"Kau berpikir Aldi cocok menikahi pekerjaannya Ana?" tanya Nias menaikan sebelah alisnya.
"Tidak Tante, Ana hanya bercanda, hehe." Mendengar balasan tersebut, wanita dengan rambut diikat itu pada akhirnya dapat mengelus dada dengan tenang. "Untung saja hanya bercanda," batin Nias hampir tak siap menerima orang kedua dengan pemikiran yang sama seperti putranya. "Kalau begitu, besok berangkatnya ya, dan hari ini Tante boleh menginap di sini dulu kan?" "Boleh banget Tante, sebentar aku siapkan dulu kamarnya." Rangga langsung terbirit-birit membereskan kamar untuk sang Tante, sementara Ana sedang tersenyum, bergelut dengan isi pikirannya sendiri. "Ana kau sedang memikirkan apa?" tanya Nias khawatir melihat ekspresi Ana menahan tawa sendirian. "Enggak Tante, Tante mau kedalam dulu? Aku mau mengemasi barang-barangku dulu untuk besok." "Oh yasudah, kau kemasi barang-barang mu saja, Tante ada urusan dulu sebentar disekitar sini." "Baiklah Tante, Ana kedalam dulu ya." Nias lalu mengangguk mengiyakan. "Syukurlah, dia mau ikut denganku," batin Nias merasa lega. ... Keesokan hari... "Ana kau sudah memasukan semua barangmu kedalam mobil?" Nias mendekati gadis berkacamata itu usai menyimpan satu tas besar di jok belakang "Sudah Tante," jawab Ana ceria. "Rangga, kau tidak apa-apa sendirian disini? Kalau ada apa-apa hubungi Tante ya," tanya Nias pada laki-laki 25 tahunan itu. "Aman, jangan khawatirkan Rangga disini, Rangga bisa jaga diri kok." "Baiklah." Nias lantas menoleh pada Ana di sampingnya. "Pamitan dulu sama kakakmu," ucap Nias sambil mengelus pucuk kepala gadis berkacamata itu. "Kakak, Ana berangkat dulu, jangan kangen ya, nanti lebaran juga pulang kok." Ana memeluk sang kakak dengan erat. "Ya, cepatlah pergi, betah-betah disana ya." "Iya, doakan Ana baik-baik disana ya kak. dan semoga Ana dapat jodoh yang tampan disana." "Apalah kau ini, jangan cari jodoh dulu, belajar dulu yang benar baru boleh cari jodoh, dan yang terpenting jangan buat ulah disana oke." "Memangnya Ana suka membuat ulah, Ana kan anak yang baik." "Iya deh, anak yang baik." Rangga lalu mencium pucuk kepala sang adik dan melepas pelukan dengan hati yang berat. "Tante, maaf ya harus merepotkan Tante." Rangga menghadap Nias, matanya berkaca-kaca namun tak sampai meneteskan air mata. "Tentu, jangan sungkan, kita kan keluarga." "Tante, tolong jaga Ana ya, dia adik ku satu-satunya, anaknya sering teledor dan mungkin akan banyak merepotkan tante nantinya." "Sudah, jangan terlalu menghawatirkan Ana, sekarang kau fokus saja pada dirimu sendiri, Ana biar Tante yang urus." "Terimakasih Tante." "Ya, apapun jangan sungkan ya, hubungi Tante saja." "Kalau begitu kita pergi dulu ya, ayo Ana." Setelah memasuki mobil tangannya yang kecil membuka kaca mobil untuk memberikan lambaian tangan perpisahan. "Kakak, Ana berangkat ya." Gadis berkacamata itu melambaikan tangan dengan cepat. "Iya, hati-hati Ana," balas Rangga. Begitu mobil telah hilang dari pandangan, Rangga menoleh, menatap pintu rumah yang masih terbuka lebar, terasa begitu sepi dan hening. "Kurasa rumah ini akan sedikit sepi tanpanya." .... Di Jakarta Mobil terhenti tepat di pekarangan rumah putih megah dengan dua lantai. "Woah... Rumah Tante keren!" Ana memberikan kedua ibu jari usai menurunkan koper dan tas dari mobil. "Biasa saja, kau yang keren bisa masuk universitas negri ternama, bahkan Aldi juga