Bak!
"Baiklah, nikahkan saja aku dengannya." Sudah kesal diperintah untuk menikah, Aldi melayangkan lamaran singkat pada sepupu disampingnya. "Uhuk, kakak bercanda kan?" Ana tampak terkejut namun langsung tertawa sambil memukul bahu pria 32 tahunan disampingnya. "Aku serius, kau juga menginginkannya bukan?" Wajah Aldi mendekat dengan tiba-tiba sampai Ana tak mampu tertawa lagi. "Haha, becanda kakak menyeramkan hari ini, jangan begitulah." Ana mulai takut, berusaha bersikap biasa dalam suasana yang tak tenang. "Dari pada kau melakukan hal aneh terus padaku, lebih baik kita menikah saja bukan?" goda Aldi. "Kapan aku melakukan hal aneh pada kakak, aku tak pernah melakukannya tuh." Aldi mendekatkan wajah. Dia liat setiap ekspresi bocah kecil yang terus menggodanya, tampak lucu ketakutan bagai hamster yang hampir mati karena terkejut. "Memeluk tiba-tiba, memegang tubuhku tanpa izin, dan memegang perutku setiap pagi, kau pikir semua itu apa menurutmu?" "Kita kan seperti saudara, ya kan tante? Hal yang biasa saling memukul antar saudara kan?" Ana mencoba mencari dukungan. Nias menutup mulutnya terkejut "Kau memegang perut Aldi, Ana?" "Iya ma, dia melakukannya padaku, dia melakukan itu setiap hari padaku." "Enggak tante, gak seperti itu kok!" elak Ana secepat mungkin. Disamping itu diam-diam Ana mencubit paha Aldi sekeras mungkin lalu membisikan ancaman keras padanya. "Jangan melebih-lebihkannya dong, kita kan tidak seperti itu," ucap Ana disembunyikan dalam tawa pura-pura. Tanpa mendengar ancaman itu, Aldi semakin gencar berulah. "Ma, ini bahaya si, takutnya dia macam-macam padaku, bagaimana kalau terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan?" "Enggak tante, mana mungkin aku melakukan itu!" Dalam situasi itu, menang telah berada di tangan Aldi, dengan percaya diri dia membisikan kemenangannya "Kau kalah." Takut sekaligus kesal, Ana serentak membalikan otak, berpikir mencari alasan yang tepat untuk menolak. "Baiklah Tante, Ana minta maaf, sekarang Ana tidak akan becanda lagi." Sambil menahan emosi gadis berkacamata itu membalas dengan bisikan lagi "Puas kan?" "Terlambat, kau akan menikah denganku," jawab Aldi lantang. "Enggak!" Sementara itu Nias menatap meja, tampak berpikir keras. Cara bicara dan interaksi kedua manusia yang sudah Nias anggap sebagai keluarga, memang terlalu berlebihan dimatanya. Apalagi setelah melihat Aldi merengek yang tak pernah dilakukannya sekalipun, namun saat ini putranya itu sedang bertingkah bagai bocah kecil, sungguh benar-benar diluar dugaan. "Tante, lagi pula Ana sedang kuliah kan? Jadi tak mungkin Ana bisa menikah." Nias mengusap hidungnya sambil terus berpikir. "Benar juga, Ana tidak bisa menikah sekarang." Mendengar jawaban Nias, Ana mengusap dadanya lega. Dengan status mahasiswa yang menyandang beasiswa, Ana cukup percaya diri dijadikan alasan untuk menolak pernikahan. "Kau pikir aku tak bisa membiayai mu? lagi pula makanan kucingku lebih mahal dari biaya kuliahmu." Ana tersenyum miring lalu berbisik pelan "Aku anak kuliah lho, ANAK KULIAH. Tante gak akan mengizinkan aku menikah semudah itu," jawab Ana merasa menang. Balasan menyebalkan itu benar-benar membuat Aldi memanas, setiap hari