Pernikahan dadakan Ayrin dan Reygan berlangsung dengan gemerlap dan meriah. Sebagai ratu sehari, mereka berdiri di pelaminan dengan pakaian pengantin yang memukau. Ayrin terlihat anggun dalam gaunnya yang berkilauan, sementara Reygan gagah dengan setelan mewah yang membalut tubuhnya. Senyum tak pernah lepas dari bibir mereka, meskipun kelelahan mulai terasa sebab ribuan tamu tak kunjung usai menyalami mereka.
Di tengah senyumannya, juga lantunan doa-doa tamu, di kejauhan, Ayrin merasakan ketegangan ketika pandangannya bertemu dengan Rayden, cinta masa lalunya yang kini menjadi kakak iparnya. Pria itu menatapnya dengan tatapan tajam, tanpa ekspresi yang jelas, sambil memegang minuman di tangannya.
Ayrin merasa detak jantungnya meningkat, menciptakan getaran aneh di dalam dirinya.Ingatannya tiba-tiba kembali pada saat beberapa tahun lalu ketika Rayden tegak di hadapannya untuk mengakhiri hubungan mereka.
“Kita tidak bisa melanjutkan semua ini, Rin. Saya akan menikah dengan Veranda. Semua yang terjadi di antara kita sudah berakhir sekarang. Semoga kamu segera menemukan kebahagiaanmu.”
Dulu Ayrin menitikkan air matanya mendengar pengakuan Rayden. Pria itu mengucapkan semuanya tanpa ekspresi dan tanpa kata maaf. Membuat hatinya terasa begitu sakit. Seolah kata-kata cintanya dan perasaan yang tumbuh di antara mereka tidak ada artinya bagi pria itu.
Ayrin merasakan kegugupan melanda dirinya, tetapi tetap mencoba tersenyum seakan-akan ingin memperlihatkan pada Rayden bahwa dirinya sudah menemukan pria yang akan membuatnya bahagia. Meskipun Ayrin masih belum yakin sepenuhnya.
Pandangan mereka terputus ketika Ayrin melihat Veranda. Wanita itu menatapnya dengan perasaan yang rumit, campuran antara cemburu, kemarahan, dan kekesalan. Ayrin merasakan getaran hawa yang tidak menyenangkan, dan ia bertanya-tanya apakah Veranda marah karena ia bertatapan dengan Rayden atau karena ada sesuatu yang lain? Tetapi Ayrin memilih untuk tidak memikirkannya lagi.
Ayrin menatap sekilas ke arah Reygan. Pria yang kini sudah sah menjadi suaminya itu tampak begitu tertekan. Senyuman di bibirnya terasa dipaksakan dan sorot matanya begitu penuh kehampaan. Namun, Ayrin memilih untuk tidak menanggapinya dengan serius. Dia hanya berpikir jika mungkin Reygan sudah terlalu lelah.
“Bertahanlah, Mas. Sebentar lagi acaranya akan segera selesai,” bisik Ayrin lalu tatapan kembali kepada para tamu undangan yang sudah mengantri.
Seiring malam berlanjut, suasana semakin meriah dengan tarian dan hiburan yang disajikan. Ayrin dan Reygan berdansa di tengah ballroom yang gemerlap. Mereka berdua seolah-olah tenggelam dalam dunia sendiri, tanpa memedulikan sorotan dari tamu yang memperhatikan mereka.
Setiap gerakan mereka selaras dengan alunan musik yang mengisi ruangan. Meskipun para tamu undangan itu tidak tahu jika Ayrin beberapa kali menginjak kaki Reygan karena gugup.
“Tenanglah. Ikuti saja gerakannya seperti yang sudah kamu pelajari.” Pipi Ayrin memanas mendengar kata-kata Reygan. Cengkeraman tangan pria itu di pinggangnya semakin kuat, seolah dia tahu apa yang sedang bergejolak di hati Ayrin.
