Penutup mata Eve baru saja dibuka. Pandangan matanya mengelilingi ruangan yang sekarang didiami olehnya. Sebuah ranjang besar dan lemari serta meja rias ada di dalamnya. Kamar mandi juga ada di dalam kamar itu. Kamar yang bersih, luas dan cukup nyaman, Eve mungkin akan menyukainya jika seandainya ini bukan tempat dia disekap. Mereka mengunci pintunya dari luar. Eve duduk di pinggir ranjang dan sibuk berpikir.
“Percuma saja kalau kamu berpikir melarikan diri dari sini.” Eve menolehkan kepalanya ke pintu kamar yang terbuka itu. Rupanya Eve terlalu lama berpikir sampai tidak menyadari kehadiran pria itu.
“Bapak Harahap,” sapa Eve dengan tenang sembari bangkit dari duduknya. Evita mengajarkan kesopanan sangat ketat pada Eve, bahkan mendengus pun Eve tidak pernah. Hanya Dexter saja yang mengajarkannya kenakalan seperti bercinta kapan saja ada waktu kosong dan tempat tersembunyi.
“Wenas Harahap,” kata Wenas menerangkan namanya lagi. Dia menatap Eve dengan tajam dan
Terima kasih sudah membaca novel ini. Semoga kalian suka. Dexter, are you ready?! Hug and kiss, Josie.
Sesuai perintah Hanas untuk membiarkan Eve membuktikan ucapannya, Wenas melakukan rencana itu dengan baik meskipun dia tidak sepenuhnya setuju. Dia mana mau repot-repot menangkap Eve kembali kalau wanita itu benar-benar kabur. Jadi dia tetap menaruh orang untuk mengawasi Eve dari balik pagar. Wenas membiarkan Eve keluar dari kamar di hari kedua, membiarkan Eve berjalan-jalan di taman. Gaun putih susu selutut berlengan pendek yang dipakai Eve berkibar tertiup angin dan dia segera membetulkan letak gaunnya. Eve memakai baju-baju yang disediakan mereka begitu saja tanpa banyak bertanya. Pakaian dalam pun tampaknya baru dibeli setelah Eve memberikan ukurannya pada mereka. Hanas menyuruh Wenas membiarkan Eve mengenakan baju-baju milik Rosalind. Rosalind tidak memiliki banyak gaun karena kepribadiannya yang begitu bebas dan lepas membuatnya lebih menyukai celana panjang daripada rok dan lebih menyukai kaos daripada gaun. Hanas mengakui kalau Eve terlihat sepe
Kalau tidak ada Daniel, mungkin keadaan Dexter tidak akan sebaik itu. Meskipun rambut-rambut di dagu dan garis rahangnya mulai terlihat, matanya juga kelihatan merah dan bengkak, tetapi dia masih bersemangat mencari Eve. Sudah dua malam dia tidak bisa memeluk Eve, tidurnya sulit dan makannya juga tidak enak. Apalagi hatinya juga tidak tenang tanpa mengetahui keadaan Eve. Daniel juga merasakan hal yang sama tetapi dengan efek yang lebih ringan karena masih ada Daddy yang menenangkannya. Dexter membiarkan Daniel dibawa ke kantor kalau memang tidak tenang di rumah, tetapi Nanny masih bisa menangani masalah Daniel jika Dexter bekerja, tidak tega kalau harus mengganggu Daddy yang memiliki tambahan tugas, mencari istrinya. “Sudah 3 hari,” kata Dexter. Suaranya terdengar sedih dibandingkan marah. Felix tidak tahu harus menjawab apa karena dia juga khawatir dengan Eve. Dia lebih terbiasa melihat Dexter yang berapi-api, marah bahkan memukul orang daripada Dexter yang se
Hari kelima Eve menemukan pintu gerbang yang terbuka. Eve juga tidak bodoh, semua ini mungkin saja hanya jebakan. Dia juga memiliki rencana dan rencananya ini tidak memperbolehkannya kabur ke mana pun. Wenas sempat kegirangan saat Eve berjalan menuju ke gerbang, Eve akan kabur, itu bagus. Tetapi dia harus kecewa karena Eve hanya mencari orang untuk melaporkan gerbang yang terbuka. Hanas akhirnya duduk di seberang Eve yang sedang menunggunya berbicara. Hari ini Eve memakai celana panjang model pipa dengan kaos berkerah berwarna biru muda. Rambutnya digelung asal-asalan dengan pensil yang dipakainya untuk memeriksa dokumen yang diberikan Hanas. Hanas bersumpah merasa sedang duduk di hadapan Rosalind. “Hasil kerjamu lumayan,” kata Hanas. Dia memelorotkan kacamata baca yang sejak tadi dipakainya memeriksa hasil pekerjaan Eve. Sejujurnya dia tidak merasakan perasaan benci pada wanita yang mungkin seumuran cucunya, kalau saja Raja dan Rosalind memiliki anak.
