Setelah makan siang yang penuh ketegangan, Raka dan Ayla melangkah keluar dari restoran. Suasana di luar terasa kontras dengan keadaan hati Ayla. Mentari bersinar cerah, namun hatinya terasa berat seakan semua beban yang ditanggungnya terakumulasi dalam satu hari yang melelahkan. Mereka berjalan menuju mobil, langkah Raka tampak cepat dan terfokus, sementara Ayla berusaha mengejar. Keduanya kembali ke dalam mobil, dan kesunyian menyelimuti mereka. Ayla merasakan kekosongan yang menyakitkan, seolah kata-kata yang tidak terucap menggantung di udara.
Setelah beberapa saat, Raka memecah keheningan. “Aku harus menerima telepon penting,” katanya, tidak menjelaskan lebih lanjut. Ia meraih ponselnya, memeriksa layar, dan terlihat tidak sabar untuk menjawab. “Maaf, ini mendesak,” tambahnya, lalu dengan cepat menelpon sambil mengemudikan mobil.
Ayla menatap ke luar jendela, mengamati pemandangan yang berlalu. Dia merasa seolah berada di luar kehidupan suaminya, terasing dalam kebisuan yang kian dalam. Rasa sakit di hatinya kembali membara, mengingat semua kata-kata menyakitkan yang diterima dari keluarga Raka.
“Baiklah, kita lihat nanti,” Raka berkata ke dalam telepon, suaranya terdengar tegas. Ayla menangkap nada serius dalam suaranya, namun hatinya hanya bisa merasakan kehampaan. Dia ingin berbicara, ingin mengeluarkan semua isi hatinya, tetapi setiap kali berusaha, mulutnya terasa berat.
Setibanya di rumah, Raka langsung beranjak keluar dari mobil tanpa menunggu Ayla. “Aku pergi sebentar. Tunggu di dalam,” ucapnya sambil melangkah cepat ke pintu rumah. Ayla hanya bisa mengangguk, perasaannya campur aduk antara harapan dan kesedihan.
Begitu Raka pergi, kesunyian kembali menyelimuti Ayla. Ia duduk di sofa, menatap dinding-dinding kosong yang seakan menatap balik. Dering ponsel Raka yang terus bergetar membuat Ayla semakin merasakan betapa terasingnya ia. Seakan ada dunia di luar sana yang lebih penting, sedangkan dirinya hanya menjadi bayangan yang terpinggirkan.
Setelah beberapa saat, Ayla memutuskan untuk beranjak ke dapur. Ia mencoba menyiapkan segelas teh hangat, berharap bisa meredakan ketegangan di dalam hatinya. Namun, saat ia menuangkan air panas ke dalam cangkir, air mata tak tertahan mengalir di pipinya. Rasa kesepian itu melanda lebih dalam dari sebelumnya.
“Aku butuh kamu, Raka,” bisiknya pelan, meskipun tahu bahwa suaminya mungkin tidak akan mendengarnya. Semua harapan yang ada di dalam benaknya seakan menguap bersama air mata yang jatuh. Ia merasa semakin terjebak dalam pernikahan yang dingin ini, dan semakin merasa tak berdaya.
Raka kembali ke rumah dengan ekspresi yang serius. Melihat Ayla yang duduk sendiri di dapur, hatinya terasa berat. “Ada beberapa urusan yang harus diselesaikan,” ucapnya, berusaha menjelaskan, tetapi nada suaranya tampak datar.
Ayla hanya bisa mengangguk, berusaha menyembunyikan rasa sakit di hatinya. “Nggak apa-apa.”
“Kalau begitu, aku perlu istirahat sebentar,” Raka melanjutkan, seolah tak menyadari betapa Ayla membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata. Ia melangkah menuju kamar, meninggalkan Ayla sendirian dalam kesunyian yang menghimpit.
Ayla menatap pintu yang tertutup, merasakan getaran kesedihan yang mendalam. Ia mengangkat cangkir teh hangatnya, tetapi rasa pahit dari air mata yang mengalir lebih terasa di lidahnya. Dalam momen itu, ia menyadari bahwa hidup dalam pernikahan ini mungkin lebih sulit dari yang pernah ia bayangkan. Kemanakah cinta yang pernah mereka miliki? Di mana harapan untuk masa depan yang lebih baik?
Dengan air mata yang membasahi pipinya, Ayla memutuskan untuk tidak mengizinkan kesedihan ini mengalahkannya. Ia akan berjuang untuk dirinya sendiri, meskipun harus melewati semua rasa sakit ini sendirian.
