Pasha membalas senyuman istrinya itu dengan tak kalah manisnya. Tidak tau kenapa, bersama Hana, ia perlahan mulai terbiasa tersenyum manis seperti itu padanya.Mengangkat tangannya, Pasha mengusap kepala Hana lembut. Ia melakukannya tidak ragu sama sekali, sekalipun di depan bapak mertua dan kedua iparnya."Kedepannya aku akan lebih ekstra lagi dalam memperhatikan mu" Ucap Pasha, "Juga calon anak kita..." Pasha melirik sebentar kearah perut istrinya itu yang kini sudah ada makhluk kecil didalamnya.Pemandangan manis itu sontak membuat Arya, Ratna dan Keira tertegun. Dari tatapan mereka seolah berkata, 'Apa mereka tidak salah lihat?''Seorang Pasha bisa bersikap penuh perhatian seperti itu?' Hana tersenyum malu-malu merespon sikap manis suaminya."Lalu Hana juga memiliki Papa, kak Ratna dan kak Keira..." Ucap Hana kemudian. Ia terus memalingkan wajahnya, menatap ketiga orang yang disebutnya, "Bukanlah kalian akan selalu mendukung Hana?""Tentu saja kakak akan selalu mendukungmu. Biarpu
Perlakuan suaminya itu membuat Hana tertegun."Saya tidak selemah itu pak. Biarpun sekarang saya berbadan dua, tapi saya—"Sekali lagi Pasha menempelkan jari telunjuknya di depan bibir merah Hana yang kecil dan tipis, "Patuh!" Pasha tidak tersenyum ketika mengatakannya. Seolah itu sebuah perintah tegas dan ia tidak ingin menerima penolakan.Hana terlalu takut membuat suaminya marah. Meskipun akhir-akhir ini Pasha memperlakukannya cukup lembut, tapi bukannya tidak mungkin pria itu akan mengancamnya seperti sebelumnya. Entah itu menggigit bibirnya sebagai hukuman atau bahkan memaksanya kembali berdiam di pulau."En" Hana pun mengangguk. Ia tidak mau kembali ke pulau. Jadi sebisa mungkin ia tidak membuat amarah suaminya itu memuncak.Pasha tersenyum puas."Tunggu disini, aku akan membawa kan sarapan mu. Nanti siang, bi Titin akan datang kemari untuk menjaga mu""Bi Titin bukannya di vila?"Pasha menggeleng, "Tidak lagi""..." 'Apa itu berarti aku tidak perlu kembali ke pulau itu?'Seolah
Tepat pukul dua belas siang, Bi Titin sampai di apartemen mewah milik Pasha. Ia langsung memasukkan serangkaian angka yang sudah diberitahukan tuannya sebelumnya dan pintu pun terbuka.Wanita paruh baya itupun masuk kedalam dengan kedua tangannya menenteng dua tas besar yang berisi pakaian dan barang miliknya.Sesampainya didalam, matanya menoleh ke kanan-kiri, menelusuri setiap sudut apartemen mewah itu. Selama ia hidup, itu adalah kali pertama ia menginjakkan kaki di apartemen sebesar dan semahal itu. Semua perabotan didalamnya tampak tertata dalam tatanan yang baik dan rapi. Dinding bewarna putih bersih dan tirai jendela bewarna abu-abu gelap, perpaduan itu sangat cocok dengan karakter tuan nya yang dingin."Assalamualaikum.. nyonya Hana" Bi Titin memberi salam. Matanya celingukan mencari jejak nyonya muda nya yang tak terlihat. "Assalamualaikum...""Nyonya Hana.."Panggil nya lagi. Suaranya sedikit lebih besar dari sebelumnya.Hana yang sedang berada di dalam kamar, mendengar su
Tepat setelah pertemuan selesai, Pasha langsung menuju ke apartemennya. Ia masuk kedalam dan melihat di sofa ruang tengah tergeletak dua tas perempuan yang diduganya milik teman Hana. Pasha menautkan alisnya, "Mereka belum pulang?"Lalu ia mendengar keributan kecil yang berasal dari ruang makan. Pasha pun pergi ke sana untuk melihat. Matanya membulat terkejut mendapati wajah Hana yang pucat, terduduk lemah di kursi. Seingatnya Hana tidak sepucat itu ketika ia tinggal pergi ke perusahaan.Miftah masih sibuk mengoleskan minyak kayu putih di tengkuk leher Hana. Ia sama sekali tidak menyadari kedatangan Pasha. Sedangkan Chaca tampak sedang memijit pundak Hana. Sama seperti Miftah, ia pun tak sadar dengan sepasang mata dingin yang tengah menatap lurus kearah mereka. "Udah aku gak papa..." Hana menahan tangan Chaca agar berhenti memijitnya. "Tapi wajah kamu pucat banget Han, serius kamu gak papa? Atau mau aku nelpon pak Pasha?"Hana tersenyum menggeleng, "Ini cuma gejala muntah biasa.. ja
