Pagi itu, Ayla sibuk membersihkan rumah yang terasa sepi dan luas. Ia mengelap meja makan yang hampir tak pernah digunakan dan merapikan ruang tamu, sementara pikirannya melayang jauh.
Sambil menatap kosong ke arah jendela, Ayla merenungkan satu tahun pernikahannya dengan Raka. Pernikahan yang seharusnya menjadi fondasi cinta dan kebersamaan, kini hanya terasa sebagai perjanjian yang dingin dan kosong. Tidak ada sentuhan kehangatan, tidak ada kata-kata manis. Hanya kewajiban yang dipenuhi dengan jarak dan keterasingan.
Selama setahun terakhir, Ayla telah mencoba segalanya untuk memperbaiki hubungan mereka. Ia berusaha menjadi istri yang sabar, menyiapkan sarapan untuk Raka setiap pagi meskipun sering kali dia menolaknya dengan dingin. Ia selalu memastikan rumah mereka rapi dan terawat, berharap bahwa mungkin, pada suatu saat, Raka akan menghargai usahanya. Namun, setiap usaha itu selalu berakhir dengan kekecewaan.
Raka adalah pria yang pendiam dan cenderung cuek, tetapi dalam keheningannya itu, Ayla merasa seperti diabaikan. Bahkan pada malam-malam ketika ia menunggu suaminya pulang hingga larut, Raka tidak pernah tampak peduli. Mereka hidup seperti dua orang asing yang berbagi rumah yang sama—berada di tempat yang sama, namun hati mereka berada di dunia yang berbeda.
Bukan hanya ketidakpedulian Raka yang menghancurkan hati Ayla, tetapi juga perlakuan keluarganya. Ibu Raka, Ratna, selalu memandang Ayla dengan tatapan sinis, seolah-olah ia tidak pernah cukup baik untuk putranya. Setiap kali mereka bertemu, Ratna tidak pernah melewatkan kesempatan untuk mengingatkan Ayla bahwa pernikahannya dengan Raka hanyalah hasil dari kecelakaan. “Kamu beruntung Nadya menabrak ayahmu,” kata-kata itu pernah keluar dari mulut mertuanya, dengan nada yang begitu tajam dan menusuk. Bagi Ratna, Ayla hanyalah seorang wanita yang kebetulan ‘mendapat keberuntungan’ dari tragedi.
Nadya, adik Raka, tidak jauh berbeda. Sikapnya yang manja dan impulsif membuatnya selalu mencari celah untuk merendahkan Ayla. Ia sering kali menertawakan latar belakang Ayla yang hanya lulusan SMA, membuat Ayla merasa semakin kecil di mata keluarganya. Setiap pertemuan keluarga adalah siksaan bagi Ayla, di mana Nadya dan Ratna selalu bekerja sama untuk membuatnya merasa tidak diinginkan.
Ayla sudah mencoba mendekati mereka dengan berbagai cara. Ia membawa hadiah ketika berkunjung, berusaha berbicara dengan lembut dan sopan, bahkan membantu Nadya dalam beberapa hal yang ia butuhkan. Namun, tidak ada yang berhasil. Setiap usahanya berakhir sia-sia. Mereka hanya melihatnya sebagai orang luar—seseorang yang tidak pernah benar-benar diterima dalam keluarga ini.
Selama satu tahun itu, Ayla menyimpan rasa sakitnya sendiri. Tidak ada tempat untuk meluapkan perasaannya, tidak ada bahu untuk bersandar. Raka, satu-satunya orang yang diharapkan bisa memberinya kenyamanan, justru semakin menjauh. Kadang-kadang, Ayla bahkan bertanya pada dirinya sendiri: Apakah pernikahan ini benar-benar ada artinya?
Setiap kali ia merasakan kekecewaan yang mendalam, Ayla akan kembali pada rutinitasnya—menulis. Melalui kata-kata, ia bisa menciptakan dunia di mana cinta dan kebahagiaan mungkin terjadi. Namun, di balik semua cerita yang ia tulis, ada rasa sedih yang terus menghantui, karena ia tahu bahwa dunia fiksi itu hanyalah pelarian dari kenyataan pernikahan yang hampa.
