Di kamar mandi Aldi menatap pantulan wajahnya pada cermin, kotoran di matanya sudah hilang dan hanya meninggalkan tetes demi tetes air yang jatuh dari ujung dagunya.
"Akh sial, aku diremehkan," batin Aldi sambil memegang kening, merasa buruk. "Tapi... Gadis itu bernama Ana kan, aku seperti pernah mendengarnya, dimana ya...?" Kening pria 31 tahunan itu berkerut, telinganya seolah pernah mendengar nama familiar itu. "Kalau dia keponakan ibuku berarti dia sepupu ku. Tapi, kapan aku pernah bertemu dengannya?" Pada dasarnya sejak 31 tahun lalu sampai saat ini keluarga Aldi telah mendapat perlakuan yang berbeda. Itulah yang menyebabkan Aldi sama sekali tak pernah dipertemukan dengan keluarga dari pihak sang ibu. Semakin dipikir lagi, ingatannya malah membawa Aldi pada detik-detik kelam, terutama saat dia menyatakan cinta pada seorang gadis desa yang dia suka. Plak! "Pikiranku ayolah, padahal aku sudah berusaha melupakan kejadian itu." Aldi mendaratkan tamparan di keningnya. "Ah sudahlah, nanti pasti ingat sendiri." Tangannya yang besar lantas mengambil handuk lalu dikaitkan di atas tengkuk. "Yang penting, dia tidak boleh jadi penguasa dirumah ini." ... Sementara ditempat lain, Ana sedang menata pakaian didalam lemari. Kamar yang cukup luas membuatnya sempat melamun sejenak. "Kasurnya saja bahkan muat untuk tiga orang," batin Ana lalu merebahkan diri usai lelah membereskan perlengkapan dalam lemari. Langit-langit ditatap, bayangan tentang masa depan tiba-tiba sekilas melintas, membuat gadis itu lagi-lagi harus berpikir. "Setelah ini, aku harus memperlakukannya bagaimana ya?" Ana berfikir sambil membuat gambar abstrak di atas angin. "Kalau ku anggap seperti kakakku, sepertinya akan menjadi masalah deh," Ana termenung bingung, mengingat sikapnya yang spontan tanpa pernah berpikir terlebih dahulu, terutama pada sang kakak yang selalu menjadi objek sikap diluar nalarnya. Dalam situasi tersebut tiba-tiba... BAK! "Ana, kita harus bicara!" Suara Aldi meledak di awang pintu usai didobrak dengan sangat keras. "Sial, jantungku hampir saja copot," batin Ana sambil mengelus dada dengan cepat. Kedua bola matanya yang jernih lantas tertuju pada pria di awang pintu. Melihat perawakan itu, Ana membatin. "Dia masih sama seperti dulu, hanya saja versi lebih tua saja." Begitu mengingat itu, Ana langsung mengutuk diri, melepas ingatan kelam yang tiba-tiba hinggap dipikirannya. Kisah kelam tentang pernyataan cinta, dengan seutas tangkai mawar di depan pagar pada sepupu tampannya. "Dulu pernah ada kejadian itu ya, memalukan saja," pekik Ana sambil memutar bola mata. Aldi yang masih menunggu, lalu melangkahkan kakinya mendekati penghuni baru di rumah ini. Kedua tangannya sengaja dimasukan dalam saku untuk memperlihatkan aura penguasa utama yang mengintimidasi. "Kenapa kau harus tinggal disini?" Aldi melayangkan pertanyaan dengan ekspresi tak menyenangkan. "Aku mau kuliah, karena jarak yang dekat, jadi numpang tinggal disini," jawab Ana. "Kenapa kau tidak ngekost saja, banyak kost-kostan disekitar sini." "Mahal, jadi mending pilih yang gratis." Mendengar itu, Aldi tampak curiga, dia menyipitkan mata lalu membungkukkan badan dan mendekatkan wajahnya pada sepupu yang masih duduk di atas ranjang. "Tidak ada maksud lain kan? Seperti kau di suruh...." "Enggak ada! Kakak jangan berpikir aneh-aneh deh," potong Ana cepat sambil mendorong Aldi menjauh. "Aku belum beres-beres, lebih baik Kakak pergi saja