Share

BAB 7

Di dalam kamar yang sunyi, Ayla duduk di depan laptopnya, jemarinya menari di atas keyboard, mencurahkan perasaannya melalui kata-kata. Kamar itu adalah tempat favoritnya—ruang yang memberikan kenyamanan dan pelarian dari kehidupan yang sepi dan rumit. Dalam dunia novelnya, Ayla menemukan kebebasan dan kekuatan yang tak pernah ia rasakan di kehidupan nyata.

Namun, saat pikirannya masih tenggelam dalam cerita yang sedang ia tulis, bunyi bel rumah yang keras dan berulang memecahkan keheningan. Ayla menghentikan tulisannya sejenak, menoleh ke arah jendela. Siapa yang datang pagi-pagi begini?

Tiba-tiba, suara Ratna dan Nadya terdengar samar dari bawah. Jantung Ayla berdetak cepat. Mertuanya dan Nadya? pikirnya, panik. Mereka tidak pernah datang tanpa pemberitahuan, dan kedatangan mereka jarang membawa kabar baik.

Dengan cepat, Ayla menekan tombol untuk mematikan laptopnya, khawatir jika mereka mengetahui tentang kehidupan rahasianya sebagai penulis. Ia menutup laptop dan berdiri dengan tergesa, berusaha menenangkan dirinya.

Ayla melangkah cepat keluar dari kamar, meninggalkan dunia yang ia ciptakan melalui tulisan. Ketika ia sampai di ruang tamu, ia melihat Ratna dan Nadya sudah duduk di sofa, wajah mereka menunjukkan ketidaknyamanan yang khas—seolah-olah mereka tidak ingin berada di sini, tetapi mereka datang karena sesuatu yang penting.

“Selamat pagi, Ma, Nadya,” sapa Ayla dengan senyum kecil yang dipaksakan, berharap bisa menyembunyikan rasa tegang yang muncul di dadanya. Ia duduk di kursi yang berhadapan dengan mereka, berusaha menjaga ketenangan. “Maaf, aku baru turun.”

Ratna meliriknya sebentar sebelum berbicara. “Kami nggak masalah menunggu,” jawabnya dengan nada dingin, sambil melirik sekilas ke sekitar rumah seakan sedang menilai keadaan di dalamnya. Nadya, seperti biasa, duduk dengan tubuhnya bersandar malas di sofa, seolah tak ingin berada di sana.

Ayla merasa jantungnya semakin berdebar saat duduk di hadapan Ratna dan Nadya. Ruangan yang tadinya terasa nyaman kini dipenuhi ketegangan. Sebelum Ayla sempat menanyakan maksud kedatangan mereka, mata tajam Ratna langsung mengarah ke tumpukan paket yang ada di sudut ruang tamu.

“Apa itu semua?” tanya Ratna dengan nada yang terkesan menyindir, menatap paket-paket yang baru saja datang beberapa hari lalu. “Apakah kamu menghabiskan uang Raka lagi untuk hal-hal yang nggak penting?”

Ayla menghela napas dalam hati, mencoba menahan gejolak emosi yang mulai menguar. Selalu begini, pikirnya. Setiap kali ada barang baru di rumah, selalu dianggap sebagai bentuk pemborosan. Ia harus selalu membela diri, meskipun sebagian besar yang ia beli adalah kebutuhan rumah tangga.

“Semua itu adalah peralatan rumah tangga, Ma,” jawab Ayla dengan nada tenang, meski hatinya gelisah. “Piring, gelas, dan beberapa barang lain yang kami butuhkan. Rumah ini kan harus dirawat dan dijaga kebutuhannya.”

Ratna menatapnya dengan pandangan skeptis, seolah tidak percaya dengan penjelasan Ayla. “Kebutuhan rumah tangga?” ujarnya dingin. “Piring? Gelas? Setiap kali kami datang, selalu ada yang baru. Raka sudah bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan rumah, dan kamu terus-terusan menghabiskan uangnya untuk barang-barang yang nggak jelas.”

Nadya yang duduk di sebelahnya tertawa kecil, menambahkan komentar dengan sinis, “Iya, Kak Raka memang kaya, tapi kamu tahu kan, Ayla, bukan berarti bisa seenaknya. Aku heran kenapa selalu ada paket yang datang ke rumah ini.”

Ayla mencoba tetap tenang. Ia tahu setiap kata yang ia ucapkan akan selalu dinilai salah di mata mereka. “Aku pastikan semua yang dibeli memang untuk kebutuhan rumah, Nadya. Rumah ini besar, banyak yang harus diperbaiki dan diperbarui. Aku cuma berusaha membuat semuanya lebih baik.”

