Setelah beberapa saat menyesap whiskey, suasana antara Raka dan Laras semakin berubah. Suasana yang sebelumnya canggung kini terasa semakin akrab, meski Raka tetap menjaga jarak emosionalnya. Dia menatap ke arah jam di dinding hotel, menunggu investor yang tak kunjung datang. Namun, Laras tampaknya tidak terlalu peduli dengan keterlambatan itu.
Laras menatap Raka dengan tatapan lembut namun penuh arti. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menikmati setiap detik seolah-olah dia benar-benar ingin berada di tempat ini lebih lama. “Raka,” ucapnya pelan, memecah keheningan di antara mereka. “Aku penasaran... apakah kamu bahagia dengan Ayla?”
Pertanyaan itu datang tiba-tiba, membuat Raka sedikit tertegun. Alisnya berkerut saat dia menatap Laras dengan penuh kebingungan. “Kenapa kamu menanyakan itu?” Raka balik bertanya, suaranya terdengar dingin, berusaha menutup percakapan ini.
Laras tersenyum kecil, seolah mengetahui bahwa pertanya
Malam semakin larut ketika Ayla akhirnya bisa membebaskan diri dari pesta pernikahan yang mewah namun mencekik. Ia pulang terpisah dari Ibu Raka, yang tampak puas dengan peran sosialnya malam itu. Ayla merasa seolah-olah selama beberapa jam terakhir, dirinya adalah boneka yang ditampilkan di hadapan orang-orang yang hanya ingin menilai dan mencibirnya.Mobil yang membawanya pulang meluncur dengan tenang di jalan-jalan kota yang kini sepi, tapi di dalam hati Ayla, badai emosi masih terus berputar. Laras, pendidikan, keluarga, semua tentang diriku selalu dianggap kurang, pikirnya. Ia menatap keluar jendela mobil, melihat lampu-lampu jalan yang mulai memudar di kejauhan, sementara perasaan tidak berharga terus menghantuinya.Begitu sampai di rumah, Ayla keluar dari mobil dengan langkah lelah. Angin malam berhembus lembut, tetapi tidak mampu menenangkan kegelisahan di dalam dadanya. Ia masuk ke dalam rumah yang terasa begitu sunyi, dan saat pintu tertutup di belakangnya, A
Dengan susah payah, Ayla berhasil membawa Raka menuju kamarnya. Tubuh Raka terasa berat di pundaknya, dan setiap langkah mereka diiringi oleh suara napas berat yang keluar dari mulut Raka. Keringat dingin masih membasahi wajah Raka, dan Ayla bisa merasakan suhu tubuhnya yang semakin tinggi. Dalam hatinya, dia khawatir bahwa Raka bisa jatuh sakit dengan sangat serius jika tidak segera ditangani.Begitu mereka sampai di kamar, Ayla dengan lembut membaringkan Raka di tempat tidur. Raka tampak lebih tenang, namun napasnya masih terdengar berat dan tubuhnya terus memanas. Ayla duduk di tepi ranjang, menatap suaminya yang tampak tak berdaya.“Raka, kamu perlu istirahat,” kata Ayla dengan nada lembut namun cemas. “Aku akan mengambil air minum untukmu.”Namun, ketika Ayla berdiri dan hendak meninggalkan kamar, Raka tiba-tiba meraih pergelangan tangannya. Pegangan tangannya tidak begitu kuat, tetapi cukup untuk menghentikan Ayla melangkah lebih jauh. Dia menatap suaminya
“Raka, tolong… ini bukan kamu,” ucapnya lembut, meskipun suara hatinya bergetar. Dia ingin menyentuh Raka, tetapi saat ini, dia tahu bahwa Raka sedang berjuang melawan sesuatu yang lebih besar.Raka menatap Ayla dengan mata yang kosong, seolah ada perang di dalam dirinya. Di satu sisi, hasrat yang menggebu, dan di sisi lain, suara akal sehat yang berusaha menahan dirinya. Dengan sisa kesadarannya, dia merasakan ketegangan dalam tubuhnya. Ini bukan cara yang seharusnya.Momen itu terasa seperti berada di ambang jurang—antara keinginan dan kenyataan. Raka ingin mendekat, tetapi dalam ketidakpastian ini, dia merasakan kesedihan yang menyelimuti hatinya. Apa yang sudah terjadi padaku? pikirnya, berusaha menahan perasaan yang terlalu menguasai.Di bawah cahaya temaram kamar mereka, perasaan yang terpendam sekian lama akhirnya pecah. Raka dan Ayla, yang selama satu tahun hidup dalam jarak dan kesunyian, kini berada dalam situasi yang
