“Aku rasa aku nggak bisa melanjutkan ini, Ra. Gadis itu terlalu rapuh dan dia nggak pantas untuk kita sakiti.”
Usai melihat keadaan Ayrin yang begitu menyedihkan–babak belur, tetapi masih kukuh untuk tidak bersuara perihal pelakunya, naluri Reygan perlahan tersentuh.
Ia yang tadinya begitu semangat menjalankan rencana apik yang telah disusunnya bersama sang kekasih gelap, kini mulai goyah.
“Jangan gila, Rey! Kita sudah sering membicarakan ini. Sudah nggak ada jalan untuk kembali.”
Reygan menghela napas panjang, tetapi masih tetap memeluk kekasih yang begitu ia cintai itu dalam dekapannya. “Ceraikan saja Rayden, Ra. Menikahlah denganku. Kita bisa membangun hidup bersama.”
Mata itu menatap sungguh-sungguh pada Veranda yang juga tengah menatapnya.
Sesaat, raut wajah Veranda berubah kesal. Namun, tak lama ia kembali menguasai diri.
“Nggak semudah itu, Rey. Sudah berapa kali aku bilang kalau aku nggak bisa semudah itu untuk bercerai dengan Mas Rayden. Apalagi kami sudah memiliki Revan.”
“Bawalah Revan bersama kita, Ra. Aku nggak keberatan, dia akan menjadi anakku juga.”
Hal ini sudah berkali-kali jadi perbincangan mereka. Rayden akan meminta hal yang sama, lalu Veranda akan menjawab hal yang juga sama.
“Mas Rayden nggak akan tinggal diam, Rey. Dia sangat menyayangi Revan dan aku juga menyayangi anakku.”
Bibir pria itu seketika mencetak garis sinis. Ada rasa cemburu yang menggerogotinya tiap kali Veranda lebih menyanjung sang kakak. “Apa kamu tidak menyayangi aku?”
Veranda menatap penuh cinta pada Reygan. Ia juga menangkup wajah pria itu dengan penuh kelembutan.
“Please, Rey. Jangan seperti ini lagi. Kamu tahu berapa besarnya perasaanku untuk kamu. Jadi, tolong jangan pertanyakan lagi hal itu.”
Reygan sempat menikmati sentuhan lembut itu, tetapi ia bergegas menghindar saat menyadari lagi-lagi dirinya tidak dipilih oleh sang kekasih. “Tapi, kamu tetap memilih suami dan anakmu.”
“Kamu datang terlambat, Rey. Kamu datang di saat aku sudah menikah dan memiliki Revan. Kamu juga meninggalkan aku dulu. Jadi, jangan salahkan aku seperti ini.” Veranda menatap kekasihnya itu dengan gemas. Sudah datang terlambat masih juga mau dapat antrian pertama.
Reygan tersenyum pahit sambil meremas tangan Veranda di dadanya. Ia teringat masa lalu yang membuat ia berpisah dari cinta pertamanya.
Kalau saja Reygan tak melanjutkan pendidikan di luar negeri dan terlena pada kehidupan bebas di sana … mungkin saat ini mereka sudah bisa bersama tanpa takut dosa. Veranda sudah pasti akan jadi istrinya, bukan istri dari kakaknya.
“Aku akan merebutmu lagi.” Suara Reygan terdengar begitu yakin. “Sejak awal kamu milikku.”
Direngkuhnya tubuh cinta pertamanya itu lalu Reygan menciumi wajah Veranda dengan mesra.
Veranda adalah perempuan pertama dalam hidupnya yang menimbulkan perasaan aneh dan membuat hatinya bergetar. Daya tarik wanita cantik itu memang sulit untuk diabaikan.
Meskipun sudah meninggalkan wanita itu dan bertemu dengan banyak wanita lainnya selama hampir dua belas tahun, tetap saja pada akhirnya hanya Veranda wanita yang diinginkannya. Tidak peduli meski wanita itu sudah menikah dengan kakak tirinya, Reygan sudah bertekad untuk merebutnya.
“Kalau begitu menikahlah dengan Ayrin, Rey. Hanya itu satu-satunya cara agar kamu bisa memiliki aku.” Veranda menatap dengan sorot memohon dan perkataan lembut. “Jalankanlah perusahaan ayahnya dan carilah cara untuk menjatuhkannya.”