14 November 2019 “Membunuh Dexter? Apa kalian yakin ini langkah yang terbaik?” tanya pria yang saat ini duduk di kursi kerjanya. Tatapannya tajam pada pria lain yang umurnya sebaya dengannya. Dia hanya merasa rencana ini terlalu gila dan riskan. “Iya. Mungkin ini langkah yang paling baik yang bisa kita ambil. Semua orang akan mengira Hanas dan Wenas Harahap terlibat dalam kematian Dexter. Saat itulah bukti-bukti penyelewengan dana dan penyogokan serta beberapa bukti percobaan pembunuhan Dexter bisa kita keluarkan, ini akan menambah kesan bersalah mereka. Sekuat apa pun mereka mengelak, mereka tidak akan bisa lolos,” jawab pria lain. Dia tersenyum mengagumi idenya sendiri. “Lalu Eve?” Itu yang paling dikhawatirkan olehnya. “Eve akan bebas. Dan kamu bisa menghiburnya sementara waktu.” Darwin memandangi red wine di dalam gelas tingginya yang indah. Dia mengangguk lalu berkata, “Oke, kita akan memastikan rencana ini berhasil.”
“Tidak bisa. Bawalah dia ke rumah sakit. Keadaannya terlalu membahayakan untuk dirawat di rumah,” kata Burhan. Ini kedatangan Burhan, dokter pribadi Hanas, untuk yang kedua kalinya karena perawatnya menyerah dengan tingkah laku Eve yang merepotkan. Burhan harus rela bangun dari tidurnya pada jam 3 pagi. Sudah 3 kali Eve mencabut infusnya. Dia tidak peduli kalau darahnya menetes di mana-mana dan membuat para pelayan makin mengkhawatirkan kondisi Eve yang biasanya tenang itu. Tidak ada yang cukup tega mengikat pergelangan tangan Eve hanya supaya tidak terus-menerus mencabut infus itu. Dia akan tenang setelah diinfus dan tidak lama kemudian tertidur, tetapi dia akan terbangun tiba-tiba lalu melepaskan infusnya supaya bisa pergi dari rumah Hanas. “Aku tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Berikan dia obat tidur saja,” perintah Hanas pada Burhan. Burhan yang sebenarnya penasaran siapa Eve yang baru kali ini dilihatnya, tetapi terlihat cukup diperhatikan oleh Hanas. Burhan
Meskipun polisi belum memberikan keterangan resmi tetapi ucapan duka cita sudah banyak diterima oleh kedua keluarga, Wongso dan Daveno. Tampaknya juga tidak ada seorang pun anggota keluarga yang memberikan keterangan apa pun, semua benar-benar tertutup. Mungkin juga mereka masih enggan membuka rahasia kalau Eve juga menghilang. Eve diantar oleh sopir dan Hanas keesokan harinya, saat mentari baru saja muncul menerangi dunia yang masih terlihat gelap di mata Eve. Sepanjang perjalanan, Eve tidur saja di dalam mobil dan Hanas membiarkan Eve dalam senyap sambil sesekali meliriknya. Mereka berhenti di depan rumah sakit. Hanas sengaja mengantar Eve ke Asterix Medical Center untuk mendapatkan perawatan dan mengembalikan Eve pada keluarganya. Eve masih memegang telapak tangan Hanas yang mulai terasa dingin dan melihat Hanas tersenyum sendu. Hanas sebenarnya juga tidak ingin kehilangan Eve, kehilangan kehangatan yang dipancarkan Eve di rumahnya. Ah, seandainya saja Eve
