Adakah yang kesal karena sejauh ini sikap Pasha masih belum berubah? Dan cerita terus saja berputar dengan sikap posesif Pasha yang meledak-ledak dan lalu berubah lagi menjadi lembut dan manis. Tapi begitulah ritme cerita ini berjalan. Semoga kalian tidak bosan. Bagaimana menurut kalian, jika Pasha terus saja dengan sikap 'kepemilikan' yang tak masuk akalnya itu, akankah pernikahan sempurna yang diimpikan Hana terwujud? Ikuti terus cerita ini untuk menemukan jawabannya dan terimakasih sudah membaca dan memberikan vote untuk cerita ini š Salam Manis ā¤ļø _Sifa Azz_
Lengan kokoh Pasha siap mengangkat istri kecilnya itu, tapi Hana langsung menghentikannnya."Saya kemari karena mau menyelesaikan kesepakatan yang saya buat tadi siang""Kesepakatan?" Pasha tampak menautkan sepasang alisnya."Ya, cium pipi seratus kali dan bibir sepuluh kali, bapak tidak mengingatnya?"Pasha tersenyum, ia memiringkan kepalanya dan mematuk bibir kecil Hana yang sudah mulai memerah kembali. Tidak lagi sepucat tadi siang. "Kamu bisa melakukannya besok. Ini sudah larut malam, istirahatlah""Tapiā"Sekali lagi Pasha mematuk bibir merah ranum itu dengan mulutnya."Tidak ada tapi-tapi. Patuh!" Tatapan Pasha terlihat lembut saat tangannya mengusap pelan kepala Hana. "En" Hana tampak mengulum bibirnya, tersenyum kecil. Pasha yang melihatnya, merasa senang. Ia ingin Hana selalu bersikap patuh dan manis seperti itu. Dengan begitu akan lebih mudah baginya untuk mengendalikan dan menguasainya.Hana tidak ingin menggangu pekerjaan suaminya. Bagaimana pun karena dirinya hari ini,
Tok...tok...Diluar sana Eman sudah merasa kesal. Ia sudah mengetuk pintu berapa kali tapi masih belum mendapatkan jawaban. Jika sebelumnya mungkin ia akan langsung masuk saja ke dalam. Tapi mengingat pagi ini bosnya itu membawa istrinya ke dalam sana. Ia memutuskan untuk menahan diri dan tidak menganggu privasi mereka."Masuk"Eman langsung mendorong pintu dan masuk. Ia menyapa sopan istri bosnya itu tanpa tersenyum, karena ia tahu bosnya itu pasti akan kesal jika ia tersenyum pada istrinya.Hana membalasnya dengan anggukan."Rapat pagi akan segera dimulai lima menit lagi" Lapor Eman kemudian. "En""Kalau begitu saya permisi"Setelahnya, Eman beranjak pergi meninggalkan ruangan.Pasha menoleh pada Hana dan berkata dengan nada yang tidak mau dibantah, "Hana, kamu diam saja disini. Jangan pergi kemana-mana, mengerti?"Hana sebenarnya merasa keberatan, akan sangat membosankan jika ia hanya terus berada di sana. Tapi ia terlalu malas memicu keributan, terlebih lagi ini di perusahaan."E
"Masih ada yang harus saya kerjakan. Kita pulang nanā""Tapi saya lelah" Hana menyela. Suaranya normal seperti biasa, hanya jejak dingin di sebalik kedua matanya yang selalu berbinar hangat.Pasha dapat merasakannya dengan jelas."Saya ingin pulang. Saya ingin istirahat""...""Jika disini saya tidak dapat beristirahat dengan nyaman. Pak Pasha tidak perlu mengantar saya. Saya bisa pulang sendiri naik taxi""Aku sudah memberitahu mu, kalau kita tidak kembali ke apartemen. Bersabarlah sebentar lagi. Setelah pekerjaan ku selesai, kita pulang"Pasha beranjak pergi ke meja kerjanya dan mulai memeriksa tiap dokumen yang bertumpuk di mejanya.Hana menghela nafas berat dan melabuhkan punggungnya ke sofa. Ia tersenyum getir. Pada akhirnya ia harus selalu pasrah dan menuruti sebagaimana kehendak suaminya.Dirinya saat ini, tak ubahnya seperti boneka bertali. Itu bergerak sebagaimana tali itu ditarik sesuai kehend
