Ratna tersenyum, tetapi Raka merasakan beban itu tidak sepenuhnya hilang. Apakah keputusan ini benar? tanyanya pada dirinya sendiri, namun dia tahu bahwa ini adalah hal yang diinginkan ibunya. Dengan senyum penuh harapan, Ratna meraih tangan Raka dan menggenggamnya dengan lembut.“Terima kasih, Raka. Mama tahu kau akan melakukannya. Ini bukan hanya untuk Laras, tetapi untuk kita semua,” ucap Ratna, terlihat lega.Raka hanya mengangguk, tetapi di dalam hatinya, dia merasa kebingungan. Bagaimana jika Laras tidak berubah? pertanyaannya menghantui. Namun, saat melihat ibunya yang tersenyum bahagia, dia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia melakukan yang benar.“Pelan-pelan saja, Raka. Kita atasi bersama-sama,” ujar Ratna, seolah memahami keraguan yang ada di benak putranya.Saat itu, Raka merasakan harapan baru muncul, meski tetap dibalut oleh ketidakpastian. Dia tahu bahwa perjalanan ke depan tidak akan mudah, tetapi dia bertekad untuk menjaga keluarganya tetap utuh, apa pun yan
Ayla duduk di sebuah kafe yang nyaman di depan kantor Bima, menikmati suasana santai di tengah kesibukan kota. Dengan jendela besar yang menghadap ke jalan, kafe ini dipenuhi dengan cahaya alami yang hangat, dan aroma kopi segar memenuhi udara. Beberapa pengunjung lain tampak sibuk dengan laptop dan obrolan santai, tetapi Ayla hanya fokus pada momen ini.Di hadapannya, Bima tampak ceria, menyeduh kopi untuk dirinya sendiri dan Ayla. “Jadi, gimana perasaanmu tentang proyek ini?” tanyanya sambil menatapnya dengan antusias. “Aku yakin ini akan sukses.”Ayla tersenyum, merasa semangatnya kembali pulih. “Aku bersemangat, Bima. Aku nggak pernah membayangkan ceritaku akan sampai ke tahap ini,” jawabnya, hatinya dipenuhi rasa syukur. “Setiap langkah yang kita bicarakan bikin aku semakin yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat.”Bima mengangguk, mencatat setiap kata dengan seksama. “Dan aku berjanji akan memberikan yang terbaik untuk film ini. Kita akan bekerja sama untuk membuat cerita i
Pagi di rumah itu tidak lagi dipenuhi suara langkah cepat Ayla menuju dapur untuk menyiapkan sarapan, atau bunyi piring yang diletakkannya di atas meja makan. Dapur tetap sunyi, hanya terdengar dengungan lemari es yang memecah keheningan.Raka keluar dari kamar dengan dasi yang sudah setengah terikat di leher, matanya langsung melirik meja makan yang kosong. Seprai di sofa masih berantakan, tanda bahwa Ayla memilih tertidur di sana semalam. Di sudut meja dapur, segelas kopi yang tampaknya telah dingin sejak malam sebelumnya menunggu untuk dibuang.Ayla jarang berada di rumah. Minggu-minggu terakhir, waktu paginya dimulai lebih awal dari Raka, sementara malam-malamnya dihabiskan di luar, bekerja di sebuah proyek yang tidak banyak ia ceritakan. Awalnya, Raka tidak memerhatikan ketidakhadiran Ayla. Rutinitasnya sendiri menyita perhatian; panggilan-panggilan rapat, dokumen yang perlu ditinjau, dan jadwal makan siang bersama klien.Namun, perlahan, ketidakhadiran itu mulai terasa.Saat Raka
Di ruang tamu, Ratna meletakkan cangkir tehnya dengan gerakan yang sedikit kasar. Tatapannya tertuju pada pintu kamar Ayla yang baru saja tertutup. Nadya, yang duduk bersandar dengan ekspresi tidak senang, mulai berbicara lebih dulu.“Kamu lihat tadi, Ma? Sombongnya Ayla sekarang.” Nadya memutar bola matanya, menambahkan nada ejekan. “Padahal, kalau nggak karena kita, dia nggak mungkin bisa seperti sekarang. Tinggal di rumah sebesar ini, hidup enak, nggak usah mikir bayar ini-itu.”Ratna mengangguk perlahan, tatapannya tajam. “Benar sekali, Nadya. Ayla itu benar-benar nggak tahu diri. Sudah dibiarkan tinggal di rumah ini, diberikan uang untuk bantu keluarganya yang… ya, kamu tahu sendiri bagaimana keadaannya, malah begini balasannya.”Nadya tertawa kecil, suaranya penuh sindiran. “Aku nggak paham, Ma. Kok Kak Raka bisa memilih perempuan seperti itu? Lihat saja Laras. Dia itu pintar, elegan, dan tahu caranya menghormati orang tua. Bukan seperti Ayla yang berlagak hebat hanya karena jad