“Aku tidak ingin hidup lagi. Tidak mau.” Aksa hampir menangis mendengar kata-kata Eve saat pertama kali membuka matanya. Eve memegangi tangan Aksa dan menangis sedih. Ini dejavu, jerit Aksa dalam hati. “Sayang, dengar, kami mengerti tapi pikirkan anak dalam kandunganmu juga,” kata Diana mengelus rambut Eve yang tergerai dan berantakan. Mata Eve masih bengkak dan tangannya gemetaran. Masih untung Eve tidak mencoba mencabut infusnya seperti apa yang dikatakan Darwin sebelumnya. Diana takut, benar-benar takut. Berita kehamilan Eve itu sepertinya tidak berpengaruh sama sekali pada Eve. Padahal mereka berharap Eve akan lebih kuat jika mengetahui dirinya hamil, nyatanya tidak, Eve masih saja ingin mati atau lupa ingatan. “Tidak, aku tidak bisa. Tolong, Mama, Papa, buat aku lupa lagi atau biarkan aku pergi bersamanya. Aku janji tidak akan meminta apa-apa lagi,” kata Eve pada Aksa dan Diana. Kata-kata dan sorot matanya memohon dengan penuh kepedihan. Ru
Hanas baru dibawa kepada Eve saat Eve dalam kondisi sadar. Hanas memang tidak bisa jauh dari tempat tidur, masih butuh istirahat yang cukup. Eve memandang Hanas yang sedang duduk di kursi roda dan memakai baju rumah sakit, berusaha tersenyum meskipun tidak sepenuhnya terlihat jujur dengan senyuman itu. Hanas ingin memukul dadanya melihat Eve dalam kondisi seperti itu. Namun sebagian dirinya bersyukur karena tidak sampai membunuh Dexter, rencananya tidak pernah berhasil. Jadi dia cukup lega bukan dia yang menyebabkan Eve menjadi seperti saat ini. “Bapak,” sapa Eve lemah. “Kakek.” Eve tidak menjawab. “Panggil aku kakek. Anggap saja aku kakekmu.” “Tidak.” “Itu artinya kamu tidak percaya waktu aku bilang aku bukan pembunuh.” “Saya percaya.” “Kalau begitu…” Hanas memberikan tanda tanya dengan membelalakkan matanya yang terlihat ramah. “Kakek.” “Iya, Eve?” “Sudah sehat?” Baru kali ini Eve meras
“Kamu sudah mendapat 4 bulan cutimu, Eve. Kapan mau mulai kerja sungguhan?” tanya Erick. Sejak kehamilan Eve menginjak 8 bulan sampai Raven berusia 3 bulan, Eve mengerjakan semuanya dari rumah, kadang datang untuk rapat-rapat atau urusan penting lainnya, mungkin hanya 2-3 kali dalam seminggu. Tetapi Erick harus mengakui semua berjalan lancar di tangan Eve, seperti biasanya, tanpa cela. “Papa harus mulai memberikan Rana tanggung jawab yang lebih besar.” Adik lelaki Eve sudah datang dari Amerika Serikat 6 bulan yang lalu dan Eve mengajarinya dengan telaten. Rana juga bukannya tidak berpengalaman karena dia juga bekerja di sebuah perusahaan rekanan Angkasa Wongso di New York sembari menyelesaikan kuliah S2-nya. Eve hanya memperkenalkan aturan dan cara kerja mereka di Asterix Grup karena Asterix lebih besar dan lebih luas. “Aku akan berikan, tetapi jabatanmu tetap sama, tidak bisa diisi orang lain. Makanya lahirkan anak lagi supaya keluarga kita akan makin besar.
