Setelah menjelaskan beberapa sutradara dan penulis skenario, Bima menatap Ayla dengan serius. “Ngomong-ngomong, tentang perdebatan yang terjadi di restoran kemarin... aku ingin minta maaf karena menghindari perdebatan itu. Aku tahu betapa sulitnya situasi yang kamu hadapi.”Ayla terkejut mendengar pernyataan Bima. “Nggak apa-apa, Bima. Itu urusan pribadi yang rumit,” jawabnya, berusaha tidak menunjukkan betapa beratnya beban di hatinya. “Tapi memang, situasi itu cukup membuatku stres.”Bima mengangguk, menunjukkan empati. “Aku menghormati privasi kamu, tetapi aku nggak bisa menahan rasa ingin tahuku. Apa yang sebenarnya terjadi? Kalau kamu merasa nyaman, aku ada di sini untuk mendengarkan.”Ayla menundukkan kepala sejenak, mengumpulkan pikirannya. Apakah aku siap membagikan ini? pikirnya, tetapi ada sesuatu dalam sikap Bima yang membuatnya merasa aman. Dia merasa bahwa dia bisa mempercayainya.“Aku dan Raka sudah menikah selama setahun, tetapi hubungan kami terasa sangat jauh. Setiap
Sudah lima hari berlalu, dan selama itu, suasana rumah Ayla dan Raka berubah menjadi sunyi. Bukan sunyi yang nyaman, melainkan sunyi yang menusuk, penuh dengan perasaan terasing. Setiap langkah di rumah terasa canggung, setiap detik berlalu dengan ketidakpastian yang menggantung di udara.Raka hampir tidak pernah menyapa Ayla. Bahkan saat mereka bertemu di lorong atau di ruang makan, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Tatapan Raka yang dulu penuh ketenangan, kini hanya menatap lurus ke depan, seolah-olah Ayla tidak ada di hadapannya. Ia menghindari percakapan, menghindari sentuhan, dan setiap kali berada di ruangan yang sama dengan Ayla, dia hanya berusaha menyelesaikan kegiatan dengan cepat dan pergi tanpa bicara.Ayla merasakan keheningan itu semakin dalam. Awalnya, dia mencoba memahami, memberi ruang kepada Raka agar bisa mendinginkan diri setelah perdebatan terakhir mereka. Namun, semakin hari berlalu, perang dingin di antara mereka semakin menyakitkan. Ayla tahu bahwa
Di tengah malam di gemerlapnya kota besar yang tak pernah tidur, Ayla Sasmita, menjalani hari-harinya di sebuah rumah megah yang terasa sepi.Di kamarnya, Ayla meraih keyboard, jemarinya menari lembut di atasnya, menciptakan kisah baru dari novel yang sedang ia tulis. Setiap kata yang terukir mencerminkan kerinduan dan harapan yang terpendam. Ia menciptakan dunia yang penuh dengan cinta dan kebahagiaan, sesuatu yang sangat ia rindukan dalam kehidupan nyata. Sesekali, Ayla berhenti sejenak, menatap keluar jendela.Kamar Ayla adalah perpaduan antara kemewahan dan kenyamanan, mencerminkan siapa dirinya yang lembut namun mandiri. Dinding-dinding kamar dihiasi dengan cat berwarna pastel yang menenangkan, memberikan kesan hangat dan ramah. Di satu sisi, terdapat rak buku besar yang dipenuhi dengan novel-novel klasik dan karya-karya sastra favoritnya. Setiap buku memiliki cerita dan kenangan tersendiri, seolah menjadi teman setia dalam kesendiriannya.Di tengah kamar, sebuah tempat tidur kin
Pagi menjelang, cahaya lembut matahari menyinari sudut-sudut rumah yang megah. Ayla bangkit dari tidurnya dengan semangat baru. Hari ini, ia memutuskan untuk membuat sarapan istimewa untuk Raka. Dengan harapan bahwa momen kecil ini bisa memperbaiki suasana di antara mereka, ia berjalan menuju dapur dengan langkah ringan, menyanyikan lagu-lagu kecil dalam hati.Dapur di rumah ini adalah ruang yang mencerminkan kepribadiannya: elegan, rapi, dan hangat. Dindingnya berwarna putih bersih dengan aksen kayu alami yang memberikan nuansa hangat dan nyaman. Lemari dapur yang tertata rapi menyimpan berbagai peralatan masak, dari spatula kayu yang halus, semuanya terorganisir dengan baik. Di atas meja dapur, terdapat pot tanaman herbal segar—basil, thyme, dan rosemary—yang mengisi ruangan dengan aroma segar dan menggugah selera.Di sudut dapur, ada meja kecil tempatnya menulis catatan resepnya, menandai kreasi baru yang ingin dicobanya. Dapur ini adalah tempat pelarian baginya—sebuah ruang di man