Keesokan paginya, sinar matahari yang lembut menerobos melalui jendela kamar mereka, tetapi suasana di antara Ayla dan Raka terasa berat. Setelah malam penuh keintiman yang tidak pernah mereka bayangkan, keheningan menyelimuti kamar saat mereka bangun. Raka masih terbaring di tempat tidur, sementara Ayla duduk di tepi ranjang, menatap lantai dengan pikiran yang berputar-putar.Kejadian semalam masih segar di benak mereka berdua. Malam yang dimulai dengan kejutan dan kebingungan telah berubah menjadi momen penuh gairah, tetapi kini, saat pagi datang, perasaan yang bercampur aduk melingkupi mereka.Ayla bisa merasakan suasana canggung yang tebal di udara. Dia tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, dia merasakan kehangatan dan harapan dari malam yang mereka lalui, namun di sisi lain, ada rasa bingung dan ketakutan—apakah semua itu nyata? Atau hanya akibat dari sesuatu yang tidak seharusnya terjadi?Raka, yang biasanya bersikap tenang dan penuh kendali, tampak berbeda pagi itu. Dia d
Di tengah malam di gemerlapnya kota besar yang tak pernah tidur, Ayla Sasmita, menjalani hari-harinya di sebuah rumah megah yang terasa sepi.Di kamarnya, Ayla meraih keyboard, jemarinya menari lembut di atasnya, menciptakan kisah baru dari novel yang sedang ia tulis. Setiap kata yang terukir mencerminkan kerinduan dan harapan yang terpendam. Ia menciptakan dunia yang penuh dengan cinta dan kebahagiaan, sesuatu yang sangat ia rindukan dalam kehidupan nyata. Sesekali, Ayla berhenti sejenak, menatap keluar jendela.Kamar Ayla adalah perpaduan antara kemewahan dan kenyamanan, mencerminkan siapa dirinya yang lembut namun mandiri. Dinding-dinding kamar dihiasi dengan cat berwarna pastel yang menenangkan, memberikan kesan hangat dan ramah. Di satu sisi, terdapat rak buku besar yang dipenuhi dengan novel-novel klasik dan karya-karya sastra favoritnya. Setiap buku memiliki cerita dan kenangan tersendiri, seolah menjadi teman setia dalam kesendiriannya.Di tengah kamar, sebuah tempat tidur kin
Pagi menjelang, cahaya lembut matahari menyinari sudut-sudut rumah yang megah. Ayla bangkit dari tidurnya dengan semangat baru. Hari ini, ia memutuskan untuk membuat sarapan istimewa untuk Raka. Dengan harapan bahwa momen kecil ini bisa memperbaiki suasana di antara mereka, ia berjalan menuju dapur dengan langkah ringan, menyanyikan lagu-lagu kecil dalam hati.Dapur di rumah ini adalah ruang yang mencerminkan kepribadiannya: elegan, rapi, dan hangat. Dindingnya berwarna putih bersih dengan aksen kayu alami yang memberikan nuansa hangat dan nyaman. Lemari dapur yang tertata rapi menyimpan berbagai peralatan masak, dari spatula kayu yang halus, semuanya terorganisir dengan baik. Di atas meja dapur, terdapat pot tanaman herbal segar—basil, thyme, dan rosemary—yang mengisi ruangan dengan aroma segar dan menggugah selera.Di sudut dapur, ada meja kecil tempatnya menulis catatan resepnya, menandai kreasi baru yang ingin dicobanya. Dapur ini adalah tempat pelarian baginya—sebuah ruang di man
