Share

BAB 5

Suara langkah kecil terdengar di jalan setapak menuju rumah. Bintang, yang baru saja pulang dari sekolah, berlari dengan ceria, wajahnya bersinar penuh semangat. Ransel kecilnya bergoyang di punggung, dan rambutnya yang ikal berantakan menambah kesan lucu pada dirinya. Begitu melihat rumahnya yang sederhana, matanya langsung berbinar.

“Mama! Tante Ayla!” teriak Bintang gembira, melompat-lompat kecil saat memasuki halaman.

Ayla yang sedang duduk di beranda sambil menikmati secangkir kopi menoleh, wajahnya langsung menyiratkan kebahagiaan. “Bintang! Sayang! Tante kangen banget!” Ia segera bangkit dan membuka tangan lebar-lebar, menyambut keponakannya yang berlari menghampirinya.

Bintang langsung menerjang pelukan Ayla, mengempaskan ranselnya ke tanah. “Tante, aku belajar banyak hari ini!” ujarnya dengan semangat. Wajahnya dipenuhi keceriaan, seolah seluruh dunia hanya ada untuknya.

“Sungguh? Apa yang kamu pelajari?” tanya Ayla, membelai rambut Bintang dengan lembut. Rasa sayang yang mendalam terpancar di matanya. Ia selalu merasa bangga melihat perkembangan keponakannya, dan setiap cerita dari Bintang adalah harta berharga.

“Kami belajar menggambar hewan! Lihat, aku bawa gambarku!” Bintang mengeluarkan lembaran kertas dari ranselnya, mengangkatnya dengan bangga. Di atas kertas itu terdapat gambar warna-warni seekor kucing dan anjing yang terlihat lucu.

“Wow! Ini luar biasa, Bintang! Kamu berbakat banget!” Ayla memuji, matanya berbinar-binar melihat karya tangan Bintang. “Siapa yang mengajarkan kamu menggambar?”

“Bu Guru! Dia bilang aku harus berimajinasi!” Bintang menjelaskan dengan antusias, melompat-lompat di tempat. “Aku mau jadi seniman  besar nanti, Tante!”

Ayla tertawa bahagia mendengar cita-cita Bintang. “Tante yakin kamu akan jadi seniman hebat! Kita menggambar bersama nanti, ya!” ujar Ayla, membayangkan momen menyenangkan yang akan mereka habiskan berdua.

Ketika Mira muncul dari dalam rumah, melihat anaknya yang ceria, ia tak bisa menahan senyuman. “Bintang, sudah berapa kali kamu memeluk Tante Ayla hari ini?” tanyanya dengan nada menggoda.

“Dua kali! Tapi, aku masih mau lagi!” Bintang menjawab sambil tersenyum lebar, matanya berbinar-binar.

Mira tertawa. “Siap, anakku! Selama kamu bahagia, mama juga bahagia. Tapi sekarang, lebih baik kita siapkan camilan untuk Tante Ayla dan kamu!”

Dengan semangat, Bintang berlari ke dalam rumah, dibarengi dengan Mira yang mengikutinya. Ayla merasa hangat di hatinya melihat kebahagiaan kecil itu. Ia tahu, momen-momen seperti ini adalah yang paling berharga. Dalam kesederhanaan dan cinta yang melimpah, Ayla merasakan arti sejati dari keluarga.

Sambil menunggu Bintang dan Mira menyiapkan camilan, Ayla merenung sejenak, bersyukur atas kebahagiaan yang mengelilinginya. Ia berjanji untuk selalu mendukung Bintang, tidak peduli apapun yang terjadi. Setiap tawa dan cerita dari keponakannya adalah anugerah yang tak ternilai, menambah warna dalam hidupnya yang penuh tantangan.

Setelah ditinggalkan oleh kekasihnya saat mengetahui kehamilannya, Mira sempat merasa hancur. Namun, seiring berjalannya waktu, ia belajar untuk menerima keadaannya. Ketika bayi mungilnya lahir ke dunia, semua kesedihan yang pernah mengisi hidupnya perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh kebahagiaan yang tulus. Kini, setiap kali ia melihat senyuman cerah di wajah anak yang ia panggil Bintang, hatinya dipenuhi kehangatan.

Ibunya, Lina dan Ayla selalu ada di sampingnya, memberikan dukungan penuh. Setiap hari, mereka membantu Mira merawat Bintang. Lina bahkan mengubah ruang tamu kecil mereka menjadi tempat bermain dan belajar yang ceria untuk sang cucu. Dinding-dindingnya dihiasi dengan gambar-gambar ceria, dan mainan berwarna-warni bertebaran di seluruh ruangan.

Meski kehidupan mereka sederhana, Mira merasa sangat beruntung. Ia tidak pernah merasa sendirian dalam perjalanan ini. Keluarga selalu bersamanya, memberi semangat dan cinta. Ketika Mira berkeliling lingkungan dengan Bintang di dalam gendongan, ia merasakan dukungan dari tetangga-tetangga yang saling membantu. Semua orang mengenal Bintang dan mengaguminya sebagai anak kecil yang ceria.

Dengan setiap hari yang berlalu, Mira semakin kuat dan berani, menatap masa depan dengan optimis. Ia menyadari bahwa hidup ini adalah perjalanan, dan selama ada cinta serta dukungan dari keluarganya, ia siap menjalani setiap tantangan dengan ceria. Bintang adalah anugerah terindah dalam hidupnya, dan Mira berjanji akan selalu menjadi ibu yang terbaik untuknya.

