Suara langkah kecil terdengar di jalan setapak menuju rumah. Bintang, yang baru saja pulang dari sekolah, berlari dengan ceria, wajahnya bersinar penuh semangat. Ransel kecilnya bergoyang di punggung, dan rambutnya yang ikal berantakan menambah kesan lucu pada dirinya. Begitu melihat rumahnya yang sederhana, matanya langsung berbinar.
“Mama! Tante Ayla!” teriak Bintang gembira, melompat-lompat kecil saat memasuki halaman.
Ayla yang sedang duduk di beranda sambil menikmati secangkir kopi menoleh, wajahnya langsung menyiratkan kebahagiaan. “Bintang! Sayang! Tante kangen banget!” Ia segera bangkit dan membuka tangan lebar-lebar, menyambut keponakannya yang berlari menghampirinya.
Bintang langsung menerjang pelukan Ayla, mengempaskan ranselnya ke tanah. “Tante, aku belajar banyak hari ini!” ujarnya dengan semangat. Wajahnya dipenuhi keceriaan, seolah seluruh dunia hanya ada untuknya.
“Sungguh? Apa yang kamu pelajari?” tanya Ayla, membelai rambut Bintang dengan lembut. Rasa sayang yang mendalam terpancar di matanya. Ia selalu merasa bangga melihat perkembangan keponakannya, dan setiap cerita dari Bintang adalah harta berharga.
“Kami belajar menggambar hewan! Lihat, aku bawa gambarku!” Bintang mengeluarkan lembaran kertas dari ranselnya, mengangkatnya dengan bangga. Di atas kertas itu terdapat gambar warna-warni seekor kucing dan anjing yang terlihat lucu.
“Wow! Ini luar biasa, Bintang! Kamu berbakat banget!” Ayla memuji, matanya berbinar-binar melihat karya tangan Bintang. “Siapa yang mengajarkan kamu menggambar?”
“Bu Guru! Dia bilang aku harus berimajinasi!” Bintang menjelaskan dengan antusias, melompat-lompat di tempat. “Aku mau jadi seniman besar nanti, Tante!”
Ayla tertawa bahagia mendengar cita-cita Bintang. “Tante yakin kamu akan jadi seniman hebat! Kita menggambar bersama nanti, ya!” ujar Ayla, membayangkan momen menyenangkan yang akan mereka habiskan berdua.
Ketika Mira muncul dari dalam rumah, melihat anaknya yang ceria, ia tak bisa menahan senyuman. “Bintang, sudah berapa kali kamu memeluk Tante Ayla hari ini?” tanyanya dengan nada menggoda.
“Dua kali! Tapi, aku masih mau lagi!” Bintang menjawab sambil tersenyum lebar, matanya berbinar-binar.
Mira tertawa. “Siap, anakku! Selama kamu bahagia, mama juga bahagia. Tapi sekarang, lebih baik kita siapkan camilan untuk Tante Ayla dan kamu!”
Dengan semangat, Bintang berlari ke dalam rumah, dibarengi dengan Mira yang mengikutinya. Ayla merasa hangat di hatinya melihat kebahagiaan kecil itu. Ia tahu, momen-momen seperti ini adalah yang paling berharga. Dalam kesederhanaan dan cinta yang melimpah, Ayla merasakan arti sejati dari keluarga.
Sambil menunggu Bintang dan Mira menyiapkan camilan, Ayla merenung sejenak, bersyukur atas kebahagiaan yang mengelilinginya. Ia berjanji untuk selalu mendukung Bintang, tidak peduli apapun yang terjadi. Setiap tawa dan cerita dari keponakannya adalah anugerah yang tak ternilai, menambah warna dalam hidupnya yang penuh tantangan.
Setelah ditinggalkan oleh kekasihnya saat mengetahui kehamilannya, Mira sempat merasa hancur. Namun, seiring berjalannya waktu, ia belajar untuk menerima keadaannya. Ketika bayi mungilnya lahir ke dunia, semua kesedihan yang pernah mengisi hidupnya perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh kebahagiaan yang tulus. Kini, setiap kali ia melihat senyuman cerah di wajah anak yang ia panggil Bintang, hatinya dipenuhi kehangatan.