Setelah beberapa menit dalam mobil yang sunyi, mereka tiba di depan restoran mewah yang berdiri anggun, dikelilingi oleh taman yang terawat rapi. Ayla menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan pikirannya dari ketegangan yang memenuhi udara. Ia melihat orang-orang yang datang dan pergi, sebagian besar dengan senyum ceria di wajah mereka, seolah tak ada yang tahu betapa beratnya hatinya saat ini.Saat Raka mematikan mesin mobil, Ayla merasakan detakan jantungnya semakin kencang. Ia menatap pintu masuk restoran yang megah, dengan tirai merah marun yang menggantung lembut, dan pelayan berpakaian rapi siap menyambut tamu. Di dalamnya, lampu-lampu berpendar lembut menciptakan suasana yang hangat, namun Ayla tahu betul bahwa itu hanya ilusi. Di balik kemewahan itu, tersimpan berbagai perasaan yang sulit diungkapkan.“Kamu sudah siap?” Raka bertanya, suaranya datar dan terkesan tidak peduli.Ayla mengangguk, walaupun ia tahu tidak ada yang bisa mempersiapkan hatinya untuk menghadapi keluar
Setelah makan siang yang penuh ketegangan, Raka dan Ayla melangkah keluar dari restoran. Suasana di luar terasa kontras dengan keadaan hati Ayla. Mentari bersinar cerah, namun hatinya terasa berat seakan semua beban yang ditanggungnya terakumulasi dalam satu hari yang melelahkan. Mereka berjalan menuju mobil, langkah Raka tampak cepat dan terfokus, sementara Ayla berusaha mengejar. Keduanya kembali ke dalam mobil, dan kesunyian menyelimuti mereka. Ayla merasakan kekosongan yang menyakitkan, seolah kata-kata yang tidak terucap menggantung di udara.Setelah beberapa saat, Raka memecah keheningan. “Aku harus menerima telepon penting,” katanya, tidak menjelaskan lebih lanjut. Ia meraih ponselnya, memeriksa layar, dan terlihat tidak sabar untuk menjawab. “Maaf, ini mendesak,” tambahnya, lalu dengan cepat menelpon sambil mengemudikan mobil.Ayla menatap ke luar jendela, mengamati pemandangan yang berlalu. Dia merasa seolah berada di luar kehidupan suaminya, terasing dalam kebisuan yang kian
Keesokan paginya, sinar matahari yang lembut menerobos melalui jendela kamar mereka, tetapi suasana di antara Ayla dan Raka terasa berat. Setelah malam penuh keintiman yang tidak pernah mereka bayangkan, keheningan menyelimuti kamar saat mereka bangun. Raka masih terbaring di tempat tidur, sementara Ayla duduk di tepi ranjang, menatap lantai dengan pikiran yang berputar-putar.Kejadian semalam masih segar di benak mereka berdua. Malam yang dimulai dengan kejutan dan kebingungan telah berubah menjadi momen penuh gairah, tetapi kini, saat pagi datang, perasaan yang bercampur aduk melingkupi mereka.Ayla bisa merasakan suasana canggung yang tebal di udara. Dia tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, dia merasakan kehangatan dan harapan dari malam yang mereka lalui, namun di sisi lain, ada rasa bingung dan ketakutan—apakah semua itu nyata? Atau hanya akibat dari sesuatu yang tidak seharusnya terjadi?Raka, yang biasanya bersikap tenang dan penuh kendali, tampak berbeda pagi itu. Dia d
“Raka, tolong… ini bukan kamu,” ucapnya lembut, meskipun suara hatinya bergetar. Dia ingin menyentuh Raka, tetapi saat ini, dia tahu bahwa Raka sedang berjuang melawan sesuatu yang lebih besar.Raka menatap Ayla dengan mata yang kosong, seolah ada perang di dalam dirinya. Di satu sisi, hasrat yang menggebu, dan di sisi lain, suara akal sehat yang berusaha menahan dirinya. Dengan sisa kesadarannya, dia merasakan ketegangan dalam tubuhnya. Ini bukan cara yang seharusnya.Momen itu terasa seperti berada di ambang jurang—antara keinginan dan kenyataan. Raka ingin mendekat, tetapi dalam ketidakpastian ini, dia merasakan kesedihan yang menyelimuti hatinya. Apa yang sudah terjadi padaku? pikirnya, berusaha menahan perasaan yang terlalu menguasai.Di bawah cahaya temaram kamar mereka, perasaan yang terpendam sekian lama akhirnya pecah. Raka dan Ayla, yang selama satu tahun hidup dalam jarak dan kesunyian, kini berada dalam situasi yang