Dengan setiap hari yang berlalu, Ayla semakin merasa bahwa usahanya tidak berarti. Pernikahan ini seperti lorong panjang yang gelap, tanpa ada cahaya di ujungnya. Bagaimanapun ia mencoba, semua itu terasa sia-sia. Dan meskipun hatinya masih dipenuhi harapan kecil bahwa suatu hari Raka akan berubah, realitas yang ia hadapi setiap hari membuat harapan itu perlahan-lahan memudar.
Saat sedang mengelap debu di rak buku, telepon di sudut ruangan berdering, memecah keheningan. Ayla berhenti sejenak, mengabaikan panggilan pertama, mengira itu mungkin panggilan biasa. Namun, ketika telepon itu berdering untuk ketiga kalinya, ia meletakkan lap di tangannya dan berjalan perlahan menuju telepon.
“Halo?” jawabnya dengan suara yang sedikit terganggu, masih setengah berpikir tentang pekerjaan rumah yang belum selesai.
Di ujung telepon, terdengar suara pria yang ramah namun penuh antusiasme. “Selamat pagi! Apakah saya sedang berbicara dengan Ayla Sasmita atau Dara Aksara, penulis dari 'Pernikahan Tanpa Kasih'?”
Ayla tertegun. Pernikahan Tanpa Kasih adalah salah satu karya yang ia tulis secara anonim di platform online, sebuah cerita yang sangat pribadi bagi dirinya. “Ya, ini Ayla. Dengan siapa ini?” tanyanya, sedikit penasaran dengan siapa yang tahu identitas penulis di balik nama samarannya.
“Perkenalkan, saya Bima, seorang produser film dari Rumah Produksi Sinema Indah. Saya telah membaca novel Anda, 'Pernikahan Tanpa Kasih', dan sangat terkesan. Cerita Anda memiliki kekuatan emosional yang sangat kuat, dan saya ingin sekali mengadaptasinya menjadi sebuah film.”
Ayla terdiam sejenak, hatinya berdebar kencang. Film? pikirnya. Tidak pernah ia bayangkan bahwa novel yang ia tulis, yang sebagian besar mencerminkan kesepian dan perasaannya sendiri, akan mendapatkan perhatian sebesar ini. Ia tahu Sinema Indah adalah rumah produksi yang sudah memproduksi film-film terkenal.
“Film?” gumamnya pelan, hampir tak percaya. “Anda ingin mengadaptasi novel saya?”
“Betul sekali,” lanjut Bima dengan penuh semangat. “Ceritanya menyentuh dan relevan. Saya yakin ini bisa menjadi film yang luar biasa. Kalau tidak keberatan, saya ingin bertemu dengan Anda untuk membicarakan detail lebih lanjut tentang proyek ini.”
“Mohon maaf, tapi saya belum bisa menerima tawaran anda.”
Terkejut, Bima terdiam beberapa saat sebelum bertanya, “Menolak? Tapi kenapa, Ayla? Ini bisa menjadi peluang besar bagi Anda.”
Ayla menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya. “Saya… saya nggak yakin ini adalah waktu yang tepat. Saya pernah mendapatkan tawaran serupa sebelumnya, dan saya khawatir ini mungkin bukan yang terbaik untuk saya. Saya juga khawatir bahwa ini bisa jadi penipuan, seperti yang sudah sering terjadi pada saya.”
Ada jeda panjang di ujung telepon sebelum Bima berbicara lagi. “Ayla, saya mengerti kekhawatiran Anda. Saya nggak bisa memaksa Anda, tapi saya ingin Anda tahu bahwa ini adalah tawaran yang serius. Saya nggak seperti orang-orang yang Anda temui sebelumnya. Jika ada keraguan, kita bisa membicarakannya lebih lanjut. Saya benar-benar ingin bekerja sama dengan Anda.”
Meski suaranya terdengar meyakinkan, Ayla tetap merasakan kegelisahan dalam hatinya. “Terima kasih, Bima. Saya menghargai tawaran Anda, tapi untuk sekarang, saya harus menolak.”