***
Ayla menyetir mobilnya menyusuri jalanan kecil yang dikelilingi pepohonan rindang. Di sepanjang perjalanan, ia melihat rumah-rumah sederhana yang berjejer rapi, mencerminkan kehidupan yang tenang dan damai. Rumah-rumah itu terbuat dari bata merah, sebagian besar dicat dengan warna cerah, seperti kuning lembut dan hijau mint, menciptakan suasana ceria meskipun tidak megah.
Halaman depan rumah dihiasi dengan tanaman hias yang dirawat dengan baik. Beberapa tetangga sedang berkumpul di depan rumah, mengobrol dengan riang, sementara anak-anak bermain bola di halaman, tertawa riang dengan kebebasan yang hanya dimiliki oleh anak-anak. Suara tawa mereka mengisi udara, mengingatkan Ayla akan masa-masa bahagianya saat kecil.
Ayla melewati sebuah taman kecil yang dikelola oleh warga setempat, di mana mereka menanam berbagai macam bunga dan sayuran. Bau harum dari bunga-bunga berwarna-warni dan aroma segar tanah yang lembab mengingatkannya pada kebahagiaan sederhana yang pernah ia alami di sini. Beberapa penduduk setempat terlihat sedang bercengkerama sambil merawat tanaman mereka, menciptakan suasana kekeluargaan yang hangat.
Saat ia semakin mendekati rumah orang tuanya, Ayla melihat halaman depan yang bersih dan tertata rapi, dengan kursi kayu yang diletakkan di bawah pohon mangga besar. Suara dedaunan yang berdesir lembut dihembus angin seolah menyambutnya pulang. Rumah orang tuanya tidak besar, tetapi memiliki pesona tersendiri. Dindingnya dicat putih dengan jendela berterali, menciptakan suasana yang hangat dan mengundang.
Di depan rumah, Ayla melihat warung kopi sederhana yang telah diubah dari halaman rumah. Meja kayu tua dan kursi-kursi dari anyaman bambu tersusun rapi di bawah naungan pohon mangga, memberi kesan hangat dan nyaman. Di atas meja, terdapat berbagai pilihan makanan ringan yang menggugah selera, seperti gorengan, kue, dan kopi aromatik yang mengisi udara dengan wangi menggoda.
Adiknya, Mira Adira, muncul dari dapur kecil yang terletak di belakang rumah. “Kak Ayla! Kakak pulang?!” teriaknya, melambaikan tangan sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Keceriaan Mira tampak jelas, dengan senyum lebar yang tak pernah pudar. “Kebetulan, Ibu dan aku lagi masak kue kesukaanmu!”
Ayla tersenyum, merasakan kehangatan dan kebahagiaan yang sudah lama tidak ia rasakan.
“Gimana kabarmu, Kak?” tanya Mira, saat mereka duduk bersama di meja. “Ibu bilang pernikahanmu baik-baik saja, tapi kamu kelihatan capek. Ada apa?”
Ayla menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan air mata yang hampir menggenang di matanya. “Aku cuma butuh sedikit waktu untuk menyendiri,” jawabnya dengan suara lembut. “Kadang, semua terasa berat.”
Ibunya—Lina Mariani—memandangi Ayla, seolah ingin menggali lebih dalam, tetapi Ayla berhasil menutup rapat pintu-pintu yang mengungkapkan luka di dalam hatinya. Ia meletakkan secangkir kopi panas di depan Ayla, senyum hangatnya selalu bisa menenangkan. “Ini kopi spesial kami. Rasanya pasti membuatmu merasa lebih baik,” katanya, penuh perhatian.
Mereka pun mulai mengobrol, berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari, tantangan yang dihadapi, dan harapan masa depan. Suara tawa dan canda menggema di antara mereka, menghilangkan semua beban di hati Ayla, setidaknya untuk saat ini.
Saat sore mulai beranjak, Ayla melihat sekeliling warung. Warung kecil ini bukan hanya tempat berjualan, tetapi juga tempat berkumpulnya keluarga dan teman-teman. Kehangatan dan cinta menyelimuti setiap sudutnya, membuat Ayla merasa diterima dan dicintai. Momen ini seolah mengingatkan Ayla bahwa, meskipun ia menghadapi banyak rintangan di luar sana, ada tempat yang selalu bisa menjadi pelabuhan untuk kembali.
Ayla melihat sekeliling, merasakan kedamaian yang tak pernah ia dapatkan di rumahnya bersama Raka. Di sini, bersama keluarganya, semuanya terasa lebih sederhana dan tulus. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi, rumah ini adalah tempat di mana hatinya selalu kembali.
