Share

BAB 3

Setelah beberapa menit dalam mobil yang sunyi, mereka tiba di depan restoran mewah yang berdiri anggun, dikelilingi oleh taman yang terawat rapi. Ayla menatap ke luar jendela, mencoba mengalihkan pikirannya dari ketegangan yang memenuhi udara. Ia melihat orang-orang yang datang dan pergi, sebagian besar dengan senyum ceria di wajah mereka, seolah tak ada yang tahu betapa beratnya hatinya saat ini.

Saat Raka mematikan mesin mobil, Ayla merasakan detakan jantungnya semakin kencang. Ia menatap pintu masuk restoran yang megah, dengan tirai merah marun yang menggantung lembut, dan pelayan berpakaian rapi siap menyambut tamu. Di dalamnya, lampu-lampu berpendar lembut menciptakan suasana yang hangat, namun Ayla tahu betul bahwa itu hanya ilusi. Di balik kemewahan itu, tersimpan berbagai perasaan yang sulit diungkapkan.

“Kamu sudah siap?” Raka bertanya, suaranya datar dan terkesan tidak peduli.

Ayla mengangguk, walaupun ia tahu tidak ada yang bisa mempersiapkan hatinya untuk menghadapi keluarga Raka. “Aku akan berusaha,” jawabnya pelan, berusaha menguatkan diri.

Saat mereka melangkah keluar dari mobil, Ayla merasakan angin lembut yang berhembus, membuatnya sedikit bersemangat. Namun, saat mereka berjalan bersebelahan menuju pintu masuk, tangan Raka tampak bersikap dingin dan menjauh. Setiap langkah terasa berat, seolah setiap langkah menuju pintu restoran adalah langkah menuju pertempuran yang tak terhindarkan.

“Kalau mereka yang menyinggungmu, jangan ambil pusing,” Raka menambahkan tanpa melihat Ayla, suara itu seperti peringatan yang dingin dan tak berperasaan.

“Aku akan jadi diriku sendiri,” jawab Ayla, meskipun hatinya bergetar. Ketidakpastian melanda pikirannya. Mampukah ia mengatasi tekanan dari keluarga Raka yang selalu melihatnya dengan tatapan skeptis?

Ketika mereka memasuki restoran, suasana berubah. Suara riuh percakapan tamu lain dan aroma masakan yang menggugah selera menyambut mereka. Namun, dalam sekejap, pandangan Ayla tertuju pada meja besar di sudut ruangan, di mana keluarganya Raka sudah berkumpul. Senyum hangat dan tawa mereka tampak begitu kontras dengan rasa cemas yang mengisi hatinya.

Dari kejauhan, ia melihat Ibu Aditya—Ratna Kusuma Aditya, dengan penampilan anggun dan tatapan tajam, yang seolah bisa membaca setiap ketidakpastian dalam diri Ayla. Nadya, yang duduk di sebelahnya, tampak tak sabar menunggu, siap dengan sindiran yang mungkin akan ia lontarkan.

“Raka! Ayla! Senang sekali kalian bisa datang!” seru Ratna dengan suara ceria. Namun, Ayla bisa merasakan ketegangan dalam sambutannya, seolah ada yang tersembunyi di balik senyuman itu.

“Makasih, Ma,” jawab Ayla, berusaha menampilkan senyuman terbaiknya dengan perasaan bergejolak. Ia duduk di sebelah Raka.

“Makan siang ini adalah kesempatan bagus untuk merayakan pernikahan kalian yang sudah satu tahun,” kata Ayah Raka—Surya Aditya—dengan suara tegas. “Kita harus ngobrol tentang masa depan!”

Ayla tersentak mendengar kata-kata itu. Apakah ini berarti mereka akan membahas anak? pikirnya, jantungnya berdetak lebih cepat. Ia tahu bahwa keluarga Raka mengharapkan cucu dari mereka, tetapi ia merasa tertekan dengan harapan-harapan itu, terutama mengingat kondisi pernikahan mereka yang belum sepenuhnya baik.

Suasana makan siang berlangsung dengan pembicaraan yang hangat, namun Ayla merasakan perhatiannya lebih terfokus pada interaksi antara Raka dan keluarganya.

Ketika makanan mulai disajikan, Ayla berusaha menyesuaikan diri dengan percakapan yang berlangsung. Namun, setiap kali ia berbicara, matanya bisa merasakan tatapan tajam dari Nadya yang tampak membenci keberadaannya. “Kamu nggak tahu gimana cara berpakaian yang tepat untuk acara seperti ini, Ayla?” Nadya menyindir dengan nada mengejek.

Mendengar itu, wajah Ayla memerah. “Aku cuma berusaha terlihat nyaman,” balasnya, mencoba untuk tidak terbawa emosi. “Makasih atas perhatiannya, Nadya.”

Suasana semakin tegang, tetapi Raka, yang menyadari ketegangan antara mereka, langsung mengambil alih. “Nadya, berhenti! Ini bukan waktu untuk bersikap nggak sopan,” ujarnya, nada suaranya sedikit lebih tinggi dari biasanya. Ayla bisa merasakan bahwa Raka sedang berjuang untuk menjaga ketenangan di meja itu.