Namun, ketenangan Ayrin tidak bertahan lama ketika pandangannya bertemu lagi dengan mata Rayden yang sedang melintasi ruangan. Tatapan pria itu terlihat muak dan tak suka.
Ayrin tidak bisa menghilangkan bayangan Rayden dari pikirannya. Momen pertemuan mereka di tengah kerumunan membuat hati Ayrin berdegup lebih cepat. Sesaat setelah tarian selesai, Ayrin merasa perlu mengambil udara segar di luar ballroom.
Di teras yang dihiasi dengan lampu-lampu gemerlap, Ayrin menemui Rayden yang berdiri sendiri. Suasana hening memenuhi udara, hanya dipecah oleh suara gemerisik dedaunan yang dihembus angin lembut. Rayden menoleh ketika Ayrin mendekat.
“Seharusnya kamu tidak datang ke sini,” ujar Rayden dengan dingin.
Napas Ayrin tercekat mendengar kata-kata dingin Rayden yang ditujukan padanya. Ayrin merasa menjadi wanita paling bodoh sedunia malam ini karena berpikir jika mungkin Rayden akan cemburu padanya. Tanpa bersuara, Ayrin segera berbalik dan mulai melangkah.
“Apa yang dia lakukan? Kenapa kamu mau menikah dengan pria itu?”
Langkah Ayrin yang terasa sulit semakin bertambah berat ketika mendengar suara Rayden yang berhasil menghentikannya. Ia menoleh ke arah pria itu yang sedang menyesap minumannya dengan tenang.
“Itu bukan urusanmu lagi,” balasnya tak kalah dingin.
Ayrin bisa melihat rahang Rayden yang menegang. Pria itu menatap Ayrin tanpa ekspresi, seolah-olah mencoba menganalisis setiap kata yang keluar dari bibirnya. “Kamu tidak tahu siapa dia, Ayrin. Kamu tidak akan pernah bahagia bersama dia.”
Ayrin tersenyum getir. “Aku pikir kamu hanya cemburu. Tapi aku sama sekali nggak menyangka kalau ternyata kamu iri dengan adikmu sendiri.”
Reygan tersenyum masam sambil menatap ke arah langit. “Dia bahkan tidak bisa bersaing. Untuk apa saya harus merasa iri dengan anak kemarin sore seperti dia?”
Ayrin mengepalkan tangannya. Entah mengapa ada rasa kesal saat mendengar perkataan Rayden tentang Reygan. “Anak kemarin sore itu sudah menjadi suamiku sekarang,” desis Ayrin.
“Apa yang membuatmu mau menikah dengannya? Saya bisa melihat kalau tidak ada cinta di antara kalian. Dia pasti sudah menjebakmu,” desis Rayden tanpa basa-basi.
Ayrin memicingkan mata, mencoba menahan emosi yang bergolak di dalamnya. Ia meremas tangannya dengan begitu kuat hingga buku jarinya memutih.
‘Aku berada di posisi ini karenamu. Istrimu menjebakku karena berpikir aku akan merebutmu.’ Ingin sekali Ayrin meneriakkan kata-kata itu dengan lantang di depan wajah angkuh Rayden. Namun, ia tak bisa melakukannya.
“Itu sama sekali bukan urusanmu. Kamu sendiri yang bilang kalau semua yang ada di antara kita sudah berakhir. Jadi, berhenti menanyakan apa pun yang nggak ada kaitannya sama kamu,” bentak Ayrin dengan sengit.
Rayden menggertakkan giginya. Sementara Ayrin mencoba mengalihkan pandangannya dari pria itu. Berdiri terlalu lama di dekatnya membuat perasaan wanita itu penuh sesak.
Lalu, tiba-tiba saja rasa panik menjalar di hati Ayrin ketika melihat Veranda dari kejauhan yang sedang berjalan ke arah mereka. Ia ingin segera menghindar, tetapi tangannya sudah lebih dulu ditarik oleh Rayden yang kini menghimpit tubuhnya ke sudut tempat yang gelap dan sepi.