Reygan terperanjat mendengar ucapan Veranda yang begitu mudah keluar dari mulutnya. “Tapi dia nggak bersalah, Ra. Gadis itu terlalu rapuh untuk kita hancurkan,” protes Reygan dengan gemas.
“Tapi aku juga nggak rela kalau kamu menikahi Daisha, Rey.” Veranda merajuk. Sesaat, ada kilat kekesalan di matanya. “Perempuan ular itu bisa menjebakmu dan melilitmu seumur hidupnya. Aku nggak akan membiarkannya, apalagi perempuan itu menyukai kamu.”
“Kalau ada perasaan wanita yang harus dihancurkan, kenapa kita nggak memilihnya saja? Kenapa malah memilih gadis seperti Ayrin yang begitu rapuh?”
Kesal, Veranda mengurai dekapan Reygan. “Mungkin aku bisa percaya kamu, Rey. Tapi, aku nggak akan pernah percaya dengan Daisha.” Ia kemudian menatap tajam ke arah pria itu, seolah memperingatkan. “Dan, kamu agaknya sudah tertipu. Ayrin nggak serapuh itu. Dia wanita yang kuat, aku juga mengenalnya dengan baik.”
Padahal, dalam hatinya … Veranda mengorbankan Ayrin bukan tanpa sebab. Wanita itu tahu betul gadis seperti sepupunya bukanlah selera Reygan, makanya ia lebih memilih Ayrin yang kurus, polos alih-alih Daisha yang lebih punya kuasa untuk melawannya.
Ditambah lagi, ia juga tahu Ayrin tak akan mungkin menaruh hati pada Reygan, sebab ia tahu betul perasaan gadis itu untuk siapa. Kasarnya, ia memilih Ayrin sebab gadis itu lebih mudah untuk ia atur sesuai rencananya.
“Jadi, kamu harus menikahi Ayrin, Rey. Kita nggak menyakitinya, justru kita sedang menolongnya dari keluarganya yang ular itu.”
***
Malam itu, Reygan duduk terdiam, menyaksikan Ayrin yang sedang berbincang dengan ibunya di meja makan. Reygan memperhatikan Ayrin, gadis itu terlihat berbeda ketika tersenyum. Tentu saja gadis itu tidak memberikan senyuman itu untuknya, melainkan untuk ibunya.
Senyuman yang melintasi bibir tipisnya itu terasa begitu menenangkan, apalagi dengan lesung pipi yang membuatnya semakin manis.
Beberapa saat kemudian, suasana menjadi hening ketika Raka Adinata melangkah ke ruang makan dan bergabung dengan meraka. Wajah tegas dan penuh wibawa yang selalu ditampilkannya membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa segan. Namun, melihat wajah dingin Raka yang berubah lembut saat menatap Vina membuat hati Ayrin terenyuh.
“Kenapa malah bengong?” tanya Reygan sambil menyodorkan piringnya yang kosong kepada Ayrin, meniru kebiasaan papa dan mamanya.
“....” Ayrin hanya menatap piring itu dengan bingung, sementara Reygan menatapnya dengan gemas.
“Kamu calon istri saya. Jadi, belajarlah melayani suami dengan baik.”
Ayrin tersenyum pahit lalu berbisik, “Semua sandiwara ini akan berakhir malam ini. Jadi, berhentilah berpura-pura menjadi calon suami saya.”
Reygan merasa kesal, ia menarik kembali piringnya dan mulai mengambil nasi serta lauk-pauk yang tersedia. “Kita lihat saja nanti,” gumam Reygan menahan geram.
Ia tidak mengerti dengan jalan pikiran gadis di sampingnya itu. Kenapa Ayrin begitu sombongnya tidak mau menjadi istrinya di saat banyak wanita di luar sana yang menginginkannya.
Selama beberapa waktu, hanya suara denting alat makan yang terdengar. Semua orang tampak sibuk dengan makanan dan pikirannya masing-masing.
“Jadi, kamu mau mengambil spesialis apa?” tanya Raka dengan suaranya yang tegas, yang langsung memecah keheningan. Pria itu menatap Ayrin dengan tajam.