tidak bisa masuk kesana," jawab Nias dengan pandangan bangga lalu bergegas menarik koper menuju dalam rumah. "Kak Aldi ya, kenapa Kakak tidak mencari istri normal saja ya?" Tanya Ana polos, tampak menerka mengingat wajah sepupunya yang telah lama tidak dia jumpai. "Entahlah, padahal Tante sudah sangat menginginkan cucu, tapi anak itu, bukannya segera cari pasangan malah sibuk kerja dan kerja saja," kesal Nias sambil meletakan berbagai barang di ruang tengah. Sementara gadis berkacamata itu bergumam pelan menerka-nerka dengan jari jemarinya. "Tujuh...dua puluh..." Gumam Ana berfikir keras. Nias yang melihat gumaman Ana tanpak penasaran "Kau sedang memikirkan apa Ana?" "Ehm... Berarti kak Aldi sekarang sudah sekitar tiga puluh satuan kan Tante?" "Kau memikirkan itu dari tadi? Dia memang sudah tu..." Cklek... Sebelum menyelesaikan kalimatnya kedua wanita itu langsung fokus pada suara dari sebuah kamar didekat mereka. Dua pasang mata langsung mengarah pada pria diambang pintu sana. Dapat terlihat setelan kaos oblong dan celana selutut tampak melekat pada sosok pria itu, berantakan dengan rambut acak-acakan. Matanya yang sayu dan hitam tampak menyeramkan, bahkan kelopak matanya hampir terlihat seperti ayunan. Ana melohok terkejut. Bersamaan dengan itu tiba-tiba sebuah bantal melayang kepada pria tersebut. "Baru bangun hah? kerja terus... Bukannya cari istri kau malah malas-malasan begini?" Amuk Nias saat melihat stylus pen berada di tangan sang anak. Tahu betul Aldi telah melakukan apa semalaman. "Mama ada apa sih, baru bangun juga," jawab Aldi sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Kau yang ada apa, udah siang begini baru bangun, mau jadi apa kau nanti?" Nias menghujani Aldi dengan pukulan bantal terus menerus. "Iya-iya nanti Aldi cari istri deh." Dengan ketus Aldi menjawab lalu mengambil bantal dari sang ibu untuk menghentikan pukulan. "Awas ya kalau kau begadang lagi gara-gara proyek animasimu itu, Mama tak akan segan menikahkanmu dengan pelayan Mama." Tanpa peduli Aldi membalikan bola matanya "Terserah." Setelah percekcokan selesai mata Aldi langsung fokus pada gadis berkacamata yang tengah memandangnya. "Kau siapa?" Wajah manis yang dihalangi kacamata dengan besi emas itu tampak tersenyum ramah. Ana membenarkan kacamata lalu mengulurkan tangan sebagai tanda perkenalan. "Saya Ana, keponakan Tante dari desa," sapa Ana ramah, tangannya mengambang menanti balasan. Aldi membungkukkan badan, tangan kanan gadis itu dibiarkan mengambang tanpa balasan. Mata Aldi memicing menatap wajah gadis itu dari jarak yang dekat. "Ana?" gumam Aldi tampak familiar dengan sebutan itu. "Aldi! Jangan menakutinya!" Aldi menutup telinga dengan semua ucapan sang ibu, lalu bertanya pada gadis kecil itu dengan pandangan fokus "Kau tidak takut kan?" "Aldi!" Nias memperingati lagi. Melihat reaksi sang ibu berpihak pada gadis kecil itu tiba-tiba menyadarkan Aldi. Sekilas ujung bibir pria dewasa itu menaik melukiskan senyum menghinakan dan penuh kecurigaan. "Kau... Apa kau pelayan yang dikirim ibuku untuk menjadi istriku?" Seketika saat mendengar itu, mata Ana membulat. "Padahal aku sudah mengatakan aku keponakan Tante, dasar bodoh," batin Ana lalu menarik tangannya kembali karena tak mendapat balasan. Kesal dengan pemikiran sepihak itu, dengan kesadaran penuh, Ana meletakan telapak tangannya di bahu Aldi sampai pria itu melihat