Mendengar bisikan tak mengenakan itu lantas membuat Aldi seketika terbakar emosi. Tangannya spontan mencubit pinggang Alif sekencang mungkin. "Aaaa!" Alif segera mengusap pinggangnya yang terasa sakit sekaligus panas akibat cubitan tanpa perasaan hadiah dari sang teman. "Lain kali, hati-hati kalau bicara, ku dengar kau mengoceh tak jelas lagi, giliran mulutmu yang ku habisi," bisik Aldi namun masih dapat terdengar oleh sang sepupu dari depan sana. "Iya deh, sensitif amat, kau seperti tidak tahu kelakuanku saja," balas Alif dengan tetap mengusap bekas cubitan yang masih terasa panas. Tanpa membalas, Aldi melayangkan tatapan tajam pada sang teman, pria itu hanya diam sembari melipat kedua tangannya, namun karena diamnya itu, Alif semakin tak ingin bertingkah lagi, seolah ada ancaman keras yang terus dikatakan oleh kedua sorot bola mata pria berkepala tiga tersebut. "Hehe, dia benar-benar marah, aku harus segera kabur sekarang," batin Alif takut. "Aduh, aku lupa beli sabun, kalau b
Pertanyaan mendadak itu lantas membuat Ana mematung. Dia tatap pelan-pelan wajah Aldi dengan pandangan yang sulit diartikan. "Itu emm...," Ana menyimpan sendok dengan bola mata yang sesekali menghindari tatapan intens dari sang sepupu. "Kau punya pacar ya?" tebak Aldi. "Enggak kok, itu cuma...," "Cuma apa?" Ana lantas melirik pelan pelan mata Aldi yang tampak menusuk dengan getar nada suara yang menunjukan dia tidak bisa menerima jawaban menggantung lagi. "Kakak gak perlu tahu, ini rahasiaku." Telinga yang sudah siap mendengarkan itu kembali dibuat kecewa saat Ana membalas demikian. "Tck rahasia lagi," pekik Aldi sembari membuang muka, namun sialnya Ana seolah tak peduli dan tetap melanjutkan memakan eskrim. Tidak bisa dielakkan, Aldi sepertinya mengenal jaket pria di ponsel gadis itu, rasanya seperti jaket Aldi yang dulu, namun jika memang benar itu adalah dirinya, tak ada kemungkinan gadis itu bisa memotret Aldi secara diam-diam, bahkan jika itu terjadi 10 tahun yang lalu,
"Kak? Kak Aldi lihat kak Alif tadi?" tanya laki-laki itu kembali, saat Aldi terhenti dengan jawabannya. Dan disaat itu pula pria yang diduga adik Alif itu tak sengaja bertemu mata dengan gadis yang dirasa diketahuinya. "Eh Ana, kau disini juga," sapa Rayyan terheran melihat kehadiran teman barunya yang dia temui kemarin saat masa orientasi di universitas yang sama. "Umm, apa kalian sedang berkencan?" "ENGGAK!" Jawab Ana spontan dengan suara keras. Kedua pria itu tampak diam, terkejut dengan jawaban Ana "umm itu... Dia saudaraku," lanjut Ana malu-malu sembari meremas sepuluh jarinya. "Oh kalau begitu bolehkah aku ikut bergabung sebentar? Aku gak bertemu orang yang bisa ku ajak bicara dari tadi, kakakku benar-benar membuatku kelelahan setengah mati," kata Rayyan terlihat begitu lelah. "Boleh boleh, sini," dengan cepat Ana mendekatkan salah satu kursi kosong untuk sang teman. Sikap Ana yang malu-malu itu membuat Aldi melipat kedua tangannya di depan dada. "Dih, bisa malu-malu jug