Suara langkah kecil terdengar di jalan setapak menuju rumah. Bintang, yang baru saja pulang dari sekolah, berlari dengan ceria, wajahnya bersinar penuh semangat. Ransel kecilnya bergoyang di punggung, dan rambutnya yang ikal berantakan menambah kesan lucu pada dirinya. Begitu melihat rumahnya yang sederhana, matanya langsung berbinar.“Mama! Tante Ayla!” teriak Bintang gembira, melompat-lompat kecil saat memasuki halaman.Ayla yang sedang duduk di beranda sambil menikmati secangkir kopi menoleh, wajahnya langsung menyiratkan kebahagiaan. “Bintang! Sayang! Tante kangen banget!” Ia segera bangkit dan membuka tangan lebar-lebar, menyambut keponakannya yang berlari menghampirinya.Bintang langsung menerjang pelukan Ayla, mengempaskan ranselnya ke tanah. “Tante, aku belajar banyak hari ini!” ujarnya dengan semangat. Wajahnya dipenuhi keceriaan, seolah seluruh dunia hanya ada untuknya.“Sungguh? Apa yang kamu pelajari?” tanya Ayla, membelai rambut Bintang dengan lembut. Rasa sayang yang men
Pagi itu, Ayla sibuk membersihkan rumah yang terasa sepi dan luas. Ia mengelap meja makan yang hampir tak pernah digunakan dan merapikan ruang tamu, sementara pikirannya melayang jauh.Sambil menatap kosong ke arah jendela, Ayla merenungkan satu tahun pernikahannya dengan Raka. Pernikahan yang seharusnya menjadi fondasi cinta dan kebersamaan, kini hanya terasa sebagai perjanjian yang dingin dan kosong. Tidak ada sentuhan kehangatan, tidak ada kata-kata manis. Hanya kewajiban yang dipenuhi dengan jarak dan keterasingan.Selama setahun terakhir, Ayla telah mencoba segalanya untuk memperbaiki hubungan mereka. Ia berusaha menjadi istri yang sabar, menyiapkan sarapan untuk Raka setiap pagi meskipun sering kali dia menolaknya dengan dingin. Ia selalu memastikan rumah mereka rapi dan terawat, berharap bahwa mungkin, pada suatu saat, Raka akan menghargai usahanya. Namun, setiap usaha itu selalu berakhir dengan kekecewaan.Raka adalah pria yang pendiam dan cenderung cuek, tetapi dalam kehening
Di dalam kamar yang sunyi, Ayla duduk di depan laptopnya, jemarinya menari di atas keyboard, mencurahkan perasaannya melalui kata-kata. Kamar itu adalah tempat favoritnya—ruang yang memberikan kenyamanan dan pelarian dari kehidupan yang sepi dan rumit. Dalam dunia novelnya, Ayla menemukan kebebasan dan kekuatan yang tak pernah ia rasakan di kehidupan nyata.Namun, saat pikirannya masih tenggelam dalam cerita yang sedang ia tulis, bunyi bel rumah yang keras dan berulang memecahkan keheningan. Ayla menghentikan tulisannya sejenak, menoleh ke arah jendela. Siapa yang datang pagi-pagi begini?Tiba-tiba, suara Ratna dan Nadya terdengar samar dari bawah. Jantung Ayla berdetak cepat. Mertuanya dan Nadya? pikirnya, panik. Mereka tidak pernah datang tanpa pemberitahuan, dan kedatangan mereka jarang membawa kabar baik.Dengan cepat, Ayla menekan tombol untuk mematikan laptopnya, khawatir jika mereka mengetahui tentang kehidupan rahasianya sebagai penulis. Ia menutup laptop dan berdiri dengan te
Setelah meninggalkan rumah, Ayla mengikuti langkah cepat Ratna dan Nadya menuju pusat perbelanjaan paling mewah di kota. Jalan-jalan di antara etalase butik-butik ternama selalu membawa aura yang penuh kemewahan, tetapi bagi Ayla, itu hanya berarti satu hal: ia akan menjadi pembawa barang-barang belanjaan yang tak ada habisnya.Mereka pertama-tama memasuki butik mewah dengan kaca yang berkilau, di mana setiap gaun dan aksesori berharga jutaan rupiah dipajang seolah-olah itu adalah karya seni. Nadya segera berjalan cepat menuju deretan baju bermerek, memilih-milih gaun yang menurutnya akan cocok untuk berbagai acara yang mungkin tidak pernah benar-benar ia hadiri.“Ayla, bawa ini,” perintah Nadya sambil menyerahkan beberapa baju mewah ke tangan Ayla. Belum sempat Ayla mengatur baju-baju yang sudah diambil, Nadya kembali menyerahkan tas tangan berwarna emas yang berkilau. “Pasti kalau pakai ini aku cantik sekali, kan?” Nadya tertawa kecil.Ayla hanya mengangguk, mencoba memasang senyum