merasa kalah bukan perasaan yang menyenangkan, dan untuk hari ini Aldi tidak mau merasakan kekalahan itu kembali. Maka dari itu dengan terpaksa Aldi melepaskan kartu terakhirnya kepada sang ibu, walaupun ini bisa membuat Nias habis memarahinya seharian ini. "Mama, jika aku tak menikah dengannya, sampai kapanpun jangan pernah menginginkan aku menikah." Mendengar itu Nias sontak terkejut, pikiran untuk mempertimbangkan seketika hilang dalam sekejap. Bak! Gebrakan meja membuat semua orang serentak mematung. "Aldi! Kau bicara apa?" Dibalik meja makan, tangan Ana sudah mengeras, dia mencubit paha Aldi lagi untuk tidak memancing kemarahan sang tante. "Jangan mengada-ada, mustahil aku menikah dengan kakak tahu, kakak terlalu tua untukku yang manis ini. Terimalah jangan memaksa Tante lagi." "Terlalu tua katamu? Bukankah kau yang pernah menyatakan cinta padaku? Kau yang duluan mengatakannya ingat." "Kakak menganggap ucapan bocah adalah sesuatu hal yang serius? Itu sepuluh tahun yang lalu lho." "Ya terus? Apa masalahnya?" "Masalahnya sudah jelas, aku tidak menyukai kakak, masih kurang jelas kah ucapan ku barusan?" Sudah malas berdebat, Aldi kali ini berbalik membenarkan posisi lalu menghadap sepupu yang ingin dia pinang. "Baiklah kalau begitu, bagaimana kalau aku buat kau menyukaiku? Aku telah belajar banyak caranya darimu, bagaimana cara memelukmu tiba-tiba, menyentuh ..." "Cukup! Kalian sedang berbicara apa sih, itu percakapan yang bahaya Aldi!" Nias tampak geram. Mengamati dan mengambil keputusan dengan kepala dingin sudah tidak bisa di lakukan lagi. Ada satu kalimat yang terus berulang dalam kepala Nias terus-menerus "ini bahaya, ini bahaya." "Baiklah, mama merestui kalian, menikahlah secepatnya. Dan kau Aldi, jangan macam-macam pada Ana sebelum kalian menikah ingat itu." "Tante, tapi aku... bagaimana dengan kuliahku." "Ana kau bisa terus berkuliah, hanya saja beasiswa yang kau dapat mungkin akan diputus, hanya ini satu-satunya jalan keluar." Tanpa bisa menolak lagi, Ana termenung, dia menunduk sendu karena kesal. Melihat itu Nias segera mendekati Ana, lalu memberitahu alasannya dengan lembut. "Daripada kalian terus berhubungan tak jelas dan melakukan hal yang tak diinginkan diluar pernikahan, lebih baik kalian menikah saja. Untuk urusan anak, Tante tak akan memaksa terserah kalian saja."Setelah mendengar balasan singkat itu Ana terdiam. Ruang makan seketika terasa bisu, hanya suara bentrokan sendok dan piring saja yang mengisi kekosongan ruangan yang diselimuti awan mendung. ... Setelah menghabiskan makan malam, Ana bergegas menerobos masuk ruang kamar Aldi. Bak! "Kakak, kita harus bicara!" Wajah Ana tampak serius, sementara Aldi masih setia mencoret tablet dengan stylus pen kesayangannya di meja kerja. Saat Melihat Ana memakai pakaian tidur datang menemuinya, Aldi seketika tersenyum miring. "Kau sedang menyerahkan dirimu sekarang?" Aldi melihat setiap inci pakaian sepupunya yang bercorak boneka. Ana melihat sekilas pakaiannya, dia tahu betul tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan baju yang dia kenakan. "Memangnya aku ini apa menyerahkan diri pada Kakak, aku sedang menuntut pernikahan yang dibicarakan Tante tadi ya, kenapa Kakak mengajakku menikah itu kan tidak masuk akal!" keluh Ana dengan ekspresi kesal. Ana lalu duduk di ranjang tanpa permisi seper
