“Sudah mau pergi, Mas?” tanya Ayrin yang mengejutkan Reygan. Pria itu terlihat tertegun saat melihat Ayrin yang sudah terjaga. “Kenapa kamu nggak bangunin aku dan selalu pergi diam-diam?” lanjut Ayrin, sementara Reygan masih diam di tempatnya. Sudah tiga minggu telah berlalu sejak Ayrin terbangun tanpa kehadiran Reygan di sisinya. Setiap pagi, rasa kosong itu semakin terasa, menyisakan pertanyaan yang tak terjawab di dalam hati Ayrin. Pada malam di mana Reygan memeluknya, Ayrin merasa seperti ada ikatan yang terjalin. Namun sejak saat itu, semuanya menjadi berbeda. Reygan seperti menghindar darinya.“Tidurmu nyenyak sekali, saya—”“Kamu sudah biasa bangun dan berangkat kerja sepagi ini?” potong Ayrin sambil menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 04.15. Reygan belum menjawab, ponselnya sudah bergetar. Ia menatap Ayrin dengan tatapan yang sulit diartikan. “Saya–”Ayrin membungkam ucapan Reygan dan bersuara, “Kalau memang kamu sibuk sekali sampai harus berangkat pukul segini… lai
“Kita nggak bisa bertemu dulu untuk sementara waktu. Jadi, tolong jangan hubungi aku, terutama di hari libur.”Rupanya, kata-kata Ayrin malam itu begitu membekas untuk Reygan. Terbukti, ketika ia bertemu dengan Veranda usai mereka meluapkan hasrat gila, pria itu mengangkat isu ini pada kekasihnya.“Apa maksud kamu?” tuntut Veranda dengan kesal sambil mendongakkan kepalanya ke arah Reygan yang berbaring di sampingnya. Reygan tahu Veranda akan kesal dan marah. Namun, ia juga harus memikirkan posisi Ayrin. Gadis polos tak bersalah itu tidak boleh lagi jadi korban keegoisannya.“Ayrin sudah mulai curiga. Dia sadar aku selalu menghindar,” balas Reygan dengan gemas. “Yang benar aja. Kita ini sudah jarang ketemu, Rey. Setiap hari kamu sibuk di kantor mertuamu. Kita cuma bisa bertemu saat kamu libur… dan sekarang—”“Aku harus gimana lagi, Ra? Sejak awal kan ini rencana kamu.” Reygan mengacak rambutnya dan mengusap wajahnya kasar. Ia memotong ucapan Veranda dengan cepat. Veranda mendengus k
“Malam ini kamu jangan pulang terlalu malam ya, Mas.”Reygan menoleh sambil memasang dasinya. “Ada acara apa memangnya?” Ayrin tersenyum. “Kita jarang sekali makan malam bersama. Aku mau sesekali masak makan malam untuk kamu. Masa kita ketemu waktu sarapan aja. Itu pun cuma sebentar.”“Saya usahakan, ya,” balas Reygan, membuat air muka Ayrin berubah murung. “Saya usahakan pulang cepat, Rin. Kalau sekitar pukul 9 bagaimana?” lanjut Reygan.Senyum Ayrin kembali merekah. “Aku akan menunggu, Mas.” Namun, senyum bahagia Ayrin pagi tadi terasa sia-sia. Ia menunggu pria itu pulang hingga matanya terasa berat dan akhirnya tertidur di sofa. Ternyata Reygan memang tidak kembali ke apartemennya. Ayrin menghela napas berat, kekecewaan memenuhi relung hatinya. Seolah-olah, segala upaya yang dia lakukannya tak berguna. Makan malam yang ia buat dengan sepenuh hati pun tak tersentuh sama sekali.Tangan Ayrin yang gemetar mencoba memegang ponsel, dan setiap panggilan yang tak dijawab hanya mena
“Sudah siap?” tanya Reygan, suara mesin mobilnya masih terdengar pelan di udara malam yang sejuk.“Apa kamu sudah lama menunggu di sini?” seru Ayrin, suaranya dingin seiring ia mengaitkan sabuk pengaman di tubuhnya. Ada ketidaknyamanan yang terasa di udara, Reygan merasakannya.Reygan menyadari satu hal tentang Ayrin, bahwa gadis itu seringkali menjawab pertanyaan dengan bertanya kembali. "Baru saja sampai," jawabnya sambil menatap tajam Ayrin. "Kamu sudah siap?"Ayrin mengernyitkan dahinya, bertanya dengan nada acuh tak acuh, “Siap apa?”“Loh, saya belum bilang sama kamu?”Ayrin menggeleng. “Bilang apa?”“Mama mau kita makan malam di rumah.”“Kita pulang dulu, kan?”Reygan menggeleng pasti. “Kita langsung ke sana. Kalau pulang dulu takut macet.” Ayrin menghela napas panjang. Sementara Reygan hanya tersenyum sambil melirik ke arah jam tangannya. “Tenang, kita bisa mandi dan ganti di rumah. Masih ada waktu sebelum makan malam. Daripada balik ke apartemen, lebih baik kita mandi di sana
