Share

BAB 16

Sudah lima hari berlalu, dan selama itu, suasana rumah Ayla dan Raka berubah menjadi sunyi. Bukan sunyi yang nyaman, melainkan sunyi yang menusuk, penuh dengan perasaan terasing. Setiap langkah di rumah terasa canggung, setiap detik berlalu dengan ketidakpastian yang menggantung di udara.

Raka hampir tidak pernah menyapa Ayla. Bahkan saat mereka bertemu di lorong atau di ruang makan, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tatapan Raka yang dulu penuh ketenangan, kini hanya menatap lurus ke depan, seolah-olah Ayla tidak ada di hadapannya. Ia menghindari percakapan, menghindari sentuhan, dan setiap kali berada di ruangan yang sama dengan Ayla, dia hanya berusaha menyelesaikan kegiatan dengan cepat dan pergi tanpa bicara.

Ayla merasakan keheningan itu semakin dalam. Awalnya, dia mencoba memahami, memberi ruang kepada Raka agar bisa mendinginkan diri setelah perdebatan terakhir mereka. Namun, semakin hari berlalu, perang dingin di antara mereka semakin menyakitkan. Ayla tahu bahwa ada jarak yang semakin melebar di antara mereka—bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional.

Di pagi hari, Ayla bangun lebih awal dan menyiapkan sarapan. Namun, piring-piring di atas meja hanya menjadi dekorasi yang tak tersentuh. Raka selalu keluar rumah sebelum Ayla sempat berbicara, dan Ayla hanya bisa memandangi makanan yang sudah ia siapkan dengan sia-sia. Piring-piring itu adalah simbol dari keheningan yang kini menguasai pernikahan mereka.

Setiap kali Raka pulang larut malam, Ayla masih terjaga di tempat tidurnya, berharap ada suara langkahnya mendekat, tetapi yang terjadi hanyalah pintu yang tertutup dan langkah kaki yang menjauh menuju kamar yang terpisah. Setiap malam yang berlalu, Ayla merasa dirinya semakin tenggelam dalam kesepian yang tak terucapkan.

Dia mencoba mengalihkan perasaannya dengan menulis, tetapi bahkan kata-kata yang biasa menjadi pelariannya kini terasa hampa. Setiap kalimat yang ia tulis seolah kehilangan makna, seperti hatinya yang sudah mati rasa. Apakah ini akhir dari pernikahan kami? pikir Ayla, meskipun dia tahu dia belum siap menyerah.

Selama lima hari ini, Raka tidak pernah berusaha memulai pembicaraan. Ayla tahu dia harus berbicara duluan, tetapi harga dirinya menahannya. Ia tidak ingin terlihat lemah, apalagi setelah semua usaha yang ia lakukan untuk menyelamatkan hubungan mereka. Setiap kali dia melihat Raka melewati ruang tamu tanpa sepatah kata, perasaannya semakin hancur.

Bagaimana ini bisa terjadi? pikirnya. Namun, rasa sakit dari masa lalu dan ketidakpedulian yang kini menguasai Raka membuat Ayla semakin merasa tidak berdaya.

Hari kelima, saat Ayla duduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah jendela, mendengar suara mobil Raka memasuki garasi. Jantungnya berdegup cepat, berharap ada perubahan. Namun, seperti biasa, Raka masuk ke dalam rumah tanpa sepatah kata, menatapnya sekilas dengan tatapan kosong, lalu bergegas menuju kamarnya yang terpisah.

Ayla merasa lelah. Lelah dengan keheningan, lelah dengan ketidakpedulian, dan lelah dengan perang dingin yang terus berlangsung di antara mereka. Tetapi, dia tahu, jika salah satu dari mereka tidak mengambil langkah untuk memperbaiki situasi, perang ini tidak akan pernah berakhir.

***

Malam itu, Ayla berdiri di depan cermin kamarnya, mematut dirinya dengan gaun malam yang elegan. Pesta pernikahan yang akan ia hadiri bersama Ibu Raka seharusnya menjadi sebuah perayaan besar, tetapi hati Ayla tidak bisa tenang. Ada sesuatu yang tidak nyaman sejak Ibu Raka memintanya secara tiba-tiba untuk ikut ke acara ini.

Namun, Ayla berusaha menenangkan dirinya. Aku harus tetap menjaga sikap, pikirnya sambil memperbaiki sedikit lipatan di gaunnya. Setelah siap, Ayla turun dan bertemu dengan Ibu Raka yang sudah menunggu di ruang tamu. Tatapan kritisnya tidak lepas dari penampilan Ayla, tetapi kali ini, ia tidak mengomentarinya.