Setelah panggilan berakhir, Ayla meletakkan teleponnya dan duduk di kursi. Keputusannya sudah diambil, dan meski ada sedikit rasa penyesalan, Ayla merasa lega. Ia tidak ingin terburu-buru menerima tawaran yang bisa membuatnya lebih rentan. Ia harus lebih berhati-hati.
Selama beberapa tahun terakhir, tawaran dari orang-orang yang mengaku sebagai penerbit atau produser sering kali muncul, terutama setelah novelnya semakin populer di dunia maya. Mereka selalu datang dengan janji-janji manis—kesuksesan besar, penghasilan fantastis, dan kejayaan yang seolah hanya sejengkal dari genggamannya. Namun, Ayla tahu lebih baik dari siapa pun bahwa dunia ini penuh dengan tipu muslihat.
Beberapa dari mereka meminta biaya di muka untuk penerbitan, sementara yang lain mengaku sebagai produser yang ingin mengangkat novelnya ke layar lebar. Tetapi pada akhirnya, hampir semua dari mereka hanyalah janji kosong. Ada yang berhenti menghubungi setelah Ayla menunjukkan keraguan, ada yang bahkan meminta uang dalam kedok “biaya produksi”. Penipuan semacam ini telah menjadi bayang-bayang yang menghantui setiap kesempatan besar yang menghampirinya.
Ayla teringat bagaimana ia pernah hampir tertipu oleh penerbit yang meminta sejumlah uang untuk penerbitan fisik bukunya. Untungnya, ia cepat menyadari ada sesuatu yang janggal. Sejak saat itu, setiap kali ada tawaran datang, ia selalu dihantui oleh keraguan yang sama—apakah ini nyata, ataukah hanya tipu daya?
Tawaran Bima kali ini terasa serupa, meski ada sesuatu dalam cara bicara pria itu yang terdengar meyakinkan. Namun, Ayla tidak bisa begitu saja membuang jauh rasa cemasnya. Bagi Ayla, lebih baik berhati-hati daripada harus berurusan dengan penyesalan di kemudian hari.
Bukan hanya satu kali ini saja ia harus menghadapi kenyataan pahit tentang orang-orang yang mencoba memanfaatkan popularitasnya. Setiap kali ada tawaran besar, selalu ada bagian dari dirinya yang mengatakan untuk tidak percaya begitu saja. Ia sudah cukup bijak untuk memahami bahwa tidak semua yang berkilau adalah emas.
Dengan semua pengalaman yang telah dilaluinya, Ayla memilih untuk menolak tawaran itu. Bukan karena ia tidak percaya pada mimpinya, tetapi karena ia sudah terlalu sering berhadapan dengan kebohongan yang menyakitkan.
Di dalam kamar yang sunyi, Ayla duduk di depan laptopnya, jemarinya menari di atas keyboard, mencurahkan perasaannya melalui kata-kata. Kamar itu adalah tempat favoritnya—ruang yang memberikan kenyamanan dan pelarian dari kehidupan yang sepi dan rumit. Dalam dunia novelnya, Ayla menemukan kebebasan dan kekuatan yang tak pernah ia rasakan di kehidupan nyata.Namun, saat pikirannya masih tenggelam dalam cerita yang sedang ia tulis, bunyi bel rumah yang keras dan berulang memecahkan keheningan. Ayla menghentikan tulisannya sejenak, menoleh ke arah jendela. Siapa yang datang pagi-pagi begini?Tiba-tiba, suara Ratna dan Nadya terdengar samar dari bawah. Jantung Ayla berdetak cepat. Mertuanya dan Nadya? pikirnya, panik. Mereka tidak pernah datang tanpa pemberitahuan, dan kedatangan mereka jarang membawa kabar baik.Dengan cepat, Ayla menekan tombol untuk mematikan laptopnya, khawatir jika mereka mengetahui tentang kehidupan rahasianya sebagai penulis. Ia menutup laptop dan berdiri dengan te
