Pagi menjelang, cahaya lembut matahari menyinari sudut-sudut rumah yang megah. Ayla bangkit dari tidurnya dengan semangat baru. Hari ini, ia memutuskan untuk membuat sarapan istimewa untuk Raka. Dengan harapan bahwa momen kecil ini bisa memperbaiki suasana di antara mereka, ia berjalan menuju dapur dengan langkah ringan, menyanyikan lagu-lagu kecil dalam hati.
Dapur di rumah ini adalah ruang yang mencerminkan kepribadiannya: elegan, rapi, dan hangat. Dindingnya berwarna putih bersih dengan aksen kayu alami yang memberikan nuansa hangat dan nyaman. Lemari dapur yang tertata rapi menyimpan berbagai peralatan masak, dari spatula kayu yang halus, semuanya terorganisir dengan baik. Di atas meja dapur, terdapat pot tanaman herbal segar—basil, thyme, dan rosemary—yang mengisi ruangan dengan aroma segar dan menggugah selera.
Di sudut dapur, ada meja kecil tempatnya menulis catatan resepnya, menandai kreasi baru yang ingin dicobanya. Dapur ini adalah tempat pelarian baginya—sebuah ruang di mana ia merasa berdaya dan penuh kasih, meski di luar sana, hidupnya masih terjalin dengan kerumitan yang sulit dipahami.
Di dapur, Ayla mulai menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan. Ia memotong sayuran segar, mengocok telur, dan meracik bahan-bahan lain dengan penuh perhatian. Aroma harum masakan mulai memenuhi udara, menyebar ke seluruh rumah
Setelah semuanya siap, Ayla menata meja makan dengan rapi, menambahkan sedikit sentuhan dengan bunga segar di vas kecil. Dengan senyum penuh harap, ia melangkah ke arah kamar tidur Raka. Dengan lembut, Ayla mengetuk pintu kamar.
“Raka, waktunya sarapan,” panggil Ayla, suaranya lembut.
Tidak ada jawaban. Hanya kesunyian yang menyelimuti. Ayla menghela napas, berusaha menenangkan diri sebelum mencoba lagi. Ia membuka pintu sedikit, melihat Raka yang masih terbaring di tempat tidur, tubuhnya tertutup selimut.
“Raka, bangun. Sarapan sudah siap,” Ayla melanjutkan, sedikit lebih bersemangat.
Kali ini, Raka hanya menggerutu, “Ayla, biarkan aku tidur. Aku nggak lapar.”
Nada suara Raka terasa dingin dan menjauh, membuat hati Ayla sedikit tercekat. Ia tahu Raka memiliki banyak beban di pundaknya sebagai pemimpin di sebuah perusahaan besar, tetapi ini bukan kali pertama ia merasakan penolakan seperti ini. Ia tersenyum pahit, mencoba untuk tidak terlalu merasa sakit hati. Namun, harapannya untuk menghangatkan suasana seolah sirna begitu saja.
“Okay, Raka. Tapi makanan sudah di meja kalau kamu berubah pikiran,” jawab Ayla, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. Ia menutup pintu dengan lembut dan kembali ke ruang makan.
Saat Ayla duduk sendiri di meja yang sudah dipenuhi hidangan, pikirannya melayang jauh. Raka selalu menolak setiap upayanya. Ayla merasa seperti terjebak dalam rutinitas yang monoton, berusaha keras untuk memperbaiki pernikahan mereka, tetapi selalu disambut dingin. Setiap kali Raka menolak, rasa sepinya semakin mendalam, seolah rumah ini menjadi semakin luas dan kosong.
Ayla mengangkat sendoknya, menikmati sarapan dalam kesunyian. Setiap suapan terasa pahit, dan ia merindukan momen-momen sederhana yang penuh kasih dan perhatian. Di dalam hatinya, ia berharap ada suatu hari di mana Raka bisa berubah menjadi suami yang hangat.
Dengan perasaan campur aduk, Ayla melanjutkan sarapannya, berusaha keras untuk tidak membiarkan kesedihan menguasai hatinya. Ia tahu, meskipun Raka tidak bisa merasakannya saat ini, cinta dan harapannya tidak akan pudar begitu saja.
Setelah beberapa jam berlalu dalam kesunyian, suara kamar mandi yang berisik menandakan Raka akhirnya bangun. Ayla masih duduk di meja makan, merasa kosong setelah sarapan yang tidak bersemangat. Ketika Raka keluar dari kamar mandi, ia terlihat lebih segar dan rapi, mengenakan kemeja putih yang membuatnya tampak semakin menarik. Namun, senyumnya tidak terlihat ketika ia melangkah menuju Ayla.
