Suasana kantor Raka pagi itu sangat sibuk. Di setiap sudut ruangan, para karyawan tampak berlarian, membawa berkas dan laporan, sementara suara ketukan keyboard mengisi udara. Kantor yang terletak di lantai atas gedung tinggi itu memiliki jendela besar yang memberikan pemandangan menakjubkan ke arah kota. Namun, pemandangan itu tampak jauh dari perhatian Raka yang saat ini terfokus pada pekerjaan di mejanya.Di dalam ruangannya yang rapi dan modern, Raka duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dengan tumpukan berkas dan laptop yang selalu menyala. Dengan mata serius, ia membaca laporan dari tim pemasaran. Angka-angka dan grafik memenuhi pikirannya, dan ia mencatat beberapa poin penting yang perlu dibahas dalam rapat nanti. Setiap kali ia menemukan masalah dalam laporan, kerutan di dahi Raka semakin dalam, menunjukkan betapa beratnya beban yang ia pikul sebagai CEO perusahaan ritel yang diwariskan oleh ayahnya.Raka menghela napas panjang dan memijat pelipisnya, berusaha mengusir ra
Senyum Ratna semakin lebar saat ia melihat Laras, seolah ingin memamerkan sosoknya kepada dunia. “Kamu tahu nggak, Laras, banyak yang bilang kamu adalah gadis idaman. Raka pasti senang kalau kalian kembali bersama.”Sementara itu, Raka hanya mengangkat bahu, terlihat acuh tak acuh. “Masa lalu adalah masa lalu, Ma. Sekarang aku cuma ingin fokus kerja,” jawabnya dengan nada datar, seolah mengabaikan harapan ibunya dan Laras.Mendengar respon itu, Ratna tampak kecewa, tetapi Laras tidak kehilangan semangatnya. Dia melanjutkan pembicaraan dengan antusias, berusaha menghidupkan suasana yang tegang.“Raka, kamu serius? Kamu nggak merasa sedikit pun nostalgia?” Laras bertanya dengan nada menggoda, mencoba menciptakan suasana yang lebih hangat. “Kita pernah bahagia, kan?”Tetapi Raka hanya menggelengkan kepala, kembali fokus pada makanannya. “Hanya karena kita punya masa lalu nggak berarti kita harus kembali ke sana.”Suasana di meja makan terasa semakin akrab ketika Ratna tiba-tiba mengeluar
Sementara di restoran yang sama, di sudut yang lebih tenang, Ayla duduk berhadapan dengan Rania dan Bima. Mulanya, Ayla berpikir Bima adalah pria berumur lebih dari empat puluh tahun lebih. Namun, ternyata tidak demikian. Bima adalah sosok yang menonjol di antara kerumunan, dengan perawakan tinggi dan tubuh yang atletis. Wajahnya dihiasi dengan rahang tegas dan dagu yang kuat, memberikan kesan karismatik. Matanya yang tajam dan bersemangat berwarna cokelat gelap, seolah selalu menyimpan rencana dan ambisi.Ia mengenakan setelan jas navy yang dipadukan dengan kemeja putih bersih dan dasi berwarna senada. Pakaian yang terawat rapi itu memberikan kesan profesional sekaligus modis. Bima kelihatannya selalu tampil percaya diri; senyumnya yang lebar dan hangat membuat orang merasa nyaman di sekitarnya, namun ada nuansa ketegasan dalam cara ia berbicara dan bergerak. “Ayla, aku senang kamu memutuskan untuk bertemu dengan Bima. Ini adalah langkah besar untuk karier menulismu,” ucap Rania, pe
Ayla berjalan menuju area parkir dengan Bima dan Rania setelah pertemuan yang penuh semangat di restoran. Udara sore terasa menyegarkan, tetapi saat langkahnya mendekati mobil, dia mendapati Raka berdiri di dekat pintu keluar, bersama Ratna dan Laras. Jantungnya berdegup kencang, dan ketegangan langsung mengisi udara.“Raka!” Ratna memanggil anaknya dengan suara ceria, tetapi ada nada yang tajam di balik senyumannya. “Lihat siapa yang baru saja keluar dari restoran itu!”Raka menoleh, dan ekspresinya berubah seketika saat melihat Ayla. “Ayla?” tanyanya, seolah-olah terkejut melihatnya di sana.“Raka,” Ayla menjawab, berusaha menunjukkan senyum meski hatinya bergetar. “Kamu disini juga?”Ratna tidak memberi kesempatan untuk Ayla berbicara lebih jauh. “Berani sekali kamu, Ayla! Apa kamu nggak malu pergi dengan pria lain saat suamimu sedang berjuang mencari nafkah?” tuduhnya, nada suaranya penuh kebencian.Ayla merasa jantungnya tercekat mendengar tuduhan itu. “Ibu, itu nggak benar! Bima