sekarang." Secepat mungkin Ana meraih koper kosong lalu menggerakkan tangan seolah terlihat sibuk. Menyembunyikan ingatan tentang pernyataan cinta sepihak dulu. "Tck, membereskan koper kosong saja, sesibuk itu," ucap Aldi meremehkan. Bibir yang jauh berbeda dengan gerak pikiran, lantas mengucapkan kata-kata spontan dengan dibalut sulutan. "Ini juga pekerjaan, Kakak yang tidak suka beres-beres mana tahu kerapihan." "Kau mengataiku?" Aldi segera mendekati sepupunya yang masih menyibukkan diri dengan angin. "Ingat, disini tak ada yang bisa mengataiku, merendahkan ku, meremehkanku sembarangan, jadi kau yang masih bocah ini, setidaknya harus tau diri paham?" "Kakak yang duluan, kenapa aku yang disalahkan." "Ya memang kau yang salah, kedatanganmu kesini juga salah tahu." Mendengar jawaban itu, Ana menghela nafas dengan sangat berat, bola matanya memutar seolah tak ingin memperpanjang percekcokan. Pelan tapi pasti, Ana mulai menghadap pria jangkung itu, menempelkan kedua telapak tangannya di depan dada lalu membungkuk hormat seperti memohon ampunan pada sang Baginda raja. "Mohon ampuni saya yang mulia, namun saat ini saya sedang tidak menerima tamu, jadi silahkan pergi, pintunya ada di belakang anda, jika anda masih kesulitan menemukannya, dengan senang hati saya akan mengantar anda," ucap Ana dengan nada penuh hormat. Aldi menyipitkan matanya "kau sedang meledekku lagi?" Sungguh lelah harus bercekcok ditengah hari yang melelahkan, gadis itu menarik nafas lalu mengeluarkannya secara perlahan "huh terserah Kakak saja deh, aku capek." "Ana..." Belum sempat menyelesaikan kalimat, Nias datang dengan selimut yang dilipat rapi di tangannya. "Eh Aldi, kenapa kau disini?" Nias mendekat dengan pandangan curiga. "Itu, aku sedang bertanya saja ma." "Enggak Tante, Kak Aldi bohong, Kakak menyuruhku untuk tidak tinggal dirumah ini, lalu menyuruhku angkat kaki," adu Ana. Mendengar itu, Nias menatap tajam putra satu-satunya. "Aldi! Jangan menakutinya! sudah mama bilang berapa kali pun kenapa kau selalu saja tidak mendengar perkataan mama." "Mana ada aku tidak mendengar perkataan mama, hanya saja..." Aldi mengusap tengkuknya yang tak gatal. "Hanya apa?" "Aku seperti familiar mendengar nama dia, tapi aku tidak bisa mengingatnya." "Kau lupa? Kau kan pernah bertemu dengan Ana saat mama mengantarmu untuk kuliah di Jogja waktu itu, kau kan pernah menceritakan ada anak kecil yang mengatakan suka padamu, itu kan..." mendengar itu mata Ana seketika membulat "TANTE!" potong Ana cepat dengan wajah cemas. "Ana." lanjut Nias sembari melihat ke arah Ana. "Biar Ana ambil selimutnya, pasti Tante berat membawanya terus seperti itu." Secepat mungkin Ana mengambil selimut dari tangan Nias untuk mengalihkan pembicaraan. Sementara Aldi terdiam mengingat kejadian kala itu. Terlihat, Aldi sesekali mengusap bawah hidungnya sembari menatap Ana dengan lekat. "Bocah berkuncir dua waktu itu... adalah kau?"Keesokan hari di ruang makan, seisi keluarga tengah menikmati sarapan sambil berbincang riang. Tentu setelah peristiwa kemarin, Ana menjadi santapan lezat sebagai topik pembicaraan. "Hahaaa...anak kecil itu kamu? Aku tak habis pikir bocah itu akan tinggal disini sekarang hahaha," Ejek Aldi dengan terbahak-bahak. "Sudah Aldi, kau membuat Ana malu." Ana yang sudah bermuka merah, hanya bisa diam tertunduk sambil menyantap makanannya. "Dia seberani itu menyatakan cinta padaku, mana mungkin dia bisa malu hahaha." Aldi memegang perutnya sambil sesekali memukul meja, tak kuat menahan tawa. "Kakak bisa tidak jangan terus mengungkit itu, itu kan masa lalu." Di lihat sekilas saja sudah terlihat pipi gadis berkacamata itu telah merah sempurna, dan begitu Aldi melihat kedua pipi merah itu seketika tawanya pecah kembali. "Hahaha itu wajah atau tomat bisa merah begitu." Mendengar ejekan sang putra yang mungkin menyakiti hati Ana, lantas Nias segera menyela. "Aldi bisakah kau tid