Setelah meninggalkan rumah, Ayla mengikuti langkah cepat Ratna dan Nadya menuju pusat perbelanjaan paling mewah di kota. Jalan-jalan di antara etalase butik-butik ternama selalu membawa aura yang penuh kemewahan, tetapi bagi Ayla, itu hanya berarti satu hal: ia akan menjadi pembawa barang-barang belanjaan yang tak ada habisnya.Mereka pertama-tama memasuki butik mewah dengan kaca yang berkilau, di mana setiap gaun dan aksesori berharga jutaan rupiah dipajang seolah-olah itu adalah karya seni. Nadya segera berjalan cepat menuju deretan baju bermerek, memilih-milih gaun yang menurutnya akan cocok untuk berbagai acara yang mungkin tidak pernah benar-benar ia hadiri.“Ayla, bawa ini,” perintah Nadya sambil menyerahkan beberapa baju mewah ke tangan Ayla. Belum sempat Ayla mengatur baju-baju yang sudah diambil, Nadya kembali menyerahkan tas tangan berwarna emas yang berkilau. “Pasti kalau pakai ini aku cantik sekali, kan?” Nadya tertawa kecil.Ayla hanya mengangguk, mencoba memasang senyum
Sepulangnya dari berbelanja dan makan siang bersama Ratna dan Nadya, tubuh Ayla terasa begitu lelah. Begitu sampai di rumah, Ayla langsung menuju kamar mandi, berharap segarnya air bisa sedikit menghilangkan rasa lelah dan tegang yang menumpuk sepanjang hari.Setelah mandi, Ayla merasa sedikit lebih baik. Ia mengenakan pakaian santai dan memutuskan untuk duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri dengan membaca buku. Setiap halaman yang ia baca terasa seperti pelarian sejenak dari kenyataan hidupnya yang monoton dan penuh tekanan.Namun, belum lama ia tenggelam dalam bacaan, ponselnya berdering. Ayla menoleh ke arah ponselnya, merasa sedikit heran. Ia jarang sekali menerima telepon di malam hari kecuali dari keluarganya.Dengan sedikit ragu, Ayla mengangkat telepon dan mendekatkannya ke telinga. “Halo?”“Ayla! Ini aku, editor dari platform novel onlinemu. Maaf mengganggu di malam hari, tapi aku harus menyampaikan sesuatu yang sangat penting,” suara akrab editor itu terdengar penuh
Suasana kantor Raka pagi itu sangat sibuk. Di setiap sudut ruangan, para karyawan tampak berlarian, membawa berkas dan laporan, sementara suara ketukan keyboard mengisi udara. Kantor yang terletak di lantai atas gedung tinggi itu memiliki jendela besar yang memberikan pemandangan menakjubkan ke arah kota. Namun, pemandangan itu tampak jauh dari perhatian Raka yang saat ini terfokus pada pekerjaan di mejanya.Di dalam ruangannya yang rapi dan modern, Raka duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dengan tumpukan berkas dan laptop yang selalu menyala. Dengan mata serius, ia membaca laporan dari tim pemasaran. Angka-angka dan grafik memenuhi pikirannya, dan ia mencatat beberapa poin penting yang perlu dibahas dalam rapat nanti. Setiap kali ia menemukan masalah dalam laporan, kerutan di dahi Raka semakin dalam, menunjukkan betapa beratnya beban yang ia pikul sebagai CEO perusahaan ritel yang diwariskan oleh ayahnya.Raka menghela napas panjang dan memijat pelipisnya, berusaha mengusir ra
Senyum Ratna semakin lebar saat ia melihat Laras, seolah ingin memamerkan sosoknya kepada dunia. “Kamu tahu nggak, Laras, banyak yang bilang kamu adalah gadis idaman. Raka pasti senang kalau kalian kembali bersama.”Sementara itu, Raka hanya mengangkat bahu, terlihat acuh tak acuh. “Masa lalu adalah masa lalu, Ma. Sekarang aku cuma ingin fokus kerja,” jawabnya dengan nada datar, seolah mengabaikan harapan ibunya dan Laras.Mendengar respon itu, Ratna tampak kecewa, tetapi Laras tidak kehilangan semangatnya. Dia melanjutkan pembicaraan dengan antusias, berusaha menghidupkan suasana yang tegang.“Raka, kamu serius? Kamu nggak merasa sedikit pun nostalgia?” Laras bertanya dengan nada menggoda, mencoba menciptakan suasana yang lebih hangat. “Kita pernah bahagia, kan?”Tetapi Raka hanya menggelengkan kepala, kembali fokus pada makanannya. “Hanya karena kita punya masa lalu nggak berarti kita harus kembali ke sana.”Suasana di meja makan terasa semakin akrab ketika Ratna tiba-tiba mengeluar
