Saat Nadya dan Ratna akhirnya pulang, suasana di rumah terasa sangat tegang. Ayla menunggu Raka di ruang tamu, matanya penuh dengan emosi yang berkecamuk. Ketika Raka masuk, wajahnya menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Dia tidak mengatakan sepatah kata pun, tetapi Ayla bisa merasakan ada banyak hal yang mengganjal di pikirannya.Ayla berdiri, tidak bisa menahan semua perasaannya lagi. “Raka, kita perlu bicara,” ujarnya tegas, suaranya bergetar antara kemarahan dan kesedihan. “Semua ini sudah kelewat batas! Keluargamu nggak pernah menghargai posisiku di sini. Mereka menganggapku sebagai orang luar, bukan menantu!”Raka menatap Ayla dengan bingung, tetapi rasa lelah di wajahnya jelas terlihat. “Ayla, ini bukan saatnya—”“Nggak bisa, Raka! Ini adalah saatnya!” potong Ayla dengan nada yang lebih tinggi, emosinya semakin membara. “Kamu lihat gimana Mama dan Nadya memperlakukanku? Mereka terus-menerus merendah
Ayla mengurung diri di dalam kamar, dikelilingi oleh hening yang menekan. Dinding-dinding ruangan itu seolah menyimpan semua rahasia dan kebisingan emosional yang tidak bisa ia ungkapkan. Meskipun hari sudah pagi, cahaya matahari yang masuk melalui celah tirai terasa terlalu terang, menyakiti matanya yang sudah merah karena air mata yang tak henti-hentinya mengalir semalam.Keintiman yang semula dipenuhi dengan gairah dan harapan kini terasa seperti kenangan pahit yang menghancurkan. Semalam, ketika Raka memeluknya, Ayla merasakan kehangatan dan cinta yang selama ini hilang. Namun, pagi ini, semua itu lenyap, tergantikan oleh ketidakpastian dan ketidakpuasan yang menyakitkan. Seharusnya ini menjadi titik balik bagi kami, pikirnya, tetapi kenyataannya justru menunjukkan sebaliknya. Semua harapan itu runtuh seiring dengan keputusan Raka untuk tetap acuh dan tidak berkomitmen.Ayla mengingat kembali setiap detail semalam—betapa Raka terlihat terpengaruh oleh obat yang diberikan, bagaimana
Pagi itu, Sara bangkit dari tempat tidurnya dengan semangat yang baru. Tanpa membuang waktu, ia langsung mengenakan pakaian olahraga yang nyaman dan sepatu lari kesayangannya. Suasana di rumah terasa sepi, dan kebisingan pagi yang lembut membangkitkan energinya. Sara melangkah keluar, merasakan angin segar menyapa wajahnya. Dia mulai berlari menyusuri jalan setapak di sekitar rumahnya, menikmati setiap detak jantung yang berdegup cepat dan napasnya yang teratur. Dia merasa beban di pundaknya sedikit berkurang, seolah setiap langkahnya menghilangkan kekecewaan yang menyelimuti pikirannya. Setelah menyelesaikan lari pagi, Sara berhenti sejenak di taman terdekat, menatap keindahan alam yang membangkitkan mood. Pepohonan yang hijau dan bunga-bunga yang bermekaran menambah keceriaan hari itu. Dengan napas yang lebih tenang, dia kembali ke rumah untuk bersiap-siap.Setelah mandi dan berdandan, Sara memilih pakaian yang cantik, menyisir rambutnya dengan rapi, dan merias wajahnya dengan sede
Setibanya di kantor Bima, suasana di dalam gedung terlihat sibuk namun teratur. Mural kreatif menghiasi dinding, dan suara orang-orang yang berdiskusi tentang proyek-proyek baru memenuhi udara. Dia merasakan getaran positif di sekitar. ISara melangkah menuju ruang pertemuan yang telah ditentukan, sedikit gugup tetapi bertekad untuk menunjukkan sisi terbaiknya. Dia mengetuk pintu sebelum masuk, dan saat pintu terbuka, dia disambut oleh Bima dan dua orang lain yang memperkenalkan diri sebagai sutradara dan penulis skenario.“Selamat datang, Sara!” Bima berkata dengan senyum ramah, membuatnya merasa lebih tenang. “Kami sudah menunggu kedatanganmu. Ini adalah kesempatan bagus untuk membahas proyek film kita.”Sara merasa bersemangat mendengar kata-kata itu. Di ruang pertemuan, semua orang tampak antusias. Dia memperkenalkan dirinya, dan meskipun ada sedikit gugup, dia mencoba untuk tidak membiarkan ketidakpastian menghalanginya. “Aku sudah ngg