"En" Pasha meraih lengan Hana dan merangkulnya mesra. Mood nya tidak lagi buruk seperti tadi. Ia pun mengajak Hana melangkah melewati pagar.Pemandangan yang terhidang di depan sana, seketika membuat sepasang mata Hana terbuntang lebar.Karpet merah digelar dan deretan pelayan telah berjejer dengan rapi di samping kanan dan kiri, tampak telah bersiap sejak lama untuk menyambut kedatangan mereka."Selamat datang Tuan Pasha dan Nyonya Hana"Para pelayan itu serentak membungkuk sopan.Hana tertegun, "Ini..s-sebenarnya ada apā""Syuhh.." Jari telunjuk Pasha menekan bibir Hana, "Simpan dulu pertanyaan mu, upacara penyambutan kedatanganmu masih belum selesai" Bisik Pasha kemudianBulu mata Hana bergetar dan ia terdiam. Pasha mengangkat kakinya, mulai melangkah maju ke depan. Langkahnya dibuat selambat mungkin, menyesuaikan dengan langkah kaki Hana.Setiap kali Hana melangkah maju ke depan, tatapannya tak berhenti tertuju ke objek megah yang ada dihadapannya. Sebuah mansion besar bewarna pu
"Maaf Bu, ini bukan bidang saya. Jadi saya tidak tau apa tepatnya itu. Tapi ada kemungkinan ini disebabkan karena trauma masa lalu atau ketakutan yang berlebihan terhadap sesuatu. Untuk lebih akuratnya, tuan Pasha perlu menemui psikiater untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut""Baik dok, saya mengerti""Kalau begitu saya permisi"Erna langsung mengantar pergi dokter Aamir keluar. Sedangkan Hana kembali masuk ke kamar utama. Ia duduk di pinggir ranjang dan menatap suaminya yang sudah tertidur.Hana mengulurkan tangannya dan mengusap sisa-sisa keringat yang ada di pelipis Pasha. Karena terlalu mengkhawatirkan Pasha, ia langsung saja terlupa dengan pikiran negatifnya mengenai wanita bernama Elisabeth.Tepat ketika segurat oranye senja memenuhi langit. Mega-mega merah dengan sedikit keunguan itupun menerobos kaca jendela kamar utama.Perlahan kelopak mata Pasha terangkat dan melihat kamar utama yang luas itu sudah dipenuhi cahaya senja yang merah keorenan. Ia menurunkan pandangannya ke
Malam harinya, Pasha mengambil alih dapur. Mengeluarkan beberapa bahan masak yang ada di kulkas, lalu ia mengenakan celemek siap untuk memasak.Seorang koki wanita dengan badan sedikit berisi dan taksiran usia empat puluhan itu pun, buru-buru mendatangi Pasha, "Perkenalkan pak, saya Dina. Saya koki di mansion ini. Katakan saja pada saya apa yang ingin anda makan, biar saya yang akan memasaknya untuk anda" Ucapnya, nada suaranya terdengar gugup dan ekspresi wajahnya sedikit terlihat takut. Itu adalah malam pertama ia bekerja di mansion dan telah mendengar bagaimana rumor yang beredar tentang tuannya yang apatis dan bengis."Kamu koki yang baru saja bekerja di sini?" Tanya Pasha. Ia memang telah menyuruh Erna untuk mencari seorang koki wanita berpengalaman untuk bekerja di mansion."I-iya Pak""Untuk sekarang tugas mu cukup memasak untuk para pelayan dan pekerja di mansion. Jika kamu memerlukan beberapa anak buah untuk membantumu, kamu dapat memperkejakan mereka. Tapi beritahu Erna terl
