“Raka, tolong… ini bukan kamu,” ucapnya lembut, meskipun suara hatinya bergetar. Dia ingin menyentuh Raka, tetapi saat ini, dia tahu bahwa Raka sedang berjuang melawan sesuatu yang lebih besar.
Raka menatap Ayla dengan mata yang kosong, seolah ada perang di dalam dirinya. Di satu sisi, hasrat yang menggebu, dan di sisi lain, suara akal sehat yang berusaha menahan dirinya. Dengan sisa kesadarannya, dia merasakan ketegangan dalam tubuhnya. Ini bukan cara yang seharusnya.
Momen itu terasa seperti berada di ambang jurang—antara keinginan dan kenyataan. Raka ingin mendekat, tetapi dalam ketidakpastian ini, dia merasakan kesedihan yang menyelimuti hatinya. Apa yang sudah terjadi padaku? pikirnya, berusaha menahan perasaan yang terlalu menguasai.
Di bawah cahaya temaram kamar mereka, perasaan yang terpendam sekian lama akhirnya pecah. Raka dan Ayla, yang selama satu tahun hidup dalam jarak dan kesunyian, kini berada dalam situasi yang
Keesokan paginya, sinar matahari yang lembut menerobos melalui jendela kamar mereka, tetapi suasana di antara Ayla dan Raka terasa berat. Setelah malam penuh keintiman yang tidak pernah mereka bayangkan, keheningan menyelimuti kamar saat mereka bangun. Raka masih terbaring di tempat tidur, sementara Ayla duduk di tepi ranjang, menatap lantai dengan pikiran yang berputar-putar.Kejadian semalam masih segar di benak mereka berdua. Malam yang dimulai dengan kejutan dan kebingungan telah berubah menjadi momen penuh gairah, tetapi kini, saat pagi datang, perasaan yang bercampur aduk melingkupi mereka.Ayla bisa merasakan suasana canggung yang tebal di udara. Dia tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, dia merasakan kehangatan dan harapan dari malam yang mereka lalui, namun di sisi lain, ada rasa bingung dan ketakutan—apakah semua itu nyata? Atau hanya akibat dari sesuatu yang tidak seharusnya terjadi?Raka, yang biasanya bersikap tenang dan penuh kendali, tampak berbeda pagi itu. Dia d
Perdebatan antara Raka dan Ayla semakin memanas, seolah setiap kata yang keluar hanya menambah api dalam hubungan mereka yang sudah berada di tepi jurang. Ayla masih menunggu jawaban dari Raka—apakah dia akan memilih untuk tetap membuka ruang bagi Laras atau akhirnya memprioritaskan pernikahan mereka. Namun, sebelum Raka bisa menjawab, suara dering ponsel Raka memecah keheningan yang tegang itu.Ayla menoleh sejenak ke arah suara merasa terganggu oleh interupsi yang tidak diinginkan. Raka, yang berdiri beberapa langkah darinya, tampak lega sejenak karena perdebatan mereka terhenti sementara. Dia berjalan dengan langkah berat menuju telepon, dan saat mengangkatnya, wajahnya berubah ketika mendengar suara dari ujung telepon.“Raka, ini Mama. Mama akan datang ke rumah kamu sama Nadya, satu jam lagi kami kesana. Ada beberapa hal yang perlu dibicarakan denganmu,” suara Ratna terdengar tegas di seberang sana, tidak memberi ruang untuk perdebatan.Raka mengerutkan alis, merasa semakin terteka
Mereka duduk di meja makan, dengan hidangan dari restoran yang disusun rapi di hadapan mereka. Ratna dengan santai mengambil sendok dan garpu, tersenyum sambil menyantap makanan yang ia bawa. Suasana terlihat tenang di luar, tetapi ketegangan di dalam ruangan masih jelas terasa.Ayla duduk di samping Raka, merasa ada sesuatu yang mengganjal, tetapi dia tetap berusaha menjaga sikap tenang. Nadya sesekali meliriknya dengan senyum kecil, seolah menikmati suasana canggung yang mengambang di udara.Di tengah suapan makan malam, Ratna tiba-tiba bersuara, seolah ingin membahas topik yang ringan, tetapi Ayla bisa merasakan ada sesuatu di balik kata-katanya.“Ngomong-ngomong, Raka,” Ratna memulai sambil memotong daging di piringnya, “bagaimana pertemuanmu dengan Laras kemarin? Sukses, kan?”Ayla terdiam mendadak. Matanya langsung menatap Raka, sementara perasaannya berkecamuk. Ia masih menunggu Raka menjelaskan tentang pertemuan itu, tetapi