Beberapa hari setelah momen berharga di kantor Bima, Raka mulai merasakan adanya perubahan yang signifikan pada Ayla. Dalam setiap perjalanan pulang ke rumah, dia menyadari rumah mereka semakin sepi dan tidak terawat. Ayla, yang dulunya bangun pagi untuk menyiapkan sarapan dan merapikan rumah, kini tidak pernah terlihat melakukan hal-hal itu lagi.Ketika pulang Raka mendapati rumah yang ia huni didatangi oleh seorang asisten rumah tangga. Wanita itu datang dan pergi dengan cepat, membersihkan ruangan-ruangan yang seharusnya menjadi tempat Ayla beraktivitas. Raka merasa aneh melihat sosok yang tidak dikenal itu berkeliling di rumahnya, seolah menggantikan keberadaan Ayla yang kini lebih sering menghilang.Dia tidak pernah melihat Ayla lagi di dapur, dan setiap kali dia melangkah masuk ke rumah, suasana seakan berbeda. Ketidakhadiran Ayla terasa mencolok, seolah rumah yang dulunya hangat kini menjadi dingin dan sepi. Raka merasa kehilangan, tetapi di saat yang sama, dia tidak tahu bagaim
“Aku nggak mau berurusan dengan semua ini lagi. Kita sudah berbicara sebelumnya, Ma.” Raka menjawab tegas, berusaha mempertahankan jarak emosionalnya.“Raka, dengirin kami,” Laras mencoba membujuk. “Aku tahu kita punya sejarah, dan aku nggak mau itu menghalangi kita. Kita bisa berhasil.”Raka menghela napas, hatinya berkonflik. Bagaimana aku bisa mempertimbangkan semua ini sementara pernikahanku dengan Ayla belum terselesaikan? Dia merasa terjepit di antara keinginan keluarganya dan tanggung jawab terhadap Ayla.Raka merasakan kemarahan yang membara, dan semua perhatian seolah tertuju pada Laras. Dia tidak bisa memahami bagaimana wanita itu bisa berada di sini, berusaha berbaikan, sementara semua yang terjadi antara mereka hanya menambah kerumitan.“Ini semua adalah kesalahanmu, Laras,” Raka mengecam, suaranya tegas dan penuh penekanan. “Kamu yang harus bertanggung jawab. Gimana bisa kamu berpikir kalau memberi obat perangsang pada seseorang itu bisa diterima?”Laras terkejut dengan t
“Mama!” serunya panik. Raka bisa merasakan detak jantungnya berdebar kencang saat melihat wajah ibunya memucat. “Kenapa?”Ratna terengah-engah, wajahnya menunjukkan kepanikan. “Mama… pusing. Mama nggak kuat sama semua ini…” katanya, dengan air mata mulai menggenang di sudut matanya.Melihat ibunya begitu menderita, Raka merasakan hatinya teriris. “Ma, tenanglah. Aku di sini. Laras, bantu aku!” teriaknya, saat dia memegang tubuh Ratna agar tidak jatuh.Laras masuk, sebelumnya merasa tertekan, segera menghampiri mereka dengan panik. “Apa yang terjadi? Mama baik-baik saja?” tanyanya, berusaha menenangkan keadaan.Raka dan Laras bersama-sama membantu Ratna duduk di kursi. Raka menggenggam tangan ibunya, merasakan dinginnya. “Ma, napas pelan-pelan. Kita ke rumah sakit sekarang,” katanya, suaranya bergetar karena kekhawatiran.“Aku nggak mau merepotkan kalian,” Ratna merintih, air matanya jatuh. “Tapi… tolong, Raka. Memaafkan Laras. Dia nggak bermaksud buruk. Dia cuma mau kembali padamu.”R