Bak! "Baiklah, nikahkan saja aku dengannya." Sudah kesal diperintah untuk menikah, Aldi melayangkan lamaran singkat pada sepupu disampingnya. "Uhuk, kakak bercanda kan?" Ana tampak terkejut namun langsung tertawa sambil memukul bahu pria 32 tahunan disampingnya. "Aku serius, kau juga menginginkannya bukan?" Wajah Aldi mendekat dengan tiba-tiba sampai Ana tak mampu tertawa lagi. "Haha, becanda kakak menyeramkan hari ini, jangan begitulah." Ana mulai takut, berusaha bersikap biasa dalam suasana yang tak tenang. "Dari pada kau melakukan hal aneh terus padaku, lebih baik kita menikah saja bukan?" goda Aldi. "Kapan aku melakukan hal aneh pada kakak, aku tak pernah melakukannya tuh." Aldi mendekatkan wajah. Dia liat setiap ekspresi bocah kecil yang terus menggodanya, tampak lucu ketakutan bagai hamster yang hampir mati karena terkejut. "Memeluk tiba-tiba, memegang tubuhku tanpa izin, dan memegang perutku setiap pagi, kau pikir semua itu apa menurutmu?" "Kita kan seperti sa
Setelah mendengar balasan singkat itu Ana terdiam. Ruang makan seketika terasa bisu, hanya suara bentrokan sendok dan piring saja yang mengisi kekosongan ruangan yang diselimuti awan mendung. ... Setelah menghabiskan makan malam, Ana bergegas menerobos masuk ruang kamar Aldi. Bak! "Kakak, kita harus bicara!" Wajah Ana tampak serius, sementara Aldi masih setia mencoret tablet dengan stylus pen kesayangannya di meja kerja. Saat Melihat Ana memakai pakaian tidur datang menemuinya, Aldi seketika tersenyum miring. "Kau sedang menyerahkan dirimu sekarang?" Aldi melihat setiap inci pakaian sepupunya yang bercorak boneka. Ana melihat sekilas pakaiannya, dia tahu betul tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan baju yang dia kenakan. "Memangnya aku ini apa menyerahkan diri pada Kakak, aku sedang menuntut pernikahan yang dibicarakan Tante tadi ya, kenapa Kakak mengajakku menikah itu kan tidak masuk akal!" keluh Ana dengan ekspresi kesal. Ana lalu duduk di ranjang tanpa permisi seper
Rangga menepuk bahu Nias dengan pandangan khawatir. "Ini tidak apa-apa Tante? Mereka seperti tidak saling..." Rangga menggantungkan kalimat. "Tidak apa-apa, mereka memang selalu seperti itu, mungkin bahasa cinta mereka memang seperti itu," jawab Nias tidak ambil pusing. Segera akad pun dimulai, Rangga sebagai kakak mengulurkan tangan untuk melakukan ijab qobul. Tangan Aldi dijabat, lantunan kalimat akad lalu terucap. Momen sakral tersebut begitu terasa hidmat, dan begitu kata sah terlantun. "SAH!" Disaat itu pula air mata Rangga menetes. Dia tertunduk lalu menyela cairan yang tiba-tiba saja jatuh membasahi pipi. "Ana..." Begitu melihat sang kakak untuk pertama kali menangis, membuat Ana mendekat secara spontan. "Kakak, Kakak tidak apa-apa?" Mata Ana tampak polos bertanya. "Kakak baik-baik saja," jawab Rangga mengusap kasar air mata sementara Ana masih menatapnya dengan khawatir. Usapan pelan lantas mendarat di bahu sang adik. "Berbahagialah, tunjukan pada Kakak, ag
"Kau berpikir Aldi cocok menikahi pekerjaannya Ana?" tanya Nias menaikan sebelah alisnya. "Tidak Tante, Ana hanya bercanda, hehe." Mendengar balasan tersebut, wanita dengan rambut diikat itu pada akhirnya dapat mengelus dada dengan tenang. "Untung saja hanya bercanda," batin Nias hampir tak siap menerima orang kedua dengan pemikiran yang sama seperti putranya. "Kalau begitu, besok berangkatnya ya, dan hari ini Tante boleh menginap di sini dulu kan?" "Boleh banget Tante, sebentar aku siapkan dulu kamarnya." Rangga langsung terbirit-birit membereskan kamar untuk sang Tante, sementara Ana sedang tersenyum, bergelut dengan isi pikirannya sendiri. "Ana kau sedang memikirkan apa?" tanya Nias khawatir melihat ekspresi Ana menahan tawa sendirian. "Enggak Tante, Tante mau kedalam dulu? Aku mau mengemasi barang-barangku dulu untuk besok." "Oh yasudah, kau kemasi barang-barang mu saja, Tante ada urusan dulu sebentar disekitar sini." "Baiklah Tante, Ana kedalam dulu ya." Nia
