Share

BAB 4

Setelah makan siang yang penuh ketegangan, Raka dan Ayla melangkah keluar dari restoran. Suasana di luar terasa kontras dengan keadaan hati Ayla. Mentari bersinar cerah, namun hatinya terasa berat seakan semua beban yang ditanggungnya terakumulasi dalam satu hari yang melelahkan. Mereka berjalan menuju mobil, langkah Raka tampak cepat dan terfokus, sementara Ayla berusaha mengejar. Keduanya kembali ke dalam mobil, dan kesunyian menyelimuti mereka. Ayla merasakan kekosongan yang menyakitkan, seolah kata-kata yang tidak terucap menggantung di udara.

Setelah beberapa saat, Raka memecah keheningan. “Aku harus menerima telepon penting,” katanya, tidak menjelaskan lebih lanjut. Ia meraih ponselnya, memeriksa layar, dan terlihat tidak sabar untuk menjawab. “Maaf, ini mendesak,” tambahnya, lalu dengan cepat menelpon sambil mengemudikan mobil.

Ayla menatap ke luar jendela, mengamati pemandangan yang berlalu. Dia merasa seolah berada di luar kehidupan suaminya, terasing dalam kebisuan yang kian dalam. Rasa sakit di hatinya kembali membara, mengingat semua kata-kata menyakitkan yang diterima dari keluarga Raka.

“Baiklah, kita lihat nanti,” Raka berkata ke dalam telepon, suaranya terdengar tegas. Ayla menangkap nada serius dalam suaranya, namun hatinya hanya bisa merasakan kehampaan. Dia ingin berbicara, ingin mengeluarkan semua isi hatinya, tetapi setiap kali berusaha, mulutnya terasa berat.

Setibanya di rumah, Raka langsung beranjak keluar dari mobil tanpa menunggu Ayla. “Aku pergi sebentar. Tunggu di dalam,” ucapnya sambil melangkah cepat ke pintu rumah. Ayla hanya bisa mengangguk, perasaannya campur aduk antara harapan dan kesedihan.

Begitu Raka pergi, kesunyian kembali menyelimuti Ayla. Ia duduk di sofa, menatap dinding-dinding kosong yang seakan menatap balik. Dering ponsel Raka yang terus bergetar membuat Ayla semakin merasakan betapa terasingnya ia. Seakan ada dunia di luar sana yang lebih penting, sedangkan dirinya hanya menjadi bayangan yang terpinggirkan.

Setelah beberapa saat, Ayla memutuskan untuk beranjak ke dapur. Ia mencoba menyiapkan segelas teh hangat, berharap bisa meredakan ketegangan di dalam hatinya. Namun, saat ia menuangkan air panas ke dalam cangkir, air mata tak tertahan mengalir di pipinya. Rasa kesepian itu melanda lebih dalam dari sebelumnya.

“Aku butuh kamu, Raka,” bisiknya pelan, meskipun tahu bahwa suaminya mungkin tidak akan mendengarnya. Semua harapan yang ada di dalam benaknya seakan menguap bersama air mata yang jatuh. Ia merasa semakin terjebak dalam pernikahan yang dingin ini, dan semakin merasa tak berdaya.

Raka kembali ke rumah dengan ekspresi yang serius. Melihat Ayla yang duduk sendiri di dapur, hatinya terasa berat. “Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan,” ucapnya, berusaha menjelaskan, tetapi nada suaranya tampak datar.

Ayla hanya bisa mengangguk, berusaha menyembunyikan rasa sakit di hatinya. “Nggak apa-apa.”

“Kalau begitu, aku perlu istirahat sebentar,” Raka melanjutkan, seolah tak menyadari betapa Ayla membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata. Ia melangkah menuju kamar, meninggalkan Ayla sendirian dalam kesunyian yang menghimpit.

Ayla menatap pintu yang tertutup, merasakan getaran kesedihan yang mendalam. Ia mengangkat cangkir teh hangatnya, tetapi rasa pahit dari air mata yang mengalir lebih terasa di lidahnya. Dalam momen itu, ia menyadari bahwa hidup dalam pernikahan ini mungkin lebih sulit dari yang pernah ia bayangkan. Kemanakah cinta yang pernah mereka miliki? Di mana harapan untuk masa depan yang lebih baik?

Dengan air mata yang membasahi pipinya, Ayla memutuskan untuk tidak mengizinkan kesedihan ini mengalahkannya. Ia akan berjuang untuk dirinya sendiri, meskipun harus melewati semua rasa sakit ini sendirian.