“Saya masih belum memikirkannya, Om.” Mendapat serangan mendadak, Ayrin mencoba untuk tetap tenang. “Tapi, saya sempat berpikir ingin mengambil spesialis bedah.”
Raka mengangguk pelan lalu menoleh ke arah Reygan. “Apa kamu akan tetap mengizinkan Ayrin melanjutkan kariernya setelah kalian menikah?”
Ayrin meremas tangannya, menunggu jawaban Reygan. Entah kenapa dirinya penasaran dengan jawaban pria itu, padahal dirinya juga tidak mau Reygan menjadi suaminya.
“Kenapa nggak? Sekarang bukan zamannya perempuan harus selalu terkurung di rumah menunggu suaminya pulang,” jawab Reygan dengan santainya.
Kali ini Raka kembali mengangguk sambil melirik ke arah Vina–sang istri yang juga mengangguk sambil tersenyum singkat. Ayrin menatap mereka dengan penasaran, sementara Reygan tampak tidak terlalu peduli.
Ayrin menghela napas panjang. Ia merasa harus meluruskan semuanya sebelum terlambat. Masa depannya bergantung pada malam ini dan Ayrin tidak bisa melewatkan kesempatannya. “Maaf, Om, Tante. Ada sesuatu yang harus saya katakan. Sebelumnya saya ingin meminta maaf kepada Om dan Tante karena saya…”
Reygan menegang di tempatnya, ia segera memotong ucapan Ayrin sambil menggenggam tangan gadis itu dengan erat. “Kamu yakin mau membicarakan itu sekarang?”
Ayrin mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Reygan, tetapi pria itu seolah sengaja mencengkeramnya semakin kuat untuk membungkam perkataan Ayrin. “Saya sangat yakin. Om dan Tante harus tahu sebelum semuanya terlambat,” tegas Ayrin sambil menahan rasa sakit yang mulai menjalar di tangannya.
Reygan tersenyum lembut, lalu melepaskan cengkeramannya di tangan Ayrin. “Kalau begitu, biar saya yang memberitahukannya.”
“Ada apa sebenarnya, Rey?” tuntut Raka dengan penuh ketegasan.
Selanjutnya, semua orang di ruangan itu tampak tersentak mendengar ucapan Reygan. Papanya yang semula sudah nyaris bisa menerima pilihan sang anak, kini terlihat marah.
Tak terkecuali raut Ayrin yang juga terkejut mendengar penuturan Reygan yang dianggap mengada-ada. Kalimat pria itu semakin memperumit keadaan mereka.
“Maafkan Rey, Pa. Saat ini Ayrin sedang hamil.”
“Kenapa kamu bicara seperti itu? Apa kamu sudah gila?” Usai mengeluarkan kalimat menggemparkan, Reygan mengajak Ayrin pulang terburu-buru. Gadis itu menghempas tangan pria itu yang terus menggandengnya, bahkan nyaris menyeretnya paksa menuju mobil pria itu yang diparkir di garasi rumah. “Sudah saya bilang kita akan menikah. Kamu yang tidak mau mendengarkan saya sejak awal. Jadi, sekarang jangan salahkan saya!” Melihat Reygan yang santai, kening Ayrin mengerut dalam. Ia mencoba menerka, rencana apa yang sebenarnya tengah pria ini susun tanpa ia ketahui? “Apa salah saya, kenapa kamu harus melakukan ini?” tanya Ayrin, menuntut penjelasan dengan wajah marahnya. “Kamu tidak salah.” Reygan menatap gadis di hadapannya dengan lembut. “Saya hanya tidak mau menikah dengan kakakmu.” “Dasar bajingan!” Ayrin begitu marah, terlebih melihat pria itu sama sekali tidak merasa bersalah. Padahal, jika pria itu enggan menikahi Daisha, ia bisa langsung menolak perjodohan itu tanpa melibatkannya.
