"Kau berpikir Aldi cocok menikahi pekerjaannya Ana?" tanya Nias menaikan sebelah alisnya.
"Tidak Tante, Ana hanya bercanda, hehe." Mendengar balasan tersebut, wanita dengan rambut diikat itu pada akhirnya dapat mengelus dada dengan tenang. "Untung saja hanya bercanda," batin Nias hampir tak siap menerima orang kedua dengan pemikiran yang sama seperti putranya. "Kalau begitu, besok berangkatnya ya, dan hari ini Tante boleh menginap di sini dulu kan?" "Boleh banget Tante, sebentar aku siapkan dulu kamarnya." Rangga langsung terbirit-birit membereskan kamar untuk sang Tante, sementara Ana sedang tersenyum, bergelut dengan isi pikirannya sendiri. "Ana kau sedang memikirkan apa?" tanya Nias khawatir melihat ekspresi Ana menahan tawa sendirian. "Enggak Tante, Tante mau kedalam dulu? Aku mau mengemasi barang-barangku dulu untuk besok." "Oh yasudah, kau kemasi barang-barang mu saja, Tante ada urusan dulu sebentar disekitar sini." "Baiklah Tante, Ana kedalam dulu ya." Nias lalu mengangguk mengiyakan. "Syukurlah, dia mau ikut denganku," batin Nias merasa lega. ... Keesokan hari... "Ana kau sudah memasukan semua barangmu kedalam mobil?" Nias mendekati gadis berkacamata itu usai menyimpan satu tas besar di jok belakang "Sudah Tante," jawab Ana ceria. "Rangga, kau tidak apa-apa sendirian disini? Kalau ada apa-apa hubungi Tante ya," tanya Nias pada laki-laki 25 tahunan itu. "Aman, jangan khawatirkan Rangga disini, Rangga bisa jaga diri kok." "Baiklah." Nias lantas menoleh pada Ana di sampingnya. "Pamitan dulu sama kakakmu," ucap Nias sambil mengelus pucuk kepala gadis berkacamata itu. "Kakak, Ana berangkat dulu, jangan kangen ya, nanti lebaran juga pulang kok." Ana memeluk sang kakak dengan erat. "Ya, cepatlah pergi, betah-betah disana ya." "Iya, doakan Ana baik-baik disana ya kak. dan semoga Ana dapat jodoh yang tampan disana." "Apalah kau ini, jangan cari jodoh dulu, belajar dulu yang benar baru boleh cari jodoh, dan yang terpenting jangan buat ulah disana oke." "Memangnya Ana suka membuat ulah, Ana kan anak yang baik." "Iya deh, anak yang baik." Rangga lalu mencium pucuk kepala sang adik dan melepas pelukan dengan hati yang berat. "Tante, maaf ya harus merepotkan Tante." Rangga menghadap Nias, matanya berkaca-kaca namun tak sampai meneteskan air mata. "Tentu, jangan sungkan, kita kan keluarga." "Tante, tolong jaga Ana ya, dia adik ku satu-satunya, anaknya sering teledor dan mungkin akan banyak merepotkan tante nantinya." "Sudah, jangan terlalu menghawatirkan Ana, sekarang kau fokus saja pada dirimu sendiri, Ana biar Tante yang urus." "Terimakasih Tante." "Ya, apapun jangan sungkan ya, hubungi Tante saja." "Kalau begitu kita pergi dulu ya, ayo Ana." Setelah memasuki mobil tangannya yang kecil membuka kaca mobil untuk memberikan lambaian tangan perpisahan. "Kakak, Ana berangkat ya." Gadis berkacamata itu melambaikan tangan dengan cepat. "Iya, hati-hati Ana," balas Rangga. Begitu mobil telah hilang dari pandangan, Rangga menoleh, menatap pintu rumah yang masih terbuka lebar, terasa begitu sepi dan hening. "Kurasa rumah ini akan sedikit sepi tanpanya." .... Di Jakarta Mobil terhenti tepat di pekarangan rumah putih megah dengan dua lantai. "Woah... Rumah Tante keren!" Ana memberikan kedua ibu jari usai menurunkan koper dan tas dari mobil. "Biasa saja, kau yang keren bisa masuk universitas negri ternama, bahkan Aldi juga tidak bisa masuk kesana," jawab Nias dengan pandangan bangga lalu bergegas menarik koper menuju dalam rumah. "Kak Aldi ya, kenapa Kakak tidak mencari istri normal saja ya?" Tanya Ana polos, tampak menerka mengingat wajah sepupunya yang telah lama tidak dia jumpai. "Entahlah, padahal Tante sudah sangat menginginkan