Setelah beberapa saat, pembicaraan kembali mengalir, tetapi Ayla merasa tidak nyaman. Ia menggigit bibirnya dan meraih gelas air di depannya, berusaha menenangkan diri. Bagaimana jika semua ini menjadi alasan bagi keluarga Raka untuk menyalahkan dirinya?

Sementara itu, Raka sibuk berbincang dengan para anggota keluarganya, dan Ayla merasa terpinggirkan. Dalam hatinya, ia berdoa agar pertemuan ini tidak berujung pada pertikaian yang lebih besar.

“Raka, aku dengar bisnis keluarga kita meroket! Kapan kamu mau mempekerjakan lebih banyak orang?” Ratna memulai, senyumnya lebar namun mata yang tajam mengawasi Ayla. “Pastinya kita perlu orang-orang yang lebih berpendidikan, ya kan? Nggak seperti Ayla yang hanya lulus SMA. Dia pasti nggak mengerti obrolan kita,” tambahnya, disertai tawa Nadya yang mengejek.

Ayla merasa hatinya tercekat. Ia tahu Ratna tidak benar-benar peduli pada pendidikan, melainkan hanya ingin menjatuhkan martabatnya. Dia meraih gelas airnya, berusaha menetralkan rasa sakit yang tiba-tiba menjalar di dadanya. “Aku mungkin nggak berpendidikan tinggi, tapi masih mampu mencari uang sendiri,” jawab Ayla, mencoba menunjukkan ketenangan di wajahnya.

Nadya menertawakan kata-kata Ayla, seolah-olah dia sedang menonton pertunjukan komedi. “Hahaha! Lucu! Gimana rasanya bisa jadi kaya mendadak dalam semalam, Ayla? Semua itu karena Kak Raka menikahi kamu! Tanpa itu, kamu pasti nggak akan bisa mengurus adik kamu yang hamil di luar nikah!” Nadya tertawa semakin keras, membuat suasana semakin canggung.

Air mata hampir menetes dari sudut mata Ayla. “Tolong jangan membahas itu di sini,” ujarnya pelan, tetapi suaranya penuh emosi. “Aku melakukan apa yang harus dilakukan buat keluargaku.”

Ratna mengangkat alisnya, seolah tidak mendengar, dan malah melanjutkan, “Ah, Ayla, kamu seharusnya berterima kasih pada Nadya. Kalau bukan karena dia, mungkin kamu masih hidup dalam kesulitan. Sekarang, lihatlah betapa beruntungnya kamu!”

“Dan apa yang Mama harapkan dariku?” Ayla bertanya, merasa putus asa. “Aku sudah berusaha sebaik mungkin untuk membuat pernikahan ini berjalan meski semuanya terasa salah. Aku merasa sendirian, dan semua ini  membuat aku merasa buruk.”

“Nah, sepertinya kita nggak sepakat, Ayla,” Ratna menjawab, suaranya tajam. “Kalau begitu, jangan kaget kalau ada yang lebih baik untuk Raka. Dia layak mendapatkan istri yang lebih bisa diajak bicara, yang lebih terdidik.”

Ketegangan ini benar-benar menegangkan. Ayla merasakan air mata menggenang di matanya, tetapi ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan mereka. Dia menarik napas dalam-dalam dan berusaha tetap tenang.

Raka, yang sedari tadi hanya diam dan mengaduk-aduk makanannya, akhirnya mengangkat wajahnya. “Cukup, Ma. Ini bukan tempat yang tepat untuk membahas hal-hal itu.” Suaranya dingin, dan Ayla merasakan sedikit harapan.

“Ah, tenang saja, Raka. Mama cuma mengingatkan dia kenyataannya. Dia harus bersyukur!” Ratna menjawab, terlihat sama sekali tidak peduli pada perasaan Ayla.

Ayla menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tetap tenang meski hatinya terbakar oleh kata-kata Ratna. Ia memandangi Raka, berharap suaminya akan membelanya. Namun, Raka hanya terdiam, tidak memberikan dukungan yang diharapkannya.

Saat makanan disajikan, Ayla memutuskan untuk lebih fokus pada hidangan di depannya. Namun, di dalam hatinya, rasa sakit dan ketidakadilan terus menggelayut. Kenyataan bahwa kehidupannya berubah drastis karena kejadian tragis itu terasa semakin nyata di hadapannya. Di tengah kebahagiaan yang dibangun keluarga Raka, Ayla merasakan dirinya semakin terasing.

Ketegangan dalam ruangan semakin terasa, dan Ayla tahu bahwa ia harus kuat menghadapi semua ini. Namun, benarkah ia bisa bertahan di tengah keluarga yang terus mengingatkan betapa tidak beruntungnya dirinya?

Ketika makanan hampir habis, ponsel Raka bergetar lagi. Ia melihat layar ponsel dan berubah ekspresi, wajahnya tampak serius.

“Minta maaf sebentar, aku perlu menjawab ini,” katanya, berdiri dari meja dengan tergesa-gesa.

Ayla mengamati Raka yang menjauh, merasa semakin terasing. Ia menatap piringnya yang sudah kosong, dan hatinya dipenuhi oleh keraguan. Apa yang sedang terjadi di luar sana? Kenapa Raka terlihat sangat terbebani?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status