“Dengarkan saya, Rin. Jangan pernah kamu berikan hatimu untuk Reygan kalau kamu tidak mau terluka. Saya lebih mengenalnya daripada kamu. Dan anggap saja saya berbicara sebagai kakak yang tidak mau melihat adiknya terluka.”
Setelah mengatakan hal itu, Rayden pergi meninggalkan Ayrin yang masih termenung di tempatnya dengan berbagai pertanyaan yang mulai menyeruak ke dalam benaknya. Cemburukah pria itu padanya? pikir Ayrin. Apa sebenarnya maksud ucapannya??
"Masih belum tidur?" tanya Reygan yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan setengah telanjang. Hanya ada handuk yang melingkari pinggangnya, juga sebuah handuk kecil di leher. Tubuh pria atletis itu terlihat begitu segar.Ayrin menoleh, wajahnya memanas. Selama beberapa saat matanya masih tertuju pada otot-otot di tubuh suaminya."Ayrin," panggil Reygan yang membuyarkan lamunannya. "I..iya. Belum. Kamu baru mandi?" Ayrin menggigit bibir bawahnya dan langsung merutuki pertanyaan bodohnya. "Kamu nggak mandi?" Bukannya menjawab, Reygan malah balik bertanya. "Eh... iya. Aku mandi sekarang." Ayrin segera melangkah, melewati Reygan sambil menahan napasnya. Rasa canggungnya masih belum hilang. "Mau saya bantu?" Kata-kata yang Reygan ucapkan dengan tenangnya itu berhasil menghentikan Ayrin."Bantu... bantu apa?" tanya Ayrin dengan gugup."Kamu bisa buka gaun itu sendiri?" tanya Reygan dengan santai. "Bantu buka resleting belakangnya aja," sahut Ayrin setelah cukup lama diam.Reygan
“Sebaiknya berhenti membandingkan diri kamu sama Ayrin.” Veranda tidak berhenti bertanya dan membandingkan dirinyadengan Ayrin. Ciuman dari siapakah yang lebih menggairahkan untuk Reygan? Apakahpria itu menyentuh istrinya sebelum menemui Veranda di sini—di Puncak?Pertanyaan-pertanyaan itu membuat Reygan seketika dikuasaiamarah. Ia telah mengorbankan waktunya dengan meninggalkan sang istri untukmenemui kekasihnya. Namun, yang ia dapatkan justru kecurigaan juga rasaketidaknyamanan dari Veranda. “Kenapa?” wanita itu bertanya dengan pandangan menuntut padaReygan.“Sudah jelas kamu yang menang. Kenapa harus terus cemburusama dia.” Reygan berusaha menenangkan perasaan Veranda di sela pikiran danemosinya juga nyaris tersulut.Veranda mendengus kesal. “Tetap saja aku nggak tenang.Meskipun Ayrin nggak mungkin masuk dalam kategori wanitamu, tapi—”Reygan bisa membaca kegundahan hati Veranda. Tanpa banyakbicara lagi, pria itu merengkuh tubuh Veranda lalu mengurung wanita itu dibawa
“Sudah mau pergi, Mas?” tanya Ayrin yang mengejutkan Reygan. Pria itu terlihat tertegun saat melihat Ayrin yang sudah terjaga. “Kenapa kamu nggak bangunin aku dan selalu pergi diam-diam?” lanjut Ayrin, sementara Reygan masih diam di tempatnya. Sudah tiga minggu telah berlalu sejak Ayrin terbangun tanpa kehadiran Reygan di sisinya. Setiap pagi, rasa kosong itu semakin terasa, menyisakan pertanyaan yang tak terjawab di dalam hati Ayrin. Pada malam di mana Reygan memeluknya, Ayrin merasa seperti ada ikatan yang terjalin. Namun sejak saat itu, semuanya menjadi berbeda. Reygan seperti menghindar darinya.“Tidurmu nyenyak sekali, saya—”“Kamu sudah biasa bangun dan berangkat kerja sepagi ini?” potong Ayrin sambil menatap jam dinding yang menunjukkan pukul 04.15. Reygan belum menjawab, ponselnya sudah bergetar. Ia menatap Ayrin dengan tatapan yang sulit diartikan. “Saya–”Ayrin membungkam ucapan Reygan dan bersuara, “Kalau memang kamu sibuk sekali sampai harus berangkat pukul segini… lai