Setelah kepergian Ayla yang meninggalkan ruang makan dengan penuh kekecewaan dan kemarahan, Raka terdiam di kursinya. Hatinya bergemuruh, tetapi ia tahu bahwa ini adalah momen di mana dia harus mengambil sikap. Sudah terlalu lama dia membiarkan segala sesuatunya berjalan tanpa kendali, tetapi hari ini, setelah melihat bagaimana Laras mencoba memanipulasi dirinya, dan bagaimana keluarganya terus mendukungnya, dia tahu bahwa semuanya harus diakhiri.Raka menatap ibunya dan Nadya, yang masih terlihat santai, bahkan tampak puas dengan situasi yang sedang terjadi. Namun kali ini, dia tidak bisa lagi membiarkan mereka mendikte hidupnya.“Ma,” Raka memulai dengan nada datar namun tegas, suaranya memecah keheningan di ruangan itu. “Aku nggak akan pernah mau bertemu dengan Laras lagi.”Ratna menoleh dengan cepat, raut wajahnya berubah dari senang menjadi bingung. “Apa maksudmu, Raka? Laras hanya berusaha membantu. Kamu nggak bisa begitu saja memutuskan sesuatu tanpa memikirkannya matang-matang
Ratna tampak semakin marah, tetapi dia tahu kata-katanya tidak punya pengaruh lagi di ruangan ini. “Kalian nggak tahu apa yang terbaik untuk masa depan kalian,” ucapnya dingin. “Tapi ingat ini, Raka. Mama nggak akan tinggal diam melihat kamu membuang masa depan bersama Ayla. Laras adalah pilihan yang tepat, dan kamu tahu itu.”“Aku nggak peduli tentang masa lalu atau siapa yang menurut Ibu lebih baik untukku,” jawab Raka, nadanya mulai menurun, tetapi tetap tegas. “Ini hidupku, dan aku yang akan menjalaninya.”Ratna menghela napas panjang, lalu berdiri dari tempat duduknya. “Baik, kalau itu yang kamu mau. Suatu hari kamu akan sadar, dan saat itu, jangan bilang Mama nggak memperingatkanmu.”Dengan kata-kata terakhir yang penuh kepahitan itu, Ratna mengangkat tasnya, lalu berjalan menuju pintu depan tanpa menoleh ke belakang. Nadya, yang tampak bingung di antara pertikaian ini, hanya bisa mengikuti ibunya tanpa berkata apa-apa.Pintu tertutup dengan suara yang menggema, meninggalkan Ayla
Saat Nadya dan Ratna akhirnya pulang, suasana di rumah terasa sangat tegang. Ayla menunggu Raka di ruang tamu, matanya penuh dengan emosi yang berkecamuk. Ketika Raka masuk, wajahnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, tetapi Ayla bisa merasakan ada banyak hal yang mengganjal di pikirannya.Ayla berdiri, tidak bisa menahan semua perasaannya lagi. “Raka, kita perlu bicara,” ujarnya tegas, suaranya bergetar antara kemarahan dan kesedihan. “Semua ini sudah kelewat batas! Keluargamu nggak pernah menghargai posisiku di sini. Mereka menganggapku sebagai orang luar, bukan menantu!”Raka menatap Ayla dengan bingung, tetapi rasa lelah di wajahnya jelas terlihat. “Ayla, ini bukan saatnya—”“Nggak bisa, Raka! Ini adalah saatnya!” potong Ayla dengan nada yang lebih tinggi, emosinya semakin membara. “Kamu lihat gimana Mama dan Nadya memperlakukanku? Mereka terus-menerus merendah