bahunya terheran-heran. Dia menepuk bahu beberapa kali, senyum manis yang tampak ambigu seketika terlukis indah diwajah Ana. "Kak Aldi, kotoran di mata kakak sepertinya harus dibersihkan dulu, aku akan menjawabnya setelah penampilan Kakak lebih baik." Ana memiringkan kepala lalu tersenyum. Dengan segera Aldi menegakan badan lalu mengorek kotoran di ujung matanya. "Akh sial, memalukan saja," gerutu Aldi dalam hati. Sementara itu Nias tak mampu menahan tawa. Wanita paruh baya itu menutup mulut menahan tawa terhadap ekspresi Aldi yang memalukan. Melihat sang ibu dan Ana tertawa bersamaan. Emosi dan rasa malu Aldi tak tertahan lagi. "Awas ya, siang nanti kau harus bertemu denganku lagi." Aldi bergegas lari menuju kamar mandi, meninggalkan dua wanita yang terkekeh menertawakannya dengan suka hati. ...Di kamar mandi Aldi menatap pantulan wajahnya pada cermin, kotoran di matanya sudah hilang dan hanya meninggalkan tetes demi tetes air yang jatuh dari ujung dagunya. "Akh sial, aku diremehkan," batin Aldi sambil memegang kening, merasa buruk. "Tapi... Gadis itu bernama Ana kan, aku seperti pernah mendengarnya, dimana ya...?" Kening pria 31 tahunan itu berkerut, telinganya seolah pernah mendengar nama familiar itu. "Kalau dia keponakan ibuku berarti dia sepupu ku. Tapi, kapan aku pernah bertemu dengannya?" Pada dasarnya sejak 31 tahun lalu sampai saat ini keluarga Aldi telah mendapat perlakuan yang berbeda. Itulah yang menyebabkan Aldi sama sekali tak pernah dipertemukan dengan keluarga dari pihak sang ibu. Semakin dipikir lagi, ingatannya malah membawa Aldi pada detik-detik kelam, terutama saat dia menyatakan cinta pada seorang gadis desa yang dia suka. Plak! "Pikiranku ayolah, padahal aku sudah berusaha melupakan kejadian itu." Aldi mendaratkan tamparan di keningnya. "Ah su
Keesokan hari di ruang makan, seisi keluarga tengah menikmati sarapan sambil berbincang riang. Tentu setelah peristiwa kemarin, Ana menjadi santapan lezat sebagai topik pembicaraan. "Hahaaa...anak kecil itu kamu? Aku tak habis pikir bocah itu akan tinggal disini sekarang hahaha," Ejek Aldi dengan terbahak-bahak. "Sudah Aldi, kau membuat Ana malu." Ana yang sudah bermuka merah, hanya bisa diam tertunduk sambil menyantap makanannya. "Dia seberani itu menyatakan cinta padaku, mana mungkin dia bisa malu hahaha." Aldi memegang perutnya sambil sesekali memukul meja, tak kuat menahan tawa. "Kakak bisa tidak jangan terus mengungkit itu, itu kan masa lalu." Di lihat sekilas saja sudah terlihat pipi gadis berkacamata itu telah merah sempurna, dan begitu Aldi melihat kedua pipi merah itu seketika tawanya pecah kembali. "Hahaha itu wajah atau tomat bisa merah begitu." Mendengar ejekan sang putra yang mungkin menyakiti hati Ana, lantas Nias segera menyela. "Aldi bisakah kau tid
Dengan wajah terkejut, Ana mematung sejenak, matanya membulat, dan tiba-tiba ... "Domeng ngejar tikus lagi ma, kami mengejarnya sampai ke garasi ini." Aldi tiba-tiba datang dengan membawa kucing bercorak belang-belang di tangan kanannya. "Aa Domeng mami sini." Nias melebarkan tangannya dan langsung menyambut kucing tersebut dalam pelukan. "Ga boleh makan tikus ya, nanti mulutnya bau, anak mami pulang ya, ayo." Seolah lupa dengan niat mencari sang putra, Nias malah fokus memperhatikan kucing kesayangan. "Jangan keluar sembarangan ya, mending sama mami nonton TV yu," ajak Nias pada sang kucing sambil mengusapnya perlahan lalu berjalan menuju ruang tengah. Setelah Nias pergi, Aldi masih setia berdiri dibelakang gadis itu. Plak! Satu pukulan mendarat dikepala gadis berkacamata itu. "Apasih kak!" Ketus Ana sambil melirik dengan tatapan tajam. "Bodoh, kau seharusnya lihat-lihat dulu sebelum keluar." "Tck, kalau ketahuan pun memangnya bakal kenapa si?" Balas Ana sambil mengusap bek