Ratna tersenyum, tetapi Raka merasakan beban itu tidak sepenuhnya hilang. Apakah keputusan ini benar? tanyanya pada dirinya sendiri, namun dia tahu bahwa ini adalah hal yang diinginkan ibunya. Dengan senyum penuh harapan, Ratna meraih tangan Raka dan menggenggamnya dengan lembut.“Terima kasih, Raka. Mama tahu kau akan melakukannya. Ini bukan hanya untuk Laras, tetapi untuk kita semua,” ucap Ratna, terlihat lega.Raka hanya mengangguk, tetapi di dalam hatinya, dia merasa kebingungan. Bagaimana jika Laras tidak berubah? pertanyaannya menghantui. Namun, saat melihat ibunya yang tersenyum bahagia, dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia melakukan yang benar.“Pelan-pelan saja, Raka. Kita atasi bersama-sama,” ujar Ratna, seolah memahami keraguan yang ada di benak putranya.Saat itu, Raka merasakan harapan baru muncul, meski tetap dibalut oleh ketidakpastian. Dia tahu bahwa perjalanan ke depan tidak akan mudah, tetapi dia bertekad untuk menjaga keluarganya tetap utuh, apa pun yan
Setelah makan malam selesai, mereka semua masih duduk di meja makan, menikmati obrolan ringan yang diiringi tawa. Bintang, yang baru saja menyelesaikan sepotong tahu gorengnya, tiba-tiba menatap Bima dengan mata berbinar.“Om Bima, Om keren banget!” serunya tiba-tiba, membuat semua orang di meja menoleh ke arahnya.Bima terkekeh, menepuk kepala Bintang dengan lembut. “Kok tiba-tiba bilang gitu? Keren kenapa, Bintang?”“Karena tadi Om mau main sama aku. Terus Om ngobrol sama aku lama-lama di warung,” jawab Bintang polos sambil menyeka mulutnya dengan tisu. “Om baik banget, nggak kayak Om Raka.”Suasana meja mendadak hening. Ayla berhenti memegang gelas tehnya, sedangkan Lina dan Mira saling pandang dengan canggung.“Bintang!” tegur Mira cepat, suaranya setengah tertawa tapi jelas penuh maksud. “Nggak boleh ngomong gitu.”Bintang mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba marah. “Kenapa, Ma? Kan bener. Om Raka nggak pernah main sama aku. Dia juga nggak pernah ke sini.”M
Mira keluar dari pintu depan rumah sambil mengikat rambutnya. Matahari mulai condong ke barat, sinarnya yang hangat membuat halaman rumah terlihat lebih hidup. Ia mengernyit kecil saat menyadari bahwa Bintang, anaknya, tidak ada di halaman seperti biasanya.“Bintang!” panggil Mira, melangkah ke arah pagar. Tidak ada jawaban.Matanya melirik ke warung kopi di sebelah kanan rumah, dan ia segera melihat sosok anaknya yang sedang duduk manis di bangku panjang. Namun yang membuat Mira terkejut bukan hanya Bintang—di sebelah anak itu duduk seorang pria muda dengan pakaian rapi, tampak sedang berbicara santai dengan beberapa pria yang sering nongkrong di warung itu.Kening Mira berkerut. Ia mempercepat langkahnya, menghampiri warung dengan rasa penasaran.“Bintang!” panggil Mira, suaranya sedikit tegas.Bintang menoleh cepat, senyumnya melebar. “Iya, Ma!”Mira menghampirinya, langsung menarik tangan anaknya dengan lembut tetapi penuh maksud. “Kamu ngapain di sini? Siapa ini?” tanyanya sambil
Begitu Ayla melangkah masuk ke halaman rumah, suara pintu depan yang terbuka menarik perhatiannya. Lina, ibunya, muncul dari dalam rumah dengan wajah penuh senyum. Di belakangnya, Mira berlari kecil menyusul, wajahnya berseri-seri saat melihat Ayla.“Ayla!” Lina memanggil sambil membuka tangannya lebar.“Ibu…” Ayla tersenyum kecil, lalu berjalan cepat mendekati ibunya. Lina langsung memeluknya erat, hangat dan penuh kasih seperti yang selalu Ayla rindukan.“Kenapa nggak bilang mau pulang?” tanya Lina setelah melepaskan pelukannya. “Kamu tiba-tiba datang aja.”“Biar surprise,” jawab Ayla sambil tertawa kecil. “Aku cuma mampir sebentar, kok.”Mira, adiknya, langsung menggantikan posisi Lina dengan pelukan yang tak kalah erat. “Kak Ayla! Udah lama banget nggak ke sini! Aku kira Kak Ayla lupa jalan pulang ke rumah,” ujarnya sambil terkekeh.“Mana mungkin aku lupa,” balas Ayla sambil mencubit ringan pipi Mira.Mira tertawa, lalu menarik tangan Ayla masuk ke dalam rumah. “Masuk dulu, dong.