Ayla mengurung diri di dalam kamar, dikelilingi oleh hening yang menekan. Dinding-dinding ruangan itu seolah menyimpan semua rahasia dan kebisingan emosional yang tidak bisa ia ungkapkan. Meskipun hari sudah pagi, cahaya matahari yang masuk melalui celah tirai terasa terlalu terang, menyakiti matanya yang sudah merah karena air mata yang tak henti-hentinya mengalir semalam.Keintiman yang semula dipenuhi dengan gairah dan harapan kini terasa seperti kenangan pahit yang menghancurkan. Semalam, ketika Raka memeluknya, Ayla merasakan kehangatan dan cinta yang selama ini hilang. Namun, pagi ini, semua itu lenyap, tergantikan oleh ketidakpastian dan ketidakpuasan yang menyakitkan. Seharusnya ini menjadi titik balik bagi kami, pikirnya, tetapi kenyataannya justru menunjukkan sebaliknya. Semua harapan itu runtuh seiring dengan keputusan Raka untuk tetap acuh dan tidak berkomitmen.Ayla mengingat kembali setiap detail semalam—betapa Raka terlihat terpengaruh oleh obat yang diberikan, bagaimana
Pagi itu, Sara bangkit dari tempat tidurnya dengan semangat yang baru. Tanpa membuang waktu, ia langsung mengenakan pakaian olahraga yang nyaman dan sepatu lari kesayangannya. Suasana di rumah terasa sepi, dan kebisingan pagi yang lembut membangkitkan energinya. Sara melangkah keluar, merasakan angin segar menyapa wajahnya. Dia mulai berlari menyusuri jalan setapak di sekitar rumahnya, menikmati setiap detak jantung yang berdegup cepat dan napasnya yang teratur. Dia merasa beban di pundaknya sedikit berkurang, seolah setiap langkahnya menghilangkan kekecewaan yang menyelimuti pikirannya. Setelah menyelesaikan lari pagi, Sara berhenti sejenak di taman terdekat, menatap keindahan alam yang membangkitkan mood. Pepohonan yang hijau dan bunga-bunga yang bermekaran menambah keceriaan hari itu. Dengan napas yang lebih tenang, dia kembali ke rumah untuk bersiap-siap.Setelah mandi dan berdandan, Sara memilih pakaian yang cantik, menyisir rambutnya dengan rapi, dan merias wajahnya dengan sede
Raka duduk di ruang kerjanya, memandangi ponsel yang sudah ia genggam sejak beberapa menit lalu. Napasnya terasa berat saat ia akhirnya menekan nama Laras di daftar kontak. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum suara lembut Laras menjawab di ujung sana.“Halo, Raka,” ujar Laras dengan nada riang. “Aku baru aja mau tanya soal jadwal keberangkatan ke Medan. Jadi…”“Laras,” potong Raka dengan nada rendah, penuh tekanan.Laras langsung diam. Suara Raka yang serius membuatnya ragu untuk melanjutkan kalimat. “Ada apa, Raka?” tanyanya akhirnya.Raka menghela napas panjang, mencoba merangkai kata-kata. “Aku perlu kamu batalkan rencana kamu ikut ke Medan.”Laras terdiam sesaat. “Apa?” suaranya terdengar tidak percaya. “Batalkan? Kenapa?”“Ayla sudah tahu,” jawab Raka pelan. “Dia menemukan tiket dan reservasi hotel. Aku nggak bisa biarin ini semakin buruk.”“Jadi?” balas Laras, suaranya mulai terdengar lebih tinggi. “Kenapa itu masalah? Aku ikut ke Medan untuk urusanku sendiri, Raka. Ini
Setelah makan malam selesai, mereka semua masih duduk di meja makan, menikmati obrolan ringan yang diiringi tawa. Bintang, yang baru saja menyelesaikan sepotong tahu gorengnya, tiba-tiba menatap Bima dengan mata berbinar.“Om Bima, Om keren banget!” serunya tiba-tiba, membuat semua orang di meja menoleh ke arahnya.Bima terkekeh, menepuk kepala Bintang dengan lembut. “Kok tiba-tiba bilang gitu? Keren kenapa, Bintang?”“Karena tadi Om mau main sama aku. Terus Om ngobrol sama aku lama-lama di warung,” jawab Bintang polos sambil menyeka mulutnya dengan tisu. “Om baik banget, nggak kayak Om Raka.”Suasana meja mendadak hening. Ayla berhenti memegang gelas tehnya, sedangkan Lina dan Mira saling pandang dengan canggung.“Bintang!” tegur Mira cepat, suaranya setengah tertawa tapi jelas penuh maksud. “Nggak boleh ngomong gitu.”Bintang mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba marah. “Kenapa, Ma? Kan bener. Om Raka nggak pernah main sama aku. Dia juga nggak pernah ke sini.”M