cucu, tapi anak itu, bukannya segera cari pasangan malah sibuk kerja dan kerja saja," kesal Nias sambil meletakan berbagai barang di ruang tengah. Sementara gadis berkacamata itu bergumam pelan menerka-nerka dengan jari jemarinya. "Tujuh...dua puluh..." Gumam Ana berfikir keras. Nias yang melihat gumaman Ana tanpak penasaran "Kau sedang memikirkan apa Ana?" "Ehm... Berarti kak Aldi sekarang sudah sekitar tiga puluh satuan kan Tante?" "Kau memikirkan itu dari tadi? Dia memang sudah tu..." Cklek... Sebelum menyelesaikan kalimatnya kedua wanita itu langsung fokus pada suara dari sebuah kamar didekat mereka. Dua pasang mata langsung mengarah pada pria diambang pintu sana. Dapat terlihat setelan kaos oblong dan celana selutut tampak melekat pada sosok pria itu, berantakan dengan rambut acak-acakan. Matanya yang sayu dan hitam tampak menyeramkan, bahkan kelopak matanya hampir terlihat seperti ayunan. Ana melohok terkejut. Bersamaan dengan itu tiba-tiba sebuah bantal melayang kepada pria tersebut. "Baru bangun hah? kerja terus... Bukannya cari istri kau malah malas-malasan begini?" Amuk Nias saat melihat stylus pen berada di tangan sang anak. Tahu betul Aldi telah melakukan apa semalaman. "Mama ada apa sih, baru bangun juga," jawab Aldi sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Kau yang ada apa, udah siang begini baru bangun, mau jadi apa kau nanti?" Nias menghujani Aldi dengan pukulan bantal terus menerus. "Iya-iya nanti Aldi cari istri deh." Dengan ketus Aldi menjawab lalu mengambil bantal dari sang ibu untuk menghentikan pukulan. "Awas ya kalau kau begadang lagi gara-gara proyek animasimu itu, Mama tak akan segan menikahkanmu dengan pelayan Mama." Tanpa peduli Aldi membalikan bola matanya "Terserah." Setelah percekcokan selesai mata Aldi langsung fokus pada gadis berkacamata yang tengah memandangnya. "Kau siapa?" Wajah manis yang dihalangi kacamata dengan besi emas itu tampak tersenyum ramah. Ana membenarkan kacamata lalu mengulurkan tangan sebagai tanda perkenalan. "Saya Ana, keponakan Tante dari desa," sapa Ana ramah, tangannya mengambang menanti balasan. Aldi membungkukkan badan, tangan kanan gadis itu dibiarkan mengambang tanpa balasan. Mata Aldi memicing menatap wajah gadis itu dari jarak yang dekat. "Ana?" gumam Aldi tampak familiar dengan sebutan itu. "Aldi! Jangan menakutinya!" Aldi menutup telinga dengan semua ucapan sang ibu, lalu bertanya pada gadis kecil itu dengan pandangan fokus "Kau tidak takut kan?" "Aldi!" Nias memperingati lagi. Melihat reaksi sang ibu berpihak pada gadis kecil itu tiba-tiba menyadarkan Aldi. Sekilas ujung bibir pria dewasa itu menaik melukiskan senyum menghinakan dan penuh kecurigaan. "Kau... Apa kau pelayan yang dikirim ibuku untuk menjadi istriku?" Seketika saat mendengar itu, mata Ana membulat. "Padahal aku sudah mengatakan aku keponakan Tante, dasar bodoh," batin Ana lalu menarik tangannya kembali karena tak mendapat balasan. Kesal dengan pemikiran sepihak itu, dengan kesadaran penuh, Ana meletakan telapak tangannya di bahu Aldi sampai pria itu melihat bahunya terheran-heran. Dia menepuk bahu beberapa kali, senyum manis yang tampak ambigu seketika terlukis indah diwajah Ana. "Kak Aldi, kotoran di mata kakak sepertinya harus dibersihkan dulu, aku akan menjawabnya setelah penampilan Kakak lebih baik." Ana memiringkan kepala lalu tersenyum. Dengan segera Aldi menegakan badan lalu mengorek kotoran di ujung matanya. "Akh sial, memalukan saja," gerutu Aldi dalam hati. Sementara itu Nias tak mampu menahan tawa. Wanita paruh baya itu menutup mulut menahan tawa terhadap ekspresi Aldi yang memalukan. Melihat sang ibu dan Ana tertawa bersamaan. Emosi dan rasa malu Aldi