Di kamar mandi Aldi menatap pantulan wajahnya pada cermin, kotoran di matanya sudah hilang dan hanya meninggalkan tetes demi tetes air yang jatuh dari ujung dagunya. "Akh sial, aku diremehkan," batin Aldi sambil memegang kening, merasa buruk. "Tapi... Gadis itu bernama Ana kan, aku seperti pernah mendengarnya, dimana ya...?" Kening pria 31 tahunan itu berkerut, telinganya seolah pernah mendengar nama familiar itu. "Kalau dia keponakan ibuku berarti dia sepupu ku. Tapi, kapan aku pernah bertemu dengannya?" Pada dasarnya sejak 31 tahun lalu sampai saat ini keluarga Aldi telah mendapat perlakuan yang berbeda. Itulah yang menyebabkan Aldi sama sekali tak pernah dipertemukan dengan keluarga dari pihak sang ibu. Semakin dipikir lagi, ingatannya malah membawa Aldi pada detik-detik kelam, terutama saat dia menyatakan cinta pada seorang gadis desa yang dia suka. Plak! "Pikiranku ayolah, padahal aku sudah berusaha melupakan kejadian itu." Aldi mendaratkan tamparan di keningnya. "Ah su
"Kak? Kak Aldi lihat kak Alif tadi?" tanya laki-laki itu kembali, saat Aldi terhenti dengan jawabannya. Dan disaat itu pula pria yang diduga adik Alif itu tak sengaja bertemu mata dengan gadis yang dirasa diketahuinya. "Eh Ana, kau disini juga," sapa Rayyan terheran melihat kehadiran teman barunya yang dia temui kemarin saat masa orientasi di universitas yang sama. "Umm, apa kalian sedang berkencan?" "ENGGAK!" Jawab Ana spontan dengan suara keras. Kedua pria itu tampak diam, terkejut dengan jawaban Ana "umm itu... Dia saudaraku," lanjut Ana malu-malu sembari meremas sepuluh jarinya. "Oh kalau begitu bolehkah aku ikut bergabung sebentar? Aku gak bertemu orang yang bisa ku ajak bicara dari tadi, kakakku benar-benar membuatku kelelahan setengah mati," kata Rayyan terlihat begitu lelah. "Boleh boleh, sini," dengan cepat Ana mendekatkan salah satu kursi kosong untuk sang teman. Sikap Ana yang malu-malu itu membuat Aldi melipat kedua tangannya di depan dada. "Dih, bisa malu-malu jug
Pertanyaan mendadak itu lantas membuat Ana mematung. Dia tatap pelan-pelan wajah Aldi dengan pandangan yang sulit diartikan. "Itu emm...," Ana menyimpan sendok dengan bola mata yang sesekali menghindari tatapan intens dari sang sepupu. "Kau punya pacar ya?" tebak Aldi. "Enggak kok, itu cuma...," "Cuma apa?" Ana lantas melirik pelan pelan mata Aldi yang tampak menusuk dengan getar nada suara yang menunjukan dia tidak bisa menerima jawaban menggantung lagi. "Kakak gak perlu tahu, ini rahasiaku." Telinga yang sudah siap mendengarkan itu kembali dibuat kecewa saat Ana membalas demikian. "Tck rahasia lagi," pekik Aldi sembari membuang muka, namun sialnya Ana seolah tak peduli dan tetap melanjutkan memakan eskrim. Tidak bisa dielakkan, Aldi sepertinya mengenal jaket pria di ponsel gadis itu, rasanya seperti jaket Aldi yang dulu, namun jika memang benar itu adalah dirinya, tak ada kemungkinan gadis itu bisa memotret Aldi secara diam-diam, bahkan jika itu terjadi 10 tahun yang lalu,