Di sebuah kafe kecil yang nyaman, mereka duduk di meja dekat jendela. Sinar matahari menyelinap melalui tirai, menciptakan suasana hangat di antara mereka.“Mau pesan apa?” tanya Bima, menyerahkan menu kepada Ayla.“Aku pilih yang ringan saja,” jawab Ayla sambil tersenyum kecil.Setelah mereka memesan, obrolan ringan mengalir. Ayla merasa lebih santai, jauh dari tekanan rumah. Bima tidak hanya berbicara tentang proyek film, tetapi juga bertanya tentang hal-hal sederhana dalam hidup Ayla.“Ngomong-ngomong,” kata Bima sambil menyeruput kopinya, “selamat ya, Ayla. Aku dengar kamu memutuskan sudah memutuskan dimana akan kuliah. Itu keputusan besar.”Ayla tersenyum kecil, menunduk sebentar sebelum menjawab. “Terima kasih. Sebenarnya, keputusan itu lebih mudah aku ambil karena teman yang kamu kenalkan. Dia menjelaskan banyak hal tentang programnya. Aku merasa yakin untuk mencoba.”Bima mengangguk. “Aku senang mendengarnya. Ini babak baru buat kamu. Aku yakin kamu akan menikmati prosesnya.”
Laras masih duduk di sofa ruang kerja Raka, kedua tangannya menggenggam cangkir teh yang baru saja ia buat dari pantry kantor. Matanya memperhatikan Raka yang kembali sibuk memeriksa laporan di laptop, meskipun makanan yang ia bawa tadi baru setengah disentuh.“Raka,” panggil Laras pelan, nada suaranya seolah enggan mengganggu.Raka mengangkat wajahnya dari layar, menatap Laras yang tampak ragu untuk melanjutkan. “Ada apa, Laras?”Laras tersenyum tipis, meletakkan cangkir di meja kecil di sebelahnya. “Aku cuma kepikiran… akhir pekan nanti kamu ada rencana apa?”Raka mendesah pelan sambil menyandarkan tubuh ke kursi. “Harusnya bisa istirahat, tapi nggak. Aku ada jadwal ke Medan. Mau monitoring pasokan barang untuk supermarket di sana.”“Oh.” Laras mengangguk pelan, lalu melirik ke arah jendela sejenak sebelum kembali menatap Raka. “Kalau begitu, bagaimana kalau aku ikut ke Meda
Ayla tiba di kantor Bima dengan langkah ringan, senyum kecil tidak pernah lepas dari wajahnya. Hari itu terasa berbeda, seolah udara di sekitarnya membawa semangat baru. Dengan tas kecil di tangan, ia menuju ruangan Bima yang terletak di ujung lorong kantor yang sibuk.Ia berhenti di depan pintu dengan plakat bertuliskan nama Bima. Menarik napas dalam-dalam, Ayla mengetuk pelan. “Bima, aku sudah di sini,” panggilnya dari luar.“Masuk saja!” jawab suara Bima dari dalam.Ayla membuka pintu, tetapi langkahnya terhenti seketika. Di atas meja kerja Bima, ada sebuket bunga berwarna cerah—mawar, dan baby’s breath yang tersusun rapi dalam vas kaca. Ia menatap bunga itu dengan mata sedikit membelalak, bingung sekaligus terkejut.Bima berdiri di belakang meja, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Selamat, Ayla,” katanya dengan nada tulus yang khas. “Aku dengar kamu sudah resmi jadi mahasiswa lagi.”Ayl