“Kita akan terlambat jika tidak segera berangkat,” ujar Ibu Raka tanpa basa-basi, lalu mereka berdua melangkah keluar menuju mobil.

Mereka tiba di sebuah gedung megah yang dihias dengan lampu-lampu kristal berkilauan, menciptakan suasana glamor yang seolah datang dari dunia lain. Pintu masuknya dipenuhi oleh tamu-tamu yang berpakaian mewah, seolah setiap orang di sana adalah sosok penting.

Ayla menatap sekeliling dengan rasa kagum, meskipun hatinya masih diselimuti keraguan. Karpet merah terbentang di sepanjang jalan masuk, menuntun para tamu menuju aula besar yang dipenuhi bunga-bunga putih segar dan hiasan emas. Dari kejauhan, terdengar alunan musik klasik yang dimainkan dengan sempurna oleh sebuah orkestra. Suasana pesta ini tidak hanya mewah, tetapi juga megah, seolah pernikahan ini adalah perayaan kerajaan.

Ketika mereka melangkah masuk ke dalam aula, Ayla tidak bisa menahan diri untuk kagum melihat dekorasi yang begitu mewah. Langit-langit ruangan yang tinggi dihiasi lampu gantung kristal raksasa, menerangi setiap sudut aula dengan kilauan lembut. Meja-meja bundar dihias dengan taplak sutra putih, vas-vas bunga besar penuh mawar putih, dan lilin-lilin mewah yang menambah keanggunan suasana.

Namun, meskipun suasana di sekitarnya begitu megah, Ayla merasa dirinya semakin terasing. Tempat ini bukan dunia yang ku kenal, pikirnya. Dia berjalan mengikuti Ibu Raka yang dengan anggun melangkah menuju salah satu meja tamu di bagian depan aula, tanpa memperhatikan Ayla yang mengikuti di belakang dengan sedikit canggung.

“Ini adalah pesta pernikahan yang sangat penting,” bisik Ibu Raka ketika mereka duduk. “Banyak pengusaha besar dan orang-orang penting di sini. Pastikan kamu menjaga sikap, Ayla.”

Ayla mengangguk pelan, meski perasaan tidak nyamannya semakin menguat. Selama pesta berlangsung, Ayla merasa seperti orang asing di tengah-tengah kemewahan yang mengelilinginya. Para tamu berbicara dengan nada ceria, saling menyapa dengan penuh formalitas, namun Ayla merasakan dinding yang tak terlihat memisahkannya dari mereka semua. Tatapan-tatapan sinis dan senyuman palsu dari beberapa tamu terasa menusuk. Aku tidak pernah benar-benar diterima di dunia ini, pikirnya.

Setiap kali ada seseorang yang menghampiri meja mereka, Ibu Raka dengan anggun menyapa mereka, berbicara dengan nada yang tenang namun tegas. Namun, Ayla hanya duduk diam, mendengarkan dengan sopan, tanpa benar-benar terlibat dalam percakapan. Terkadang, Ibu Raka meliriknya, seolah ingin memastikan Ayla tidak melakukan kesalahan yang bisa memalukan.

Ketika hidangan utama disajikan, Ayla merasakan tatapan-tatapan tajam dari beberapa tamu yang lewat. Mereka berbicara tentang bisnis, investasi, dan pernikahan. Salah seorang tamu yang duduk di meja mereka bahkan menyebutkan bagaimana "pentingnya memiliki pasangan yang bisa mengangkat status sosial." Kata-kata itu membuat hati Ayla semakin berat. Dia tahu bahwa, di mata keluarga Raka, dia hanyalah seorang yang tidak pernah dianggap cukup.

Di tengah percakapan para tamu, Ayla merasa dirinya semakin terasing. Apa aku hanya di sini sebagai tameng? pikirnya. Ibu Raka dengan anggun berbicara tentang koneksinya, seolah-olah pesta ini adalah kesempatan sempurna untuk memperlihatkan status mereka, tetapi Ayla merasa dirinya hanya digunakan sebagai pajangan.

Malam itu terasa sangat panjang, dan meskipun dekorasi dan suasana pesta begitu memukau, Ayla tidak bisa menikmati satu pun momen di dalamnya. Semua terasa palsu—setiap senyuman, setiap kata yang diucapkan, semuanya hanya permainan status dan kekuasaan. Ia merasa seperti seorang boneka yang ditarik ke sana-sini tanpa kendali atas dirinya sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status