“Ayla, bersiap-siap. Kita akan makan siang dengan Mama, Papa dan Nadya,” kata Raka datar, tanpa memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Ayla.
Mendengar perintah itu, jantung Ayla berdegup kencang. “Makan siang? Kenapa kamu baru bilang sekarang?” suaranya bergetar, mencerminkan ketidakpuasan yang sudah terpendam. “Seharusnya kamu bilang lebih awal.”
Raka mengangkat alisnya, terkesan tidak mengerti mengapa Ayla tampak marah. “Ini acara penting. Kita nggak bisa mengabaikannya.”
“Kalau begitu, kamu bilang lebih awal, Raka! Aku nggak bisa bersiap-siap dalam waktu sepuluh menit aja!” Ayla merasa frustrasi, semakin bergejolak dalam hati. Ia merasakan tangannya bergetar, seolah menahan emosi yang ingin meledak.
“Yah, aku nggak bisa terus menerus mengingatkan kamu semuanya!” Raka membalas, suaranya mulai meninggi. “Seharusnya kamu bisa menyesuaikan diri. Aku sudah capek menghadapi masalah di kantor.”
Kata-kata Raka seperti pisau yang menusuk hati Ayla. “Lalu, gimana dengan perasaanku? Apa itu nggak penting buatmu?” Ayla berusaha menahan air matanya. “Kita sudah menikah selama setahun, Raka. Aku berharap kita bisa mendiskusikan hal-hal gini!”
Raka hanya diam.
“Baiklah, kalau kamu nggak mau peduli, aku nggak akan memaksakan diri. Raka, hubungan kita bukan cuma tentang kamu dan pekerjaanmu,” Ayla menjelaskan dengan nada lebih tenang meski hatinya bergetar. Ia merasakan kerongkongannya kering, seolah semua kata-kata terhalang untuk keluar.
Raka mengalihkan pandangannya, tampak tidak ingin melanjutkan perdebatan. “Kita pergi sekarang.”
Ayla menelan rasa sakit di hatinya dan berdiri. “Baiklah, aku akan bersiap. Tapi ingat, pernikahan kita bukan hanya tentang memenuhi kewajiban kamu!” Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti perjuangan untuk mempertahankan hubungan yang sudah goyah.
Dengan langkah berat, Ayla bergegas menuju kamar untuk bersiap-siap. Setiap langkahnya terasa semakin sulit, jiwanya terperosok dalam kesepian. Di balik senyum yang dipaksakan, Ayla merasa jiwanya semakin terperosok dalam kesepian. Ketika ia menghadap cermin, air mata mulai menggenang di matanya. Ia tidak ingin menangis, tetapi hatinya berontak.
Saat mengenakan gaun favoritnya yang sederhana, Ayla menatap refleksinya, berharap bisa menemukan kembali sosok bahagia yang dulu ada di dalam dirinya. Namun, keraguan terus menghantuinya. Bagaimana jika keluarga Raka masih tidak menerimanya? pikirnya.
Setelah bersiap, mereka berdua pergi tanpa berbicara lebih banyak. Dalam mobil, suasana di antara mereka kaku dan penuh ketegangan. Ayla memandangi jendela, melihat pemandangan kota yang bergerak cepat, tetapi hatinya seolah terhenti di tempatnya. Tiba-tiba, suara ponsel Raka bergetar di laci mobil, mengagetkan Ayla.
“Siapa itu?” tanya Ayla, ingin tahu.
Raka hanya menggelengkan kepala, matanya tetap fokus ke jalan. “Nggak penting.”
Ayla merasa ada yang tidak beres. Dengan setiap detik yang berlalu, rasa cemasnya semakin menguat. Ia berharap agar makan siang ini tidak berujung pada masalah lain. Tetapi dengan Raka yang tidak terbuka, ketidakpastian terus membayangi pikiran Ayla.
