Share

BAB 2

Pagi menjelang, cahaya lembut matahari menyinari sudut-sudut rumah yang megah. Ayla bangkit dari tidurnya dengan semangat baru. Hari ini, ia memutuskan untuk membuat sarapan istimewa untuk Raka. Dengan harapan bahwa momen kecil ini bisa memperbaiki suasana di antara mereka, ia berjalan menuju dapur dengan langkah ringan, menyanyikan lagu-lagu kecil dalam hati.

Dapur di rumah ini adalah ruang yang mencerminkan kepribadiannya: elegan, rapi, dan hangat. Dindingnya berwarna putih bersih dengan aksen kayu alami yang memberikan nuansa hangat dan nyaman. Lemari dapur yang tertata rapi menyimpan berbagai peralatan masak, dari spatula kayu yang halus, semuanya terorganisir dengan baik. Di atas meja dapur, terdapat pot tanaman herbal segar—basil, thyme, dan rosemary—yang mengisi ruangan dengan aroma segar dan menggugah selera.

Di sudut dapur, ada meja kecil tempatnya menulis catatan resepnya, menandai kreasi baru yang ingin dicobanya. Dapur ini adalah tempat pelarian baginya—sebuah ruang di mana ia merasa berdaya dan penuh kasih, meski di luar sana, hidupnya masih terjalin dengan kerumitan yang sulit dipahami.

Di dapur, Ayla mulai menyiapkan bahan-bahan untuk sarapan. Ia memotong sayuran segar, mengocok telur, dan meracik bahan-bahan lain dengan penuh perhatian. Aroma harum masakan mulai memenuhi udara, menyebar ke seluruh rumah

Setelah semuanya siap, Ayla menata meja makan dengan rapi, menambahkan sedikit sentuhan dengan bunga segar di vas kecil. Dengan senyum penuh harap, ia melangkah ke arah kamar tidur Raka. Dengan lembut, Ayla mengetuk pintu kamar.

“Raka, waktunya sarapan,” panggil Ayla, suaranya lembut.

Tidak ada jawaban. Hanya kesunyian yang menyelimuti. Ayla menghela napas, berusaha menenangkan diri sebelum mencoba lagi. Ia membuka pintu sedikit, melihat Raka yang masih terbaring di tempat tidur, tubuhnya tertutup selimut.

“Raka, bangun. Sarapan sudah siap,” Ayla melanjutkan, sedikit lebih bersemangat.

Kali ini, Raka hanya menggerutu, “Ayla, biarkan aku tidur. Aku nggak lapar.”

Nada suara Raka terasa dingin dan menjauh, membuat hati Ayla sedikit tercekat. Ia tahu Raka memiliki banyak beban di pundaknya sebagai pemimpin di sebuah perusahaan besar, tetapi ini bukan kali pertama ia merasakan penolakan seperti ini. Ia tersenyum pahit, mencoba untuk tidak terlalu merasa sakit hati. Namun, harapannya untuk menghangatkan suasana seolah sirna begitu saja.

“Okay, Raka. Tapi makanan sudah di meja kalau kamu berubah pikiran,” jawab Ayla, mencoba menyembunyikan kekecewaannya. Ia menutup pintu dengan lembut dan kembali ke ruang makan.

Saat Ayla duduk sendiri di meja yang sudah dipenuhi hidangan, pikirannya melayang jauh. Raka selalu menolak setiap upayanya. Ayla merasa seperti terjebak dalam rutinitas yang monoton, berusaha keras untuk memperbaiki pernikahan mereka, tetapi selalu disambut dingin. Setiap kali Raka menolak, rasa sepinya semakin mendalam, seolah rumah ini menjadi semakin luas dan kosong.

Ayla mengangkat sendoknya, menikmati sarapan dalam kesunyian. Setiap suapan terasa pahit, dan ia merindukan momen-momen sederhana yang penuh kasih dan perhatian. Di dalam hatinya, ia berharap ada suatu hari di mana Raka bisa berubah menjadi suami yang hangat.

Dengan perasaan campur aduk, Ayla melanjutkan sarapannya, berusaha keras untuk tidak membiarkan kesedihan menguasai hatinya. Ia tahu, meskipun Raka tidak bisa merasakannya saat ini, cinta dan harapannya tidak akan pudar begitu saja.

