Ini bukan hukuman jenis baru kan? Tanya Hana dalam hatinya.Tak lama kemudian, ia mendengar suaminya mengatakan."Kamu benar-benar sekurus ini" Tatapan Pasha dalam dan terlihat prihatin. Ia meraih pergelangan tangan istrinya dan mengukurnya, "Lihatlah betapa tipisnya pergelangan tanganmu..."Hana mengedipkan matanya bingung, tidak tau harus merespon seperti apa.Tiba-tiba Pasha menangkup kedua pipinya yang tirus, memperhatikannya lama, "Tulang pipimu juga terasa sangat menonjol""Itu karena struktur wajah saya memang seperti itu pak" Tukas Hana. Ia memiliki wajah yang cukup tirus, wajar saja tulang pipinya menonjol.Mata Pasha beralih ke bibir kecil Hana yang biasanya bewarna merah segar, tapi itu terlihat sangat pucat, "Ha, perasaan tadi pagi kamu tidak sepucat ini.." Jempol Pasha mengusap permukaan bibir Hana.Merasakan jempol Pasha yang bersentuhan langsung dengan bibirnya, Hana merasakan kedua pipinya menghangat."Dua orang itu membuat mu melakukan apa sampai kamu terlihat sepucat
"Tidak seharusnya kamu membuat saya marah" Kata Pasha dengan sorot mata dinginnya.Hana tidak dapat menahannya lagi. Iapun berteriak keras dengan suara serak parau nya, "Bukannya di mata bapak saya tak ubahnya seperti benda mati?""Jadi apa salahnya saya menjadi diam seperti benda mati. Lalu setelahnya bapak dapat dengan bebas melakukan apapun...""Bukankah itu yang bapak mau dari saya?"Setelah meneriakkan rentetan kalimat itu, Hana menangis terisak-isak. Kedua pipinya sudah basah dengan air mata dan bahkan ujung hidung mancungnya tampak memerah."Bagi saya kamu bukan benda mati Hana, jadi tentu saja saya tidak mau kamu bersikap seperti benda mati""..." Hana mengangkat kepalanya, menatap Pasha dengan matanya yang masih basah dengan derai air mata. "Karena bagi saya, kamu istri dan juga permata berharga saya. Bukankah saya sudah pernah mengatakan ini sebelumnya?""Lalu kenapa bapak memperlakukan saya seperti benda yang tak memiliki hati dan perasaan?" Pekik Hana frustasi.Pasha denga
Lengan kokoh Pasha siap mengangkat istri kecilnya itu, tapi Hana langsung menghentikannnya."Saya kemari karena mau menyelesaikan kesepakatan yang saya buat tadi siang""Kesepakatan?" Pasha tampak menautkan sepasang alisnya."Ya, cium pipi seratus kali dan bibir sepuluh kali, bapak tidak mengingatnya?"Pasha tersenyum, ia memiringkan kepalanya dan mematuk bibir kecil Hana yang sudah mulai memerah kembali. Tidak lagi sepucat tadi siang. "Kamu bisa melakukannya besok. Ini sudah larut malam, istirahatlah""Tapi—"Sekali lagi Pasha mematuk bibir merah ranum itu dengan mulutnya."Tidak ada tapi-tapi. Patuh!" Tatapan Pasha terlihat lembut saat tangannya mengusap pelan kepala Hana. "En" Hana tampak mengulum bibirnya, tersenyum kecil. Pasha yang melihatnya, merasa senang. Ia ingin Hana selalu bersikap patuh dan manis seperti itu. Dengan begitu akan lebih mudah baginya untuk mengendalikan dan menguasainya.Hana tidak ingin menggangu pekerjaan suaminya. Bagaimana pun karena dirinya hari ini,
Tok...tok...Diluar sana Eman sudah merasa kesal. Ia sudah mengetuk pintu berapa kali tapi masih belum mendapatkan jawaban. Jika sebelumnya mungkin ia akan langsung masuk saja ke dalam. Tapi mengingat pagi ini bosnya itu membawa istrinya ke dalam sana. Ia memutuskan untuk menahan diri dan tidak menganggu privasi mereka."Masuk"Eman langsung mendorong pintu dan masuk. Ia menyapa sopan istri bosnya itu tanpa tersenyum, karena ia tahu bosnya itu pasti akan kesal jika ia tersenyum pada istrinya.Hana membalasnya dengan anggukan."Rapat pagi akan segera dimulai lima menit lagi" Lapor Eman kemudian. "En""Kalau begitu saya permisi"Setelahnya, Eman beranjak pergi meninggalkan ruangan.Pasha menoleh pada Hana dan berkata dengan nada yang tidak mau dibantah, "Hana, kamu diam saja disini. Jangan pergi kemana-mana, mengerti?"Hana sebenarnya merasa keberatan, akan sangat membosankan jika ia hanya terus berada di sana. Tapi ia terlalu malas memicu keributan, terlebih lagi ini di perusahaan."E