Keesokan hari... "Kakak!" Sapa Ana sambil meloncat, memeluk Aldi yang tengah memasak untuk sarapan di bagi buta seperti ini. "Pergi sana," jawab Aldi ketus. "Kakak masih marah ya?" Tanya Ana sambil memiringkan kepala, sementara tubuhnya telah duduk tepat di samping kompor berada. "Gak." "Tuh kan kakak marah, aku minta maaf ya." "Pergilah, kau menghalangi pemandangan ku," ketus Aldi masih sibuk mengaduk nasi goreng dihadapannya. Ana langsung menyipitkan mata, terlihat senyum licik tiba-tiba muncul lalu perlahan Ana turun dari meja dan... Set "Maapin ya." Ana tiba-tiba menggelitik tubuh sang sepupu dari belakang membuat Aldi seketika melonjak terkejut. "Berhenti, aku bilang berhenti!" "Tidak akan, sebelum kakak bilang iya." Aldi segera mematikan kompor lalu dengan cepat mengambil kedua tangan gadis itu yang berkeliaran di perutnya. Set Tak perlu waktu lama, kedua tangan Ana berhasil tertangkap, namun sialnya Ana malah menunjukan tampang tak bersalah persis seperti tampang
Berada di kamar, Ana langsung memasukan beberapa perlengkapan untuk persiapan masa orientasi di kampusnya. Tak lupa setelah berkemas, ponsel langsung diraihnya untuk segera melakukan panggilan. "Ayolah jawab," harap Ana sembari memegang ponsel dengan sungguh-sungguh. Tak perlu waktu lama, layar ponselnya menunjukan detik jam yang mulai berjalan menandakan panggilan telah tersambung. "Ben, kamu berangkat bawa motor sendiri ga?" tanya Ana pada teman satu universitas yang sama. Ben adalah seorang pria yang pernah menjadi teman satu SMA dengan Ana dan hanya bertahan dalam satu semester. Entah karena apa Alfin Beniqno yang kerap kali disapa Ben tersebut harus kembali menempuh pendidikan di tanah kelahirannya-Jakarta sehingga memisahkan mereka untuk beberapa tahun terkahir. "Bawa, mau ikut?" "Iya, mau ikut. Kau mau berangkat jam berapa?" "Sekitar jam lima, kau mau dijemput dimana? Kalo harus ke bandung, maaf gak bisa jemput." "Ga ke bandung kok, nanti aku share lokasinya, masih di l
"Eh, kakak?" Ana menaikan kedua alisnya. Teman laki-laki disampingnya juga ikut kebingungan dengan kedatangan Aldi yang tiba-tiba. "Kenapa kau tidak angkat teleponnya? bikin khawatir saja." Tanpa sadar, Aldi mengangkat tangan kiri Ana sembari menggenggamnya dengan erat. "Maaf anda siapa?" tanya Ben sembari mencoba melepaskan genggaman tangan Aldi yang terlihat kuat, sudah tahu Ana pasti tengah kesakitan karenanya. "Aku adalah..." "DIA TETANGGA SEBELAH RUMAH TANTEKU!" potong Ana cepat. "Apa?" Aldi mengerutkan kening tak terima. "Haha, kejadiannya cukup panjang dan kami jadi semakin akrab setiap harinya, jadi begitu haha," jawab Ana dengan tawa paksa sembari menepuk lengan Aldi beberapa kali. "Owh maaf aku kira anda sepupu menyebalkan yang Ana ceritakan." "Apa kau bilang?" Aldi semakin dibuat kesal, dia melirik kedua mahasiswa tersebut silih berganti dengan tatapan penuh tanya. "Haha, ini berarti nomor kakak ya, nanti aku simpan ya, dadah aku harus segera pergi." "Ayo Ben."