Malam itu, setelah perdebatan yang menyakitkan dengan Raka, Ayla duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke dinding berwarna pastel yang dulunya terasa menenangkan. Namun sekarang, dinding itu seolah menjadi pengingat akan semua kesedihan dan kesepian yang mengisi hidupnya. Hatinya terasa berat, dipenuhi dengan keraguan dan ketidakpastian.Apakah ini benar-benar pernikahan? pikirnya, mencoba mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri. Sejak hari pernikahan mereka, hubungan ini seolah terjalin tanpa ada kedalaman yang diharapkan. Mereka tidak pernah berbagi momen intim selayaknya suami istri dan Ayla merasa seperti terjebak dalam rutinitas yang monoton, tanpa cinta dan perhatian yang seharusnya ada antara suami dan istri.Ayla merasakan air mata mulai menggenang di sudut matanya. Semua usaha yang dilakukannya untuk mendekatkan diri pada Raka seolah sirna. Ayla mengenang bagaimana ia selalu berusaha menciptakan suasana yang hangat di rumah, memasak hidangan spesial, dan menyiapkan
Setelah menjelaskan beberapa sutradara dan penulis skenario, Bima menatap Ayla dengan serius. “Ngomong-ngomong, tentang perdebatan yang terjadi di restoran kemarin... aku ingin minta maaf karena menghindari perdebatan itu. Aku tahu betapa sulitnya situasi yang kamu hadapi.”Ayla terkejut mendengar pernyataan Bima. “Nggak apa-apa, Bima. Itu urusan pribadi yang rumit,” jawabnya, berusaha tidak menunjukkan betapa beratnya beban di hatinya. “Tapi memang, situasi itu cukup membuatku stres.”Bima mengangguk, menunjukkan empati. “Aku menghormati privasi kamu, tetapi aku nggak bisa menahan rasa ingin tahuku. Apa yang sebenarnya terjadi? Kalau kamu merasa nyaman, aku ada di sini untuk mendengarkan.”Ayla menundukkan kepala sejenak, mengumpulkan pikirannya. Apakah aku siap membagikan ini? pikirnya, tetapi ada sesuatu dalam sikap Bima yang membuatnya merasa aman. Dia merasa bahwa dia bisa mempercayainya.“Aku dan Raka sudah menikah selama setahun, tetapi hubungan kami terasa sangat jauh. Setiap
Sudah lima hari berlalu, dan selama itu, suasana rumah Ayla dan Raka berubah menjadi sunyi. Bukan sunyi yang nyaman, melainkan sunyi yang menusuk, penuh dengan perasaan terasing. Setiap langkah di rumah terasa canggung, setiap detik berlalu dengan ketidakpastian yang menggantung di udara.Raka hampir tidak pernah menyapa Ayla. Bahkan saat mereka bertemu di lorong atau di ruang makan, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tatapan Raka yang dulu penuh ketenangan, kini hanya menatap lurus ke depan, seolah-olah Ayla tidak ada di hadapannya. Ia menghindari percakapan, menghindari sentuhan, dan setiap kali berada di ruangan yang sama dengan Ayla, dia hanya berusaha menyelesaikan kegiatan dengan cepat dan pergi tanpa bicara.Ayla merasakan keheningan itu semakin dalam. Awalnya, dia mencoba memahami, memberi ruang kepada Raka agar bisa mendinginkan diri setelah perdebatan terakhir mereka. Namun, semakin hari berlalu, perang dingin di antara mereka semakin menyakitkan. Ayla tahu bahwa
Di tengah malam di gemerlapnya kota besar yang tak pernah tidur, Ayla Sasmita, menjalani hari-harinya di sebuah rumah megah yang terasa sepi.Di kamarnya, Ayla meraih keyboard, jemarinya menari lembut di atasnya, menciptakan kisah baru dari novel yang sedang ia tulis. Setiap kata yang terukir mencerminkan kerinduan dan harapan yang terpendam. Ia menciptakan dunia yang penuh dengan cinta dan kebahagiaan, sesuatu yang sangat ia rindukan dalam kehidupan nyata. Sesekali, Ayla berhenti sejenak, menatap keluar jendela.Kamar Ayla adalah perpaduan antara kemewahan dan kenyamanan, mencerminkan siapa dirinya yang lembut namun mandiri. Dinding-dinding kamar dihiasi dengan cat berwarna pastel yang menenangkan, memberikan kesan hangat dan ramah. Di satu sisi, terdapat rak buku besar yang dipenuhi dengan novel-novel klasik dan karya-karya sastra favoritnya. Setiap buku memiliki cerita dan kenangan tersendiri, seolah menjadi teman setia dalam kesendiriannya.Di tengah kamar, sebuah tempat tidur kin