tak tertahan lagi. "Awas ya, siang nanti kau harus bertemu denganku lagi." Aldi bergegas lari menuju kamar mandi, meninggalkan dua wanita yang terkekeh menertawakannya dengan suka hati. ...Di kamar mandi Aldi menatap pantulan wajahnya pada cermin, kotoran di matanya sudah hilang dan hanya meninggalkan tetes demi tetes air yang jatuh dari ujung dagunya. "Akh sial, aku diremehkan," batin Aldi sambil memegang kening, merasa buruk. "Tapi... Gadis itu bernama Ana kan, aku seperti pernah mendengarnya, dimana ya...?" Kening pria 31 tahunan itu berkerut, telinganya seolah pernah mendengar nama familiar itu. "Kalau dia keponakan ibuku berarti dia sepupu ku. Tapi, kapan aku pernah bertemu dengannya?" Pada dasarnya sejak 31 tahun lalu sampai saat ini keluarga Aldi telah mendapat perlakuan yang berbeda. Itulah yang menyebabkan Aldi sama sekali tak pernah dipertemukan dengan keluarga dari pihak sang ibu. Semakin dipikir lagi, ingatannya malah membawa Aldi pada detik-detik kelam, terutama saat dia menyatakan cinta pada seorang gadis desa yang dia suka. Plak! "Pikiranku ayolah, padahal aku sudah berusaha melupakan kejadian itu." Aldi mendaratkan tamparan di keningnya. "Ah su
Keesokan hari di ruang makan, seisi keluarga tengah menikmati sarapan sambil berbincang riang. Tentu setelah peristiwa kemarin, Ana menjadi santapan lezat sebagai topik pembicaraan. "Hahaaa...anak kecil itu kamu? Aku tak habis pikir bocah itu akan tinggal disini sekarang hahaha," Ejek Aldi dengan terbahak-bahak. "Sudah Aldi, kau membuat Ana malu." Ana yang sudah bermuka merah, hanya bisa diam tertunduk sambil menyantap makanannya. "Dia seberani itu menyatakan cinta padaku, mana mungkin dia bisa malu hahaha." Aldi memegang perutnya sambil sesekali memukul meja, tak kuat menahan tawa. "Kakak bisa tidak jangan terus mengungkit itu, itu kan masa lalu." Di lihat sekilas saja sudah terlihat pipi gadis berkacamata itu telah merah sempurna, dan begitu Aldi melihat kedua pipi merah itu seketika tawanya pecah kembali. "Hahaha itu wajah atau tomat bisa merah begitu." Mendengar ejekan sang putra yang mungkin menyakiti hati Ana, lantas Nias segera menyela. "Aldi bisakah kau tid
Bak! "Baiklah, nikahkan saja aku dengannya." Sudah kesal diperintah untuk menikah, Aldi melayangkan lamaran singkat pada sepupu disampingnya. "Uhuk, kakak bercanda kan?" Ana tampak terkejut namun langsung tertawa sambil memukul bahu pria 32 tahunan disampingnya. "Aku serius, kau juga menginginkannya bukan?" Wajah Aldi mendekat dengan tiba-tiba sampai Ana tak mampu tertawa lagi. "Haha, becanda kakak menyeramkan hari ini, jangan begitulah." Ana mulai takut, berusaha bersikap biasa dalam suasana yang tak tenang. "Dari pada kau melakukan hal aneh terus padaku, lebih baik kita menikah saja bukan?" goda Aldi. "Kapan aku melakukan hal aneh pada kakak, aku tak pernah melakukannya tuh." Aldi mendekatkan wajah. Dia liat setiap ekspresi bocah kecil yang terus menggodanya, tampak lucu ketakutan bagai hamster yang hampir mati karena terkejut. "Memeluk tiba-tiba, memegang tubuhku tanpa izin, dan memegang perutku setiap pagi, kau pikir semua itu apa menurutmu?" "Kita kan seperti sa
Setelah mendengar balasan singkat itu Ana terdiam. Ruang makan seketika terasa bisu, hanya suara bentrokan sendok dan piring saja yang mengisi kekosongan ruangan yang diselimuti awan mendung. ... Setelah menghabiskan makan malam, Ana bergegas menerobos masuk ruang kamar Aldi. Bak! "Kakak, kita harus bicara!" Wajah Ana tampak serius, sementara Aldi masih setia mencoret tablet dengan stylus pen kesayangannya di meja kerja. Saat Melihat Ana memakai pakaian tidur datang menemuinya, Aldi seketika tersenyum miring. "Kau sedang menyerahkan dirimu sekarang?" Aldi melihat setiap inci pakaian sepupunya yang bercorak boneka. Ana melihat sekilas pakaiannya, dia tahu betul tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan baju yang dia kenakan. "Memangnya aku ini apa menyerahkan diri pada Kakak, aku sedang menuntut pernikahan yang dibicarakan Tante tadi ya, kenapa Kakak mengajakku menikah itu kan tidak masuk akal!" keluh Ana dengan ekspresi kesal. Ana lalu duduk di ranjang tanpa permisi seper
