Suasana di meja makan terasa sangat canggung bagi Ayrin. Apalagi dengan tatapan Rayden dan Veranda yang seolah tak pernah lepas darinya. “Makanmu kok cuma sedikit, Rin. Lagi diet atau makanannya nggak sesuai selera?” tanya Vina tanpa nada menyindir. “Nggak… nggak kok, Ma. Makanannya enak, Ayrin suka,” balas Ayrin dengan salah tingkah karena tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Vina tersenyum lalu kembali bertanya dengan santai, “Gimana rencana bulan madu kalian? Sudah ada rencana mau pergi ke mana?” Ayrin hanya terdiam, ia melirik ke arah Reygan yang ada di sampingnya. Merasa diperhatikan, Reygan pun menoleh. “Belum ada rencana apa-apa, Ma. Masih nunggu Ayrin selesai koas,” sahut Reygan, berusaha meredakan kecanggungan. Vina mengangguk pelan. “Kalau soal baby gimana? Masih belum ada rencana juga? goda Vina. Wajah Ayrin memerah, ia melirik lagi ke arah suaminya. “Rey mau Ayrin fokus dulu menyelesaikan pendidikannya, Ma,” balas Reygan dengan sabar. Mamanya itu memang senan
“Apa yang kamu lakukan?” Ayrin hampir memekik ketika Rayden tiba-tiba muncul di belakangnya. Gelas di sebelah tangannya pun hampir meluncur ke lantai. “Mas sendiri ngapain sih di situ? Kenapa juga lampunya nggak dinyalain? Bikin orang kaget, tahu!” seru Ayrin sambil menebah dadanya. “Kebiasaanmu belum hilang juga, ya? Ditanya malah balik nanya.” “....” Ayrin memutar bola matanya malas. Ia melangkah untuk mengisi gelasnya dengan air. “Tidak bisa tidur?” tanya Rayden yang kini berdiri di samping Ayin. Gadis itu mengangguk lalu menoleh ke arah Rayden. “Mas juga?” Rayden mengangguk, matanya terus tertuju pada Ayrin. “Nggak bisa tidur… tapi malah minum kopi?” gumam Ayrin sambil memandang segelas kopi di tangan Rayden. Rayden tidak menjawabnya, ia lebih tertarik dengan topik lain. “Hmm… bagaimana pernikahanmu?” Ayrin mengangkat satu alisnya, merasa dejavu dengan pertanyaan itu. Kenapa Rayden dan Veranda tampak begitu penasaran. “Ya gitu,” balas Ayrin dengan singkat.
“Masih nggak bisa tidur? Kepalanya masih pusing?” Ayrin menoleh dan menemukan Reygan sudah berada di sampingnya.Ia terdiam. Rasanya masih belum mau untuk berbicara dengan suaminya. Karena setiap kali melihat wajah Reygan, ia kembali memikirkan perkataan Rayden. Gadis itu merasa dilema. Di satu sisi, rasa penasarannya sudah membuncah. Namun, di sisi lain Ayrin tidak berani menanyakannya atau mungkin belum berani menghadapi kenyataan yang sebenarnya. “Ada sesuatu yang terjadi di rumah yang saya tidak tahu? Atau mungkin mama bilang sesuatu ke kamu?” tuntut Reygan dengan cemas. “Atau kamu nggak nyaman dengan pembicaraan mama di meja makan?” Ayrin menggeleng sambil menghela napas dalam. “Kepalaku pusing, Mas. Aku mau istirahat,” balas gadis itu kemudian dengan sabar. “Kita ke dokter, ya? Atau mau saya ambilkan obat?” gumam Reygan, wajahnya begitu dekat dengan wajah Ayrin. “Nggak perlu, Mas. Aku cuma butuh istirahat aja,” ujar Ayrin dengan tenang, ia mencoba memaksakan senyumnya. Ay
“Ini Ayrin. Dia istriku.” Melihat cara wanita di hadapannya menatap Ayrin, Reygan pun langsung memperkenalkan sang istri pada wanita itu.“Dia istrimu?” gumam perempuan itu seperti sedang memastikan pendengarannya masih berfungsi dengan baik.“Ya, kami baru saja menikah,” balas Reygan dengan canggung. “Jadi, ini wanita yang dijodohkan sama kamu?” tanya Eliza lagi, masih tak percaya.Reygan menggeleng. “Bukan, dia wanita pilihanku.”Perempuan cantik itu tampak tertegun, memandang ke arah Reygan dengan sorot mata tak percaya seolah bertanya-tanya apakah pria itu tidak salah memperkenalkan Ayrin sebagai istrinya.“Eliza.” Perempuan itu mengulurkan tangannya lebih dulu. “Aku salah satu mantannya.”Ketika mereka berkenalan, Eliza menatap Ayrin penuh penilaian. Seperti mesin pemindai, Eliza memperhatikan penampilan gadis di hadapannya dari atas sampai ke bawah dengan seksama. “Sudah berapa lama di Jakarta?” tanya Reygan dengan cepat, mencoba meredakan suasana canggung di antara mereka.
