu sepertinya tidak berpengaruh sama sekali pada Eve. Padahal mereka berharap Eve akan lebih kuat jika mengetahui dirinya hamil, nyatanya tidak, Eve masih saja ingin mati atau lupa ingatan. “Tidak, aku tidak bisa. Tolong, Mama, Papa, buat aku lupa lagi atau biarkan aku pergi bersamanya. Aku janji tidak akan meminta apa-apa lagi,” kata Eve pada Aksa dan Diana. Kata-kata dan sorot matanya memohon dengan penuh kepedihan. Ru
Hanas baru dibawa kepada Eve saat Eve dalam kondisi sadar. Hanas memang tidak bisa jauh dari tempat tidur, masih butuh istirahat yang cukup. Eve memandang Hanas yang sedang duduk di kursi roda dan memakai baju rumah sakit, berusaha tersenyum meskipun tidak sepenuhnya terlihat jujur dengan senyuman itu. Hanas ingin memukul dadanya melihat Eve dalam kondisi seperti itu. Namun sebagian dirinya bersyukur karena tidak sampai membunuh Dexter, rencananya tidak pernah berhasil. Jadi dia cukup lega bukan dia yang menyebabkan Eve menjadi seperti saat ini. “Bapak,” sapa Eve lemah. “Kakek.” Eve tidak menjawab. “Panggil aku kakek. Anggap saja aku kakekmu.” “Tidak.” “Itu artinya kamu tidak percaya waktu aku bilang aku bukan pembunuh.” “Saya percaya.” “Kalau begitu…” Hanas memberikan tanda tanya dengan membelalakkan matanya yang terlihat ramah. “Kakek.” “Iya, Eve?” “Sudah sehat?” Baru kali ini Eve meras
Darwin menarik kerah baju pria yang ada di hadapannya. Tidak ada perlawanan meskipun tidak tampak adanya kelemahan. Mereka bisa adu jotos sampai beronde-ronde dan belum tentu ada yang mati setelahnya. Sama-sama kuat.“Rencana ini! Seharusnya aku tidak membantumu! Dexter yang mati ternyata tidak memperbaiki keadaan, Eve menjadi seperti mayat hidup, ini rencana gila!” Darwin berteriak di apartemennya.Dia baru saja pulang setelah berhari-hari berada di rumah sakit, khawatir dengan kondisi Eve dan tidak tega meninggalkannya. Saat kondisi Eve membaik, Darwin merasa lebih tenang untuk pulang, sekedar memeriksa apartemennya dan mengambil baju ganti.“Aku tidak…” sahut pria yang kerah bajunya masih ditarik Darwin tanpa ada keinginan untuk melepasnya. Pria itu menunduk dengan punggung yang masih menempel di tembok.“Aku bunuh kamu dengan tanganku sendiri kalau ada apa-apa yang terjadi pada Eve!” Rahang Darwin mengeras da
Eve bangun dalam keadaan yang lebih segar. Sedikit kecewa tanpa ada lengan kekar yang melingkari perut dan pinggangnya. Mungkin aneh kalau mimpinya bisa membuatnya merasa lebih baik dan tidur lebih nyenyak, tetapi mengingat siapa yang ada di dalam mimpinya dia merasa semuanya wajar-wajar saja.“Masih nyeri?” tanya Darwin. Eve mengerti kalau itu maksudnya perut Eve, bayi yang masih sebesar kacang dalam rahimnya, mungkin malah lebih kecil lagi.“Sedikit.” Eve tidak merasa sakit sama sekali, dia hanya tidak ingin pulang dulu.“Nanti kita USG.” Eve mengangguk.Eve memiliki banyak alasan mengapa dia ingin berada di sini dulu. Pertama, Eve sedang menunggu Om Johan memberinya kabar, dia hanya ingin menuntaskan semuanya. Dulu dia memulai penyelidikan itu dan menuntaskan kecurigaannya supaya Hanas tidak mengganggu Dexter lagi. Eve hanya tahu saja kalau Hanas akan lebih tenang kalau mengetahui memiliki cucu karena Rosalind melahi
Eve memang pintar, kata Johan dalam hati. Sepertinya anak itu berusaha memberikan celah untuknya kembali ke kamar perawatannya. Seperti kemarin, siang sampai sore, Johan mengamati kapan Eve akan sendirian lagi. Jam 3 sore, anak Eve dan pengasuhnya keluar ruangan, Johan yakin Eve yang mengusir mereka secara halus. Saat itu juga dia menerima pesan dari Eve untuk segera datang, tetapi mereka lebih suka bertemu. Johan berjalan di lorong sekitar ruang perawatan Eve. Kamar VVIP tidak memiliki kamar berhadapan, sebagian pintu keluar kamar itu menghadap ke kaca gedung yang memperlihatkan pemandangan gedung lainnya termasuk mall yang terletak di sebelah rumah sakit itu, seperti sebuah hotel saja. Jarak Johan dengan ruangan Eve sudah begitu dekat saat dia terpaksa harus menghentikan langkahnya. Dia tidak jadi maju ke depan karena melihat seseorang masuk ke dalam ruang perawatan Eve. Kelihatannya seorang dokter, pria tinggi besar dan tampan yang memakai jas dokternya. Tangan pr