Tok...tok...Diluar sana Eman sudah merasa kesal. Ia sudah mengetuk pintu berapa kali tapi masih belum mendapatkan jawaban. Jika sebelumnya mungkin ia akan langsung masuk saja ke dalam. Tapi mengingat pagi ini bosnya itu membawa istrinya ke dalam sana. Ia memutuskan untuk menahan diri dan tidak menganggu privasi mereka."Masuk"Eman langsung mendorong pintu dan masuk. Ia menyapa sopan istri bosnya itu tanpa tersenyum, karena ia tahu bosnya itu pasti akan kesal jika ia tersenyum pada istrinya.Hana membalasnya dengan anggukan."Rapat pagi akan segera dimulai lima menit lagi" Lapor Eman kemudian. "En""Kalau begitu saya permisi"Setelahnya, Eman beranjak pergi meninggalkan ruangan.Pasha menoleh pada Hana dan berkata dengan nada yang tidak mau dibantah, "Hana, kamu diam saja disini. Jangan pergi kemana-mana, mengerti?"Hana sebenarnya merasa keberatan, akan sangat membosankan jika ia hanya terus berada di sana. Tapi ia terlalu malas memicu keributan, terlebih lagi ini di perusahaan."E
"Masih ada yang harus saya kerjakan. Kita pulang nan—""Tapi saya lelah" Hana menyela. Suaranya normal seperti biasa, hanya jejak dingin di sebalik kedua matanya yang selalu berbinar hangat.Pasha dapat merasakannya dengan jelas."Saya ingin pulang. Saya ingin istirahat""...""Jika disini saya tidak dapat beristirahat dengan nyaman. Pak Pasha tidak perlu mengantar saya. Saya bisa pulang sendiri naik taxi""Aku sudah memberitahu mu, kalau kita tidak kembali ke apartemen. Bersabarlah sebentar lagi. Setelah pekerjaan ku selesai, kita pulang"Pasha beranjak pergi ke meja kerjanya dan mulai memeriksa tiap dokumen yang bertumpuk di mejanya.Hana menghela nafas berat dan melabuhkan punggungnya ke sofa. Ia tersenyum getir. Pada akhirnya ia harus selalu pasrah dan menuruti sebagaimana kehendak suaminya.Dirinya saat ini, tak ubahnya seperti boneka bertali. Itu bergerak sebagaimana tali itu ditarik sesuai kehend
"En" Pasha meraih lengan Hana dan merangkulnya mesra. Mood nya tidak lagi buruk seperti tadi. Ia pun mengajak Hana melangkah melewati pagar.Pemandangan yang terhidang di depan sana, seketika membuat sepasang mata Hana terbuntang lebar.Karpet merah digelar dan deretan pelayan telah berjejer dengan rapi di samping kanan dan kiri, tampak telah bersiap sejak lama untuk menyambut kedatangan mereka."Selamat datang Tuan Pasha dan Nyonya Hana"Para pelayan itu serentak membungkuk sopan.Hana tertegun, "Ini..s-sebenarnya ada ap—""Syuhh.." Jari telunjuk Pasha menekan bibir Hana, "Simpan dulu pertanyaan mu, upacara penyambutan kedatanganmu masih belum selesai" Bisik Pasha kemudianBulu mata Hana bergetar dan ia terdiam. Pasha mengangkat kakinya, mulai melangkah maju ke depan. Langkahnya dibuat selambat mungkin, menyesuaikan dengan langkah kaki Hana.Setiap kali Hana melangkah maju ke depan, tatapannya tak berhenti tertuju ke objek megah yang ada dihadapannya. Sebuah mansion besar bewarna pu
"Maaf Bu, ini bukan bidang saya. Jadi saya tidak tau apa tepatnya itu. Tapi ada kemungkinan ini disebabkan karena trauma masa lalu atau ketakutan yang berlebihan terhadap sesuatu. Untuk lebih akuratnya, tuan Pasha perlu menemui psikiater untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut""Baik dok, saya mengerti""Kalau begitu saya permisi"Erna langsung mengantar pergi dokter Aamir keluar. Sedangkan Hana kembali masuk ke kamar utama. Ia duduk di pinggir ranjang dan menatap suaminya yang sudah tertidur.Hana mengulurkan tangannya dan mengusap sisa-sisa keringat yang ada di pelipis Pasha. Karena terlalu mengkhawatirkan Pasha, ia langsung saja terlupa dengan pikiran negatifnya mengenai wanita bernama Elisabeth.Tepat ketika segurat oranye senja memenuhi langit. Mega-mega merah dengan sedikit keunguan itupun menerobos kaca jendela kamar utama.Perlahan kelopak mata Pasha terangkat dan melihat kamar utama yang luas itu sudah dipenuhi cahaya senja yang merah keorenan. Ia menurunkan pandangannya ke