Pernikahan dadakan Ayrin dan Reygan berlangsung dengan gemerlap dan meriah. Sebagai ratu sehari, mereka berdiri di pelaminan dengan pakaian pengantin yang memukau. Ayrin terlihat anggun dalam gaunnya yang berkilauan, sementara Reygan gagah dengan setelan mewah yang membalut tubuhnya. Senyum tak pernah lepas dari bibir mereka, meskipun kelelahan mulai terasa sebab ribuan tamu tak kunjung usai menyalami mereka. Di tengah senyumannya, juga lantunan doa-doa tamu, di kejauhan, Ayrin merasakan ketegangan ketika pandangannya bertemu dengan Rayden, cinta masa lalunya yang kini menjadi kakak iparnya. Pria itu menatapnya dengan tatapan tajam, tanpa ekspresi yang jelas, sambil memegang minuman di tangannya. Ayrin merasa detak jantungnya meningkat, menciptakan getaran aneh di dalam dirinya.Ingatannya tiba-tiba kembali pada saat beberapa tahun lalu ketika Rayden tegak di hadapannya untuk mengakhiri hubungan mereka.“Kita tidak bisa melanjutkan semua ini, Rin. Saya akan menikah dengan Veranda. Se
"Masih belum tidur?" tanya Reygan yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan setengah telanjang. Hanya ada handuk yang melingkari pinggangnya, juga sebuah handuk kecil di leher. Tubuh pria atletis itu terlihat begitu segar.Ayrin menoleh, wajahnya memanas. Selama beberapa saat matanya masih tertuju pada otot-otot di tubuh suaminya."Ayrin," panggil Reygan yang membuyarkan lamunannya. "I..iya. Belum. Kamu baru mandi?" Ayrin menggigit bibir bawahnya dan langsung merutuki pertanyaan bodohnya. "Kamu nggak mandi?" Bukannya menjawab, Reygan malah balik bertanya. "Eh... iya. Aku mandi sekarang." Ayrin segera melangkah, melewati Reygan sambil menahan napasnya. Rasa canggungnya masih belum hilang. "Mau saya bantu?" Kata-kata yang Reygan ucapkan dengan tenangnya itu berhasil menghentikan Ayrin."Bantu... bantu apa?" tanya Ayrin dengan gugup."Kamu bisa buka gaun itu sendiri?" tanya Reygan dengan santai. "Bantu buka resleting belakangnya aja," sahut Ayrin setelah cukup lama diam.Reygan
“Sebaiknya berhenti membandingkan diri kamu sama Ayrin.” Veranda tidak berhenti bertanya dan membandingkan dirinyadengan Ayrin. Ciuman dari siapakah yang lebih menggairahkan untuk Reygan? Apakahpria itu menyentuh istrinya sebelum menemui Veranda di sini—di Puncak?Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Reygan seketika dikuasaiamarah. Ia telah mengorbankan waktunya dengan meninggalkan sang istri untukmenemui kekasihnya. Namun, yang ia dapatkan justru kecurigaan juga rasaketidaknyamanan dari Veranda. “Kenapa?” wanita itu bertanya dengan pandangan menuntut padaReygan.“Sudah jelas kamu yang menang. Kenapa harus terus cemburusama dia.” Reygan berusaha menenangkan perasaan Veranda di sela pikiran danemosinya juga nyaris tersulut.Veranda mendengus kesal. “Tetap saja aku nggak tenang.Meskipun Ayrin nggak mungkin masuk dalam kategori wanitamu, tapi—”Reygan bisa membaca kegundahan hati Veranda. Tanpa banyakbicara lagi, pria itu merengkuh tubuh Veranda lalu mengurung wanita itu dibawa
“Sudah mau pergi, Mas?” tanya Ayrin yang mengejutkan Reygan. Pria itu terlihat tertegun saat melihat Ayrin yang sudah terjaga. “Kenapa kamu nggak bangunin aku dan selalu pergi diam-diam?” lanjut Ayrin, sementara Reygan masih diam di tempatnya. Sudah tiga minggu telah berlalu sejak Ayrin terbangun tanpa kehadiran Reygan di sisinya. Setiap pagi, rasa kosong itu semakin terasa, menyisakan pertanyaan yang tak terjawab di dalam hati Ayrin. Pada malam di mana Reygan memeluknya, Ayrin merasa seperti ada ikatan yang terjalin. Namun sejak saat itu, semuanya menjadi berbeda. Reygan seperti menghindar darinya.“Tidurmu nyenyak sekali, saya—”“Kamu sudah biasa bangun dan berangkat kerja sepagi ini?” potong Ayrin sambil menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 04.15. Reygan belum menjawab, ponselnya sudah bergetar. Ia menatap Ayrin dengan tatapan yang sulit diartikan. “Saya–”Ayrin membungkam ucapan Reygan dan bersuara, “Kalau memang kamu sibuk sekali sampai harus berangkat pukul segini… lai