Ibunya, Lina dan Ayla selalu ada di sampingnya, memberikan dukungan penuh. Setiap hari, mereka membantu Mira merawat Bintang. Lina bahkan mengubah ruang tamu kecil mereka menjadi tempat bermain dan belajar yang ceria untuk sang cucu. Dinding-dindingnya dihiasi dengan gambar-gambar ceria, dan mainan berwarna-warni bertebaran di seluruh ruangan.
Meski kehidupan mereka sederhana, Mira merasa sangat beruntung. Ia tidak pernah merasa sendirian dalam perjalanan ini. Keluarga selalu bersamanya, memberi semangat dan cinta. Ketika Mira berkeliling lingkungan dengan Bintang di dalam gendongan, ia merasakan dukungan dari tetangga-tetangga yang saling membantu. Semua orang mengenal Bintang dan mengaguminya sebagai anak kecil yang ceria.
Dengan setiap hari yang berlalu, Mira semakin kuat dan berani, menatap masa depan dengan optimis. Ia menyadari bahwa hidup ini adalah perjalanan, dan selama ada cinta serta dukungan dari keluarganya, ia siap menjalani setiap tantangan dengan ceria. Bintang adalah anugerah terindah dalam hidupnya, dan Mira berjanji akan selalu menjadi ibu yang terbaik untuknya.
***
Di tepi pemakaman yang tenang, di bawah naungan pepohonan yang rindang, terhampar hamparan rumput hijau yang terawat. Suasana di sini terasa damai, seolah waktu berhenti sejenak untuk memberi penghormatan bagi jiwa-jiwa yang telah pergi. Nisan-nisan yang tersusun rapi membentuk barisan, menciptakan pemandangan yang hening, di mana hanya suara burung berkicau dan hembusan angin lembut yang terdengar.
Makam ayah Ayla terletak di sudut yang sunyi, dikelilingi oleh tanaman bunga warna-warni yang merekah indah, menambah kesan ceria meski hati Ayla dipenuhi kesedihan. Nisan berbahan granit hitam mengkilap itu berdiri tegak, dihiasi ukiran sederhana yang menunjukkan namanya, tanggal lahir, dan tanggal kepergiannya. Di bawah sinar matahari, nisan itu memantulkan cahaya, menciptakan bayangan lembut di tanah.
Ayla melangkah mendekat, merasakan ketenangan yang aneh dan menenangkan. Di sekeliling makam, beberapa batu kecil terletak rapi, seolah menjadi penghias yang menunjukkan kasih sayang dari para pengunjung. Ayla mengingat saat-saat ia bersama ayahnya di taman ini, bagaimana mereka bercanda dan berbagi cerita di bawah sinar matahari yang hangat. Namun, sekarang semuanya terasa jauh dan tak terjangkau.
Di depan nisan, Ayla meletakkan sejambak bunga segar, aroma bunga melati dan mawar menyeruak, membawa ingatan akan kasih sayang dan kebersamaan mereka. Dia berlutut, membisikkan doa dengan lembut, berharap ayahnya mendengar suara hatinya dari jauh. Di sinilah, di antara keheningan dan ketenangan, Ayla merasakan kehadiran sang ayah, memberi kekuatan dan semangat untuk melanjutkan hidup.
Saat melihat sekeliling, Ayla memperhatikan bagaimana sinar matahari mulai redup, menciptakan nuansa hangat namun melankolis. Setiap detik terasa berharga, dan di tempat ini, ia tahu bahwa kenangan akan ayahnya akan selalu hidup dalam hatinya. Dengan napas dalam-dalam, Ayla berjanji untuk menjaga semua kenangan indah itu, sekaligus berusaha menjadikan hidupnya sebagai penghormatan terbaik untuk orang yang telah pergi.
Setelah menghabiskan waktu yang hangat dengan Mira dan Bintang, Ayla merasa hatinya tergerak untuk mengunjungi makam ayahnya. Perasaannya campur aduk; kerinduan yang mendalam bercampur dengan kesedihan yang tak kunjung pudar. Dengan langkah mantap, ia melangkah menuju tempat peristirahatan terakhir sang ayah.
Makam ayahnya terletak di sudut pemakaman yang rapi, dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Saat Ayla berdiri di depan nisan, air mata mulai menggenang di matanya. Ia mengingat saat-saat sulit ketika semuanya berubah dalam sekejap.