Angin semilir di taman samping membuat Eve membetulkan roknya yang sedikit berkibar. Pinggiran rok itu dia selipkan di bawah pahanya yang sedang berada di atas kursi taman dari batu yang berbentuk kursi. Beberapa daun tampak berjatuhan, membuat rumputnya yang kehijauan berbercak kekuningan. Bunga-bunga di saat-saat seperti ini juga tumbuh bermekaran meskipun kebanyakan di antaranya selalu ada yang mekar tanpa mengenal waktu sepanjang tahun. Semalam hujan jadi tanah masih terlihat sedikit basah pagi ini dengan cuaca yang cukup hangat. Eve lebih suka cuaca lebih dingin dari ini karena dia juga malas kulitnya yang terlalu putih itu terasa seperti tersengat berada di bawah terik sinar matahari. Namun demi untuk menjemur Raven, dia rela membiarkan kulitnya terkena sinar matahari pukul 8 pagi yang katanya menyehatkan. Tanaman di taman ini semakin banyak dari hari ke hari. Maria terus saja menambahkan tanaman-tanaman hias dan berbagai macam bunga setiap kali d
Eve membuka kotak berpita seukuran kotak gaun di hadapannya itu saat pesta usai 30 menit yang lalu. Semua tamu sudah pulang meninggalkan tuan rumah dalam kelelahan dan kebahagiaan. Kotak berwarna perak itu adalah kado pemberian Dexter sebagai ucapan terima kasihnya sudah menemani hidupnya dalam 2 tahun ini. Itu waktu yang singkat, tetapi mengingat mereka memiliki sejarah percintaan yang cukup panjang, rasanya ini juga hadiahnya atas masuknya Eve kembali dalam relung hatinya dan kesediaan wanita itu kembali ke dalam hidupnya. Dexter sebenarnya sedang memperhatikan Eve yang memegang dan membuka kotak itu dengan perlahan seakan waktu berjalan dengan sangat lambat. Tetapi memang dia harus bersabar seperti Eve bersabar menghadapi dirinya dulu. Eve mengeluarkan kertas yang berada dalam balutan plastik yang membungkusnya, menjaga rapuhnya kertas itu. “Kamu seorang Wongso, Love.” Kertas yang mengubah nama Eve dengan tambahan nama Wongso di belakangnya sudah a
4 Maret 2020 Eve sedang duduk di meja riasnya. Lelah, itu yang dirasakannya. Senang, itu perasaannya. Seorang wanita muda berdiri di belakang Eve dan tersenyum. “Kamu cantik, Eve.” “Terima kasih. Perut ini makin berat dan aku makin sering lelah, Aze.” Kandungan Eve sudah menginjak usia 5 bulan. Aze mengangguk. Dia juga ingat betapa besar perutnya saat itu, hampir2 tahun lalu. Eve yang jarang mengeluh juga akhirnya meloloskan keluhan juga, tidak salah, menjadi wanita hamil itu tidak mudah. Seingat Aze, hanya Eve yang selalu ada bersamanya, meredakan semua keluhannya, melakukan semua keinginannya, tentu dengan syarat-syarat, Eve memang selalu licik begitu. “Pesta memang merepotkan untuk wanita hamil,”sahut Aze. “Lebih enak berkeliling mall?” tanya Eve sambil tersenyum. Aze tertawa lirih dan mengangguk. Mereka akan segera menghadiri pesta perayaan perkawinan Dexter dan Eve yang kedua. Eve keberatan sebenarnya, perutnya yang makin
Sudah sejak awal Aksa merasa bersalah menyembunyikan semua fakta tentang Rosalind dan Reveline dari wanita yang dianggap sebagai ibunya sendiri. Evita tidak memiliki hubungan darah dengan Aksa tetapi mereka sudah sangat dekat. Pelan-pelan Aksa menceritakan masalah Rosalind sampai kehadiran Reveline pada Evita setelah kematian Rosalind. Selama ini Rosalind yang melarang melibatkan Keluarga Daveno dalam hal apa pun untuk melindungi keluarga itu. Aksa sangat mengerti bagaimana sifat Evita, wanita tua yang keras namun penyayang dan cukup bijaksana menilai semua hal. Evita tidak menyalahkan siapa pun. Dia hanya menyesali jalan hidup anaknya dan wanita yang dicintainya berakhir seperti sekarang. Namun yang paling besar adalah penyesalannya terhadap Reveline yang tidak bisa menjadi seorang Daveno. Evita dan Albert datang mengunjungi Reveline setiap bulan, tidak ada seorang Daveno yang bisa disia-siakan, termasuk Reveline. Semua orang lupa memperhitungk