Malam harinya, Pasha mengambil alih dapur. Mengeluarkan beberapa bahan masak yang ada di kulkas, lalu ia mengenakan celemek siap untuk memasak.Seorang koki wanita dengan badan sedikit berisi dan taksiran usia empat puluhan itu pun, buru-buru mendatangi Pasha, "Perkenalkan pak, saya Dina. Saya koki di mansion ini. Katakan saja pada saya apa yang ingin anda makan, biar saya yang akan memasaknya untuk anda" Ucapnya, nada suaranya terdengar gugup dan ekspresi wajahnya sedikit terlihat takut. Itu adalah malam pertama ia bekerja di mansion dan telah mendengar bagaimana rumor yang beredar tentang tuannya yang apatis dan bengis."Kamu koki yang baru saja bekerja di sini?" Tanya Pasha. Ia memang telah menyuruh Erna untuk mencari seorang koki wanita berpengalaman untuk bekerja di mansion."I-iya Pak""Untuk sekarang tugas mu cukup memasak untuk para pelayan dan pekerja di mansion. Jika kamu memerlukan beberapa anak buah untuk membantumu, kamu dapat memperkejakan mereka. Tapi beritahu Erna terl
"Entahlah" Pasha tampak mengedikkan bahunya."Mungkin karena rasa tanggungjawab""Rasa tanggung jawab?" Sepasang alis Hana bertaut heran."Ya. Jadi begini, Elisabeth adalah kucing kesayangan mamaku. Tapi semenjak mama pergi ke Prancis dan tidak kunjung kembali, Elisabeth ditinggal begitu saja tak terurus. Persis seperti diriku. Padahal kami berdua masih membutuhkan kasih sayangnya" Ucap Pasha, sambil memandangi kucing Persia putih yang tengah tertidur pulas di dalam kandang.Mata dinginnya yang selalu nya gelap dan tak berperasaan, tapi saat itu terlihat redup dengan jejak kesedihan.Hana tercenung sejenak. Menatap tubuh tegap suaminya yang kokoh, ternyata menyimpan jejak kerapuhan dari dalam. Pasha kemudian menoleh kearah Hana dan berkata, "Itu kenapa aku memutuskan untuk merawatnya dan entah bagaimana, perlahan itu berubah menjadi rasa tanggung jawab yang ku terhadapnya. Lalu berjalannya waktu, Elisabeth pun mulai menjadi suatu hal yang berharga bagiku dan itu terjadi begitu saja"
Menyikapi tiap tatapan pelayan yang tertuju kearahnya yang sedang menggendong Hana itu, Pasha hanya acuh saja. Ia terus saja berjalan ke depan dan melewati mereka dengan wajah dinginnya yang tanpa ekspresi.Berbeda dengan Pasha yang cuek, Hana justru merasa malu menjadi tontonan para pelayan. Ia langsung menyembunyikan wajahnya dengan menenggelamkannya di dada bidang Pasha.Melihat perbuatan istrinya itu, Pasha menyungging senyum kecil di bibir.Setelah Pasha dan Hana lenyap dari pandangan mereka. Para pelayan itu tak dapat menahannya lagi. Mereka menjerit histeris, menyerukan betapa manisnya cara Pasha memperlakukan istri kecilnya. "Ahh, kalian lihat itu..pak Pasha sungguh romantis sekali""Kyaa..aku gak tahan melihat romansa mereka""Benar sekali. Lihatlah bagaimana sikap dingin Pak Pasha yang nyaris menyaingi es batu ketika berhadapan dengan orang-orang disekitarnya, tapi begitu dengan istrinya, sifat es batu nya itu langsung saja mencair."Ah, aku jadi iri dengan nyonya Hana"Kar
"Aku tidak ingin mengambil resiko" Setelah mengatakan itu, Pasha langsung menjauh dari Hana dan pergi ke kamar mandi.Tidak berapa menit kemudian, terdengar suara air dari dalam. Hana perlahan bangun dan menurunkan piyamanya yang tadi disingkap Pasha. Kemudian ia merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan akibat ciuman menggelora barusan.Hana meraba bibirnya dan mendapati itu sedikit membengkak. Membayangkan ciuman panas tadi, hawa panas menjalari kedua pipinya.Hana merebahkan tubuhnya di bawah selimut. Tak berapa lama kemudian, ia mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Tampak Pasha berjalan keluar dengan handuk dilehernya."Bapak baru saja mandi lagi?""Hem""A-apa sampai harus seperti itu?" Tanya Hana dengan polosnya.Pasha menghela nafas berat."Aku perlu mandi air dingin untuk mendinginkan tubuh ku yang memanas karena mu" Kemudian Pasha merebahkan diri di samping Hana. Melipat lengannya dibawah kepala sebagai alas, ia memandang Hana dengan wajah serius, "Lain kali jangan