Bak! "Baiklah, nikahkan saja aku dengannya." Sudah kesal diperintah untuk menikah, Aldi melayangkan lamaran singkat pada sepupu disampingnya. "Uhuk, kakak bercanda kan?" Ana tampak terkejut namun langsung tertawa sambil memukul bahu pria 32 tahunan disampingnya. "Aku serius, kau juga menginginkannya bukan?" Wajah Aldi mendekat dengan tiba-tiba sampai Ana tak mampu tertawa lagi. "Haha, becanda kakak menyeramkan hari ini, jangan begitulah." Ana mulai takut, berusaha bersikap biasa dalam suasana yang tak tenang. "Dari pada kau melakukan hal aneh terus padaku, lebih baik kita menikah saja bukan?" goda Aldi. "Kapan aku melakukan hal aneh pada kakak, aku tak pernah melakukannya tuh." Aldi mendekatkan wajah. Dia liat setiap ekspresi bocah kecil yang terus menggodanya, tampak lucu ketakutan bagai hamster yang hampir mati karena terkejut. "Memeluk tiba-tiba, memegang tubuhku tanpa izin, dan memegang perutku setiap pagi, kau pikir semua itu apa menurutmu?" "Kita kan seperti sa
Setelah mendengar balasan singkat itu Ana terdiam. Ruang makan seketika terasa bisu, hanya suara bentrokan sendok dan piring saja yang mengisi kekosongan ruangan yang diselimuti awan mendung. ... Setelah menghabiskan makan malam, Ana bergegas menerobos masuk ruang kamar Aldi. Bak! "Kakak, kita harus bicara!" Wajah Ana tampak serius, sementara Aldi masih setia mencoret tablet dengan stylus pen kesayangannya di meja kerja. Saat Melihat Ana memakai pakaian tidur datang menemuinya, Aldi seketika tersenyum miring. "Kau sedang menyerahkan dirimu sekarang?" Aldi melihat setiap inci pakaian sepupunya yang bercorak boneka. Ana melihat sekilas pakaiannya, dia tahu betul tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan baju yang dia kenakan. "Memangnya aku ini apa menyerahkan diri pada Kakak, aku sedang menuntut pernikahan yang dibicarakan Tante tadi ya, kenapa Kakak mengajakku menikah itu kan tidak masuk akal!" keluh Ana dengan ekspresi kesal. Ana lalu duduk di ranjang tanpa permisi seper
Rangga menepuk bahu Nias dengan pandangan khawatir. "Ini tidak apa-apa Tante? Mereka seperti tidak saling..." Rangga menggantungkan kalimat. "Tidak apa-apa, mereka memang selalu seperti itu, mungkin bahasa cinta mereka memang seperti itu," jawab Nias tidak ambil pusing. Segera akad pun dimulai, Rangga sebagai kakak mengulurkan tangan untuk melakukan ijab qobul. Tangan Aldi dijabat, lantunan kalimat akad lalu terucap. Momen sakral tersebut begitu terasa hidmat, dan begitu kata sah terlantun. "SAH!" Disaat itu pula air mata Rangga menetes. Dia tertunduk lalu menyela cairan yang tiba-tiba saja jatuh membasahi pipi. "Ana..." Begitu melihat sang kakak untuk pertama kali menangis, membuat Ana mendekat secara spontan. "Kakak, Kakak tidak apa-apa?" Mata Ana tampak polos bertanya. "Kakak baik-baik saja," jawab Rangga mengusap kasar air mata sementara Ana masih menatapnya dengan khawatir. Usapan pelan lantas mendarat di bahu sang adik. "Berbahagialah, tunjukan pada Kakak, ag