Rangga menepuk bahu Nias dengan pandangan khawatir. "Ini tidak apa-apa Tante? Mereka seperti tidak saling..." Rangga menggantungkan kalimat. "Tidak apa-apa, mereka memang selalu seperti itu, mungkin bahasa cinta mereka memang seperti itu," jawab Nias tidak ambil pusing. Segera akad pun dimulai, Rangga sebagai kakak mengulurkan tangan untuk melakukan ijab qobul. Tangan Aldi dijabat, lantunan kalimat akad lalu terucap. Momen sakral tersebut begitu terasa hidmat, dan begitu kata sah terlantun. "SAH!" Disaat itu pula air mata Rangga menetes. Dia tertunduk lalu menyela cairan yang tiba-tiba saja jatuh membasahi pipi. "Ana..." Begitu melihat sang kakak untuk pertama kali menangis, membuat Ana mendekat secara spontan. "Kakak, Kakak tidak apa-apa?" Mata Ana tampak polos bertanya. "Kakak baik-baik saja," jawab Rangga mengusap kasar air mata sementara Ana masih menatapnya dengan khawatir. Usapan pelan lantas mendarat di bahu sang adik. "Berbahagialah, tunjukan pada Kakak, ag
Keesokan hari di ruang makan, seisi keluarga tengah menikmati sarapan sambil berbincang riang. Tentu setelah peristiwa kemarin, Ana menjadi santapan lezat sebagai topik pembicaraan. "Hahaaa...anak kecil itu kamu? Aku tak habis pikir bocah itu akan tinggal disini sekarang hahaha," Ejek Aldi dengan terbahak-bahak. "Sudah Aldi, kau membuat Ana malu." Ana yang sudah bermuka merah, hanya bisa diam tertunduk sambil menyantap makanannya. "Dia seberani itu menyatakan cinta padaku, mana mungkin dia bisa malu hahaha." Aldi memegang perutnya sambil sesekali memukul meja, tak kuat menahan tawa. "Kakak bisa tidak jangan terus mengungkit itu, itu kan masa lalu." Di lihat sekilas saja sudah terlihat pipi gadis berkacamata itu telah merah sempurna, dan begitu Aldi melihat kedua pipi merah itu seketika tawanya pecah kembali. "Hahaha itu wajah atau tomat bisa merah begitu." Mendengar ejekan sang putra yang mungkin menyakiti hati Ana, lantas Nias segera menyela. "Aldi bisakah kau tid
Di kamar mandi Aldi menatap pantulan wajahnya pada cermin, kotoran di matanya sudah hilang dan hanya meninggalkan tetes demi tetes air yang jatuh dari ujung dagunya. "Akh sial, aku diremehkan," batin Aldi sambil memegang kening, merasa buruk. "Tapi... Gadis itu bernama Ana kan, aku seperti pernah mendengarnya, dimana ya...?" Kening pria 31 tahunan itu berkerut, telinganya seolah pernah mendengar nama familiar itu. "Kalau dia keponakan ibuku berarti dia sepupu ku. Tapi, kapan aku pernah bertemu dengannya?" Pada dasarnya sejak 31 tahun lalu sampai saat ini keluarga Aldi telah mendapat perlakuan yang berbeda. Itulah yang menyebabkan Aldi sama sekali tak pernah dipertemukan dengan keluarga dari pihak sang ibu. Semakin dipikir lagi, ingatannya malah membawa Aldi pada detik-detik kelam, terutama saat dia menyatakan cinta pada seorang gadis desa yang dia suka. Plak! "Pikiranku ayolah, padahal aku sudah berusaha melupakan kejadian itu." Aldi mendaratkan tamparan di keningnya. "Ah su