Rak-rak tinggi yang dipenuhi buku dan perlengkapan tulis memenuhi pandangan Ayla saat ia melangkah di antara lorong-lorong toko buku besar itu. Keranjang belanjanya sudah penuh dengan buku catatan, pena beraneka warna, dan beberapa buku teks yang ia rasa akan berguna untuk semester pertamanya nanti. Setiap barang yang ia masukkan ke dalam keranjang membawa semacam kegembiraan kecil, seolah-olah ia sedang membangun awal yang baru, satu barang demi satu barang.Di tengah kegiatannya memilih tas ransel baru, ponsel Ayla bergetar di saku jaketnya. Ia berhenti sejenak, menarik ponsel itu dan melihat nama tak dikenal muncul di layar. Dengan alis sedikit terangkat, ia menerima panggilan itu.“Halo?” tanyanya, sambil menyeimbangkan keranjang belanja di lengannya.“Selamat siang, Ibu Ayla,” suara seorang wanita terdengar ramah dari ujung telepon. “Saya Lia dari kantor Pak Raka. Saya hanya ingin mengonfirmasi reservasi hotel untuk perjalanan Ibu dan Pak Raka ke Medan minggu ini.”Langkah Ayla t
Setelah makan malam selesai, mereka semua masih duduk di meja makan, menikmati obrolan ringan yang diiringi tawa. Bintang, yang baru saja menyelesaikan sepotong tahu gorengnya, tiba-tiba menatap Bima dengan mata berbinar.“Om Bima, Om keren banget!” serunya tiba-tiba, membuat semua orang di meja menoleh ke arahnya.Bima terkekeh, menepuk kepala Bintang dengan lembut. “Kok tiba-tiba bilang gitu? Keren kenapa, Bintang?”“Karena tadi Om mau main sama aku. Terus Om ngobrol sama aku lama-lama di warung,” jawab Bintang polos sambil menyeka mulutnya dengan tisu. “Om baik banget, nggak kayak Om Raka.”Suasana meja mendadak hening. Ayla berhenti memegang gelas tehnya, sedangkan Lina dan Mira saling pandang dengan canggung.“Bintang!” tegur Mira cepat, suaranya setengah tertawa tapi jelas penuh maksud. “Nggak boleh ngomong gitu.”Bintang mengerutkan kening, tidak mengerti kenapa ibunya tiba-tiba marah. “Kenapa, Ma? Kan bener. Om Raka nggak pernah main sama aku. Dia juga nggak pernah ke sini.”M
Mira keluar dari pintu depan rumah sambil mengikat rambutnya. Matahari mulai condong ke barat, sinarnya yang hangat membuat halaman rumah terlihat lebih hidup. Ia mengernyit kecil saat menyadari bahwa Bintang, anaknya, tidak ada di halaman seperti biasanya.“Bintang!” panggil Mira, melangkah ke arah pagar. Tidak ada jawaban.Matanya melirik ke warung kopi di sebelah kanan rumah, dan ia segera melihat sosok anaknya yang sedang duduk manis di bangku panjang. Namun yang membuat Mira terkejut bukan hanya Bintang—di sebelah anak itu duduk seorang pria muda dengan pakaian rapi, tampak sedang berbicara santai dengan beberapa pria yang sering nongkrong di warung itu.Kening Mira berkerut. Ia mempercepat langkahnya, menghampiri warung dengan rasa penasaran.“Bintang!” panggil Mira, suaranya sedikit tegas.Bintang menoleh cepat, senyumnya melebar. “Iya, Ma!”Mira menghampirinya, langsung menarik tangan anaknya dengan lembut tetapi penuh maksud. “Kamu ngapain di sini? Siapa ini?” tanyanya sambil
Begitu Ayla melangkah masuk ke halaman rumah, suara pintu depan yang terbuka menarik perhatiannya. Lina, ibunya, muncul dari dalam rumah dengan wajah penuh senyum. Di belakangnya, Mira berlari kecil menyusul, wajahnya berseri-seri saat melihat Ayla.“Ayla!” Lina memanggil sambil membuka tangannya lebar.“Ibu…” Ayla tersenyum kecil, lalu berjalan cepat mendekati ibunya. Lina langsung memeluknya erat, hangat dan penuh kasih seperti yang selalu Ayla rindukan.“Kenapa nggak bilang mau pulang?” tanya Lina setelah melepaskan pelukannya. “Kamu tiba-tiba datang aja.”“Biar surprise,” jawab Ayla sambil tertawa kecil. “Aku cuma mampir sebentar, kok.”Mira, adiknya, langsung menggantikan posisi Lina dengan pelukan yang tak kalah erat. “Kak Ayla! Udah lama banget nggak ke sini! Aku kira Kak Ayla lupa jalan pulang ke rumah,” ujarnya sambil terkekeh.“Mana mungkin aku lupa,” balas Ayla sambil mencubit ringan pipi Mira.Mira tertawa, lalu menarik tangan Ayla masuk ke dalam rumah. “Masuk dulu, dong.