"Masih ada yang harus saya kerjakan. Kita pulang nan—""Tapi saya lelah" Hana menyela. Suaranya normal seperti biasa, hanya jejak dingin di sebalik kedua matanya yang selalu berbinar hangat.Pasha dapat merasakannya dengan jelas."Saya ingin pulang. Saya ingin istirahat""...""Jika disini saya tidak dapat beristirahat dengan nyaman. Pak Pasha tidak perlu mengantar saya. Saya bisa pulang sendiri naik taxi""Aku sudah memberitahu mu, kalau kita tidak kembali ke apartemen. Bersabarlah sebentar lagi. Setelah pekerjaan ku selesai, kita pulang"Pasha beranjak pergi ke meja kerjanya dan mulai memeriksa tiap dokumen yang bertumpuk di mejanya.Hana menghela nafas berat dan melabuhkan punggungnya ke sofa. Ia tersenyum getir. Pada akhirnya ia harus selalu pasrah dan menuruti sebagaimana kehendak suaminya.Dirinya saat ini, tak ubahnya seperti boneka bertali. Itu bergerak sebagaimana tali itu ditarik sesuai kehend
"En" Pasha meraih lengan Hana dan merangkulnya mesra. Mood nya tidak lagi buruk seperti tadi. Ia pun mengajak Hana melangkah melewati pagar.Pemandangan yang terhidang di depan sana, seketika membuat sepasang mata Hana terbuntang lebar.Karpet merah digelar dan deretan pelayan telah berjejer dengan rapi di samping kanan dan kiri, tampak telah bersiap sejak lama untuk menyambut kedatangan mereka."Selamat datang Tuan Pasha dan Nyonya Hana"Para pelayan itu serentak membungkuk sopan.Hana tertegun, "Ini..s-sebenarnya ada ap—""Syuhh.." Jari telunjuk Pasha menekan bibir Hana, "Simpan dulu pertanyaan mu, upacara penyambutan kedatanganmu masih belum selesai" Bisik Pasha kemudianBulu mata Hana bergetar dan ia terdiam. Pasha mengangkat kakinya, mulai melangkah maju ke depan. Langkahnya dibuat selambat mungkin, menyesuaikan dengan langkah kaki Hana.Setiap kali Hana melangkah maju ke depan, tatapannya tak berhenti tertuju ke objek megah yang ada dihadapannya. Sebuah mansion besar bewarna pu
"Maaf Bu, ini bukan bidang saya. Jadi saya tidak tau apa tepatnya itu. Tapi ada kemungkinan ini disebabkan karena trauma masa lalu atau ketakutan yang berlebihan terhadap sesuatu. Untuk lebih akuratnya, tuan Pasha perlu menemui psikiater untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut""Baik dok, saya mengerti""Kalau begitu saya permisi"Erna langsung mengantar pergi dokter Aamir keluar. Sedangkan Hana kembali masuk ke kamar utama. Ia duduk di pinggir ranjang dan menatap suaminya yang sudah tertidur.Hana mengulurkan tangannya dan mengusap sisa-sisa keringat yang ada di pelipis Pasha. Karena terlalu mengkhawatirkan Pasha, ia langsung saja terlupa dengan pikiran negatifnya mengenai wanita bernama Elisabeth.Tepat ketika segurat oranye senja memenuhi langit. Mega-mega merah dengan sedikit keunguan itupun menerobos kaca jendela kamar utama.Perlahan kelopak mata Pasha terangkat dan melihat kamar utama yang luas itu sudah dipenuhi cahaya senja yang merah keorenan. Ia menurunkan pandangannya ke
Malam harinya, Pasha mengambil alih dapur. Mengeluarkan beberapa bahan masak yang ada di kulkas, lalu ia mengenakan celemek siap untuk memasak.Seorang koki wanita dengan badan sedikit berisi dan taksiran usia empat puluhan itu pun, buru-buru mendatangi Pasha, "Perkenalkan pak, saya Dina. Saya koki di mansion ini. Katakan saja pada saya apa yang ingin anda makan, biar saya yang akan memasaknya untuk anda" Ucapnya, nada suaranya terdengar gugup dan ekspresi wajahnya sedikit terlihat takut. Itu adalah malam pertama ia bekerja di mansion dan telah mendengar bagaimana rumor yang beredar tentang tuannya yang apatis dan bengis."Kamu koki yang baru saja bekerja di sini?" Tanya Pasha. Ia memang telah menyuruh Erna untuk mencari seorang koki wanita berpengalaman untuk bekerja di mansion."I-iya Pak""Untuk sekarang tugas mu cukup memasak untuk para pelayan dan pekerja di mansion. Jika kamu memerlukan beberapa anak buah untuk membantumu, kamu dapat memperkejakan mereka. Tapi beritahu Erna terl