"Maaf Bu, ini bukan bidang saya. Jadi saya tidak tau apa tepatnya itu. Tapi ada kemungkinan ini disebabkan karena trauma masa lalu atau ketakutan yang berlebihan terhadap sesuatu. Untuk lebih akuratnya, tuan Pasha perlu menemui psikiater untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut""Baik dok, saya mengerti""Kalau begitu saya permisi"Erna langsung mengantar pergi dokter Aamir keluar. Sedangkan Hana kembali masuk ke kamar utama. Ia duduk di pinggir ranjang dan menatap suaminya yang sudah tertidur.Hana mengulurkan tangannya dan mengusap sisa-sisa keringat yang ada di pelipis Pasha. Karena terlalu mengkhawatirkan Pasha, ia langsung saja terlupa dengan pikiran negatifnya mengenai wanita bernama Elisabeth.Tepat ketika segurat oranye senja memenuhi langit. Mega-mega merah dengan sedikit keunguan itupun menerobos kaca jendela kamar utama.Perlahan kelopak mata Pasha terangkat dan melihat kamar utama yang luas itu sudah dipenuhi cahaya senja yang merah keorenan. Ia menurunkan pandangannya ke
Malam harinya, Pasha mengambil alih dapur. Mengeluarkan beberapa bahan masak yang ada di kulkas, lalu ia mengenakan celemek siap untuk memasak.Seorang koki wanita dengan badan sedikit berisi dan taksiran usia empat puluhan itu pun, buru-buru mendatangi Pasha, "Perkenalkan pak, saya Dina. Saya koki di mansion ini. Katakan saja pada saya apa yang ingin anda makan, biar saya yang akan memasaknya untuk anda" Ucapnya, nada suaranya terdengar gugup dan ekspresi wajahnya sedikit terlihat takut. Itu adalah malam pertama ia bekerja di mansion dan telah mendengar bagaimana rumor yang beredar tentang tuannya yang apatis dan bengis."Kamu koki yang baru saja bekerja di sini?" Tanya Pasha. Ia memang telah menyuruh Erna untuk mencari seorang koki wanita berpengalaman untuk bekerja di mansion."I-iya Pak""Untuk sekarang tugas mu cukup memasak untuk para pelayan dan pekerja di mansion. Jika kamu memerlukan beberapa anak buah untuk membantumu, kamu dapat memperkejakan mereka. Tapi beritahu Erna terl
"Entahlah" Pasha tampak mengedikkan bahunya."Mungkin karena rasa tanggungjawab""Rasa tanggung jawab?" Sepasang alis Hana bertaut heran."Ya. Jadi begini, Elisabeth adalah kucing kesayangan mamaku. Tapi semenjak mama pergi ke Prancis dan tidak kunjung kembali, Elisabeth ditinggal begitu saja tak terurus. Persis seperti diriku. Padahal kami berdua masih membutuhkan kasih sayangnya" Ucap Pasha, sambil memandangi kucing Persia putih yang tengah tertidur pulas di dalam kandang.Mata dinginnya yang selalu nya gelap dan tak berperasaan, tapi saat itu terlihat redup dengan jejak kesedihan.Hana tercenung sejenak. Menatap tubuh tegap suaminya yang kokoh, ternyata menyimpan jejak kerapuhan dari dalam. Pasha kemudian menoleh kearah Hana dan berkata, "Itu kenapa aku memutuskan untuk merawatnya dan entah bagaimana, perlahan itu berubah menjadi rasa tanggung jawab yang ku terhadapnya. Lalu berjalannya waktu, Elisabeth pun mulai menjadi suatu hal yang berharga bagiku dan itu terjadi begitu saja"
Menyikapi tiap tatapan pelayan yang tertuju kearahnya yang sedang menggendong Hana itu, Pasha hanya acuh saja. Ia terus saja berjalan ke depan dan melewati mereka dengan wajah dinginnya yang tanpa ekspresi.Berbeda dengan Pasha yang cuek, Hana justru merasa malu menjadi tontonan para pelayan. Ia langsung menyembunyikan wajahnya dengan menenggelamkannya di dada bidang Pasha.Melihat perbuatan istrinya itu, Pasha menyungging senyum kecil di bibir.Setelah Pasha dan Hana lenyap dari pandangan mereka. Para pelayan itu tak dapat menahannya lagi. Mereka menjerit histeris, menyerukan betapa manisnya cara Pasha memperlakukan istri kecilnya. "Ahh, kalian lihat itu..pak Pasha sungguh romantis sekali""Kyaa..aku gak tahan melihat romansa mereka""Benar sekali. Lihatlah bagaimana sikap dingin Pak Pasha yang nyaris menyaingi es batu ketika berhadapan dengan orang-orang disekitarnya, tapi begitu dengan istrinya, sifat es batu nya itu langsung saja mencair."Ah, aku jadi iri dengan nyonya Hana"Kar