***

Ayla menyetir mobilnya menyusuri jalanan kecil yang dikelilingi pepohonan rindang. Di sepanjang perjalanan, ia melihat rumah-rumah sederhana yang berjejer rapi, mencerminkan kehidupan yang tenang dan damai. Rumah-rumah itu terbuat dari bata merah, sebagian besar dicat dengan warna cerah, seperti kuning lembut dan hijau mint, menciptakan suasana ceria meskipun tidak megah.

Halaman depan rumah dihiasi dengan tanaman hias yang dirawat dengan baik. Beberapa tetangga sedang berkumpul di depan rumah, mengobrol dengan riang, sementara anak-anak bermain bola di halaman, tertawa riang dengan kebebasan yang hanya dimiliki oleh anak-anak. Suara tawa mereka mengisi udara, mengingatkan Ayla akan masa-masa bahagianya saat kecil.

Ayla melewati sebuah taman kecil yang dikelola oleh warga setempat, di mana mereka menanam berbagai macam bunga dan sayuran. Bau harum dari bunga-bunga berwarna-warni dan aroma segar tanah yang lembab mengingatkannya pada kebahagiaan sederhana yang pernah ia alami di sini. Beberapa penduduk setempat terlihat sedang bercengkerama sambil merawat tanaman mereka, menciptakan suasana kekeluargaan yang hangat.

Saat ia semakin mendekati rumah orang tuanya, Ayla melihat halaman depan yang bersih dan tertata rapi, dengan kursi kayu yang diletakkan di bawah pohon mangga besar. Suara dedaunan yang berdesir lembut dihembus angin seolah menyambutnya pulang. Rumah orang tuanya tidak besar, tetapi memiliki pesona tersendiri. Dindingnya dicat putih dengan jendela berterali, menciptakan suasana yang hangat dan mengundang.

Di depan rumah, Ayla melihat warung kopi sederhana yang telah diubah dari halaman rumah. Meja kayu tua dan kursi-kursi dari anyaman bambu tersusun rapi di bawah naungan pohon mangga, memberi kesan hangat dan nyaman. Di atas meja, terdapat berbagai pilihan makanan ringan yang menggugah selera, seperti gorengan, kue, dan kopi aromatik yang mengisi udara dengan wangi menggoda.

Adiknya, Mira Adira, muncul dari dapur kecil yang terletak di belakang rumah. “Kak Ayla! Kakak pulang?!” teriaknya, melambaikan tangan sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Keceriaan Mira tampak jelas, dengan senyum lebar yang tak pernah pudar. “Kebetulan, Ibu dan aku lagi masak kue kesukaanmu!”

Ayla tersenyum, merasakan kehangatan dan kebahagiaan yang sudah lama tidak ia rasakan.

“Gimana kabarmu, Kak?” tanya Mira, saat mereka duduk bersama di meja. “Ibu bilang pernikahanmu baik-baik saja, tapi kamu kelihatan capek. Ada apa?”

Ayla menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang hampir menggenang di matanya. “Aku cuma butuh sedikit waktu untuk menyendiri,” jawabnya dengan suara lembut. “Kadang, semua terasa berat.”

Ibunya—Lina Mariani—memandangi Ayla, seolah ingin menggali lebih dalam, tetapi Ayla berhasil menutup rapat pintu-pintu yang mengungkapkan luka di dalam hatinya. Ia meletakkan secangkir kopi panas di depan Ayla, senyum hangatnya selalu bisa menenangkan. “Ini kopi spesial kami. Rasanya pasti membuatmu merasa lebih baik,” katanya, penuh perhatian.

Mereka pun mulai mengobrol, berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari, tantangan yang dihadapi, dan harapan masa depan. Suara tawa dan canda menggema di antara mereka, menghilangkan semua beban di hati Ayla, setidaknya untuk saat ini.

Saat sore mulai beranjak, Ayla melihat sekeliling warung. Warung kecil ini bukan hanya tempat berjualan, tetapi juga tempat berkumpulnya keluarga dan teman-teman. Kehangatan dan cinta menyelimuti setiap sudutnya, membuat Ayla merasa diterima dan dicintai. Momen ini seolah mengingatkan Ayla bahwa, meskipun ia menghadapi banyak rintangan di luar sana, ada tempat yang selalu bisa menjadi pelabuhan untuk kembali.

Ayla melihat sekeliling, merasakan kedamaian yang tak pernah ia dapatkan di rumahnya bersama Raka. Di sini, bersama keluarganya, semuanya terasa lebih sederhana dan tulus. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, rumah ini adalah tempat di mana hatinya selalu kembali.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status