Mendengar bisikan tak mengenakan itu lantas membuat Aldi seketika terbakar emosi. Tangannya spontan mencubit pinggang Alif sekencang mungkin. "Aaaa!" Alif segera mengusap pinggangnya yang terasa sakit sekaligus panas akibat cubitan tanpa perasaan hadiah dari sang teman. "Lain kali, hati-hati kalau bicara, ku dengar kau mengoceh tak jelas lagi, giliran mulutmu yang ku habisi," bisik Aldi namun masih dapat terdengar oleh sang sepupu dari depan sana. "Iya deh, sensitif amat, kau seperti tidak tahu kelakuanku saja," balas Alif dengan tetap mengusap bekas cubitan yang masih terasa panas. Tanpa membalas, Aldi melayangkan tatapan tajam pada sang teman, pria itu hanya diam sembari melipat kedua tangannya, namun karena diamnya itu, Alif semakin tak ingin bertingkah lagi, seolah ada ancaman keras yang terus dikatakan oleh kedua sorot bola mata pria berkepala tiga tersebut. "Hehe, dia benar-benar marah, aku harus segera kabur sekarang," batin Alif takut. "Aduh, aku lupa beli sabun, kalau b
Dalam sekejap, raut Ben mengerucut, dia tatap wajah Ana lekat-lekat seolah ada rahasia yang sengaja gadis itu sembunyikan darinya. "Tak biasanya kau menjawab cepat begitu, ada yang disembunyikan ya?" tanya Ben dengan mata menyipit curiga. "Haha, mana ada aku berbohong, itu mustahil." Gadis itu tiba-tiba tertawa paksa sembari memukul Ben beberapa kali. "Beneran gak perlu ditunggu nih?" Ben memastikan lagi. "Tentu saja, jangan khawatirkan aku, kau pergi saja duluan, cepat pergi gih," usir Ana dengan bumbu canda. "Yasudah, aku duluan ya, dan kalau tantemu tidak datang, telepon saja aku." Ben memasang helm lalu memutar kunci berniat pergi. "Iya, nanti kalau tanteku tidak datang aku pasti menghubungimu," ucap Ana meyakinkan. "Baiklah aku duluan ya." "Ya, hati-hati." Pada akhirnya Ben pergi tanpa penumpang lagi, ada rasa penasaran yang tak bisa dia sembunyikan, namun apalah daya Ana sepertinya tak mau orang lain tahu tentang rahasianya. Sementara itu dibelahan tempat lain
Keesokan hari, setelah mengantar Ana pergi menuju kampus. Di ruang kamar pribadi, Aldi tengah mencoret coret tablet, membuat ukiran gambar kartun unik nan lucu disana. "Huh, akhirnya selesai." Begitu hasil desain yang dirancang menggunakan ilusi gambar hidup, Aldi lalu menyalakan laptopnya kembali untuk mengirimkan hasil pada sang klien. Sambil menunggu balasan, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan sebuah pesan baru saja masuk. Dibukanya pesan tersebut dan terlihat salah satu temannya mengirim pesan berisi tawaran pekerjaan. 'Aldi, aku punya tawaran pekerjaan nih, lagi sibuk ga?' tulis Alif, teman satu pekerjaannya. 'Ga, pekerjaan apa?' balas Aldi sembari sesekali memainkan kursor pada laptopnya. 'Ada kenalan ku, dia butuh bantuan untuk membuat video penjelasan tentang anatomi tubuh manusia untuk pembelajaran. Kau kan pernah belajar yang seperti itu, jadi kau pasti lebih faham, aku sedang sibuk mengerjakan projek lain.' 'Baiklah, tapi tenggat waktu selesainya kapan?' 'Sep
Dalam dekapan yang menakutkan, Ana terus melantunkan ayat kursi dalam hati, tangannya bahkan telah berubah begitu dingin saking ketakutannya dia saat ini. Sementara itu Aldi masih menelaah. Apa itu perasaan jernih? Dia sama sekali tidak merasakan perasaan itu sama sekali. "Perasaan jernih apa, wanita itu pasti berbohong," batin Aldi. Sebelum sadar sepenuhnya akan tindakan gegabah tersebut, Aldi perlahan meraih tangan sang sepupu, dan di saat itu pula dia baru sadar akan sesuatu. Brugh... Ana didorong secara spontan dan langsung tersungkur ke lantai. "Ugh," rintih gadis itu. Aldi yang hendak meraih sang sepupu yang mungkin kesakitan akibat ulahnya tiba-tiba terhenti dan langsung memegang kening akibat denyutan yang tiba-tiba datang. "Ugh... Kepalaku ini kenapa lagi?" Terlihat di depan sana Ana terjatuh ke lantai. Dan di sana Aldi samar-samar dapat melihat, dibalik kacamata khasnya, genangan air mata menggenang hampir terjatuh dari ujung pelupuk. "Akh Ana maaf, kau tidak apa-a