Dengan susah payah, Ayla berhasil membawa Raka menuju kamarnya. Tubuh Raka terasa berat di pundaknya, dan setiap langkah mereka diiringi oleh suara napas berat yang keluar dari mulut Raka. Keringat dingin masih membasahi wajah Raka, dan Ayla bisa merasakan suhu tubuhnya yang semakin tinggi. Dalam hatinya, dia khawatir bahwa Raka bisa jatuh sakit dengan sangat serius jika tidak segera ditangani.Begitu mereka sampai di kamar, Ayla dengan lembut membaringkan Raka di tempat tidur. Raka tampak lebih tenang, namun napasnya masih terdengar berat dan tubuhnya terus memanas. Ayla duduk di tepi ranjang, menatap suaminya yang tampak tak berdaya.“Raka, kamu perlu istirahat,” kata Ayla dengan nada lembut namun cemas. “Aku akan mengambil air minum untukmu.”Namun, ketika Ayla berdiri dan hendak meninggalkan kamar, Raka tiba-tiba meraih pergelangan tangannya. Pegangan tangannya tidak begitu kuat, tetapi cukup untuk menghentikan Ayla melangkah lebih jauh. Dia menatap suaminya
Malam semakin larut ketika Ayla akhirnya bisa membebaskan diri dari pesta pernikahan yang mewah namun mencekik. Ia pulang terpisah dari Ibu Raka, yang tampak puas dengan peran sosialnya malam itu. Ayla merasa seolah-olah selama beberapa jam terakhir, dirinya adalah boneka yang ditampilkan di hadapan orang-orang yang hanya ingin menilai dan mencibirnya.Mobil yang membawanya pulang meluncur dengan tenang di jalan-jalan kota yang kini sepi, tapi di dalam hati Ayla, badai emosi masih terus berputar. Laras, pendidikan, keluarga, semua tentang diriku selalu dianggap kurang, pikirnya. Ia menatap keluar jendela mobil, melihat lampu-lampu jalan yang mulai memudar di kejauhan, sementara perasaan tidak berharga terus menghantuinya.Begitu sampai di rumah, Ayla keluar dari mobil dengan langkah lelah. Angin malam berhembus lembut, tetapi tidak mampu menenangkan kegelisahan di dalam dadanya. Ia masuk ke dalam rumah yang terasa begitu sunyi, dan saat pintu tertutup di belakangnya, A
Setelah beberapa saat menyesap whiskey, suasana antara Raka dan Laras semakin berubah. Suasana yang sebelumnya canggung kini terasa semakin akrab, meski Raka tetap menjaga jarak emosionalnya. Dia menatap ke arah jam di dinding hotel, menunggu investor yang tak kunjung datang. Namun, Laras tampaknya tidak terlalu peduli dengan keterlambatan itu.Laras menatap Raka dengan tatapan lembut namun penuh arti. Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menikmati setiap detik seolah-olah dia benar-benar ingin berada di tempat ini lebih lama. “Raka,” ucapnya pelan, memecah keheningan di antara mereka. “Aku penasaran... apakah kamu bahagia dengan Ayla?”Pertanyaan itu datang tiba-tiba, membuat Raka sedikit tertegun. Alisnya berkerut saat dia menatap Laras dengan penuh kebingungan. “Kenapa kamu menanyakan itu?” Raka balik bertanya, suaranya terdengar dingin, berusaha menutup percakapan ini.Laras tersenyum kecil, seolah mengetahui bahwa pertanya