Rangga menepuk bahu Nias dengan pandangan khawatir. "Ini tidak apa-apa Tante? Mereka seperti tidak saling..." Rangga menggantungkan kalimat. "Tidak apa-apa, mereka memang selalu seperti itu, mungkin bahasa cinta mereka memang seperti itu," jawab Nias tidak ambil pusing. Segera akad pun dimulai, Rangga sebagai kakak mengulurkan tangan untuk melakukan ijab qobul. Tangan Aldi dijabat, lantunan kalimat akad lalu terucap. Momen sakral tersebut begitu terasa hidmat, dan begitu kata sah terlantun. "SAH!" Disaat itu pula air mata Rangga menetes. Dia tertunduk lalu menyela cairan yang tiba-tiba saja jatuh membasahi pipi. "Ana..." Begitu melihat sang kakak untuk pertama kali menangis, membuat Ana mendekat secara spontan. "Kakak, Kakak tidak apa-apa?" Mata Ana tampak polos bertanya. "Kakak baik-baik saja," jawab Rangga mengusap kasar air mata sementara Ana masih menatapnya dengan khawatir. Usapan pelan lantas mendarat di bahu sang adik. "Berbahagialah, tunjukan pada Kakak, ag
"Kau berpikir Aldi cocok menikahi pekerjaannya Ana?" tanya Nias menaikan sebelah alisnya. "Tidak Tante, Ana hanya bercanda, hehe." Mendengar balasan tersebut, wanita dengan rambut diikat itu pada akhirnya dapat mengelus dada dengan tenang. "Untung saja hanya bercanda," batin Nias hampir tak siap menerima orang kedua dengan pemikiran yang sama seperti putranya. "Kalau begitu, besok berangkatnya ya, dan hari ini Tante boleh menginap di sini dulu kan?" "Boleh banget Tante, sebentar aku siapkan dulu kamarnya." Rangga langsung terbirit-birit membereskan kamar untuk sang Tante, sementara Ana sedang tersenyum, bergelut dengan isi pikirannya sendiri. "Ana kau sedang memikirkan apa?" tanya Nias khawatir melihat ekspresi Ana menahan tawa sendirian. "Enggak Tante, Tante mau kedalam dulu? Aku mau mengemasi barang-barangku dulu untuk besok." "Oh yasudah, kau kemasi barang-barang mu saja, Tante ada urusan dulu sebentar disekitar sini." "Baiklah Tante, Ana kedalam dulu ya." Nia
Di kamar mandi Aldi menatap pantulan wajahnya pada cermin, kotoran di matanya sudah hilang dan hanya meninggalkan tetes demi tetes air yang jatuh dari ujung dagunya. "Akh sial, aku diremehkan," batin Aldi sambil memegang kening, merasa buruk. "Tapi... Gadis itu bernama Ana kan, aku seperti pernah mendengarnya, dimana ya...?" Kening pria 31 tahunan itu berkerut, telinganya seolah pernah mendengar nama familiar itu. "Kalau dia keponakan ibuku berarti dia sepupu ku. Tapi, kapan aku pernah bertemu dengannya?" Pada dasarnya sejak 31 tahun lalu sampai saat ini keluarga Aldi telah mendapat perlakuan yang berbeda. Itulah yang menyebabkan Aldi sama sekali tak pernah dipertemukan dengan keluarga dari pihak sang ibu. Semakin dipikir lagi, ingatannya malah membawa Aldi pada detik-detik kelam, terutama saat dia menyatakan cinta pada seorang gadis desa yang dia suka. Plak! "Pikiranku ayolah, padahal aku sudah berusaha melupakan kejadian itu." Aldi mendaratkan tamparan di keningnya. "Ah su