Sementara di restoran yang sama, di sudut yang lebih tenang, Ayla duduk berhadapan dengan Rania dan Bima. Mulanya, Ayla berpikir Bima adalah pria berumur lebih dari empat puluh tahun lebih. Namun, ternyata tidak demikian. Bima adalah sosok yang menonjol di antara kerumunan, dengan perawakan tinggi dan tubuh yang atletis. Wajahnya dihiasi dengan rahang tegas dan dagu yang kuat, memberikan kesan karismatik. Matanya yang tajam dan bersemangat berwarna cokelat gelap, seolah selalu menyimpan rencana dan ambisi.Ia mengenakan setelan jas navy yang dipadukan dengan kemeja putih bersih dan dasi berwarna senada. Pakaian yang terawat rapi itu memberikan kesan profesional sekaligus modis. Bima kelihatannya selalu tampil percaya diri; senyumnya yang lebar dan hangat membuat orang merasa nyaman di sekitarnya, namun ada nuansa ketegasan dalam cara ia berbicara dan bergerak. “Ayla, aku senang kamu memutuskan untuk bertemu dengan Bima. Ini adalah langkah besar untuk karier menulismu,” ucap Rania, pe
Ayla berjalan menuju area parkir dengan Bima dan Rania setelah pertemuan yang penuh semangat di restoran. Udara sore terasa menyegarkan, tetapi saat langkahnya mendekati mobil, dia mendapati Raka berdiri di dekat pintu keluar, bersama Ratna dan Laras. Jantungnya berdegup kencang, dan ketegangan langsung mengisi udara.“Raka!” Ratna memanggil anaknya dengan suara ceria, tetapi ada nada yang tajam di balik senyumannya. “Lihat siapa yang baru saja keluar dari restoran itu!”Raka menoleh, dan ekspresinya berubah seketika saat melihat Ayla. “Ayla?” tanyanya, seolah-olah terkejut melihatnya di sana.“Raka,” Ayla menjawab, berusaha menunjukkan senyum meski hatinya bergetar. “Kamu disini juga?”Ratna tidak memberi kesempatan untuk Ayla berbicara lebih jauh. “Berani sekali kamu, Ayla! Apa kamu nggak malu pergi dengan pria lain saat suamimu sedang berjuang mencari nafkah?” tuduhnya, nada suaranya penuh kebencian.Ayla merasa jantungnya tercekat mendengar tuduhan itu. “Ibu, itu nggak benar! Bima
Malam itu, setelah perdebatan yang menyakitkan dengan Raka, Ayla duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke dinding berwarna pastel yang dulunya terasa menenangkan. Namun sekarang, dinding itu seolah menjadi pengingat akan semua kesedihan dan kesepian yang mengisi hidupnya. Hatinya terasa berat, dipenuhi dengan keraguan dan ketidakpastian.Apakah ini benar-benar pernikahan? pikirnya, mencoba mencari jawaban atas pertanyaannya sendiri. Sejak hari pernikahan mereka, hubungan ini seolah terjalin tanpa ada kedalaman yang diharapkan. Mereka tidak pernah berbagi momen intim selayaknya suami istri dan Ayla merasa seperti terjebak dalam rutinitas yang monoton, tanpa cinta dan perhatian yang seharusnya ada antara suami dan istri.Ayla merasakan air mata mulai menggenang di sudut matanya. Semua usaha yang dilakukannya untuk mendekatkan diri pada Raka seolah sirna. Ayla mengenang bagaimana ia selalu berusaha menciptakan suasana yang hangat di rumah, memasak hidangan spesial, dan menyiapkan