Aldi tak menyia-nyiakan kesempatan, banyak permintaan yang telah mengantri di ujung lidahnya. "Emmm... Hal sederhana saja, aku ingin kau menjawab setiap pertanyaan ku hingga aku puas, dan kau jangan pernah terpikirkan untuk bohong sedikitpun." Mendengar hal itu, jelas membuat Ana menganga tak percaya. "Kakak bukankah itu berlebihan." Ana tak habis pikir dengan permintaan itu, bisa dikatakan permintaan barusan adalah induk dari beribu poin pertanyaan selanjutnya. "Baiklah jika kau tidak mau, aku akan pergi sekarang." Aldi berniat pergi. "Eh jangan dong kak, aish... Iya deh aku setuju, asal jangan pertanyaan aneh aja, awas ya." Walau bagaimanapun, pada akhirnya dengan terpaksa Ana menyetujui permintaan memberatkan itu. "Oke, tidak akan aneh kok, sekarang aku ingin dengar dulu penjelasan tentang aku sebagai tetangga Tante mu itu." "Umm... Tapi kakak jangan marah ya?" "Iya, jawab dengan jujur saja." Aldi fokus menatap sepasang mata yang terlihat bimbang di depannya. "Sebenarnya a
Tak terasa pagi menjemput kembali, Ana telah berada di mobil, siap berangkat bersama sang sepupu setelah perdebatan panjang pagi tadi."Aku sudah bilang tidak usah repot-repot loh," ucap Ana telah duduk manis di jok depan."Segala hal tentang mu memang selalu merepotkan," jawab Aldi, pasalnya permintaan mengantar Ana adalah perintah dari sang baginda ratu.Ana terlihat mengerucutkan bibir "yasudah." Gadis itu membuang muka sembari melipatkan kedua tangannya di depan dada.Aldi yang menyaksikan marahnya seorang Ana, hanya bisa merasakan betapa masih kekanak-kanakannya gadis itu. Apakah gadis dewasa bisa membuat gumpalan lemak di pipinya seperti itu?Aldi yang tak mau terlarut dalam kegemasan sementara lantas segera memutar kunci lalu tancap gas menuju universitas ternama di ibukota....Masih dalam suasana orientasi, para mahasiswa baru turut berdatangan dengan setelan yang sama. Aldi membuka kaca jendela untuk memastikan ketidak hadiran bocah bernama Ben disekitar mereka."Kakak mengu
Keesokan hari, setelah mengantar Ana pergi menuju kampus. Di ruang kamar pribadi, Aldi tengah mencoret coret tablet, membuat ukiran gambar kartun unik nan lucu disana. "Huh, akhirnya selesai." Begitu hasil desain yang dirancang menggunakan ilusi gambar hidup, Aldi lalu menyalakan laptopnya kembali untuk mengirimkan hasil pada sang klien. Sambil menunggu balasan, tiba-tiba ponselnya berbunyi menandakan sebuah pesan baru saja masuk. Dibukanya pesan tersebut dan terlihat salah satu temannya mengirim pesan berisi tawaran pekerjaan. 'Aldi, aku punya tawaran pekerjaan nih, lagi sibuk ga?' tulis Alif, teman satu pekerjaannya. 'Ga, pekerjaan apa?' balas Aldi sembari sesekali memainkan kursor pada laptopnya. 'Ada kenalan ku, dia butuh bantuan untuk membuat video penjelasan tentang anatomi tubuh manusia untuk pembelajaran. Kau kan pernah belajar yang seperti itu, jadi kau pasti lebih faham, aku sedang sibuk mengerjakan projek lain.' 'Baiklah, tapi tenggat waktu selesainya kapan?' 'Sep
Dalam dekapan yang menakutkan, Ana terus melantunkan ayat kursi dalam hati, tangannya bahkan telah berubah begitu dingin saking ketakutannya dia saat ini. Sementara itu Aldi masih menelaah. Apa itu perasaan jernih? Dia sama sekali tidak merasakan perasaan itu sama sekali. "Perasaan jernih apa, wanita itu pasti berbohong," batin Aldi. Sebelum sadar sepenuhnya akan tindakan gegabah tersebut, Aldi perlahan meraih tangan sang sepupu, dan di saat itu pula dia baru sadar akan sesuatu. Brugh... Ana didorong secara spontan dan langsung tersungkur ke lantai. "Ugh," rintih gadis itu. Aldi yang hendak meraih sang sepupu yang mungkin kesakitan akibat ulahnya tiba-tiba terhenti dan langsung memegang kening akibat denyutan yang tiba-tiba datang. "Ugh... Kepalaku ini kenapa lagi?" Terlihat di depan sana Ana terjatuh ke lantai. Dan di sana Aldi samar-samar dapat melihat, dibalik kacamata khasnya, genangan air mata menggenang hampir terjatuh dari ujung pelupuk. "Akh Ana maaf, kau tidak apa-a