Malam itu, suasana di Hotel Grand Majestic terasa tenang dan elegan, dengan cahaya lampu-lampu kristal yang memantul dari dinding marmer yang mengkilap. Di lobi hotel yang mewah, Raka melangkah masuk dengan langkah tenang namun tergesa. Dia merasa sedikit ragu, tetapi perjanjian ini sudah diatur, dan dia tidak ingin mengecewakan Laras, yang sebelumnya meminta bantuannya.Laras telah menghubungi Raka beberapa hari yang lalu, mengatakan bahwa dia memiliki kesempatan bertemu dengan investor penting untuk bisnisnya. Sesuai dengan janjinya dengan ibunya, Raka diminta untuk menemaninya, mengingat pengalamannya yang luas dalam dunia bisnis. Raka, meskipun ragu, menyetujui pertemuan itu, karena dia merasa ini adalah kesempatan profesional, bukan sesuatu yang bersifat pribadi.Saat Raka tiba di lobi hotel, dia melihat Laras sudah menunggunya di dekat bar, duduk anggun dengan gaun malam berwarna hitam yang membuatnya tampak mempesona. Senyumnya menyambut Raka ketika dia melangka
Di tengah suasana pesta yang semakin meriah, Ayla duduk di meja bersama Ratna, berusaha menikmati hidangan yang disajikan meski hatinya terasa semakin tertekan. Percakapan yang berlangsung di meja mereka terasa jauh dari jangkauan Ayla—semua tentang bisnis, koneksi, dan status sosial. Ayla tetap diam, tidak ingin menarik perhatian lebih dari orang-orang di sekitarnya.Namun, tiba-tiba, beberapa teman lama Ibu Raka yang tampak elegan dan berkelas mendekati meja mereka. Dengan senyuman lebar, mereka menyapa Ratna dengan hangat, lalu memandang Ayla dengan tatapan ingin tahu.“Oh, Ratna!” seru salah satu dari mereka, seorang wanita berusia paruh baya dengan perhiasan berlian yang berkilau di lehernya. “Sudah lama nggak bertemu! Aku baru aja ketemu dengan Raka beberapa waktu lalu, dan aku nggak tahu dia sudah menikah. Aku nggak mendengar apa-apa soal pernikahan ini. Mengapa kalian enggak mengadakan perayaan besar-besaran?”Ratna tersenyu
Sudah lima hari berlalu, dan selama itu, suasana rumah Ayla dan Raka berubah menjadi sunyi. Bukan sunyi yang nyaman, melainkan sunyi yang menusuk, penuh dengan perasaan terasing. Setiap langkah di rumah terasa canggung, setiap detik berlalu dengan ketidakpastian yang menggantung di udara.Raka hampir tidak pernah menyapa Ayla. Bahkan saat mereka bertemu di lorong atau di ruang makan, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tatapan Raka yang dulu penuh ketenangan, kini hanya menatap lurus ke depan, seolah-olah Ayla tidak ada di hadapannya. Ia menghindari percakapan, menghindari sentuhan, dan setiap kali berada di ruangan yang sama dengan Ayla, dia hanya berusaha menyelesaikan kegiatan dengan cepat dan pergi tanpa bicara.Ayla merasakan keheningan itu semakin dalam. Awalnya, dia mencoba memahami, memberi ruang kepada Raka agar bisa mendinginkan diri setelah perdebatan terakhir mereka. Namun, semakin hari berlalu, perang dingin di antara mereka semakin menyakitkan. Ayla tahu bahwa
Setelah menjelaskan beberapa sutradara dan penulis skenario, Bima menatap Ayla dengan serius. “Ngomong-ngomong, tentang perdebatan yang terjadi di restoran kemarin... aku ingin minta maaf karena menghindari perdebatan itu. Aku tahu betapa sulitnya situasi yang kamu hadapi.”Ayla terkejut mendengar pernyataan Bima. “Nggak apa-apa, Bima. Itu urusan pribadi yang rumit,” jawabnya, berusaha tidak menunjukkan betapa beratnya beban di hatinya. “Tapi memang, situasi itu cukup membuatku stres.”Bima mengangguk, menunjukkan empati. “Aku menghormati privasi kamu, tetapi aku nggak bisa menahan rasa ingin tahuku. Apa yang sebenarnya terjadi? Kalau kamu merasa nyaman, aku ada di sini untuk mendengarkan.”Ayla menundukkan kepala sejenak, mengumpulkan pikirannya. Apakah aku siap membagikan ini? pikirnya, tetapi ada sesuatu dalam sikap Bima yang membuatnya merasa aman. Dia merasa bahwa dia bisa mempercayainya.“Aku dan Raka sudah menikah selama setahun, tetapi hubungan kami terasa sangat jauh. Setiap