Ayla mengusap pipinya perlahan, mencoba menghapus sisa air mata yang masih terasa hangat. Ia menatap Bima, lalu tersenyum kecil, meski senyuman itu tampak dipaksakan. “Makasih, Bima. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada kamu sekarang.”Bima tersenyum, tetapi tatapannya tetap penuh perhatian. “Nggak usah makasih, Ayla. Aku cuma nggak suka lihat kamu kayak gini. Tapi jujur, senyummu itu… masih belum sempurna. Kamu masih kelihatan nggak bahagia.”Ayla menghela napas panjang, pandangannya kembali mengarah ke bukit dan langit biru di kejauhan. “Mungkin aku nggak tahu lagi gimana rasanya bahagia. Semua udah terasa terlalu berat.”Bima menyandarkan tangannya ke pinggul, menatap Ayla dengan serius. “Oke, kalau gitu, apa yang bisa bikin kamu bahagia lagi? Apa yang kamu butuhin sekarang?”Ayla terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaan itu. Ia tertawa kecil, lalu mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Atau…” Ayla menghela napas, suaranya melembut. “Atau keluargaku, Bintang keponakanku. Ru
Malam itu, Ayla duduk di ruang tamu dengan tangan gemetar, ponselnya tergenggam erat. Di layar, bukti tiket dan reservasi hotel masih terbuka, nama-nama itu terpampang jelas: Raka Wasena Aditya dan Laras Kusuma Dewi.Jam dinding berdetak perlahan, suara itu semakin mengisi ruangan yang sepi. Di meja di depannya, secangkir teh yang telah mendingin tidak ia sentuh sama sekali. Ayla mencoba menenangkan dirinya, tetapi air mata yang menggenang di matanya tak bisa ditahan lagi. Beberapa kali ia mengusap pipinya, berharap sisa-sisa air mata itu tidak meninggalkan jejak.Pintu depan akhirnya terbuka. Raka melangkah masuk, tubuhnya terlihat lelah, tetapi matanya langsung bertemu dengan Ayla yang duduk di sofa. Ia berhenti, tatapannya berubah waspada. Ia tahu malam ini akan menjadi malam yang panjang.Ayla berdiri perlahan, matanya yang merah menatap Raka dengan campuran emosi: marah, kecewa, dan luka yang mendalam. “Kamu akhirnya pulang,” ucapnya pelan, suaranya hampir bergetar.Raka melepas
Ayla membuka pintu rumah dengan cepat, langkah kakinya tergesa menuju tangga. Tas belanjaan peralatan kuliah masih tergantung di lengannya, tetapi pikirannya terusik oleh sesuatu yang tak ia duga sebelumnya: pintu kamarnya di lantai atas yang tadi terlihat terbuka dari luar.Ketika ia mencapai lantai atas, napasnya terhenti sesaat. Di dalam kamarnya, Ratna berdiri di dekat meja kerjanya, sementara Nadya dengan santai duduk di tepi tempat tidur, tangan keduanya memegang formulir pendaftaran kuliah milik Ayla."Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Ayla tajam, matanya menatap keduanya dengan penuh kecurigaan.Ratna berbalik, wajahnya penuh kemarahan. Ia mengangkat formulir pendaftaran kuliah itu seperti barang bukti. "Ini apa, Ayla?" suaranya meninggi. "Kamu mau kuliah lagi? Apa kamu pikir uang Raka itu nggak ada batasnya? Kamu akan menghabiskan uangnya untuk hal tidak penting seperti ini?"Ayla melepaskan tas belanjaannya ke lantai, tubuhnya bergetar oleh emosi. "Maaf, Ma. Tapi apa y