Nias tampak terkejut namun tak sampai mengomel seperti biasanya. Begitupun Aldi hampir saja menyusul, sebelum sang ibu tiba-tiba menghentikannya. "Ana, barangnya nanti saja diambilnya ya, Tante mau bicara dengan Aldi dulu sebentar," ucap Nias menahan sang putra. "Oke Tante, aku ke kamar dulu." Ana berlari bagai kilat untuk menutupi sandiwara yang mungkin saja dapat terlihat. Begitu gadis itu sendiri, dia melihat bekas jejak langkahnya lagi, tak ada siapapun disana, jauh sekali dengan perkiraannya. "Kakak maaf, tapi aku sudah berusaha menepati janjinya," batin Ana tak mampu mengambil tindakan lebih jauh lagi untuk menarik Aldi. Saat pintu kamar terbuka terlihat sebuah kotak tersimpan di ranjang. Dengan segera gadis itu melempar tas lalu mengambil gunting untuk membuka kotak tersebut. SK SK SK Tak membutuhkan waktu lama, dilihatnya setumpuk buku yang membahas serba serbi Desain, ada di hadapannya. "Satu, dua, .... Ada lima buku." Ana membolak balikan buku tersebut.
Deg Degup dada semakin kencang terasa saat sebuah microphone ditodongkan padanya. "Anda bisa tolong berdiri," pinta sang dosen. Begitu sial hari ini, akibat obrolan sederhana yang bahkan tidak diketahui maknanya, malah membuat dia berada di situasi menegangkan seperti sekarang. "Ma-af pak sebelumnya jika saya kurang memperhatikan." "Tidak apa-apa namun lain kali usahakan untuk diperhatikan ya. Sekarang anda boleh jawab terlebih dahulu pertanyaan saya." "Baik pak," jawab Ana sembari melirik Ben di sampingnya. "Menurut pandangan saya, leadership merupakan jiwa kepemimpinan yang dimiliki seseorang dalam menjalani hidupnya, Kemampuan leadership ini bisa meliputi banyak hal salah satunya adalah adaptasi yang tentunya kini sedang kami jalani sebagai mahasiswa baru dalam dunia baru di perkuliahan ini. Mungkin sekian jawaban saya terimakasih." Ana dengan segera langsung duduk. "Jangan dulu duduk, saya ingin bertanya kembali," sela sang dosen. Begitu sang dosen menyuruhnya berdiri ke
Tak terasa pagi menjemput kembali, Ana telah berada di mobil, siap berangkat bersama sang sepupu setelah perdebatan panjang pagi tadi."Aku sudah bilang tidak usah repot-repot loh," ucap Ana telah duduk manis di jok depan."Segala hal tentang mu memang selalu merepotkan," jawab Aldi, pasalnya permintaan mengantar Ana adalah perintah dari sang baginda ratu.Ana terlihat mengerucutkan bibir "yasudah." Gadis itu membuang muka sembari melipatkan kedua tangannya di depan dada.Aldi yang menyaksikan marahnya seorang Ana, hanya bisa merasakan betapa masih kekanak-kanakannya gadis itu. Apakah gadis dewasa bisa membuat gumpalan lemak di pipinya seperti itu?Aldi yang tak mau terlarut dalam kegemasan sementara lantas segera memutar kunci lalu tancap gas menuju universitas ternama di ibukota....Masih dalam suasana orientasi, para mahasiswa baru turut berdatangan dengan setelan yang sama. Aldi membuka kaca jendela untuk memastikan ketidak hadiran bocah bernama Ben disekitar mereka."Kakak mengu