"Entahlah" Pasha tampak mengedikkan bahunya."Mungkin karena rasa tanggungjawab""Rasa tanggung jawab?" Sepasang alis Hana bertaut heran."Ya. Jadi begini, Elisabeth adalah kucing kesayangan mamaku. Tapi semenjak mama pergi ke Prancis dan tidak kunjung kembali, Elisabeth ditinggal begitu saja tak terurus. Persis seperti diriku. Padahal kami berdua masih membutuhkan kasih sayangnya" Ucap Pasha, sambil memandangi kucing Persia putih yang tengah tertidur pulas di dalam kandang.Mata dinginnya yang selalu nya gelap dan tak berperasaan, tapi saat itu terlihat redup dengan jejak kesedihan.Hana tercenung sejenak. Menatap tubuh tegap suaminya yang kokoh, ternyata menyimpan jejak kerapuhan dari dalam. Pasha kemudian menoleh kearah Hana dan berkata, "Itu kenapa aku memutuskan untuk merawatnya dan entah bagaimana, perlahan itu berubah menjadi rasa tanggung jawab yang ku terhadapnya. Lalu berjalannya waktu, Elisabeth pun mulai menjadi suatu hal yang berharga bagiku dan itu terjadi begitu saja"
Menyikapi tiap tatapan pelayan yang tertuju kearahnya yang sedang menggendong Hana itu, Pasha hanya acuh saja. Ia terus saja berjalan ke depan dan melewati mereka dengan wajah dinginnya yang tanpa ekspresi.Berbeda dengan Pasha yang cuek, Hana justru merasa malu menjadi tontonan para pelayan. Ia langsung menyembunyikan wajahnya dengan menenggelamkannya di dada bidang Pasha.Melihat perbuatan istrinya itu, Pasha menyungging senyum kecil di bibir.Setelah Pasha dan Hana lenyap dari pandangan mereka. Para pelayan itu tak dapat menahannya lagi. Mereka menjerit histeris, menyerukan betapa manisnya cara Pasha memperlakukan istri kecilnya. "Ahh, kalian lihat itu..pak Pasha sungguh romantis sekali""Kyaa..aku gak tahan melihat romansa mereka""Benar sekali. Lihatlah bagaimana sikap dingin Pak Pasha yang nyaris menyaingi es batu ketika berhadapan dengan orang-orang disekitarnya, tapi begitu dengan istrinya, sifat es batu nya itu langsung saja mencair."Ah, aku jadi iri dengan nyonya Hana"Kar
Pagi harinya, Ratna sudah berpakaian dengan rapi. Ia mengenakan setelan baju formal berwarna navy dan mencoba mengenakan hijab bewarna abu-abu pemberian dari Hana. "Sayang, kamu sudah selesai?" Eman membuka pintu kamar dan melongok kedalam. Sesaat matanya berkedip terkejut mendapati istrinya yang tiba-tiba mengenakan hijab di kepalanya. Itu membungkus indah wajah tirusnya, membuat penampilan formalnya terlihat anggun dan jumawa. "Gimana menurut kamu? Lucu ya aku berhijab begini?" "Anggun." "Ya?" Eman tersadar. Ia berdeham dan dengan daun telinganya yang memerah ia berujar, "Kamu terlihat menawan dengan berhijab seperti itu." Ratna merasa begitu manis dengan pujian tersebut. Hatinya langsung merasa tergelitik melihat daun telinga suaminya yang memerah. Padahal sudah beberapa bulan, tapi terkadang Eman masih malu-malu kepadanya. "Aku sudah selesai. Yuk kita pergi." "Sekarang?" Eman bergeming beberapa saat. "Ya terus kapan lagi." Ratna tergelak kecil. Ia mengapit lengan suaminy
Setengah tahun berlalu sudah. Dalam kurun waktu tersebut Hana berusaha keras untuk membagi perannya sebagai seorang istri, ibu dan juga sebagai mahasiswa. Dalam kurun waktu tersebut juga, berkat ketekunannya dan kegigihannya, ia berhasil mengejar semua ketertinggalan nya dan menyelesaikan studinya.Meskipun ia terlambat dan tertinggal dari teman-temannya yang sudah menyandang sarjana setahun ke belakang. Tapi ia tidak menyesali keterlambatan nya. Ia berpikiran positif dan yakin semua yang terjadi pasti ada hikmahnya."Selamat Hanaaaa...." Chaca dan Miftah menyerbunya dari kanan-kiri dan memeluknya erat. Seerat persahabatan yang telah mereka jalin selama ini."Akhirnya kamu menjadi sarjana juga Han." Tukas Miftah yang terharu menatap sahabatnya yang akhirnya telah mengenakan baju toga setelah semua hal-hal berat yang dilewatinya setahun ke belakang."Walaupun kita gak wisuda bareng, tapi ritual lempar topi toga nya harus tetap dilakukan barengan." Chaca mengambil topi toga dari atas ke