Langkah Raka terhenti ketika mendengar suara keras dari sudut koridor yang mengarah ke ruang kerja staf. Ia menoleh, melihat seorang pegawai senior sedang berdiri dengan wajah tegang, berbicara kepada seorang wanita muda yang menundukkan kepala. Pegawai muda itu tampak gugup, jari-jarinya mencengkeram ujung buku catatannya, dan wajahnya memerah karena malu."Lia, kamu sadar nggak seberapa besar masalah yang bisa terjadi karena ini?" tegur pegawai senior itu dengan nada tajam. "Kamu nggak boleh asal mengirimkan informasi penting ke sembarang orang!""Saya... saya benar-benar minta maaf, Pak," jawab Lia dengan suara bergetar. "Tapi saya hanya mengikuti perintah. Saya disuruh mengirimkan rincian hotel dan tiket ke istri Pak Raka."Raka mendekat, matanya menyipit. "Apa yang sedang terjadi di sini?"Kedua pegawai itu menoleh ke arahnya dengan wajah berbeda. Wajah pegawai senior menunjukkan ketakutan, sementara Lia terlihat semakin pucat.“Pak Raka,” panggil pegawai senior itu dengan nada ra
Rak-rak tinggi yang dipenuhi buku dan perlengkapan tulis memenuhi pandangan Ayla saat ia melangkah di antara lorong-lorong toko buku besar itu. Keranjang belanjanya sudah penuh dengan buku catatan, pena beraneka warna, dan beberapa buku teks yang ia rasa akan berguna untuk semester pertamanya nanti. Setiap barang yang ia masukkan ke dalam keranjang membawa semacam kegembiraan kecil, seolah-olah ia sedang membangun awal yang baru, satu barang demi satu barang.Di tengah kegiatannya memilih tas ransel baru, ponsel Ayla bergetar di saku jaketnya. Ia berhenti sejenak, menarik ponsel itu dan melihat nama tak dikenal muncul di layar. Dengan alis sedikit terangkat, ia menerima panggilan itu.“Halo?” tanyanya, sambil menyeimbangkan keranjang belanja di lengannya.“Selamat siang, Ibu Ayla,” suara seorang wanita terdengar ramah dari ujung telepon. “Saya Lia dari kantor Pak Raka. Saya hanya ingin mengonfirmasi reservasi hotel untuk perjalanan Ibu dan Pak Raka ke Medan minggu ini.”Langkah Ayla t
Ayla tiba di kantor Bima dengan langkah ringan, senyum kecil tidak pernah lepas dari wajahnya. Hari itu terasa berbeda, seolah udara di sekitarnya membawa semangat baru. Dengan tas kecil di tangan, ia menuju ruangan Bima yang terletak di ujung lorong kantor yang sibuk.Ia berhenti di depan pintu dengan plakat bertuliskan nama Bima. Menarik napas dalam-dalam, Ayla mengetuk pelan. “Bima, aku sudah di sini,” panggilnya dari luar.“Masuk saja!” jawab suara Bima dari dalam.Ayla membuka pintu, tetapi langkahnya terhenti seketika. Di atas meja kerja Bima, ada sebuket bunga berwarna cerah—mawar, dan baby’s breath yang tersusun rapi dalam vas kaca. Ia menatap bunga itu dengan mata sedikit membelalak, bingung sekaligus terkejut.Bima berdiri di belakang meja, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Selamat, Ayla,” katanya dengan nada tulus yang khas. “Aku dengar kamu sudah resmi jadi mahasiswa lagi.”Ayl