Ini bukan hukuman jenis baru kan? Tanya Hana dalam hatinya.Tak lama kemudian, ia mendengar suaminya mengatakan."Kamu benar-benar sekurus ini" Tatapan Pasha dalam dan terlihat prihatin. Ia meraih pergelangan tangan istrinya dan mengukurnya, "Lihatlah betapa tipisnya pergelangan tanganmu..."Hana mengedipkan matanya bingung, tidak tau harus merespon seperti apa.Tiba-tiba Pasha menangkup kedua pipinya yang tirus, memperhatikannya lama, "Tulang pipimu juga terasa sangat menonjol""Itu karena struktur wajah saya memang seperti itu pak" Tukas Hana. Ia memiliki wajah yang cukup tirus, wajar saja tulang pipinya menonjol.Mata Pasha beralih ke bibir kecil Hana yang biasanya bewarna merah segar, tapi itu terlihat sangat pucat, "Ha, perasaan tadi pagi kamu tidak sepucat ini.." Jempol Pasha mengusap permukaan bibir Hana.Merasakan jempol Pasha yang bersentuhan langsung dengan bibirnya, Hana merasakan kedua pipinya menghangat."Dua orang itu membuat mu melakukan apa sampai kamu terlihat sepucat
"Tidak seharusnya kamu membuat saya marah" Kata Pasha dengan sorot mata dinginnya.Hana tidak dapat menahannya lagi. Iapun berteriak keras dengan suara serak parau nya, "Bukannya di mata bapak saya tak ubahnya seperti benda mati?""Jadi apa salahnya saya menjadi diam seperti benda mati. Lalu setelahnya bapak dapat dengan bebas melakukan apapun...""Bukankah itu yang bapak mau dari saya?"Setelah meneriakkan rentetan kalimat itu, Hana menangis terisak-isak. Kedua pipinya sudah basah dengan air mata dan bahkan ujung hidung mancungnya tampak memerah."Bagi saya kamu bukan benda mati Hana, jadi tentu saja saya tidak mau kamu bersikap seperti benda mati""..." Hana mengangkat kepalanya, menatap Pasha dengan matanya yang masih basah dengan derai air mata. "Karena bagi saya, kamu istri dan juga permata berharga saya. Bukankah saya sudah pernah mengatakan ini sebelumnya?""Lalu kenapa bapak memperlakukan saya seperti benda yang tak memiliki hati dan perasaan?" Pekik Hana frustasi.Pasha denga
Lengan kokoh Pasha siap mengangkat istri kecilnya itu, tapi Hana langsung menghentikannnya."Saya kemari karena mau menyelesaikan kesepakatan yang saya buat tadi siang""Kesepakatan?" Pasha tampak menautkan sepasang alisnya."Ya, cium pipi seratus kali dan bibir sepuluh kali, bapak tidak mengingatnya?"Pasha tersenyum, ia memiringkan kepalanya dan mematuk bibir kecil Hana yang sudah mulai memerah kembali. Tidak lagi sepucat tadi siang. "Kamu bisa melakukannya besok. Ini sudah larut malam, istirahatlah""Tapi—"Sekali lagi Pasha mematuk bibir merah ranum itu dengan mulutnya."Tidak ada tapi-tapi. Patuh!" Tatapan Pasha terlihat lembut saat tangannya mengusap pelan kepala Hana. "En" Hana tampak mengulum bibirnya, tersenyum kecil. Pasha yang melihatnya, merasa senang. Ia ingin Hana selalu bersikap patuh dan manis seperti itu. Dengan begitu akan lebih mudah baginya untuk mengendalikan dan menguasainya.Hana tidak ingin menggangu pekerjaan suaminya. Bagaimana pun karena dirinya hari ini,
Tok...tok...Diluar sana Eman sudah merasa kesal. Ia sudah mengetuk pintu berapa kali tapi masih belum mendapatkan jawaban. Jika sebelumnya mungkin ia akan langsung masuk saja ke dalam. Tapi mengingat pagi ini bosnya itu membawa istrinya ke dalam sana. Ia memutuskan untuk menahan diri dan tidak menganggu privasi mereka."Masuk"Eman langsung mendorong pintu dan masuk. Ia menyapa sopan istri bosnya itu tanpa tersenyum, karena ia tahu bosnya itu pasti akan kesal jika ia tersenyum pada istrinya.Hana membalasnya dengan anggukan."Rapat pagi akan segera dimulai lima menit lagi" Lapor Eman kemudian. "En""Kalau begitu saya permisi"Setelahnya, Eman beranjak pergi meninggalkan ruangan.Pasha menoleh pada Hana dan berkata dengan nada yang tidak mau dibantah, "Hana, kamu diam saja disini. Jangan pergi kemana-mana, mengerti?"Hana sebenarnya merasa keberatan, akan sangat membosankan jika ia hanya terus berada di sana. Tapi ia terlalu malas memicu keributan, terlebih lagi ini di perusahaan."E