Mira keluar dari pintu depan rumah sambil mengikat rambutnya. Matahari mulai condong ke barat, sinarnya yang hangat membuat halaman rumah terlihat lebih hidup. Ia mengernyit kecil saat menyadari bahwa Bintang, anaknya, tidak ada di halaman seperti biasanya.“Bintang!” panggil Mira, melangkah ke arah pagar. Tidak ada jawaban.Matanya melirik ke warung kopi di sebelah kanan rumah, dan ia segera melihat sosok anaknya yang sedang duduk manis di bangku panjang. Namun yang membuat Mira terkejut bukan hanya Bintang—di sebelah anak itu duduk seorang pria muda dengan pakaian rapi, tampak sedang berbicara santai dengan beberapa pria yang sering nongkrong di warung itu.Kening Mira berkerut. Ia mempercepat langkahnya, menghampiri warung dengan rasa penasaran.“Bintang!” panggil Mira, suaranya sedikit tegas.Bintang menoleh cepat, senyumnya melebar. “Iya, Ma!”Mira menghampirinya, langsung menarik tangan anaknya dengan lembut tetapi penuh maksud. “Kamu ngapain di sini? Siapa ini?” tanyanya sambil
Begitu Ayla melangkah masuk ke halaman rumah, suara pintu depan yang terbuka menarik perhatiannya. Lina, ibunya, muncul dari dalam rumah dengan wajah penuh senyum. Di belakangnya, Mira berlari kecil menyusul, wajahnya berseri-seri saat melihat Ayla.“Ayla!” Lina memanggil sambil membuka tangannya lebar.“Ibu…” Ayla tersenyum kecil, lalu berjalan cepat mendekati ibunya. Lina langsung memeluknya erat, hangat dan penuh kasih seperti yang selalu Ayla rindukan.“Kenapa nggak bilang mau pulang?” tanya Lina setelah melepaskan pelukannya. “Kamu tiba-tiba datang aja.”“Biar surprise,” jawab Ayla sambil tertawa kecil. “Aku cuma mampir sebentar, kok.”Mira, adiknya, langsung menggantikan posisi Lina dengan pelukan yang tak kalah erat. “Kak Ayla! Udah lama banget nggak ke sini! Aku kira Kak Ayla lupa jalan pulang ke rumah,” ujarnya sambil terkekeh.“Mana mungkin aku lupa,” balas Ayla sambil mencubit ringan pipi Mira.Mira tertawa, lalu menarik tangan Ayla masuk ke dalam rumah. “Masuk dulu, dong.
Ayla mengusap pipinya perlahan, mencoba menghapus sisa air mata yang masih terasa hangat. Ia menatap Bima, lalu tersenyum kecil, meski senyuman itu tampak dipaksakan. “Makasih, Bima. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada kamu sekarang.”Bima tersenyum, tetapi tatapannya tetap penuh perhatian. “Nggak usah makasih, Ayla. Aku cuma nggak suka lihat kamu kayak gini. Tapi jujur, senyummu itu… masih belum sempurna. Kamu masih kelihatan nggak bahagia.”Ayla menghela napas panjang, pandangannya kembali mengarah ke bukit dan langit biru di kejauhan. “Mungkin aku nggak tahu lagi gimana rasanya bahagia. Semua udah terasa terlalu berat.”Bima menyandarkan tangannya ke pinggul, menatap Ayla dengan serius. “Oke, kalau gitu, apa yang bisa bikin kamu bahagia lagi? Apa yang kamu butuhin sekarang?”Ayla terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaan itu. Ia tertawa kecil, lalu mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Atau…” Ayla menghela napas, suaranya melembut. “Atau keluargaku, Bintang keponakanku. Ru