Setelah beberapa menit dalam mobil yang sunyi, mereka tiba di depan restoran mewah yang berdiri anggun, dikelilingi oleh taman yang terawat rapi. Ayla menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan pikirannya dari ketegangan yang memenuhi udara. Ia melihat orang-orang yang datang dan pergi, sebagian besar dengan senyum ceria di wajah mereka, seolah tak ada yang tahu betapa beratnya hatinya saat ini.Saat Raka mematikan mesin mobil, Ayla merasakan detakan jantungnya semakin kencang. Ia menatap pintu masuk restoran yang megah, dengan tirai merah marun yang menggantung lembut, dan pelayan berpakaian rapi siap menyambut tamu. Di dalamnya, lampu-lampu berpendar lembut menciptakan suasana yang hangat, namun Ayla tahu betul bahwa itu hanya ilusi. Di balik kemewahan itu, tersimpan berbagai perasaan yang sulit diungkapkan.“Kamu sudah siap?” Raka bertanya, suaranya datar dan terkesan tidak peduli.Ayla mengangguk, walaupun ia tahu tidak ada yang bisa mempersiapkan hatinya untuk menghadapi keluar
Setelah makan siang yang penuh ketegangan, Raka dan Ayla melangkah keluar dari restoran. Suasana di luar terasa kontras dengan keadaan hati Ayla. Mentari bersinar cerah, namun hatinya terasa berat seakan semua beban yang ditanggungnya terakumulasi dalam satu hari yang melelahkan. Mereka berjalan menuju mobil, langkah Raka tampak cepat dan terfokus, sementara Ayla berusaha mengejar. Keduanya kembali ke dalam mobil, dan kesunyian menyelimuti mereka. Ayla merasakan kekosongan yang menyakitkan, seolah kata-kata yang tidak terucap menggantung di udara.Setelah beberapa saat, Raka memecah keheningan. “Aku harus menerima telepon penting,” katanya, tidak menjelaskan lebih lanjut. Ia meraih ponselnya, memeriksa layar, dan terlihat tidak sabar untuk menjawab. “Maaf, ini mendesak,” tambahnya, lalu dengan cepat menelpon sambil mengemudikan mobil.Ayla menatap ke luar jendela, mengamati pemandangan yang berlalu. Dia merasa seolah berada di luar kehidupan suaminya, terasing dalam kebisuan yang kian
Suara langkah kecil terdengar di jalan setapak menuju rumah. Bintang, yang baru saja pulang dari sekolah, berlari dengan ceria, wajahnya bersinar penuh semangat. Ransel kecilnya bergoyang di punggung, dan rambutnya yang ikal berantakan menambah kesan lucu pada dirinya. Begitu melihat rumahnya yang sederhana, matanya langsung berbinar.“Mama! Tante Ayla!” teriak Bintang gembira, melompat-lompat kecil saat memasuki halaman.Ayla yang sedang duduk di beranda sambil menikmati secangkir kopi menoleh, wajahnya langsung menyiratkan kebahagiaan. “Bintang! Sayang! Tante kangen banget!” Ia segera bangkit dan membuka tangan lebar-lebar, menyambut keponakannya yang berlari menghampirinya.Bintang langsung menerjang pelukan Ayla, mengempaskan ranselnya ke tanah. “Tante, aku belajar banyak hari ini!” ujarnya dengan semangat. Wajahnya dipenuhi keceriaan, seolah seluruh dunia hanya ada untuknya.“Sungguh? Apa yang kamu pelajari?” tanya Ayla, membelai rambut Bintang dengan lembut. Rasa sayang yang men
Pagi itu, Ayla sibuk membersihkan rumah yang terasa sepi dan luas. Ia mengelap meja makan yang hampir tak pernah digunakan dan merapikan ruang tamu, sementara pikirannya melayang jauh.Sambil menatap kosong ke arah jendela, Ayla merenungkan satu tahun pernikahannya dengan Raka. Pernikahan yang seharusnya menjadi fondasi cinta dan kebersamaan, kini hanya terasa sebagai perjanjian yang dingin dan kosong. Tidak ada sentuhan kehangatan, tidak ada kata-kata manis. Hanya kewajiban yang dipenuhi dengan jarak dan keterasingan.Selama setahun terakhir, Ayla telah mencoba segalanya untuk memperbaiki hubungan mereka. Ia berusaha menjadi istri yang sabar, menyiapkan sarapan untuk Raka setiap pagi meskipun sering kali dia menolaknya dengan dingin. Ia selalu memastikan rumah mereka rapi dan terawat, berharap bahwa mungkin, pada suatu saat, Raka akan menghargai usahanya. Namun, setiap usaha itu selalu berakhir dengan kekecewaan.Raka adalah pria yang pendiam dan cenderung cuek, tetapi dalam kehening