Ayla mengusap pipinya perlahan, mencoba menghapus sisa air mata yang masih terasa hangat. Ia menatap Bima, lalu tersenyum kecil, meski senyuman itu tampak dipaksakan. “Makasih, Bima. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada kamu sekarang.”Bima tersenyum, tetapi tatapannya tetap penuh perhatian. “Nggak usah makasih, Ayla. Aku cuma nggak suka lihat kamu kayak gini. Tapi jujur, senyummu itu… masih belum sempurna. Kamu masih kelihatan nggak bahagia.”Ayla menghela napas panjang, pandangannya kembali mengarah ke bukit dan langit biru di kejauhan. “Mungkin aku nggak tahu lagi gimana rasanya bahagia. Semua udah terasa terlalu berat.”Bima menyandarkan tangannya ke pinggul, menatap Ayla dengan serius. “Oke, kalau gitu, apa yang bisa bikin kamu bahagia lagi? Apa yang kamu butuhin sekarang?”Ayla terdiam sejenak, mencoba mencerna pertanyaan itu. Ia tertawa kecil, lalu mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Atau…” Ayla menghela napas, suaranya melembut. “Atau keluargaku, Bintang keponakanku. Ru
Malam itu, Ayla duduk di ruang tamu dengan tangan gemetar, ponselnya tergenggam erat. Di layar, bukti tiket dan reservasi hotel masih terbuka, nama-nama itu terpampang jelas: Raka Wasena Aditya dan Laras Kusuma Dewi.Jam dinding berdetak perlahan, suara itu semakin mengisi ruangan yang sepi. Di meja di depannya, secangkir teh yang telah mendingin tidak ia sentuh sama sekali. Ayla mencoba menenangkan dirinya, tetapi air mata yang menggenang di matanya tak bisa ditahan lagi. Beberapa kali ia mengusap pipinya, berharap sisa-sisa air mata itu tidak meninggalkan jejak.Pintu depan akhirnya terbuka. Raka melangkah masuk, tubuhnya terlihat lelah, tetapi matanya langsung bertemu dengan Ayla yang duduk di sofa. Ia berhenti, tatapannya berubah waspada. Ia tahu malam ini akan menjadi malam yang panjang.Ayla berdiri perlahan, matanya yang merah menatap Raka dengan campuran emosi: marah, kecewa, dan luka yang mendalam. “Kamu akhirnya pulang,” ucapnya pelan, suaranya hampir bergetar.Raka melepas
Ayla membuka pintu rumah dengan cepat, langkah kakinya tergesa menuju tangga. Tas belanjaan peralatan kuliah masih tergantung di lengannya, tetapi pikirannya terusik oleh sesuatu yang tak ia duga sebelumnya: pintu kamarnya di lantai atas yang tadi terlihat terbuka dari luar.Ketika ia mencapai lantai atas, napasnya terhenti sesaat. Di dalam kamarnya, Ratna berdiri di dekat meja kerjanya, sementara Nadya dengan santai duduk di tepi tempat tidur, tangan keduanya memegang formulir pendaftaran kuliah milik Ayla."Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya Ayla tajam, matanya menatap keduanya dengan penuh kecurigaan.Ratna berbalik, wajahnya penuh kemarahan. Ia mengangkat formulir pendaftaran kuliah itu seperti barang bukti. "Ini apa, Ayla?" suaranya meninggi. "Kamu mau kuliah lagi? Apa kamu pikir uang Raka itu nggak ada batasnya? Kamu akan menghabiskan uangnya untuk hal tidak penting seperti ini?"Ayla melepaskan tas belanjaannya ke lantai, tubuhnya bergetar oleh emosi. "Maaf, Ma. Tapi apa y