***

Di tepi pemakaman yang tenang, di bawah naungan pepohonan yang rindang, terhampar hamparan rumput hijau yang terawat. Suasana di sini terasa damai, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberi penghormatan bagi jiwa-jiwa yang telah pergi. Nisan-nisan yang tersusun rapi membentuk barisan, menciptakan pemandangan yang hening, di mana hanya suara burung berkicau dan hembusan angin lembut yang terdengar.

Makam ayah Ayla terletak di sudut yang sunyi, dikelilingi oleh tanaman bunga warna-warni yang merekah indah, menambah kesan ceria meski hati Ayla dipenuhi kesedihan. Nisan berbahan granit hitam mengkilap itu berdiri tegak, dihiasi ukiran sederhana yang menunjukkan namanya, tanggal lahir, dan tanggal kepergiannya. Di bawah sinar matahari, nisan itu memantulkan cahaya, menciptakan bayangan lembut di tanah.

Ayla melangkah mendekat, merasakan ketenangan yang aneh dan menenangkan. Di sekeliling makam, beberapa batu kecil terletak rapi, seolah menjadi penghias yang menunjukkan kasih sayang dari para pengunjung. Ayla mengingat saat-saat ia bersama ayahnya di taman ini, bagaimana mereka bercanda dan berbagi cerita di bawah sinar matahari yang hangat. Namun, sekarang semuanya terasa jauh dan tak terjangkau.

Di depan nisan, Ayla meletakkan sejambak bunga segar, aroma bunga melati dan mawar menyeruak, membawa ingatan akan kasih sayang dan kebersamaan mereka. Dia berlutut, membisikkan doa dengan lembut, berharap ayahnya mendengar suara hatinya dari jauh. Di sinilah, di antara keheningan dan ketenangan, Ayla merasakan kehadiran sang ayah, memberi kekuatan dan semangat untuk melanjutkan hidup.

Saat melihat sekeliling, Ayla memperhatikan bagaimana sinar matahari mulai redup, menciptakan nuansa hangat namun melankolis. Setiap detik terasa berharga, dan di tempat ini, ia tahu bahwa kenangan akan ayahnya akan selalu hidup dalam hatinya. Dengan napas dalam-dalam, Ayla berjanji untuk menjaga semua kenangan indah itu, sekaligus berusaha menjadikan hidupnya sebagai penghormatan terbaik untuk orang yang telah pergi.

Setelah menghabiskan waktu yang hangat dengan Mira dan Bintang, Ayla merasa hatinya tergerak untuk mengunjungi makam ayahnya. Perasaannya campur aduk; kerinduan yang mendalam bercampur dengan kesedihan yang tak kunjung pudar. Dengan langkah mantap, ia melangkah menuju tempat peristirahatan terakhir sang ayah.

Makam ayahnya terletak di sudut pemakaman yang rapi, dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Saat Ayla berdiri di depan nisan, air mata mulai menggenang di matanya. Ia mengingat saat-saat sulit ketika semuanya berubah dalam sekejap.

Kecelakaan itu terjadi di malam yang gelap. Nadya, dalam keadaan mabuk setelah menghabiskan malam di klub malam, kehilangan kendali saat mengemudikan mobilnya. Dia melaju kencang tanpa mempedulikan lampu merah, dan tak lama kemudian, suara benturan keras menggema di jalanan. Ayah Ayla, yang sedang menyeberang jalan pulang dari pasar, tertabrak dengan sangat keras.

Ayla ingat betul bagaimana paniknya semua orang saat itu. Mereka berlari ke tempat kejadian, dan suara sirene ambulans terdengar mendekat. Nadya hanya bisa terdiam di samping mobilnya yang hancur, wajahnya pucat saat melihat ayah Ayla terkapar di aspal. Keluarga Raka, setelah mendengar kabar itu, segera memberikan bantuan. Mereka berusaha mengurus semua pengobatan dan perawatan yang dibutuhkan, berjanji untuk melakukan segala cara agar ayah Ayla selamat.

Namun, meskipun berbagai usaha dilakukan, keadaan ayahnya semakin memburuk. Ayla merasa hancur melihat ayahnya terbaring lemah di rumah sakit, terhubung dengan berbagai alat medis. Setiap detak jantung yang terdengar seolah menjadi beban yang lebih berat di pundaknya. Raka, yang hadir di sampingnya, menunjukkan dukungan yang tidak terduga, seolah-olah ia menjadi sandaran di tengah badai yang mengamuk dalam hidupnya.

Hari-hari berlalu, dan akhirnya, keputusan pahit harus diambil. Ayahnya tidak mampu bertahan lebih lama, dan saat dia menghembuskan napas terakhirnya, Ayla merasa seluruh dunianya runtuh. Dalam kesedihan itu, Raka, yang merasa bertanggung jawab, mengambil keputusan untuk menikahi Ayla. Ia melakukannya di tengah desakan ayahnya, yang ingin melindungi Ayla dari proses hukum yang mengancam Nadya.

“Ayla, aku akan bertanggung jawab,” kata Raka tegas saat mengajak Ayla berbicara di ruang tunggu rumah sakit. “Aku akan menghidupi keluargamu hingga Bintang lulus kuliah.”

Kata-kata Raka memberikan sedikit ketenangan di tengah kesedihan yang melanda. Ayla tahu bahwa menikahi Raka bukanlah pilihan yang diinginkannya, tetapi saat itu, ia merasa tidak ada jalan lain. Ia hanya ingin memastikan Bintang memiliki masa depan yang lebih baik.

Sekarang, di depan makam ayahnya, Ayla merasakan betapa beratnya beban yang harus ia pikul setelah semua itu. “Maafkan aku, Ayah,” ujarnya lirih. “Aku berusaha sebaik mungkin, tetapi kadang aku merasa terjebak dalam pernikahan ini.”

Sambil menatap nisan, Ayla menyadari bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status