Dexter, anak kedua Diana, yang kala itu berumur hampir 4 tahun yang paling gembira dengan kabar itu. Dia paling suka menemani Rosalind ke mana pun sambil mengelus perut buncit bibinya itu. Selain menyukai calon anak Rosalind, Dexter juga sangat menyukai mata coklat keemasan Rosalind. “Cantik. Mata Tante Ros cantik,” kata Dexter dengan polosnya. Rosalind akan terkekeh mendengarnya. Di dalam keluarga Aksa memang tidak ada yang bermata coklat keemasan seperti Rosalind jadi wajar Dexter begitu terpikat. “Ini namanya warna amber, Ex. Nanti anak ini juga mempunyai mata seperti Tante,” sahut Rosalind geli. Warna mata Rosalind didapatnya dari sang ibu yang berasal dari Italia. Mata Erick dan mata Rosalind yang coklat pasti akan menurun pada anaknya. Rosalind sangat menyayangi Dexter sampai memberikan nama panggilan kesayangan padanya dan rajin mendengarkan ocehan bocah berumur 4 tahun itu. “Berarti anak Tante nanti pasti cantik,” celoteh Dexter lagi. “Bisa ju
Hubungan keempat manusia itu memang amatlah rumit dan sulit untuk dijelaskan. Erick yang mencintai Rosalind malah berakhir menikahi Rita. Raja yang mencintai Rita malah berakhir menikahi Rosalind. Entah bagaimana kisah mereka penuh drama yang memilukan bisa berakhir seperti itu. Namun mereka belum tahu saja kalau itu barulah sebuah permulaan dari skandal yang lebih besar lagi. Erick tidak sepenuhnya jatuh dalam pesona seorang Amrita Adira yang cantik dan lemah lembut. Meskipun sudah menikah, dia tidak pernah menyentuh Rita yang setia menunggunya berpaling kepadanya. Rita juga mengetahui siapa yang dicintai Erick tetapi dia juga tidak keberatan untuk menunggu entah sampai kapan, waktu memang tidak bertepi untuk Rita. Raja pun tidak berbeda, dia masih belum jatuh sepenuhnya dalam pesona Rosalind yang memiliki jiwa pemberontak, tetapi bedanya Raja menyetubuhi Rosalind berkali-kali meskipun wanita itu juga berkali-kali menolak. Keras kepalanya Rosalind membuat Raja berte
Darwin menolak untuk merasa cemas akan tertangkap lagi. Untung didikan ayahnya membuat dia bisa mengendalikan emosi dalam berbagai suasana hati, jadi mudah saja untuk membohongi orang tua Eve dan Dexter yang tampaknya makin solid saja. Tetapi Eve adalah salah satu orang yang bisa membaca emosi Darwin di balik wajah tenangnya. Jadi Eve akan mudah sekali menangkap kecemasannya, yang untungnya masih tidur lelap. Tekanan jiwanya pasti terlalu banyak karena rupanya Eve lolos juga dari pengawasannya untuk mencari tahu tentang skandal kelahirannya yang mengejutkan. Kesalahan Eve yang jelas adalah informasi itu dipresentasikan dalam benaknya tanpa bicara pada saksi yang mengalaminya, mereka adalah orang tua Eve dan Dexter. Darwin berusaha menghalau orang tua Eve dan Dexter masuk ke dalam ruangan. “Eve belum bisa dikunjungi. Jangan khawatir, kami akan terus pantau. Nanti semua bisa masuk kalau dia sudah sadar.” Darwin bernapas lega karena tidak ada satu pun yang menya
Eve mematikan sambungan telponnya. Masih berusaha menarik napas dan menormalkan debaran jantungnya. Berpikirlah, Eve! Jangan memiliki perasaan apa pun, Eve! Perintah-perintah itu dibuat Eve untuk dirinya sendiri. Akhir-akhir ini dia sering sekali menggunakan perasaannya saat berpikir. Dia ingat benar kata-kata pria yang dia mintai keterangan, “Reveline Andrea Wongso lahir pada tanggal 5 Maret 1990, anak dari pasangan Angkasa Wongso dan Diana Hadis Wongso. Ini out of the record, Ibu Eve. Di berkas ini tertulis kalau Erickho Daveno berhasil membuktikan Reveline sebagai anaknya jadi akte kelahiran bisa berubah. Buktinya dengan test DNA.” Sebelumnya Eve memang tidak bertanya soal akte kelahirannya yang lama, dia hanya bisa bertanya soal pergantian namanya keluarga pada akte kelahirannya lewat sidang. Pria yang diajaknya bicara barusan dulu mengatakan kalau berkas Eve tidak lengkap. Eve mengabaikan instingnya kala itu, mengabaikan kalau pria itu menutupi sesuatu. Ja