“Bagaimana kamu tahu saya ada di sana? Apa Eliza juga yang memberitahu?”Ayrin memang merasakan perubahan sikap Reygan, tentunya ke arah yang lebih baik. Namun, kemudian ia merasa ketakutan kembali menyergapnya. Ia takut membuka hati dan berakhir kembali dikecewakan.Perasaan itu semakin menguat ketika ia memergoki suaminya dan Eliza sedang berciuman di sebuah kelab malam. Melihat kehadirannya, Reygan buru-buru mendekat. Dengan raut wajah cemas, pria itu mencoba menjelaskan.“Saya nggak ada hubungan apa-apa dengan dia, Rin. Semua yang terjadi nggak seperti yang kamu lihat.”Ayrin mencium bau alkohol yang cukup kuat. Ia melirik sekilas ke arah Eliza yang menyeringai tajam ke arahnya. “Sebaiknya kita pulang, Mas,” kata Ayrin lalu melangkah keluar. Sejak malam itu, Ayrin tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia tidak menunjukkan kemarahan atau kekesalannya. Gadis itu tetap melayani Reygan dengan baik. “Malam itu Eliza yang menghubungi saya, Rin. Dia mengajak bertemu karena itu hari terakhirn
Ayrin merasakan belaian lembut menyentuh wajahnya, dan aroma maskulin yang akrab merayapi hidungnya.Saat kelopak matanya mulai terbuka, pandangannya langsung terfokus pada wajah tampan yang tengah tersenyum di hadapannya.Gadis itu merasa ciuman lembut masih menyisakan getaran di bibir dan sekitar wajahnya."Selamat pagi, Rin," sapa Reygan dengan suara beratnya yang hangat, juga senyum yang melebar di wajah yang terlihat segar dan rapi.Ayrin mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memastikan bahwa ini bukanlah mimpi. Namun, gadis itu menyadari jika semuanya nyata saat bibir Reygan kembali mendarat di bibirnya. "Pagi," balas Ayrin dengan suara pelan, masih sedikit terkejut dengan perlakuan suaminya. Reygan tidak membiarkan keheningan berlangsung lama, "Sudah waktunya kamu bersiap-siap.""Sudah waktunya mandi, Sayang," kata Reygan sambil menatap Ayrin dengan penuh perhatian. Gadis itu mengernyitkan dahinya, belum terbiasa dengan perhatian seperti ini. Reygan tertawa kecil, seol
“Kamu bahkan belum melakukan apa yang saya minta.”Pria itu tidak tahu dorongan apa yang membuatnya berani mengatakan hal itu. Meminta Ayrin menciumnya. ‘pasti dirinya sudah gila!’ keluh Reygan dalam hatinya.Gairahnya tiba-tiba saja memuncak ketika merasakan tubuh mereka berjarak sangat dekat. Apalagi saat gadis itu mencium pipinya dengan canggung. “Tadi kan sudah,” kata Ayrin dengan salah tingkah.Ketika melihat rona merah di wajah istrinya, Reygan merasa sudah tidak bisa menahan dirinya. Entah karena kepolosan gadis itu atau karena sudah lama tidak mendapat sentuhan dari kekasihnya, pria itu hanya ingin menyalurkan hasratnya.“Itukah yang kamu sebut ciuman?” tanya Reygan dengan suara parau. Tanpa menunggu reaksi istrinya, Reygan sudah lebih dulu mendekatkan wajahnya, mendaratkan bibirnya di bibir gadis itu. Bibirnya mengulum dan melumat bibir Ayrin dengan mesra. Lidahnya bermain di mulut gadis itu. Tentu saja istrinya tidak tahu siapa yang ada dalam bayangannya. Sudah tidak ada
“Apa kamu akan tetap melakukan semua ini kalau aku sudah jatuh cinta sama kamu, Mas?” Tiba-tiba saja pertanyaan itu terlontar dari mulut Ayrin ketika mereka sedang berbaring di ranjang. Reygan berbaring menyamping sambil menatap istrinya, satu tangannya ditumpukan di atas siku. “Hmm… maksud kamu?” “Mas akan tetap bersikap seperti ini kalau sudah berhasil mendapatkan hati aku?” Gadis itu membalas tatapan suaminya. “Tetap perhatian dan romantis.”Ayrin sangat menunggu jawaban itu. Karena semakin hari, semakin sulit rasanya menolak pesona pria sekaliber Reygan. Usaha dan tekadnya benar-benar besar untuk meluluhkan hati wanita. Hal itulah yang membuatnya khawatir kalau saja suaminya akan berubah setelah mendapatkan dirinya.“Kenapa sih? Kamu takut saya tinggal begitu saja?” “Istri mana yang nggak takut ditinggal suaminya?”“Istri yang nggak punya perasaan sama suaminya.” Seperti biasa. Reygan selalu bergurau dan bersikap santai. “Jawab yang benar dong, Mas!”“Kamu nggak perlu khawa
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men