Saat ia merasakan tangan panas Pasha yang besar, mulai menggerayangi perutnya dari belakang. "Syuhh" Pasha menekan jari telunjuknya di bibir Hana."K-kamu ngapain? Buat apa tangan mu di situ?"Alih-alih menjawab, Pasha merapatkan dada bidangnya ke punggung telanjang Hana. Lengan kokoh nya mengukung tubuh kecil istrinya itu dalam kuasa tubuh kekarnya.Halusnya kulit Hana yang menyentuh kulit kerasnya, membuatnya merasa nyaman.Hana menjadi gugup saat suhu panas tubuh Pasha telah menguasai tubuhnya. Ia dapat mendengar nafas berat suaminya itu yang berhembus di dekat daun telinganya."Masa nifas mu, sudah selesai sejak tiga bulan yang lalu kan?""I-iya""Apakah kiranya kamu sudah siap?" Tanya Pasha, mulutnya tepat berada didepan telinga Hana.Hana menelan saliva nya gugup, saat merasakan nafas panas Pasha berhembus melewati daun telinganya."S-sejujurnya, aku masih b-belum siap..""Kalau begitu mari bercumbu seperti ini saja" Pasha menyapu bibir padatnya ke telinga istrinya. Membuka mul
Tepat setelah malam syukuran kelahiran Daud dikediaman Arya, pada hari ketujuhnya, Pasha melakukan aqiqah Daud di kediaman Shahbaz. Ia sudah sepakat dengan Hana untuk melakukannya di sana.Pasha sudah membeli dua ekor kambing yang cukup gemuk untuk anak laki-laki pertamanya itu dengan Hana.Tanpa sepengetahuan Pasha, seorang wanita yang sudah lama sekali tidak terlihat dimatanya muncul di acara aqiqah tersebut. Wanita itu bersembunyi dan diam-diam mencuri pandang kearah Pasha bersama istrinya yang sedang menggendong Daud."Kamu yakin tidak ingin datang menjumpainya?" Tanya Shahbaz, pada mantan istrinya itu.Wanita itu tersenyum kecil menggeleng, "Melihat dari sini saja sudah cukup, akan terlalu egois bagiku jika menemuinya sekarang"Shahbaz tidak berkata apa-apa lagi."Pasha cukup pandai memilih istri" Ucap wanita itu tersenyum, "Ia cantik sekali""Iya. Dia baik dan juga penurut" Sambung Shahbaz."Cucu kita juga sangat tampan, ingin rasanya aku menggendongnya""Apa kamu menyesal karen
Malam harinya, kediaman Arya dipenuhi oleh para tamu. Ia membuat syukuran untuk kelahiran cucunya dan mengundang semua koleganya untuk datang. Shahbaz sebagai besannya, juga turut diundang bersama keluarga besar. "Di mana Pasha dan Hana? Apa sudah sampai?" Tanya Arya pada Ratna"Mereka masih dijalan Paa" Jawab Ratna yang baru saja selesai menelpon Hana.Hingga tak berapa lama menit kemudian. Pasha dan Hana sudah tiba di kediaman Arya. Kehadiran mereka pun langsung mencuri perhatian para tamu.Malam itu Hana mengenakan setelan yang serasi dengan Pasha. Di mana Pasha tampil jumawa dalam baju Koko putih dan Hana tampil anggun dalam balutan abaya putih dan pashmina bewarna senada. Awalnya ia pikir Pasha akan menyuruhnya untuk berganti dengan kerudung biasa, teringat terakhir kali di acara keluarga Pasha melakukannya. Tapi anehnya kali ini tidak. Semenjak ia hamil Daud dan terlebih setelah melahirkannya, suaminya itu memang sudah banyak berubah. Di kediaman Arya sangat ramai. Cukup bany
"Hum" Pasha menyandarkan dagunya manja di atas pundak Hana dan memperhatikan mata mungil Daud yang mulai berkedip-kedip seperti akan tertidur."Daud sepertinya mulai mengantuk""Iya, Alhamdulillah""Lantunan shalawat mu yang merdu itu benar-benar membuatnya berhenti menangis"Hana tersenyum mengangguk, "Hem" Matanya yang penuh sorot keibuan itu, dengan lembut memperhatikan sepasang mata Daud yang kini sudah terpejam."Lain kali lakukan juga padaku" Tukas Pasha.Hana tergelak kecil, "Buat apa? Kamu kan sudah besar, bukan bayi yangā"Pasha mengecup bibir Hana dan menghisapnya lama. Hana memejamkan matanya dan sesaat terbuai dengan ciuman lembut itu.Pasha perlahan melepas bibir Hana dari bibirnya, "Aku juga ingin diperlakukan seperti itu saat susah tidur" Ucap Pasha, sambil menatap manik mata hitam Hana dalam."En, aku juga akan melakukannya padamu. Bayi besar ku.." Ucap Hana sambil mencium kening Pasha gemas."Aku tidak mau di panggil bayi"Hana tertawa kecil."Tidak lucu!" Mata dingin