Setelah beberapa menit dalam mobil yang sunyi, mereka tiba di depan restoran mewah yang berdiri anggun, dikelilingi oleh taman yang terawat rapi. Ayla menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan pikirannya dari ketegangan yang memenuhi udara. Ia melihat orang-orang yang datang dan pergi, sebagian besar dengan senyum ceria di wajah mereka, seolah tak ada yang tahu betapa beratnya hatinya saat ini.Saat Raka mematikan mesin mobil, Ayla merasakan detakan jantungnya semakin kencang. Ia menatap pintu masuk restoran yang megah, dengan tirai merah marun yang menggantung lembut, dan pelayan berpakaian rapi siap menyambut tamu. Di dalamnya, lampu-lampu berpendar lembut menciptakan suasana yang hangat, namun Ayla tahu betul bahwa itu hanya ilusi. Di balik kemewahan itu, tersimpan berbagai perasaan yang sulit diungkapkan.“Kamu sudah siap?” Raka bertanya, suaranya datar dan terkesan tidak peduli.Ayla mengangguk, walaupun ia tahu tidak ada yang bisa mempersiapkan hatinya untuk menghadapi keluar
Setelah makan siang yang penuh ketegangan, Raka dan Ayla melangkah keluar dari restoran. Suasana di luar terasa kontras dengan keadaan hati Ayla. Mentari bersinar cerah, namun hatinya terasa berat seakan semua beban yang ditanggungnya terakumulasi dalam satu hari yang melelahkan. Mereka berjalan menuju mobil, langkah Raka tampak cepat dan terfokus, sementara Ayla berusaha mengejar. Keduanya kembali ke dalam mobil, dan kesunyian menyelimuti mereka. Ayla merasakan kekosongan yang menyakitkan, seolah kata-kata yang tidak terucap menggantung di udara.Setelah beberapa saat, Raka memecah keheningan. “Aku harus menerima telepon penting,” katanya, tidak menjelaskan lebih lanjut. Ia meraih ponselnya, memeriksa layar, dan terlihat tidak sabar untuk menjawab. “Maaf, ini mendesak,” tambahnya, lalu dengan cepat menelpon sambil mengemudikan mobil.Ayla menatap ke luar jendela, mengamati pemandangan yang berlalu. Dia merasa seolah berada di luar kehidupan suaminya, terasing dalam kebisuan yang kian
Suara langkah kecil terdengar di jalan setapak menuju rumah. Bintang, yang baru saja pulang dari sekolah, berlari dengan ceria, wajahnya bersinar penuh semangat. Ransel kecilnya bergoyang di punggung, dan rambutnya yang ikal berantakan menambah kesan lucu pada dirinya. Begitu melihat rumahnya yang sederhana, matanya langsung berbinar.“Mama! Tante Ayla!” teriak Bintang gembira, melompat-lompat kecil saat memasuki halaman.Ayla yang sedang duduk di beranda sambil menikmati secangkir kopi menoleh, wajahnya langsung menyiratkan kebahagiaan. “Bintang! Sayang! Tante kangen banget!” Ia segera bangkit dan membuka tangan lebar-lebar, menyambut keponakannya yang berlari menghampirinya.Bintang langsung menerjang pelukan Ayla, mengempaskan ranselnya ke tanah. “Tante, aku belajar banyak hari ini!” ujarnya dengan semangat. Wajahnya dipenuhi keceriaan, seolah seluruh dunia hanya ada untuknya.“Sungguh? Apa yang kamu pelajari?” tanya Ayla, membelai rambut Bintang dengan lembut. Rasa sayang yang men
Pagi itu, Ayla sibuk membersihkan rumah yang terasa sepi dan luas. Ia mengelap meja makan yang hampir tak pernah digunakan dan merapikan ruang tamu, sementara pikirannya melayang jauh.Sambil menatap kosong ke arah jendela, Ayla merenungkan satu tahun pernikahannya dengan Raka. Pernikahan yang seharusnya menjadi fondasi cinta dan kebersamaan, kini hanya terasa sebagai perjanjian yang dingin dan kosong. Tidak ada sentuhan kehangatan, tidak ada kata-kata manis. Hanya kewajiban yang dipenuhi dengan jarak dan keterasingan.Selama setahun terakhir, Ayla telah mencoba segalanya untuk memperbaiki hubungan mereka. Ia berusaha menjadi istri yang sabar, menyiapkan sarapan untuk Raka setiap pagi meskipun sering kali dia menolaknya dengan dingin. Ia selalu memastikan rumah mereka rapi dan terawat, berharap bahwa mungkin, pada suatu saat, Raka akan menghargai usahanya. Namun, setiap usaha itu selalu berakhir dengan kekecewaan.Raka adalah pria yang pendiam dan cenderung cuek, tetapi dalam kehening