Setelah beberapa jam berlalu dalam kesunyian, suara kamar mandi yang berisik menandakan Raka akhirnya bangun. Ayla masih duduk di meja makan, merasa kosong setelah sarapan yang tidak bersemangat. Ketika Raka keluar dari kamar mandi, ia terlihat lebih segar dan rapi, mengenakan kemeja putih yang membuatnya tampak semakin menarik. Namun, senyumnya tidak terlihat ketika ia melangkah menuju Ayla.

“Ayla, bersiap-siap. Kita akan makan siang dengan Mama, Papa dan Nadya,” kata Raka datar, tanpa memperhatikan perubahan ekspresi di wajah Ayla.

Mendengar perintah itu, jantung Ayla berdegup kencang. “Makan siang? Kenapa kamu baru bilang sekarang?” suaranya bergetar, mencerminkan ketidakpuasan yang sudah terpendam. “Seharusnya kamu bilang lebih awal.”

Raka mengangkat alisnya, terkesan tidak mengerti mengapa Ayla tampak marah. “Ini acara penting. Kita nggak bisa mengabaikannya.”

“Kalau begitu, kamu bilang lebih awal, Raka! Aku nggak bisa bersiap-siap dalam waktu sepuluh menit aja!” Ayla merasa frustrasi, semakin bergejolak dalam hati. Ia merasakan tangannya bergetar, seolah menahan emosi yang ingin meledak.

“Yah, aku nggak bisa terus menerus mengingatkan kamu semuanya!” Raka membalas, suaranya mulai meninggi. “Seharusnya kamu bisa menyesuaikan diri. Aku sudah capek menghadapi masalah di kantor.”

Kata-kata Raka seperti pisau yang menusuk hati Ayla. “Lalu, gimana dengan perasaanku? Apa itu nggak penting buatmu?” Ayla berusaha menahan air matanya. “Kita sudah menikah selama setahun, Raka. Aku berharap kita bisa  mendiskusikan hal-hal gini!”

Raka hanya diam.

“Baiklah, kalau kamu nggak mau peduli, aku nggak akan memaksakan diri. Raka, hubungan kita bukan cuma tentang kamu dan pekerjaanmu,” Ayla menjelaskan dengan nada lebih tenang meski hatinya bergetar. Ia merasakan kerongkongannya kering, seolah semua kata-kata terhalang untuk keluar.

Raka mengalihkan pandangannya, tampak tidak ingin melanjutkan perdebatan. “Kita pergi sekarang.”

Ayla menelan rasa sakit di hatinya dan berdiri. “Baiklah, aku akan bersiap. Tapi ingat, pernikahan kita bukan hanya tentang memenuhi kewajiban kamu!” Setiap kata yang keluar dari bibirnya terasa seperti perjuangan untuk mempertahankan hubungan yang sudah goyah.

Dengan langkah berat, Ayla bergegas menuju kamar untuk bersiap-siap. Setiap langkahnya terasa semakin sulit, jiwanya terperosok dalam kesepian. Di balik senyum yang dipaksakan, Ayla merasa jiwanya semakin terperosok dalam kesepian. Ketika ia menghadap cermin, air mata mulai menggenang di matanya. Ia tidak ingin menangis, tetapi hatinya berontak.

Saat mengenakan gaun favoritnya yang sederhana, Ayla menatap refleksinya, berharap bisa menemukan kembali sosok bahagia yang dulu ada di dalam dirinya. Namun, keraguan terus menghantuinya. Bagaimana jika keluarga Raka masih tidak menerimanya? pikirnya.

Setelah bersiap, mereka berdua pergi tanpa berbicara lebih banyak. Dalam mobil, suasana di antara mereka kaku dan penuh ketegangan. Ayla memandangi jendela, melihat pemandangan kota yang bergerak cepat, tetapi hatinya seolah terhenti di tempatnya. Tiba-tiba, suara ponsel Raka bergetar di laci mobil, mengagetkan Ayla.

“Siapa itu?” tanya Ayla, ingin tahu.

Raka hanya menggelengkan kepala, matanya tetap fokus ke jalan. “Nggak penting.”

Ayla merasa ada yang tidak beres. Dengan setiap detik yang berlalu, rasa cemasnya semakin menguat. Ia berharap agar makan siang ini tidak berujung pada masalah lain. Tetapi dengan Raka yang tidak terbuka, ketidakpastian terus membayangi pikiran Ayla.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status