Sepulangnya dari berbelanja dan makan siang bersama Ratna dan Nadya, tubuh Ayla terasa begitu lelah. Begitu sampai di rumah, Ayla langsung menuju kamar mandi, berharap segarnya air bisa sedikit menghilangkan rasa lelah dan tegang yang menumpuk sepanjang hari.Setelah mandi, Ayla merasa sedikit lebih baik. Ia mengenakan pakaian santai dan memutuskan untuk duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri dengan membaca buku. Setiap halaman yang ia baca terasa seperti pelarian sejenak dari kenyataan hidupnya yang monoton dan penuh tekanan.Namun, belum lama ia tenggelam dalam bacaan, ponselnya berdering. Ayla menoleh ke arah ponselnya, merasa sedikit heran. Ia jarang sekali menerima telepon di malam hari kecuali dari keluarganya.Dengan sedikit ragu, Ayla mengangkat telepon dan mendekatkannya ke telinga. “Halo?”“Ayla! Ini aku, editor dari platform novel onlinemu. Maaf mengganggu di malam hari, tapi aku harus menyampaikan sesuatu yang sangat penting,” suara akrab editor itu terdengar penuh
Suasana kantor Raka pagi itu sangat sibuk. Di setiap sudut ruangan, para karyawan tampak berlarian, membawa berkas dan laporan, sementara suara ketukan keyboard mengisi udara. Kantor yang terletak di lantai atas gedung tinggi itu memiliki jendela besar yang memberikan pemandangan menakjubkan ke arah kota. Namun, pemandangan itu tampak jauh dari perhatian Raka yang saat ini terfokus pada pekerjaan di mejanya.Di dalam ruangannya yang rapi dan modern, Raka duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dengan tumpukan berkas dan laptop yang selalu menyala. Dengan mata serius, ia membaca laporan dari tim pemasaran. Angka-angka dan grafik memenuhi pikirannya, dan ia mencatat beberapa poin penting yang perlu dibahas dalam rapat nanti. Setiap kali ia menemukan masalah dalam laporan, kerutan di dahi Raka semakin dalam, menunjukkan betapa beratnya beban yang ia pikul sebagai CEO perusahaan ritel yang diwariskan oleh ayahnya.Raka menghela napas panjang dan memijat pelipisnya, berusaha mengusir ra
Senyum Ratna semakin lebar saat ia melihat Laras, seolah ingin memamerkan sosoknya kepada dunia. “Kamu tahu nggak, Laras, banyak yang bilang kamu adalah gadis idaman. Raka pasti senang kalau kalian kembali bersama.”Sementara itu, Raka hanya mengangkat bahu, terlihat acuh tak acuh. “Masa lalu adalah masa lalu, Ma. Sekarang aku cuma ingin fokus kerja,” jawabnya dengan nada datar, seolah mengabaikan harapan ibunya dan Laras.Mendengar respon itu, Ratna tampak kecewa, tetapi Laras tidak kehilangan semangatnya. Dia melanjutkan pembicaraan dengan antusias, berusaha menghidupkan suasana yang tegang.“Raka, kamu serius? Kamu nggak merasa sedikit pun nostalgia?” Laras bertanya dengan nada menggoda, mencoba menciptakan suasana yang lebih hangat. “Kita pernah bahagia, kan?”Tetapi Raka hanya menggelengkan kepala, kembali fokus pada makanannya. “Hanya karena kita punya masa lalu nggak berarti kita harus kembali ke sana.”Suasana di meja makan terasa semakin akrab ketika Ratna tiba-tiba mengeluar
Sementara di restoran yang sama, di sudut yang lebih tenang, Ayla duduk berhadapan dengan Rania dan Bima. Mulanya, Ayla berpikir Bima adalah pria berumur lebih dari empat puluh tahun lebih. Namun, ternyata tidak demikian. Bima adalah sosok yang menonjol di antara kerumunan, dengan perawakan tinggi dan tubuh yang atletis. Wajahnya dihiasi dengan rahang tegas dan dagu yang kuat, memberikan kesan karismatik. Matanya yang tajam dan bersemangat berwarna cokelat gelap, seolah selalu menyimpan rencana dan ambisi.Ia mengenakan setelan jas navy yang dipadukan dengan kemeja putih bersih dan dasi berwarna senada. Pakaian yang terawat rapi itu memberikan kesan profesional sekaligus modis. Bima kelihatannya selalu tampil percaya diri; senyumnya yang lebar dan hangat membuat orang merasa nyaman di sekitarnya, namun ada nuansa ketegasan dalam cara ia berbicara dan bergerak. “Ayla, aku senang kamu memutuskan untuk bertemu dengan Bima. Ini adalah langkah besar untuk karier menulismu,” ucap Rania, pe