Di dalam kamar yang sunyi, Ayla duduk di depan laptopnya, jemarinya menari di atas keyboard, mencurahkan perasaannya melalui kata-kata. Kamar itu adalah tempat favoritnya—ruang yang memberikan kenyamanan dan pelarian dari kehidupan yang sepi dan rumit. Dalam dunia novelnya, Ayla menemukan kebebasan dan kekuatan yang tak pernah ia rasakan di kehidupan nyata.Namun, saat pikirannya masih tenggelam dalam cerita yang sedang ia tulis, bunyi bel rumah yang keras dan berulang memecahkan keheningan. Ayla menghentikan tulisannya sejenak, menoleh ke arah jendela. Siapa yang datang pagi-pagi begini?Tiba-tiba, suara Ratna dan Nadya terdengar samar dari bawah. Jantung Ayla berdetak cepat. Mertuanya dan Nadya? pikirnya, panik. Mereka tidak pernah datang tanpa pemberitahuan, dan kedatangan mereka jarang membawa kabar baik.Dengan cepat, Ayla menekan tombol untuk mematikan laptopnya, khawatir jika mereka mengetahui tentang kehidupan rahasianya sebagai penulis. Ia menutup laptop dan berdiri dengan te
Setelah meninggalkan rumah, Ayla mengikuti langkah cepat Ratna dan Nadya menuju pusat perbelanjaan paling mewah di kota. Jalan-jalan di antara etalase butik-butik ternama selalu membawa aura yang penuh kemewahan, tetapi bagi Ayla, itu hanya berarti satu hal: ia akan menjadi pembawa barang-barang belanjaan yang tak ada habisnya.Mereka pertama-tama memasuki butik mewah dengan kaca yang berkilau, di mana setiap gaun dan aksesori berharga jutaan rupiah dipajang seolah-olah itu adalah karya seni. Nadya segera berjalan cepat menuju deretan baju bermerek, memilih-milih gaun yang menurutnya akan cocok untuk berbagai acara yang mungkin tidak pernah benar-benar ia hadiri.“Ayla, bawa ini,” perintah Nadya sambil menyerahkan beberapa baju mewah ke tangan Ayla. Belum sempat Ayla mengatur baju-baju yang sudah diambil, Nadya kembali menyerahkan tas tangan berwarna emas yang berkilau. “Pasti kalau pakai ini aku cantik sekali, kan?” Nadya tertawa kecil.Ayla hanya mengangguk, mencoba memasang senyum
Sepulangnya dari berbelanja dan makan siang bersama Ratna dan Nadya, tubuh Ayla terasa begitu lelah. Begitu sampai di rumah, Ayla langsung menuju kamar mandi, berharap segarnya air bisa sedikit menghilangkan rasa lelah dan tegang yang menumpuk sepanjang hari.Setelah mandi, Ayla merasa sedikit lebih baik. Ia mengenakan pakaian santai dan memutuskan untuk duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri dengan membaca buku. Setiap halaman yang ia baca terasa seperti pelarian sejenak dari kenyataan hidupnya yang monoton dan penuh tekanan.Namun, belum lama ia tenggelam dalam bacaan, ponselnya berdering. Ayla menoleh ke arah ponselnya, merasa sedikit heran. Ia jarang sekali menerima telepon di malam hari kecuali dari keluarganya.Dengan sedikit ragu, Ayla mengangkat telepon dan mendekatkannya ke telinga. “Halo?”“Ayla! Ini aku, editor dari platform novel onlinemu. Maaf mengganggu di malam hari, tapi aku harus menyampaikan sesuatu yang sangat penting,” suara akrab editor itu terdengar penuh
Suasana kantor Raka pagi itu sangat sibuk. Di setiap sudut ruangan, para karyawan tampak berlarian, membawa berkas dan laporan, sementara suara ketukan keyboard mengisi udara. Kantor yang terletak di lantai atas gedung tinggi itu memiliki jendela besar yang memberikan pemandangan menakjubkan ke arah kota. Namun, pemandangan itu tampak jauh dari perhatian Raka yang saat ini terfokus pada pekerjaan di mejanya.Di dalam ruangannya yang rapi dan modern, Raka duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dengan tumpukan berkas dan laptop yang selalu menyala. Dengan mata serius, ia membaca laporan dari tim pemasaran. Angka-angka dan grafik memenuhi pikirannya, dan ia mencatat beberapa poin penting yang perlu dibahas dalam rapat nanti. Setiap kali ia menemukan masalah dalam laporan, kerutan di dahi Raka semakin dalam, menunjukkan betapa beratnya beban yang ia pikul sebagai CEO perusahaan ritel yang diwariskan oleh ayahnya.Raka menghela napas panjang dan memijat pelipisnya, berusaha mengusir ra