Keesokan hari di ruang makan, seisi keluarga tengah menikmati sarapan sambil berbincang riang. Tentu setelah peristiwa kemarin, Ana menjadi santapan lezat sebagai topik pembicaraan. "Hahaaa...anak kecil itu kamu? Aku tak habis pikir bocah itu akan tinggal disini sekarang hahaha," Ejek Aldi dengan terbahak-bahak. "Sudah Aldi, kau membuat Ana malu." Ana yang sudah bermuka merah, hanya bisa diam tertunduk sambil menyantap makanannya. "Dia seberani itu menyatakan cinta padaku, mana mungkin dia bisa malu hahaha." Aldi memegang perutnya sambil sesekali memukul meja, tak kuat menahan tawa. "Kakak bisa tidak jangan terus mengungkit itu, itu kan masa lalu." Di lihat sekilas saja sudah terlihat pipi gadis berkacamata itu telah merah sempurna, dan begitu Aldi melihat kedua pipi merah itu seketika tawanya pecah kembali. "Hahaha itu wajah atau tomat bisa merah begitu." Mendengar ejekan sang putra yang mungkin menyakiti hati Ana, lantas Nias segera menyela. "Aldi bisakah kau tid
Dengan wajah terkejut, Ana mematung sejenak, matanya membulat, dan tiba-tiba ... "Domeng ngejar tikus lagi ma, kami mengejarnya sampai ke garasi ini." Aldi tiba-tiba datang dengan membawa kucing bercorak belang-belang di tangan kanannya. "Aa Domeng mami sini." Nias melebarkan tangannya dan langsung menyambut kucing tersebut dalam pelukan. "Ga boleh makan tikus ya, nanti mulutnya bau, anak mami pulang ya, ayo." Seolah lupa dengan niat mencari sang putra, Nias malah fokus memperhatikan kucing kesayangan. "Jangan keluar sembarangan ya, mending sama mami nonton TV yu," ajak Nias pada sang kucing sambil mengusapnya perlahan lalu berjalan menuju ruang tengah. Setelah Nias pergi, Aldi masih setia berdiri dibelakang gadis itu. Plak! Satu pukulan mendarat dikepala gadis berkacamata itu. "Apasih kak!" Ketus Ana sambil melirik dengan tatapan tajam. "Bodoh, kau seharusnya lihat-lihat dulu sebelum keluar." "Tck, kalau ketahuan pun memangnya bakal kenapa si?" Balas Ana sambil mengusap bek
Keesokan hari... "Kakak!" Sapa Ana sambil meloncat, memeluk Aldi yang tengah memasak untuk sarapan di bagi buta seperti ini. "Pergi sana," jawab Aldi ketus. "Kakak masih marah ya?" Tanya Ana sambil memiringkan kepala, sementara tubuhnya telah duduk tepat di samping kompor berada. "Gak." "Tuh kan kakak marah, aku minta maaf ya." "Pergilah, kau menghalangi pemandangan ku," ketus Aldi masih sibuk mengaduk nasi goreng dihadapannya. Ana langsung menyipitkan mata, terlihat senyum licik tiba-tiba muncul lalu perlahan Ana turun dari meja dan... Set "Maapin ya." Ana tiba-tiba menggelitik tubuh sang sepupu dari belakang membuat Aldi seketika melonjak terkejut. "Berhenti, aku bilang berhenti!" "Tidak akan, sebelum kakak bilang iya." Aldi segera mematikan kompor lalu dengan cepat mengambil kedua tangan gadis itu yang berkeliaran di perutnya. Set Tak perlu waktu lama, kedua tangan Ana berhasil tertangkap, namun sialnya Ana malah menunjukan tampang tak bersalah persis seperti tampang