Langkah Raka terhenti ketika mendengar suara keras dari sudut koridor yang mengarah ke ruang kerja staf. Ia menoleh, melihat seorang pegawai senior sedang berdiri dengan wajah tegang, berbicara kepada seorang wanita muda yang menundukkan kepala. Pegawai muda itu tampak gugup, jari-jarinya mencengkeram ujung buku catatannya, dan wajahnya memerah karena malu."Lia, kamu sadar nggak seberapa besar masalah yang bisa terjadi karena ini?" tegur pegawai senior itu dengan nada tajam. "Kamu nggak boleh asal mengirimkan informasi penting ke sembarang orang!""Saya... saya benar-benar minta maaf, Pak," jawab Lia dengan suara bergetar. "Tapi saya hanya mengikuti perintah. Saya disuruh mengirimkan rincian hotel dan tiket ke istri Pak Raka."Raka mendekat, matanya menyipit. "Apa yang sedang terjadi di sini?"Kedua pegawai itu menoleh ke arahnya dengan wajah berbeda. Wajah pegawai senior menunjukkan ketakutan, sementara Lia terlihat semakin pucat.“Pak Raka,” panggil pegawai senior itu dengan nada ra
Rak-rak tinggi yang dipenuhi buku dan perlengkapan tulis memenuhi pandangan Ayla saat ia melangkah di antara lorong-lorong toko buku besar itu. Keranjang belanjanya sudah penuh dengan buku catatan, pena beraneka warna, dan beberapa buku teks yang ia rasa akan berguna untuk semester pertamanya nanti. Setiap barang yang ia masukkan ke dalam keranjang membawa semacam kegembiraan kecil, seolah-olah ia sedang membangun awal yang baru, satu barang demi satu barang.Di tengah kegiatannya memilih tas ransel baru, ponsel Ayla bergetar di saku jaketnya. Ia berhenti sejenak, menarik ponsel itu dan melihat nama tak dikenal muncul di layar. Dengan alis sedikit terangkat, ia menerima panggilan itu.“Halo?” tanyanya, sambil menyeimbangkan keranjang belanja di lengannya.“Selamat siang, Ibu Ayla,” suara seorang wanita terdengar ramah dari ujung telepon. “Saya Lia dari kantor Pak Raka. Saya hanya ingin mengonfirmasi reservasi hotel untuk perjalanan Ibu dan Pak Raka ke Medan minggu ini.”Langkah Ayla t
Ayla tiba di kantor Bima dengan langkah ringan, senyum kecil tidak pernah lepas dari wajahnya. Hari itu terasa berbeda, seolah udara di sekitarnya membawa semangat baru. Dengan tas kecil di tangan, ia menuju ruangan Bima yang terletak di ujung lorong kantor yang sibuk.Ia berhenti di depan pintu dengan plakat bertuliskan nama Bima. Menarik napas dalam-dalam, Ayla mengetuk pelan. “Bima, aku sudah di sini,” panggilnya dari luar.“Masuk saja!” jawab suara Bima dari dalam.Ayla membuka pintu, tetapi langkahnya terhenti seketika. Di atas meja kerja Bima, ada sebuket bunga berwarna cerah—mawar, dan baby’s breath yang tersusun rapi dalam vas kaca. Ia menatap bunga itu dengan mata sedikit membelalak, bingung sekaligus terkejut.Bima berdiri di belakang meja, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Selamat, Ayla,” katanya dengan nada tulus yang khas. “Aku dengar kamu sudah resmi jadi mahasiswa lagi.”Ayl