Kecelakaan itu terjadi di malam yang gelap. Nadya, dalam keadaan mabuk setelah menghabiskan malam di klub malam, kehilangan kendali saat mengemudikan mobilnya. Dia melaju kencang tanpa mempedulikan lampu merah, dan tak lama kemudian, suara benturan keras menggema di jalanan. Ayah Ayla, yang sedang menyeberang jalan pulang dari pasar, tertabrak dengan sangat keras.
Ayla ingat betul bagaimana paniknya semua orang saat itu. Mereka berlari ke tempat kejadian, dan suara sirene ambulans terdengar mendekat. Nadya hanya bisa terdiam di samping mobilnya yang hancur, wajahnya pucat saat melihat ayah Ayla terkapar di aspal. Keluarga Raka, setelah mendengar kabar itu, segera memberikan bantuan. Mereka berusaha mengurus semua pengobatan dan perawatan yang dibutuhkan, berjanji untuk melakukan segala cara agar ayah Ayla selamat.
Namun, meskipun berbagai usaha dilakukan, keadaan ayahnya semakin memburuk. Ayla merasa hancur melihat ayahnya terbaring lemah di rumah sakit, terhubung dengan berbagai alat medis. Setiap detak jantung yang terdengar seolah menjadi beban yang lebih berat di pundaknya. Raka, yang hadir di sampingnya, menunjukkan dukungan yang tidak terduga, seolah-olah ia menjadi sandaran di tengah badai yang mengamuk dalam hidupnya.
Hari-hari berlalu, dan akhirnya, keputusan pahit harus diambil. Ayahnya tidak mampu bertahan lebih lama, dan saat dia menghembuskan napas terakhirnya, Ayla merasa seluruh dunianya runtuh. Dalam kesedihan itu, Raka, yang merasa bertanggung jawab, mengambil keputusan untuk menikahi Ayla. Ia melakukannya di tengah desakan ayahnya, yang ingin melindungi Ayla dari proses hukum yang mengancam Nadya.
“Ayla, aku akan bertanggung jawab,” kata Raka tegas saat mengajak Ayla berbicara di ruang tunggu rumah sakit. “Aku akan menghidupi keluargamu hingga Bintang lulus kuliah.”
Kata-kata Raka memberikan sedikit ketenangan di tengah kesedihan yang melanda. Ayla tahu bahwa menikahi Raka bukanlah pilihan yang diinginkannya, tetapi saat itu, ia merasa tidak ada jalan lain. Ia hanya ingin memastikan Bintang memiliki masa depan yang lebih baik.
Sekarang, di depan makam ayahnya, Ayla merasakan betapa beratnya beban yang harus ia pikul setelah semua itu. “Maafkan aku, Ayah,” ujarnya lirih. “Aku berusaha sebaik mungkin, tetapi kadang aku merasa terjebak dalam pernikahan ini.”
Sambil menatap nisan, Ayla menyadari bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi.
Pagi itu, Ayla sibuk membersihkan rumah yang terasa sepi dan luas. Ia mengelap meja makan yang hampir tak pernah digunakan dan merapikan ruang tamu, sementara pikirannya melayang jauh.Sambil menatap kosong ke arah jendela, Ayla merenungkan satu tahun pernikahannya dengan Raka. Pernikahan yang seharusnya menjadi fondasi cinta dan kebersamaan, kini hanya terasa sebagai perjanjian yang dingin dan kosong. Tidak ada sentuhan kehangatan, tidak ada kata-kata manis. Hanya kewajiban yang dipenuhi dengan jarak dan keterasingan.Selama setahun terakhir, Ayla telah mencoba segalanya untuk memperbaiki hubungan mereka. Ia berusaha menjadi istri yang sabar, menyiapkan sarapan untuk Raka setiap pagi meskipun sering kali dia menolaknya dengan dingin. Ia selalu memastikan rumah mereka rapi dan terawat, berharap bahwa mungkin, pada suatu saat, Raka akan menghargai usahanya. Namun, setiap usaha itu selalu berakhir dengan kekecewaan.Raka adalah pria yang pendiam dan cenderung cuek, tetapi dalam kehening