Berada di kamar, Ana langsung memasukan beberapa perlengkapan untuk persiapan masa orientasi di kampusnya. Tak lupa setelah berkemas, ponsel langsung diraihnya untuk segera melakukan panggilan. "Ayolah jawab," harap Ana sembari memegang ponsel dengan sungguh-sungguh. Tak perlu waktu lama, layar ponselnya menunjukan detik jam yang mulai berjalan menandakan panggilan telah tersambung. "Ben, kamu berangkat bawa motor sendiri ga?" tanya Ana pada teman satu universitas yang sama. Ben adalah seorang pria yang pernah menjadi teman satu SMA dengan Ana dan hanya bertahan dalam satu semester. Entah karena apa Alfin Beniqno yang kerap kali disapa Ben tersebut harus kembali menempuh pendidikan di tanah kelahirannya-Jakarta sehingga memisahkan mereka untuk beberapa tahun terkahir. "Bawa, mau ikut?" "Iya, mau ikut. Kau mau berangkat jam berapa?" "Sekitar jam lima, kau mau dijemput dimana? Kalo harus ke bandung, maaf gak bisa jemput." "Ga ke bandung kok, nanti aku share lokasinya, masih di l
"Eh, kakak?" Ana menaikan kedua alisnya. Teman laki-laki disampingnya juga ikut kebingungan dengan kedatangan Aldi yang tiba-tiba. "Kenapa kau tidak angkat teleponnya? bikin khawatir saja." Tanpa sadar, Aldi mengangkat tangan kiri Ana sembari menggenggamnya dengan erat. "Maaf anda siapa?" tanya Ben sembari mencoba melepaskan genggaman tangan Aldi yang terlihat kuat, sudah tahu Ana pasti tengah kesakitan karenanya. "Aku adalah..." "DIA TETANGGA SEBELAH RUMAH TANTEKU!" potong Ana cepat. "Apa?" Aldi mengerutkan kening tak terima. "Haha, kejadiannya cukup panjang dan kami jadi semakin akrab setiap harinya, jadi begitu haha," jawab Ana dengan tawa paksa sembari menepuk lengan Aldi beberapa kali. "Owh maaf aku kira anda sepupu menyebalkan yang Ana ceritakan." "Apa kau bilang?" Aldi semakin dibuat kesal, dia melirik kedua mahasiswa tersebut silih berganti dengan tatapan penuh tanya. "Haha, ini berarti nomor kakak ya, nanti aku simpan ya, dadah aku harus segera pergi." "Ayo Ben."
Berada di kamar, Ana langsung memasukan beberapa perlengkapan untuk persiapan masa orientasi di kampusnya. Tak lupa setelah berkemas, ponsel langsung diraihnya untuk segera melakukan panggilan. "Ayolah jawab," harap Ana sembari memegang ponsel dengan sungguh-sungguh. Tak perlu waktu lama, layar ponselnya menunjukan detik jam yang mulai berjalan menandakan panggilan telah tersambung. "Ben, kamu berangkat bawa motor sendiri ga?" tanya Ana pada teman satu universitas yang sama. Ben adalah seorang pria yang pernah menjadi teman satu SMA dengan Ana dan hanya bertahan dalam satu semester. Entah karena apa Alfin Beniqno yang kerap kali disapa Ben tersebut harus kembali menempuh pendidikan di tanah kelahirannya-Jakarta sehingga memisahkan mereka untuk beberapa tahun terkahir. "Bawa, mau ikut?" "Iya, mau ikut. Kau mau berangkat jam berapa?" "Sekitar jam lima, kau mau dijemput dimana? Kalo harus ke bandung, maaf gak bisa jemput." "Ga ke bandung kok, nanti aku share lokasinya, masih di l
Keesokan hari... "Kakak!" Sapa Ana sambil meloncat, memeluk Aldi yang tengah memasak untuk sarapan di bagi buta seperti ini. "Pergi sana," jawab Aldi ketus. "Kakak masih marah ya?" Tanya Ana sambil memiringkan kepala, sementara tubuhnya telah duduk tepat di samping kompor berada. "Gak." "Tuh kan kakak marah, aku minta maaf ya." "Pergilah, kau menghalangi pemandangan ku," ketus Aldi masih sibuk mengaduk nasi goreng dihadapannya. Ana langsung menyipitkan mata, terlihat senyum licik tiba-tiba muncul lalu perlahan Ana turun dari meja dan... Set "Maapin ya." Ana tiba-tiba menggelitik tubuh sang sepupu dari belakang membuat Aldi seketika melonjak terkejut. "Berhenti, aku bilang berhenti!" "Tidak akan, sebelum kakak bilang iya." Aldi segera mematikan kompor lalu dengan cepat mengambil kedua tangan gadis itu yang berkeliaran di perutnya. Set Tak perlu waktu lama, kedua tangan Ana berhasil tertangkap, namun sialnya Ana malah menunjukan tampang tak bersalah persis seperti tampang