Suasana di meja makan terasa sangat canggung bagi Ayrin. Apalagi dengan tatapan Rayden dan Veranda yang seolah tak pernah lepas darinya. “Makanmu kok cuma sedikit, Rin. Lagi diet atau makanannya nggak sesuai selera?” tanya Vina tanpa nada menyindir. “Nggak… nggak kok, Ma. Makanannya enak, Ayrin suka,” balas Ayrin dengan salah tingkah karena tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Vina tersenyum lalu kembali bertanya dengan santai, “Gimana rencana bulan madu kalian? Sudah ada rencana mau pergi ke mana?” Ayrin hanya terdiam, ia melirik ke arah Reygan yang ada di sampingnya. Merasa diperhatikan, Reygan pun menoleh. “Belum ada rencana apa-apa, Ma. Masih nunggu Ayrin selesai koas,” sahut Reygan, berusaha meredakan kecanggungan. Vina mengangguk pelan. “Kalau soal baby gimana? Masih belum ada rencana juga? goda Vina. Wajah Ayrin memerah, ia melirik lagi ke arah suaminya. “Rey mau Ayrin fokus dulu menyelesaikan pendidikannya, Ma,” balas Reygan dengan sabar. Mamanya itu memang senan
“Apa yang kamu lakukan?” Ayrin hampir memekik ketika Rayden tiba-tiba muncul di belakangnya. Gelas di sebelah tangannya pun hampir meluncur ke lantai. “Mas sendiri ngapain sih di situ? Kenapa juga lampunya nggak dinyalain? Bikin orang kaget, tahu!” seru Ayrin sambil menebah dadanya. “Kebiasaanmu belum hilang juga, ya? Ditanya malah balik nanya.” “....” Ayrin memutar bola matanya malas. Ia melangkah untuk mengisi gelasnya dengan air. “Tidak bisa tidur?” tanya Rayden yang kini berdiri di samping Ayin. Gadis itu mengangguk lalu menoleh ke arah Rayden. “Mas juga?” Rayden mengangguk, matanya terus tertuju pada Ayrin. “Nggak bisa tidur… tapi malah minum kopi?” gumam Ayrin sambil memandang segelas kopi di tangan Rayden. Rayden tidak menjawabnya, ia lebih tertarik dengan topik lain. “Hmm… bagaimana pernikahanmu?” Ayrin mengangkat satu alisnya, merasa dejavu dengan pertanyaan itu. Kenapa Rayden dan Veranda tampak begitu penasaran. “Ya gitu,” balas Ayrin dengan singkat.
“Masih nggak bisa tidur? Kepalanya masih pusing?” Ayrin menoleh dan menemukan Reygan sudah berada di sampingnya.Ia terdiam. Rasanya masih belum mau untuk berbicara dengan suaminya. Karena setiap kali melihat wajah Reygan, ia kembali memikirkan perkataan Rayden. Gadis itu merasa dilema. Di satu sisi, rasa penasarannya sudah membuncah. Namun, di sisi lain Ayrin tidak berani menanyakannya atau mungkin belum berani menghadapi kenyataan yang sebenarnya. “Ada sesuatu yang terjadi di rumah yang saya tidak tahu? Atau mungkin mama bilang sesuatu ke kamu?” tuntut Reygan dengan cemas. “Atau kamu nggak nyaman dengan pembicaraan mama di meja makan?” Ayrin menggeleng sambil menghela napas dalam. “Kepalaku pusing, Mas. Aku mau istirahat,” balas gadis itu kemudian dengan sabar. “Kita ke dokter, ya? Atau mau saya ambilkan obat?” gumam Reygan, wajahnya begitu dekat dengan wajah Ayrin. “Nggak perlu, Mas. Aku cuma butuh istirahat aja,” ujar Ayrin dengan tenang, ia mencoba memaksakan senyumnya. Ay
“Ini Ayrin. Dia istriku.” Melihat cara wanita di hadapannya menatap Ayrin, Reygan pun langsung memperkenalkan sang istri pada wanita itu.“Dia istrimu?” gumam perempuan itu seperti sedang memastikan pendengarannya masih berfungsi dengan baik.“Ya, kami baru saja menikah,” balas Reygan dengan canggung. “Jadi, ini wanita yang dijodohkan sama kamu?” tanya Eliza lagi, masih tak percaya.Reygan menggeleng. “Bukan, dia wanita pilihanku.”Perempuan cantik itu tampak tertegun, memandang ke arah Reygan dengan sorot mata tak percaya seolah bertanya-tanya apakah pria itu tidak salah memperkenalkan Ayrin sebagai istrinya.“Eliza.” Perempuan itu mengulurkan tangannya lebih dulu. “Aku salah satu mantannya.”Ketika mereka berkenalan, Eliza menatap Ayrin penuh penilaian. Seperti mesin pemindai, Eliza memperhatikan penampilan gadis di hadapannya dari atas sampai ke bawah dengan seksama. “Sudah berapa lama di Jakarta?” tanya Reygan dengan cepat, mencoba meredakan suasana canggung di antara mereka.
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men