"Kau berpikir Aldi cocok menikahi pekerjaannya Ana?" tanya Nias menaikan sebelah alisnya. "Tidak Tante, Ana hanya bercanda, hehe." Mendengar balasan tersebut, wanita dengan rambut diikat itu pada akhirnya dapat mengelus dada dengan tenang. "Untung saja hanya bercanda," batin Nias hampir tak siap menerima orang kedua dengan pemikiran yang sama seperti putranya. "Kalau begitu, besok berangkatnya ya, dan hari ini Tante boleh menginap di sini dulu kan?" "Boleh banget Tante, sebentar aku siapkan dulu kamarnya." Rangga langsung terbirit-birit membereskan kamar untuk sang Tante, sementara Ana sedang tersenyum, bergelut dengan isi pikirannya sendiri. "Ana kau sedang memikirkan apa?" tanya Nias khawatir melihat ekspresi Ana menahan tawa sendirian. "Enggak Tante, Tante mau kedalam dulu? Aku mau mengemasi barang-barangku dulu untuk besok." "Oh yasudah, kau kemasi barang-barang mu saja, Tante ada urusan dulu sebentar disekitar sini." "Baiklah Tante, Ana kedalam dulu ya." Nia
Keesokan hari di ruang makan, seisi keluarga tengah menikmati sarapan sambil berbincang riang. Tentu setelah peristiwa kemarin, Ana menjadi santapan lezat sebagai topik pembicaraan. "Hahaaa...anak kecil itu kamu? Aku tak habis pikir bocah itu akan tinggal disini sekarang hahaha," Ejek Aldi dengan terbahak-bahak. "Sudah Aldi, kau membuat Ana malu." Ana yang sudah bermuka merah, hanya bisa diam tertunduk sambil menyantap makanannya. "Dia seberani itu menyatakan cinta padaku, mana mungkin dia bisa malu hahaha." Aldi memegang perutnya sambil sesekali memukul meja, tak kuat menahan tawa. "Kakak bisa tidak jangan terus mengungkit itu, itu kan masa lalu." Di lihat sekilas saja sudah terlihat pipi gadis berkacamata itu telah merah sempurna, dan begitu Aldi melihat kedua pipi merah itu seketika tawanya pecah kembali. "Hahaha itu wajah atau tomat bisa merah begitu." Mendengar ejekan sang putra yang mungkin menyakiti hati Ana, lantas Nias segera menyela. "Aldi bisakah kau tid
Di kamar mandi Aldi menatap pantulan wajahnya pada cermin, kotoran di matanya sudah hilang dan hanya meninggalkan tetes demi tetes air yang jatuh dari ujung dagunya. "Akh sial, aku diremehkan," batin Aldi sambil memegang kening, merasa buruk. "Tapi... Gadis itu bernama Ana kan, aku seperti pernah mendengarnya, dimana ya...?" Kening pria 31 tahunan itu berkerut, telinganya seolah pernah mendengar nama familiar itu. "Kalau dia keponakan ibuku berarti dia sepupu ku. Tapi, kapan aku pernah bertemu dengannya?" Pada dasarnya sejak 31 tahun lalu sampai saat ini keluarga Aldi telah mendapat perlakuan yang berbeda. Itulah yang menyebabkan Aldi sama sekali tak pernah dipertemukan dengan keluarga dari pihak sang ibu. Semakin dipikir lagi, ingatannya malah membawa Aldi pada detik-detik kelam, terutama saat dia menyatakan cinta pada seorang gadis desa yang dia suka. Plak! "Pikiranku ayolah, padahal aku sudah berusaha melupakan kejadian itu." Aldi mendaratkan tamparan di keningnya. "Ah su
"Kau berpikir Aldi cocok menikahi pekerjaannya Ana?" tanya Nias menaikan sebelah alisnya. "Tidak Tante, Ana hanya bercanda, hehe." Mendengar balasan tersebut, wanita dengan rambut diikat itu pada akhirnya dapat mengelus dada dengan tenang. "Untung saja hanya bercanda," batin Nias hampir tak siap menerima orang kedua dengan pemikiran yang sama seperti putranya. "Kalau begitu, besok berangkatnya ya, dan hari ini Tante boleh menginap di sini dulu kan?" "Boleh banget Tante, sebentar aku siapkan dulu kamarnya." Rangga langsung terbirit-birit membereskan kamar untuk sang Tante, sementara Ana sedang tersenyum, bergelut dengan isi pikirannya sendiri. "Ana kau sedang memikirkan apa?" tanya Nias khawatir melihat ekspresi Ana menahan tawa sendirian. "Enggak Tante, Tante mau kedalam dulu? Aku mau mengemasi barang-barangku dulu untuk besok." "Oh yasudah, kau kemasi barang-barang mu saja, Tante ada urusan dulu sebentar disekitar sini." "Baiklah Tante, Ana kedalam dulu ya." Nia