Dengan wajah terkejut, Ana mematung sejenak, matanya membulat, dan tiba-tiba ... "Domeng ngejar tikus lagi ma, kami mengejarnya sampai ke garasi ini." Aldi tiba-tiba datang dengan membawa kucing bercorak belang-belang di tangan kanannya. "Aa Domeng mami sini." Nias melebarkan tangannya dan langsung menyambut kucing tersebut dalam pelukan. "Ga boleh makan tikus ya, nanti mulutnya bau, anak mami pulang ya, ayo." Seolah lupa dengan niat mencari sang putra, Nias malah fokus memperhatikan kucing kesayangan. "Jangan keluar sembarangan ya, mending sama mami nonton TV yu," ajak Nias pada sang kucing sambil mengusapnya perlahan lalu berjalan menuju ruang tengah. Setelah Nias pergi, Aldi masih setia berdiri dibelakang gadis itu. Plak! Satu pukulan mendarat dikepala gadis berkacamata itu. "Apasih kak!" Ketus Ana sambil melirik dengan tatapan tajam. "Bodoh, kau seharusnya lihat-lihat dulu sebelum keluar." "Tck, kalau ketahuan pun memangnya bakal kenapa si?" Balas Ana sambil mengusap bek
Keesokan hari di ruang makan, seisi keluarga tengah menikmati sarapan sambil berbincang riang. Tentu setelah peristiwa kemarin, Ana menjadi santapan lezat sebagai topik pembicaraan. "Hahaaa...anak kecil itu kamu? Aku tak habis pikir bocah itu akan tinggal disini sekarang hahaha," Ejek Aldi dengan terbahak-bahak. "Sudah Aldi, kau membuat Ana malu." Ana yang sudah bermuka merah, hanya bisa diam tertunduk sambil menyantap makanannya. "Dia seberani itu menyatakan cinta padaku, mana mungkin dia bisa malu hahaha." Aldi memegang perutnya sambil sesekali memukul meja, tak kuat menahan tawa. "Kakak bisa tidak jangan terus mengungkit itu, itu kan masa lalu." Di lihat sekilas saja sudah terlihat pipi gadis berkacamata itu telah merah sempurna, dan begitu Aldi melihat kedua pipi merah itu seketika tawanya pecah kembali. "Hahaha itu wajah atau tomat bisa merah begitu." Mendengar ejekan sang putra yang mungkin menyakiti hati Ana, lantas Nias segera menyela. "Aldi bisakah kau tid
Di kamar mandi Aldi menatap pantulan wajahnya pada cermin, kotoran di matanya sudah hilang dan hanya meninggalkan tetes demi tetes air yang jatuh dari ujung dagunya. "Akh sial, aku diremehkan," batin Aldi sambil memegang kening, merasa buruk. "Tapi... Gadis itu bernama Ana kan, aku seperti pernah mendengarnya, dimana ya...?" Kening pria 31 tahunan itu berkerut, telinganya seolah pernah mendengar nama familiar itu. "Kalau dia keponakan ibuku berarti dia sepupu ku. Tapi, kapan aku pernah bertemu dengannya?" Pada dasarnya sejak 31 tahun lalu sampai saat ini keluarga Aldi telah mendapat perlakuan yang berbeda. Itulah yang menyebabkan Aldi sama sekali tak pernah dipertemukan dengan keluarga dari pihak sang ibu. Semakin dipikir lagi, ingatannya malah membawa Aldi pada detik-detik kelam, terutama saat dia menyatakan cinta pada seorang gadis desa yang dia suka. Plak! "Pikiranku ayolah, padahal aku sudah berusaha melupakan kejadian itu." Aldi mendaratkan tamparan di keningnya. "Ah su