Di dalam kamar yang sunyi, Ayla duduk di depan laptopnya, jemarinya menari di atas keyboard, mencurahkan perasaannya melalui kata-kata. Kamar itu adalah tempat favoritnya—ruang yang memberikan kenyamanan dan pelarian dari kehidupan yang sepi dan rumit. Dalam dunia novelnya, Ayla menemukan kebebasan dan kekuatan yang tak pernah ia rasakan di kehidupan nyata.Namun, saat pikirannya masih tenggelam dalam cerita yang sedang ia tulis, bunyi bel rumah yang keras dan berulang memecahkan keheningan. Ayla menghentikan tulisannya sejenak, menoleh ke arah jendela. Siapa yang datang pagi-pagi begini?Tiba-tiba, suara Ratna dan Nadya terdengar samar dari bawah. Jantung Ayla berdetak cepat. Mertuanya dan Nadya? pikirnya, panik. Mereka tidak pernah datang tanpa pemberitahuan, dan kedatangan mereka jarang membawa kabar baik.Dengan cepat, Ayla menekan tombol untuk mematikan laptopnya, khawatir jika mereka mengetahui tentang kehidupan rahasianya sebagai penulis. Ia menutup laptop dan berdiri dengan te
Setelah meninggalkan rumah, Ayla mengikuti langkah cepat Ratna dan Nadya menuju pusat perbelanjaan paling mewah di kota. Jalan-jalan di antara etalase butik-butik ternama selalu membawa aura yang penuh kemewahan, tetapi bagi Ayla, itu hanya berarti satu hal: ia akan menjadi pembawa barang-barang belanjaan yang tak ada habisnya.Mereka pertama-tama memasuki butik mewah dengan kaca yang berkilau, di mana setiap gaun dan aksesori berharga jutaan rupiah dipajang seolah-olah itu adalah karya seni. Nadya segera berjalan cepat menuju deretan baju bermerek, memilih-milih gaun yang menurutnya akan cocok untuk berbagai acara yang mungkin tidak pernah benar-benar ia hadiri.“Ayla, bawa ini,” perintah Nadya sambil menyerahkan beberapa baju mewah ke tangan Ayla. Belum sempat Ayla mengatur baju-baju yang sudah diambil, Nadya kembali menyerahkan tas tangan berwarna emas yang berkilau. “Pasti kalau pakai ini aku cantik sekali, kan?” Nadya tertawa kecil.Ayla hanya mengangguk, mencoba memasang senyum
Sepulangnya dari berbelanja dan makan siang bersama Ratna dan Nadya, tubuh Ayla terasa begitu lelah. Begitu sampai di rumah, Ayla langsung menuju kamar mandi, berharap segarnya air bisa sedikit menghilangkan rasa lelah dan tegang yang menumpuk sepanjang hari.Setelah mandi, Ayla merasa sedikit lebih baik. Ia mengenakan pakaian santai dan memutuskan untuk duduk di ruang tamu, mencoba menenangkan diri dengan membaca buku. Setiap halaman yang ia baca terasa seperti pelarian sejenak dari kenyataan hidupnya yang monoton dan penuh tekanan.Namun, belum lama ia tenggelam dalam bacaan, ponselnya berdering. Ayla menoleh ke arah ponselnya, merasa sedikit heran. Ia jarang sekali menerima telepon di malam hari kecuali dari keluarganya.Dengan sedikit ragu, Ayla mengangkat telepon dan mendekatkannya ke telinga. “Halo?”“Ayla! Ini aku, editor dari platform novel onlinemu. Maaf mengganggu di malam hari, tapi aku harus menyampaikan sesuatu yang sangat penting,” suara akrab editor itu terdengar penuh
Suasana kantor Raka pagi itu sangat sibuk. Di setiap sudut ruangan, para karyawan tampak berlarian, membawa berkas dan laporan, sementara suara ketukan keyboard mengisi udara. Kantor yang terletak di lantai atas gedung tinggi itu memiliki jendela besar yang memberikan pemandangan menakjubkan ke arah kota. Namun, pemandangan itu tampak jauh dari perhatian Raka yang saat ini terfokus pada pekerjaan di mejanya.Di dalam ruangannya yang rapi dan modern, Raka duduk di belakang meja besar yang dipenuhi dengan tumpukan berkas dan laptop yang selalu menyala. Dengan mata serius, ia membaca laporan dari tim pemasaran. Angka-angka dan grafik memenuhi pikirannya, dan ia mencatat beberapa poin penting yang perlu dibahas dalam rapat nanti. Setiap kali ia menemukan masalah dalam laporan, kerutan di dahi Raka semakin dalam, menunjukkan betapa beratnya beban yang ia pikul sebagai CEO perusahaan ritel yang diwariskan oleh ayahnya.Raka menghela napas panjang dan memijat pelipisnya, berusaha mengusir ra