"Aku tidak ingin mengambil resiko" Setelah mengatakan itu, Pasha langsung menjauh dari Hana dan pergi ke kamar mandi.Tidak berapa menit kemudian, terdengar suara air dari dalam. Hana perlahan bangun dan menurunkan piyamanya yang tadi disingkap Pasha. Kemudian ia merapikan rambutnya yang sedikit acak-acakan akibat ciuman menggelora barusan.Hana meraba bibirnya dan mendapati itu sedikit membengkak. Membayangkan ciuman panas tadi, hawa panas menjalari kedua pipinya.Hana merebahkan tubuhnya di bawah selimut. Tak berapa lama kemudian, ia mendengar suara pintu kamar mandi terbuka. Tampak Pasha berjalan keluar dengan handuk dilehernya."Bapak baru saja mandi lagi?""Hem""A-apa sampai harus seperti itu?" Tanya Hana dengan polosnya.Pasha menghela nafas berat."Aku perlu mandi air dingin untuk mendinginkan tubuh ku yang memanas karena mu" Kemudian Pasha merebahkan diri di samping Hana. Melipat lengannya dibawah kepala sebagai alas, ia memandang Hana dengan wajah serius, "Lain kali jangan
"Baiklah, kalau begitu hati-hati. Ingat mengirimkan pesan padaku tiap sepuluh menit sekali""Apaa?" Setiap sepuluh menit sekali, yang benar saja?Tepat ketika Hana akan membuka mulutnya, menyatakan keberatannya, tapi Pasha sudah lebih dulu memasang senyum penuh ultimatum. Menegaskan ia tidak menerima penolakan. Hana menatapnya dengan perasaan tertekan dan tak berdaya, "Baik, Hana akan mengingatnya"Pasha tersenyum puas. Lalu ia mengambil dompet kulitnya dan mengeluarkan sebuah benda pipih yang langsung ia berikan pada Hana."Ambil ini""Ini.." Hana mengambilnya ragu-ragu."Belilah apapun yang kamu mau dengan itu. Tidak perlu ragu, uang yang tersimpan di dalam sini ku hasilkan dari cara yang halal""Baik, terimakasih pak" Hana mengecup pipi Pasha dan pergi.Selepas kepergian istrinya itu. Pasha terdiam sejenak. Tiba-tiba ia merasa mengganjal dengan sesuatu tapi ia tidak tau apa kiranya itu. Tapi setelah memikirkannya cukup lama."Pak?""Pak Pasha?"Jika dipikir-pikir panggilan itu s
"Memangnya dia kira kamu tidak punya pekerjaan lain apa?"Hana memasang senyum tak berdaya."Pak Pasha memang begitu kak, terlalu protektif berlebihan sama Hana""Tapi ini bukan berlebihan lagi, tapi udah fanatik banget. Yang benar saja, tiap lima menit sekali? Seperti kita tidak punya pekerjaan lain saja. Kalau kakak punya pasangan kaya gitu, udah jauh-jauh hari kakak minta putus karena gak tahan"Keira memandangi ekspresi Hana yang seolah sudah terbiasa dengan itu, berujar, "Memangnya kamu gak lelah Han? Sama sikap suami kamu yang kaya gitu?"Hana tersenyum kecil, "Entah lah kak, mungkin udah terbiasa kali ya. Jadi ya gitu. Yah walaupun suka gak habis pikir juga sih""Haa, syukur istrinya 'pangeran dingin' itu kamu Han. Kalau wanita lain, mungkin udah dari kemarin-kemarin minta cerai karena gak sanggup"Hana tergelak kecil sebagai respon.Mungkin Keira benar, jika itu wanita lain, pasti sudah lama melarikan diri dari sikap protektif dan posesif Pasha yang terkadang bisa sangat menak
Tepat sebelum tidur, sebagaimana kesepakatan pagi hari tadi. Pasha sudah duduk manis di atas ranjang, menanti ciuman dua puluh kali di bibir dari Hana.Sedangkan Hana baru saja selesai menyisir rambutnya. Ia meletakkan sisir di atas meja rias dan bergegas pergi menghampiri ranjang."Bukan mengecup, tapi mencium" Amaran Pasha tepat sebelum Hana akan mencium bibirnya. "Iya, Hana tau""Harus seperti tadi pagi""En, Hana mengerti"Hana mengalungkan tangannya di leher Pasha, memejamkan matanya dan mulai mencium bibir Pasha. Ia membuka mulutnya dan menarik Pasha dalam permainannya yang masih kaku.Biar begitu, Pasha menikmatinya dengan sabar. Malam masih panjang, jadi tidak perlu terburu-buru.Setelah beberapa menit kemudian tautan bibir mereka terlepas, Hana mengumpulkan oksigen sekitar dan berkata dengan bulu matanya yang berkibar malu, "Sekali"Lalu Hana mencium Pasha lagi. Proses tersebut pun terus berulang hingga pada yang ke sepuluh kali. Hana mendapati bibirnya seperti sudah mati r