"Kau berpikir Aldi cocok menikahi pekerjaannya Ana?" tanya Nias menaikan sebelah alisnya. "Tidak Tante, Ana hanya bercanda, hehe." Mendengar balasan tersebut, wanita dengan rambut diikat itu pada akhirnya dapat mengelus dada dengan tenang. "Untung saja hanya bercanda," batin Nias hampir tak siap menerima orang kedua dengan pemikiran yang sama seperti putranya. "Kalau begitu, besok berangkatnya ya, dan hari ini Tante boleh menginap di sini dulu kan?" "Boleh banget Tante, sebentar aku siapkan dulu kamarnya." Rangga langsung terbirit-birit membereskan kamar untuk sang Tante, sementara Ana sedang tersenyum, bergelut dengan isi pikirannya sendiri. "Ana kau sedang memikirkan apa?" tanya Nias khawatir melihat ekspresi Ana menahan tawa sendirian. "Enggak Tante, Tante mau kedalam dulu? Aku mau mengemasi barang-barangku dulu untuk besok." "Oh yasudah, kau kemasi barang-barang mu saja, Tante ada urusan dulu sebentar disekitar sini." "Baiklah Tante, Ana kedalam dulu ya." Nia
Rangga menepuk bahu Nias dengan pandangan khawatir. "Ini tidak apa-apa Tante? Mereka seperti tidak saling..." Rangga menggantungkan kalimat. "Tidak apa-apa, mereka memang selalu seperti itu, mungkin bahasa cinta mereka memang seperti itu," jawab Nias tidak ambil pusing. Segera akad pun dimulai, Rangga sebagai kakak mengulurkan tangan untuk melakukan ijab qobul. Tangan Aldi dijabat, lantunan kalimat akad lalu terucap. Momen sakral tersebut begitu terasa hidmat, dan begitu kata sah terlantun. "SAH!" Disaat itu pula air mata Rangga menetes. Dia tertunduk lalu menyela cairan yang tiba-tiba saja jatuh membasahi pipi. "Ana..." Begitu melihat sang kakak untuk pertama kali menangis, membuat Ana mendekat secara spontan. "Kakak, Kakak tidak apa-apa?" Mata Ana tampak polos bertanya. "Kakak baik-baik saja," jawab Rangga mengusap kasar air mata sementara Ana masih menatapnya dengan khawatir. Usapan pelan lantas mendarat di bahu sang adik. "Berbahagialah, tunjukan pada Kakak, ag
Setelah mendengar balasan singkat itu Ana terdiam. Ruang makan seketika terasa bisu, hanya suara bentrokan sendok dan piring saja yang mengisi kekosongan ruangan yang diselimuti awan mendung. ... Setelah menghabiskan makan malam, Ana bergegas menerobos masuk ruang kamar Aldi. Bak! "Kakak, kita harus bicara!" Wajah Ana tampak serius, sementara Aldi masih setia mencoret tablet dengan stylus pen kesayangannya di meja kerja. Saat Melihat Ana memakai pakaian tidur datang menemuinya, Aldi seketika tersenyum miring. "Kau sedang menyerahkan dirimu sekarang?" Aldi melihat setiap inci pakaian sepupunya yang bercorak boneka. Ana melihat sekilas pakaiannya, dia tahu betul tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan baju yang dia kenakan. "Memangnya aku ini apa menyerahkan diri pada Kakak, aku sedang menuntut pernikahan yang dibicarakan Tante tadi ya, kenapa Kakak mengajakku menikah itu kan tidak masuk akal!" keluh Ana dengan ekspresi kesal. Ana lalu duduk di ranjang tanpa permisi seper