Sama seperti malam-malam sebelumnya, Hana tidak dapat tidur nyenyak karena sebentar-sebentar terbangun mendengar suara tangis Daud. Jika sudah seperti itu Hana akan menepuk-nepuk lembut Daud yang sudah dibedung itu dan memberikannya asi.Tapi terkadang tangis Daud tidak kunjung berhenti. Seperti yang terjadi malam ini. Hana sampai menggigit jari karena bingung harus mendiamkannya seperti apa."Haak ahak..oek..oek..""Daud..""Hak..ahaak oek..oek...""Syuhh, gantengnya mama.. kenapa nangis terus hum?""Oek..oek..""Daud saayang...""Oek..oek..""Sholatullah salamullah.." Hana pun mulai bershalawat, mencoba menenangkan Daud yang tak kunjung berhenti menangis."Oek..haak..oek.."Pasha yang tengah tertidur itu, mengerutkan keningnya. Matanya menyipit dan sedikit terbuka, "Kenapa sayang? Daud nya nangis lagi?" Ucap Pasha dengan suara sengau dan serak nya."Iya nih, padahal udah aku kasih asi tapi masih gak berhenti nangisnya"Pasha perlahan bangun dari tidurnya dan setengah menguap. Ia men
Hana tersenyum tenang menanggapi mereka semua. Jempolnya mengusap lembut pipi bayinya dan menundukkan kepalanya, ia kembali mengecup lembut bayi mungilnya itu. "Pasha, masih belum sadar?" Tanya Hana pada mereka semua.Shahbaz menghela nafas panjang, "Kata dokter Pasha mengalami syok berat karena melihat keadaan mu di ruang persalinan tadi. Dan sampai sekarang ia masih belum sadar"Hana tersenyum tipis. Ia sudah menduganya, itu pasti terjadi karena Pasha terlalu mengkhawatirkan keadaannya."Kenapa dia jadi lelaki bisa lemah sekali? Bukannya menemani istrinya sampai selesai melahirkan, tapi ia malah pingsan" Ketus Keira.Ratna langsung menyikut perut Keira, "Jangan berkata begitu. Dia bisa selemah itu juga karena hampir mati ketakutan karena merisaukan keadaan Hana"Keira hanya memasang ekspresi cemberut.Brak!Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Tampak Pasha muncul dan setengah berlari menghampiri ranjang."Hanaa" Pasha langsung memeluk Hana yang tengah berbaring di ranjang. Kepa
Tak terasa kandungan Hana sudah menginjak usia sembilan bulan. Semenjak itu pula Pasha tidak lagi membuat Hana tinggal di mansion yang jaraknya cukup jauh dalam mencapai rumah sakit di kota. Karena itulah ia membawa Hana kembali ke apartemen yang selama ini diurus dengan baik oleh Bi Titin.Saat tanggal kelahiran yang diprediksi kan oleh dokter mulai mendekat, buat jaga-jaga, Pasha langsung mengambil cuti. Hal tersebut membuat kelipatan kerja Eman sebagai sekretarisnya bertambah.Pasha pun menghabiskan harinya dengan mengurus dan menjaga Hana sedemikian rupa. Ia masih menyiapkan makanan, membuat jus dan terkadang memijit pundak dan kaki Hana yang kerapkali merasa pegal.Sedangkan urusan apartemen, piring kotor dan pakaian, bi Titin yang mengurus semuanya."Pashaa, Hana mau minum jus bayam" Pinta Hana manja. Sebulan membiasakan diri memanggil Pasha tanpa sebutan 'pak', Hana akhirnya dapat melakukannya dengan lancar.Bahkan ia berpikir untuk memanggil suaminya itu dengan 'sayang' nantiny