Rangga menepuk bahu Nias dengan pandangan khawatir. "Ini tidak apa-apa Tante? Mereka seperti tidak saling..." Rangga menggantungkan kalimat. "Tidak apa-apa, mereka memang selalu seperti itu, mungkin bahasa cinta mereka memang seperti itu," jawab Nias tidak ambil pusing. Segera akad pun dimulai, Rangga sebagai kakak mengulurkan tangan untuk melakukan ijab qobul. Tangan Aldi dijabat, lantunan kalimat akad lalu terucap. Momen sakral tersebut begitu terasa hidmat, dan begitu kata sah terlantun. "SAH!" Disaat itu pula air mata Rangga menetes. Dia tertunduk lalu menyela cairan yang tiba-tiba saja jatuh membasahi pipi. "Ana..." Begitu melihat sang kakak untuk pertama kali menangis, membuat Ana mendekat secara spontan. "Kakak, Kakak tidak apa-apa?" Mata Ana tampak polos bertanya. "Kakak baik-baik saja," jawab Rangga mengusap kasar air mata sementara Ana masih menatapnya dengan khawatir. Usapan pelan lantas mendarat di bahu sang adik. "Berbahagialah, tunjukan pada Kakak, ag
Setelah mendengar balasan singkat itu Ana terdiam. Ruang makan seketika terasa bisu, hanya suara bentrokan sendok dan piring saja yang mengisi kekosongan ruangan yang diselimuti awan mendung. ... Setelah menghabiskan makan malam, Ana bergegas menerobos masuk ruang kamar Aldi. Bak! "Kakak, kita harus bicara!" Wajah Ana tampak serius, sementara Aldi masih setia mencoret tablet dengan stylus pen kesayangannya di meja kerja. Saat Melihat Ana memakai pakaian tidur datang menemuinya, Aldi seketika tersenyum miring. "Kau sedang menyerahkan dirimu sekarang?" Aldi melihat setiap inci pakaian sepupunya yang bercorak boneka. Ana melihat sekilas pakaiannya, dia tahu betul tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan baju yang dia kenakan. "Memangnya aku ini apa menyerahkan diri pada Kakak, aku sedang menuntut pernikahan yang dibicarakan Tante tadi ya, kenapa Kakak mengajakku menikah itu kan tidak masuk akal!" keluh Ana dengan ekspresi kesal. Ana lalu duduk di ranjang tanpa permisi seper
Bak! "Baiklah, nikahkan saja aku dengannya." Sudah kesal diperintah untuk menikah, Aldi melayangkan lamaran singkat pada sepupu disampingnya. "Uhuk, kakak bercanda kan?" Ana tampak terkejut namun langsung tertawa sambil memukul bahu pria 32 tahunan disampingnya. "Aku serius, kau juga menginginkannya bukan?" Wajah Aldi mendekat dengan tiba-tiba sampai Ana tak mampu tertawa lagi. "Haha, becanda kakak menyeramkan hari ini, jangan begitulah." Ana mulai takut, berusaha bersikap biasa dalam suasana yang tak tenang. "Dari pada kau melakukan hal aneh terus padaku, lebih baik kita menikah saja bukan?" goda Aldi. "Kapan aku melakukan hal aneh pada kakak, aku tak pernah melakukannya tuh." Aldi mendekatkan wajah. Dia liat setiap ekspresi bocah kecil yang terus menggodanya, tampak lucu ketakutan bagai hamster yang hampir mati karena terkejut. "Memeluk tiba-tiba, memegang tubuhku tanpa izin, dan memegang perutku setiap pagi, kau pikir semua itu apa menurutmu?" "Kita kan seperti sa