Nias tampak terkejut namun tak sampai mengomel seperti biasanya. Begitupun Aldi hampir saja menyusul, sebelum sang ibu tiba-tiba menghentikannya. "Ana, barangnya nanti saja diambilnya ya, Tante mau bicara dengan Aldi dulu sebentar," ucap Nias menahan sang putra. "Oke Tante, aku ke kamar dulu." Ana berlari bagai kilat untuk menutupi sandiwara yang mungkin saja dapat terlihat. Begitu gadis itu sendiri, dia melihat bekas jejak langkahnya lagi, tak ada siapapun disana, jauh sekali dengan perkiraannya. "Kakak maaf, tapi aku sudah berusaha menepati janjinya," batin Ana tak mampu mengambil tindakan lebih jauh lagi untuk menarik Aldi. Saat pintu kamar terbuka terlihat sebuah kotak tersimpan di ranjang. Dengan segera gadis itu melempar tas lalu mengambil gunting untuk membuka kotak tersebut. SK SK SK Tak membutuhkan waktu lama, dilihatnya setumpuk buku yang membahas serba serbi Desain, ada di hadapannya. "Satu, dua, .... Ada lima buku." Ana membolak balikan buku tersebut.
Deg Degup dada semakin kencang terasa saat sebuah microphone ditodongkan padanya. "Anda bisa tolong berdiri," pinta sang dosen. Begitu sial hari ini, akibat obrolan sederhana yang bahkan tidak diketahui maknanya, malah membuat dia berada di situasi menegangkan seperti sekarang. "Ma-af pak sebelumnya jika saya kurang memperhatikan." "Tidak apa-apa namun lain kali usahakan untuk diperhatikan ya. Sekarang anda boleh jawab terlebih dahulu pertanyaan saya." "Baik pak," jawab Ana sembari melirik Ben di sampingnya. "Menurut pandangan saya, leadership merupakan jiwa kepemimpinan yang dimiliki seseorang dalam menjalani hidupnya, Kemampuan leadership ini bisa meliputi banyak hal salah satunya adalah adaptasi yang tentunya kini sedang kami jalani sebagai mahasiswa baru dalam dunia baru di perkuliahan ini. Mungkin sekian jawaban saya terimakasih." Ana dengan segera langsung duduk. "Jangan dulu duduk, saya ingin bertanya kembali," sela sang dosen. Begitu sang dosen menyuruhnya berdiri ke
Tak terasa pagi menjemput kembali, Ana telah berada di mobil, siap berangkat bersama sang sepupu setelah perdebatan panjang pagi tadi."Aku sudah bilang tidak usah repot-repot loh," ucap Ana telah duduk manis di jok depan."Segala hal tentang mu memang selalu merepotkan," jawab Aldi, pasalnya permintaan mengantar Ana adalah perintah dari sang baginda ratu.Ana terlihat mengerucutkan bibir "yasudah." Gadis itu membuang muka sembari melipatkan kedua tangannya di depan dada.Aldi yang menyaksikan marahnya seorang Ana, hanya bisa merasakan betapa masih kekanak-kanakannya gadis itu. Apakah gadis dewasa bisa membuat gumpalan lemak di pipinya seperti itu?Aldi yang tak mau terlarut dalam kegemasan sementara lantas segera memutar kunci lalu tancap gas menuju universitas ternama di ibukota....Masih dalam suasana orientasi, para mahasiswa baru turut berdatangan dengan setelan yang sama. Aldi membuka kaca jendela untuk memastikan ketidak hadiran bocah bernama Ben disekitar mereka."Kakak mengu