Aldi tak menyia-nyiakan kesempatan, banyak permintaan yang telah mengantri di ujung lidahnya. "Emmm... Hal sederhana saja, aku ingin kau menjawab setiap pertanyaan ku hingga aku puas, dan kau jangan pernah terpikirkan untuk bohong sedikitpun." Mendengar hal itu, jelas membuat Ana menganga tak percaya. "Kakak bukankah itu berlebihan." Ana tak habis pikir dengan permintaan itu, bisa dikatakan permintaan barusan adalah induk dari beribu poin pertanyaan selanjutnya. "Baiklah jika kau tidak mau, aku akan pergi sekarang." Aldi berniat pergi. "Eh jangan dong kak, aish... Iya deh aku setuju, asal jangan pertanyaan aneh aja, awas ya." Walau bagaimanapun, pada akhirnya dengan terpaksa Ana menyetujui permintaan memberatkan itu. "Oke, tidak akan aneh kok, sekarang aku ingin dengar dulu penjelasan tentang aku sebagai tetangga Tante mu itu." "Umm... Tapi kakak jangan marah ya?" "Iya, jawab dengan jujur saja." Aldi fokus menatap sepasang mata yang terlihat bimbang di depannya. "Sebenarnya a
"Eh, kakak?" Ana menaikan kedua alisnya. Teman laki-laki disampingnya juga ikut kebingungan dengan kedatangan Aldi yang tiba-tiba. "Kenapa kau tidak angkat teleponnya? bikin khawatir saja." Tanpa sadar, Aldi mengangkat tangan kiri Ana sembari menggenggamnya dengan erat. "Maaf anda siapa?" tanya Ben sembari mencoba melepaskan genggaman tangan Aldi yang terlihat kuat, sudah tahu Ana pasti tengah kesakitan karenanya. "Aku adalah..." "DIA TETANGGA SEBELAH RUMAH TANTEKU!" potong Ana cepat. "Apa?" Aldi mengerutkan kening tak terima. "Haha, kejadiannya cukup panjang dan kami jadi semakin akrab setiap harinya, jadi begitu haha," jawab Ana dengan tawa paksa sembari menepuk lengan Aldi beberapa kali. "Owh maaf aku kira anda sepupu menyebalkan yang Ana ceritakan." "Apa kau bilang?" Aldi semakin dibuat kesal, dia melirik kedua mahasiswa tersebut silih berganti dengan tatapan penuh tanya. "Haha, ini berarti nomor kakak ya, nanti aku simpan ya, dadah aku harus segera pergi." "Ayo Ben."
Berada di kamar, Ana langsung memasukan beberapa perlengkapan untuk persiapan masa orientasi di kampusnya. Tak lupa setelah berkemas, ponsel langsung diraihnya untuk segera melakukan panggilan. "Ayolah jawab," harap Ana sembari memegang ponsel dengan sungguh-sungguh. Tak perlu waktu lama, layar ponselnya menunjukan detik jam yang mulai berjalan menandakan panggilan telah tersambung. "Ben, kamu berangkat bawa motor sendiri ga?" tanya Ana pada teman satu universitas yang sama. Ben adalah seorang pria yang pernah menjadi teman satu SMA dengan Ana dan hanya bertahan dalam satu semester. Entah karena apa Alfin Beniqno yang kerap kali disapa Ben tersebut harus kembali menempuh pendidikan di tanah kelahirannya-Jakarta sehingga memisahkan mereka untuk beberapa tahun terkahir. "Bawa, mau ikut?" "Iya, mau ikut. Kau mau berangkat jam berapa?" "Sekitar jam lima, kau mau dijemput dimana? Kalo harus ke bandung, maaf gak bisa jemput." "Ga ke bandung kok, nanti aku share lokasinya, masih di l
Keesokan hari... "Kakak!" Sapa Ana sambil meloncat, memeluk Aldi yang tengah memasak untuk sarapan di bagi buta seperti ini. "Pergi sana," jawab Aldi ketus. "Kakak masih marah ya?" Tanya Ana sambil memiringkan kepala, sementara tubuhnya telah duduk tepat di samping kompor berada. "Gak." "Tuh kan kakak marah, aku minta maaf ya." "Pergilah, kau menghalangi pemandangan ku," ketus Aldi masih sibuk mengaduk nasi goreng dihadapannya. Ana langsung menyipitkan mata, terlihat senyum licik tiba-tiba muncul lalu perlahan Ana turun dari meja dan... Set "Maapin ya." Ana tiba-tiba menggelitik tubuh sang sepupu dari belakang membuat Aldi seketika melonjak terkejut. "Berhenti, aku bilang berhenti!" "Tidak akan, sebelum kakak bilang iya." Aldi segera mematikan kompor lalu dengan cepat mengambil kedua tangan gadis itu yang berkeliaran di perutnya. Set Tak perlu waktu lama, kedua tangan Ana berhasil tertangkap, namun sialnya Ana malah menunjukan tampang tak bersalah persis seperti tampang