“Kita nggak bisa bertemu dulu untuk sementara waktu. Jadi, tolong jangan hubungi aku, terutama di hari libur.”Rupanya, kata-kata Ayrin malam itu begitu membekas untuk Reygan. Terbukti, ketika ia bertemu dengan Veranda usai mereka meluapkan hasrat gila, pria itu mengangkat isu ini pada kekasihnya.“Apa maksud kamu?” tuntut Veranda dengan kesal sambil mendongakkan kepalanya ke arah Reygan yang berbaring di sampingnya. Reygan tahu Veranda akan kesal dan marah. Namun, ia juga harus memikirkan posisi Ayrin. Gadis polos tak bersalah itu tidak boleh lagi jadi korban keegoisannya.“Ayrin sudah mulai curiga. Dia sadar aku selalu menghindar,” balas Reygan dengan gemas. “Yang benar aja. Kita ini sudah jarang ketemu, Rey. Setiap hari kamu sibuk di kantor mertuamu. Kita cuma bisa bertemu saat kamu libur… dan sekarang—”“Aku harus gimana lagi, Ra? Sejak awal kan ini rencana kamu.” Reygan mengacak rambutnya dan mengusap wajahnya kasar. Ia memotong ucapan Veranda dengan cepat. Veranda mendengus k
“Malam ini kamu jangan pulang terlalu malam ya, Mas.”Reygan menoleh sambil memasang dasinya. “Ada acara apa memangnya?” Ayrin tersenyum. “Kita jarang sekali makan malam bersama. Aku mau sesekali masak makan malam untuk kamu. Masa kita ketemu waktu sarapan aja. Itu pun cuma sebentar.”“Saya usahakan, ya,” balas Reygan, membuat air muka Ayrin berubah murung. “Saya usahakan pulang cepat, Rin. Kalau sekitar pukul 9 bagaimana?” lanjut Reygan.Senyum Ayrin kembali merekah. “Aku akan menunggu, Mas.” Namun, senyum bahagia Ayrin pagi tadi terasa sia-sia. Ia menunggu pria itu pulang hingga matanya terasa berat dan akhirnya tertidur di sofa. Ternyata Reygan memang tidak kembali ke apartemennya. Ayrin menghela napas berat, kekecewaan memenuhi relung hatinya. Seolah-olah, segala upaya yang dia lakukannya tak berguna. Makan malam yang ia buat dengan sepenuh hati pun tak tersentuh sama sekali.Tangan Ayrin yang gemetar mencoba memegang ponsel, dan setiap panggilan yang tak dijawab hanya mena
“Sudah siap?” tanya Reygan, suara mesin mobilnya masih terdengar pelan di udara malam yang sejuk.“Apa kamu sudah lama menunggu di sini?” seru Ayrin, suaranya dingin seiring ia mengaitkan sabuk pengaman di tubuhnya. Ada ketidaknyamanan yang terasa di udara, Reygan merasakannya.Reygan menyadari satu hal tentang Ayrin, bahwa gadis itu seringkali menjawab pertanyaan dengan bertanya kembali. "Baru saja sampai," jawabnya sambil menatap tajam Ayrin. "Kamu sudah siap?"Ayrin mengernyitkan dahinya, bertanya dengan nada acuh tak acuh, “Siap apa?”“Loh, saya belum bilang sama kamu?”Ayrin menggeleng. “Bilang apa?”“Mama mau kita makan malam di rumah.”“Kita pulang dulu, kan?”Reygan menggeleng pasti. “Kita langsung ke sana. Kalau pulang dulu takut macet.” Ayrin menghela napas panjang. Sementara Reygan hanya tersenyum sambil melirik ke arah jam tangannya. “Tenang, kita bisa mandi dan ganti di rumah. Masih ada waktu sebelum makan malam. Daripada balik ke apartemen, lebih baik kita mandi di sana
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men