"Kau berpikir Aldi cocok menikahi pekerjaannya Ana?" tanya Nias menaikan sebelah alisnya. "Tidak Tante, Ana hanya bercanda, hehe." Mendengar balasan tersebut, wanita dengan rambut diikat itu pada akhirnya dapat mengelus dada dengan tenang. "Untung saja hanya bercanda," batin Nias hampir tak siap menerima orang kedua dengan pemikiran yang sama seperti putranya. "Kalau begitu, besok berangkatnya ya, dan hari ini Tante boleh menginap di sini dulu kan?" "Boleh banget Tante, sebentar aku siapkan dulu kamarnya." Rangga langsung terbirit-birit membereskan kamar untuk sang Tante, sementara Ana sedang tersenyum, bergelut dengan isi pikirannya sendiri. "Ana kau sedang memikirkan apa?" tanya Nias khawatir melihat ekspresi Ana menahan tawa sendirian. "Enggak Tante, Tante mau kedalam dulu? Aku mau mengemasi barang-barangku dulu untuk besok." "Oh yasudah, kau kemasi barang-barang mu saja, Tante ada urusan dulu sebentar disekitar sini." "Baiklah Tante, Ana kedalam dulu ya." Nia
Rangga menepuk bahu Nias dengan pandangan khawatir. "Ini tidak apa-apa Tante? Mereka seperti tidak saling..." Rangga menggantungkan kalimat. "Tidak apa-apa, mereka memang selalu seperti itu, mungkin bahasa cinta mereka memang seperti itu," jawab Nias tidak ambil pusing. Segera akad pun dimulai, Rangga sebagai kakak mengulurkan tangan untuk melakukan ijab qobul. Tangan Aldi dijabat, lantunan kalimat akad lalu terucap. Momen sakral tersebut begitu terasa hidmat, dan begitu kata sah terlantun. "SAH!" Disaat itu pula air mata Rangga menetes. Dia tertunduk lalu menyela cairan yang tiba-tiba saja jatuh membasahi pipi. "Ana..." Begitu melihat sang kakak untuk pertama kali menangis, membuat Ana mendekat secara spontan. "Kakak, Kakak tidak apa-apa?" Mata Ana tampak polos bertanya. "Kakak baik-baik saja," jawab Rangga mengusap kasar air mata sementara Ana masih menatapnya dengan khawatir. Usapan pelan lantas mendarat di bahu sang adik. "Berbahagialah, tunjukan pada Kakak, ag
Setelah mendengar balasan singkat itu Ana terdiam. Ruang makan seketika terasa bisu, hanya suara bentrokan sendok dan piring saja yang mengisi kekosongan ruangan yang diselimuti awan mendung. ... Setelah menghabiskan makan malam, Ana bergegas menerobos masuk ruang kamar Aldi. Bak! "Kakak, kita harus bicara!" Wajah Ana tampak serius, sementara Aldi masih setia mencoret tablet dengan stylus pen kesayangannya di meja kerja. Saat Melihat Ana memakai pakaian tidur datang menemuinya, Aldi seketika tersenyum miring. "Kau sedang menyerahkan dirimu sekarang?" Aldi melihat setiap inci pakaian sepupunya yang bercorak boneka. Ana melihat sekilas pakaiannya, dia tahu betul tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan baju yang dia kenakan. "Memangnya aku ini apa menyerahkan diri pada Kakak, aku sedang menuntut pernikahan yang dibicarakan Tante tadi ya, kenapa Kakak mengajakku menikah itu kan tidak masuk akal!" keluh Ana dengan ekspresi kesal. Ana lalu duduk di ranjang tanpa permisi seper
Bak! "Baiklah, nikahkan saja aku dengannya." Sudah kesal diperintah untuk menikah, Aldi melayangkan lamaran singkat pada sepupu disampingnya. "Uhuk, kakak bercanda kan?" Ana tampak terkejut namun langsung tertawa sambil memukul bahu pria 32 tahunan disampingnya. "Aku serius, kau juga menginginkannya bukan?" Wajah Aldi mendekat dengan tiba-tiba sampai Ana tak mampu tertawa lagi. "Haha, becanda kakak menyeramkan hari ini, jangan begitulah." Ana mulai takut, berusaha bersikap biasa dalam suasana yang tak tenang. "Dari pada kau melakukan hal aneh terus padaku, lebih baik kita menikah saja bukan?" goda Aldi. "Kapan aku melakukan hal aneh pada kakak, aku tak pernah melakukannya tuh." Aldi mendekatkan wajah. Dia liat setiap ekspresi bocah kecil yang terus menggodanya, tampak lucu ketakutan bagai hamster yang hampir mati karena terkejut. "Memeluk tiba-tiba, memegang tubuhku tanpa izin, dan memegang perutku setiap pagi, kau pikir semua itu apa menurutmu?" "Kita kan seperti sa