Namun, Ratna tidak mengurangi sindirannya. “Lebih baik? Atau kamu cuma cari alasan untuk membelanjakan uang Raka? Jangan pikir kami nggak tahu akal bulusmu ya.”

Kata-kata itu menusuk Ayla, namun ia tahu bahwa tidak ada gunanya berdebat panjang dengan mereka. Ini bukan pertama kalinya ia dituduh menghabiskan uang Raka, dan setiap kali ia menjelaskan, tanggapan yang ia terima selalu sama: ketidakpercayaan.

Ayla menggigit bibirnya, menahan rasa frustrasi yang terus membesar. “Aku cuma berusaha merawat rumah ini, Ma. Itu saja.”

Ratna menghela napas, seolah lelah dengan penjelasan Ayla. “Baiklah. Tapi ingat, Raka bekerja keras untuk semuanya. Jangan sampai kamu membuatnya lebih terbebani dengan hal-hal yang nggak penting.”

Ayla hanya bisa mengangguk, meski dalam hatinya ia merasa hancur. Setiap usahanya untuk menjalankan tugas sebagai istri selalu dianggap salah. Tidak ada yang ia lakukan yang tampak cukup di mata keluarga Raka.

“Kami mau berbelanja, Ayla. Kamu ikut dengan kami.”

Ayla tidak terkejut mendengar ajakan itu. Ia sudah tahu apa artinya ketika Ratna dan Nadya mengajaknya berbelanja. Ini bukan ajakan untuk menikmati waktu bersama, melainkan sebuah kesempatan bagi mereka untuk memanfaatkannya.

“Ya, Ma,” jawab Ayla pelan, berusaha menjaga senyumnya meski hatinya ingin menolak.

Nadya, yang dari tadi terlihat bosan, langsung tersenyum lebar. “Akhirnya! Aku sudah lama pengen ke butik baru di pusat kota. Kamu harus lihat, Ayla. Mereka punya koleksi baju baru yang keren. Oh, tapi kamu nggak akan pakai baju-baju semahal itu, kan?” tawa sinis Nadya kembali terdengar, seolah sengaja mempermalukan Ayla.

Ayla menahan diri untuk tidak bereaksi. Ia sudah terbiasa dengan ejekan Nadya. Satu hal lagi yang sudah Ayla ketahui dengan pasti adalah mereka tidak hanya mengajaknya berbelanja. Ratna dan Nadya membutuhkan sesuatu darinya—lebih tepatnya, mereka membutuhkan kartu black card yang diberikan oleh Raka untuk Ayla.

Semenjak Pak Aditya menyita kartu kredit mereka berdua akibat pemborosan yang berlebihan, Ratna dan Nadya tak lagi bisa bebas berbelanja seperti biasanya. Mereka tahu bahwa satu-satunya cara untuk tetap bisa memanjakan diri adalah dengan menggunakan kartu black card milik Ayla. Kartu itu diberikan Raka kepada Ayla sebagai bentuk tanggung jawab untuk mengurus keperluan rumah tangga, tetapi keluarga Raka selalu berhasil memanfaatkannya untuk kepentingan mereka sendiri.

“Jangan lupa bawa kartu itu, Ayla,” tambah Ratna, kali ini nada suaranya tidak lagi bernada sindiran, tetapi perintah yang jelas. “Kartu yang Raka berikan padamu. Kami akan membutuhkan itu.”

Ayla merasakan beban berat di dadanya, tetapi ia hanya bisa mengangguk. Di satu sisi, ia tahu tidak ada pilihan lain. Menolak hanya akan memperburuk hubungan mereka yang sudah dingin. Di sisi lain, ia tahu betul bahwa saat mereka berbelanja, dirinya tak lebih dari sekadar 'kacung' yang disuruh-suruh. Tidak ada pembicaraan hangat, tidak ada perhatian, hanya penugasan tanpa henti.

“Baik, Ma,” jawab Ayla akhirnya. “Aku bawa kartunya.” Suaranya tenang, meski hatinya merasakan luka yang tak pernah sembuh.

“Bagus,” balas Ratna dengan datar. “Ayo, kita berangkat. Jangan buang waktu.”

Ayla tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ini bukan pertama kalinya, dan mungkin bukan yang terakhir. Ia akan ikut, membawa beban—baik fisik maupun emosi—dan tidak ada yang akan melihat atau peduli dengan apa yang dirasakannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status