Malam itu, Ayla duduk di ruang tamu dengan tangan gemetar, ponselnya tergenggam erat. Di layar, bukti tiket dan reservasi hotel masih terbuka, nama-nama itu terpampang jelas: Raka Wasena Aditya dan Laras Kusuma Dewi.Jam dinding berdetak perlahan, suara itu semakin mengisi ruangan yang sepi. Di meja di depannya, secangkir teh yang telah mendingin tidak ia sentuh sama sekali. Ayla mencoba menenangkan dirinya, tetapi air mata yang menggenang di matanya tak bisa ditahan lagi. Beberapa kali ia mengusap pipinya, berharap sisa-sisa air mata itu tidak meninggalkan jejak.Pintu depan akhirnya terbuka. Raka melangkah masuk, tubuhnya terlihat lelah, tetapi matanya langsung bertemu dengan Ayla yang duduk di sofa. Ia berhenti, tatapannya berubah waspada. Ia tahu malam ini akan menjadi malam yang panjang.Ayla berdiri perlahan, matanya yang merah menatap Raka dengan campuran emosi: marah, kecewa, dan luka yang mendalam. “Kamu akhirnya pulang,” ucapnya pelan, suaranya hampir bergetar.Raka melepas
Ayla membuka pintu rumah dengan cepat, langkah kakinya tergesa menuju tangga. Tas belanjaan peralatan kuliah masih tergantung di lengannya, tetapi pikirannya terusik oleh sesuatu yang tak ia duga sebelumnya: pintu kamarnya di lantai atas yang tadi terlihat terbuka dari luar.Ketika ia mencapai lantai atas, napasnya terhenti sesaat. Di dalam kamarnya, Ratna berdiri di dekat meja kerjanya, sementara Nadya dengan santai duduk di tepi tempat tidur, tangan keduanya memegang formulir pendaftaran kuliah milik Ayla."Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Ayla tajam, matanya menatap keduanya dengan penuh kecurigaan.Ratna berbalik, wajahnya penuh kemarahan. Ia mengangkat formulir pendaftaran kuliah itu seperti barang bukti. "Ini apa, Ayla?" suaranya meninggi. "Kamu mau kuliah lagi? Apa kamu pikir uang Raka itu nggak ada batasnya? Kamu akan menghabiskan uangnya untuk hal tidak penting seperti ini?"Ayla melepaskan tas belanjaannya ke lantai, tubuhnya bergetar oleh emosi. "Maaf, Ma. Tapi apa y
Langkah Raka terhenti ketika mendengar suara keras dari sudut koridor yang mengarah ke ruang kerja staf. Ia menoleh, melihat seorang pegawai senior sedang berdiri dengan wajah tegang, berbicara kepada seorang wanita muda yang menundukkan kepala. Pegawai muda itu tampak gugup, jari-jarinya mencengkeram ujung buku catatannya, dan wajahnya memerah karena malu."Lia, kamu sadar nggak seberapa besar masalah yang bisa terjadi karena ini?" tegur pegawai senior itu dengan nada tajam. "Kamu nggak boleh asal mengirimkan informasi penting ke sembarang orang!""Saya... saya benar-benar minta maaf, Pak," jawab Lia dengan suara bergetar. "Tapi saya hanya mengikuti perintah. Saya disuruh mengirimkan rincian hotel dan tiket ke istri Pak Raka."Raka mendekat, matanya menyipit. "Apa yang sedang terjadi di sini?"Kedua pegawai itu menoleh ke arahnya dengan wajah berbeda. Wajah pegawai senior menunjukkan ketakutan, sementara Lia terlihat semakin pucat.“Pak Raka,” panggil pegawai senior itu dengan nada ra
Rak-rak tinggi yang dipenuhi buku dan perlengkapan tulis memenuhi pandangan Ayla saat ia melangkah di antara lorong-lorong toko buku besar itu. Keranjang belanjanya sudah penuh dengan buku catatan, pena beraneka warna, dan beberapa buku teks yang ia rasa akan berguna untuk semester pertamanya nanti. Setiap barang yang ia masukkan ke dalam keranjang membawa semacam kegembiraan kecil, seolah-olah ia sedang membangun awal yang baru, satu barang demi satu barang.Di tengah kegiatannya memilih tas ransel baru, ponsel Ayla bergetar di saku jaketnya. Ia berhenti sejenak, menarik ponsel itu dan melihat nama tak dikenal muncul di layar. Dengan alis sedikit terangkat, ia menerima panggilan itu.“Halo?” tanyanya, sambil menyeimbangkan keranjang belanja di lengannya.“Selamat siang, Ibu Ayla,” suara seorang wanita terdengar ramah dari ujung telepon. “Saya Lia dari kantor Pak Raka. Saya hanya ingin mengonfirmasi reservasi hotel untuk perjalanan Ibu dan Pak Raka ke Medan minggu ini.”Langkah Ayla t