Senyum Ratna semakin lebar saat ia melihat Laras, seolah ingin memamerkan sosoknya kepada dunia. “Kamu tahu nggak, Laras, banyak yang bilang kamu adalah gadis idaman. Raka pasti senang kalau kalian kembali bersama.”Sementara itu, Raka hanya mengangkat bahu, terlihat acuh tak acuh. “Masa lalu adalah masa lalu, Ma. Sekarang aku cuma ingin fokus kerja,” jawabnya dengan nada datar, seolah mengabaikan harapan ibunya dan Laras.Mendengar respon itu, Ratna tampak kecewa, tetapi Laras tidak kehilangan semangatnya. Dia melanjutkan pembicaraan dengan antusias, berusaha menghidupkan suasana yang tegang.“Raka, kamu serius? Kamu nggak merasa sedikit pun nostalgia?” Laras bertanya dengan nada menggoda, mencoba menciptakan suasana yang lebih hangat. “Kita pernah bahagia, kan?”Tetapi Raka hanya menggelengkan kepala, kembali fokus pada makanannya. “Hanya karena kita punya masa lalu nggak berarti kita harus kembali ke sana.”Suasana di meja makan terasa semakin akrab ketika Ratna tiba-tiba mengeluar
Sementara di restoran yang sama, di sudut yang lebih tenang, Ayla duduk berhadapan dengan Rania dan Bima. Mulanya, Ayla berpikir Bima adalah pria berumur lebih dari empat puluh tahun lebih. Namun, ternyata tidak demikian. Bima adalah sosok yang menonjol di antara kerumunan, dengan perawakan tinggi dan tubuh yang atletis. Wajahnya dihiasi dengan rahang tegas dan dagu yang kuat, memberikan kesan karismatik. Matanya yang tajam dan bersemangat berwarna cokelat gelap, seolah selalu menyimpan rencana dan ambisi.Ia mengenakan setelan jas navy yang dipadukan dengan kemeja putih bersih dan dasi berwarna senada. Pakaian yang terawat rapi itu memberikan kesan profesional sekaligus modis. Bima kelihatannya selalu tampil percaya diri; senyumnya yang lebar dan hangat membuat orang merasa nyaman di sekitarnya, namun ada nuansa ketegasan dalam cara ia berbicara dan bergerak. “Ayla, aku senang kamu memutuskan untuk bertemu dengan Bima. Ini adalah langkah besar untuk karier menulismu,” ucap Rania, pe
Ayla berjalan menuju area parkir dengan Bima dan Rania setelah pertemuan yang penuh semangat di restoran. Udara sore terasa menyegarkan, tetapi saat langkahnya mendekati mobil, dia mendapati Raka berdiri di dekat pintu keluar, bersama Ratna dan Laras. Jantungnya berdegup kencang, dan ketegangan langsung mengisi udara.“Raka!” Ratna memanggil anaknya dengan suara ceria, tetapi ada nada yang tajam di balik senyumannya. “Lihat siapa yang baru saja keluar dari restoran itu!”Raka menoleh, dan ekspresinya berubah seketika saat melihat Ayla. “Ayla?” tanyanya, seolah-olah terkejut melihatnya di sana.“Raka,” Ayla menjawab, berusaha menunjukkan senyum meski hatinya bergetar. “Kamu disini juga?”Ratna tidak memberi kesempatan untuk Ayla berbicara lebih jauh. “Berani sekali kamu, Ayla! Apa kamu nggak malu pergi dengan pria lain saat suamimu sedang berjuang mencari nafkah?” tuduhnya, nada suaranya penuh kebencian.Ayla merasa jantungnya tercekat mendengar tuduhan itu. “Ibu, itu nggak benar! Bima