“Kita nggak bisa bertemu dulu untuk sementara waktu. Jadi, tolong jangan hubungi aku, terutama di hari libur.”Rupanya, kata-kata Ayrin malam itu begitu membekas untuk Reygan. Terbukti, ketika ia bertemu dengan Veranda usai mereka meluapkan hasrat gila, pria itu mengangkat isu ini pada kekasihnya.“Apa maksud kamu?” tuntut Veranda dengan kesal sambil mendongakkan kepalanya ke arah Reygan yang berbaring di sampingnya. Reygan tahu Veranda akan kesal dan marah. Namun, ia juga harus memikirkan posisi Ayrin. Gadis polos tak bersalah itu tidak boleh lagi jadi korban keegoisannya.“Ayrin sudah mulai curiga. Dia sadar aku selalu menghindar,” balas Reygan dengan gemas. “Yang benar aja. Kita ini sudah jarang ketemu, Rey. Setiap hari kamu sibuk di kantor mertuamu. Kita cuma bisa bertemu saat kamu libur… dan sekarang—”“Aku harus gimana lagi, Ra? Sejak awal kan ini rencana kamu.” Reygan mengacak rambutnya dan mengusap wajahnya kasar. Ia memotong ucapan Veranda dengan cepat. Veranda mendengus k
“Malam ini kamu jangan pulang terlalu malam ya, Mas.”Reygan menoleh sambil memasang dasinya. “Ada acara apa memangnya?” Ayrin tersenyum. “Kita jarang sekali makan malam bersama. Aku mau sesekali masak makan malam untuk kamu. Masa kita ketemu waktu sarapan aja. Itu pun cuma sebentar.”“Saya usahakan, ya,” balas Reygan, membuat air muka Ayrin berubah murung. “Saya usahakan pulang cepat, Rin. Kalau sekitar pukul 9 bagaimana?” lanjut Reygan.Senyum Ayrin kembali merekah. “Aku akan menunggu, Mas.” Namun, senyum bahagia Ayrin pagi tadi terasa sia-sia. Ia menunggu pria itu pulang hingga matanya terasa berat dan akhirnya tertidur di sofa. Ternyata Reygan memang tidak kembali ke apartemennya. Ayrin menghela napas berat, kekecewaan memenuhi relung hatinya. Seolah-olah, segala upaya yang dia lakukannya tak berguna. Makan malam yang ia buat dengan sepenuh hati pun tak tersentuh sama sekali.Tangan Ayrin yang gemetar mencoba memegang ponsel, dan setiap panggilan yang tak dijawab hanya mena
“Sudah siap?” tanya Reygan, suara mesin mobilnya masih terdengar pelan di udara malam yang sejuk.“Apa kamu sudah lama menunggu di sini?” seru Ayrin, suaranya dingin seiring ia mengaitkan sabuk pengaman di tubuhnya. Ada ketidaknyamanan yang terasa di udara, Reygan merasakannya.Reygan menyadari satu hal tentang Ayrin, bahwa gadis itu seringkali menjawab pertanyaan dengan bertanya kembali. "Baru saja sampai," jawabnya sambil menatap tajam Ayrin. "Kamu sudah siap?"Ayrin mengernyitkan dahinya, bertanya dengan nada acuh tak acuh, “Siap apa?”“Loh, saya belum bilang sama kamu?”Ayrin menggeleng. “Bilang apa?”“Mama mau kita makan malam di rumah.”“Kita pulang dulu, kan?”Reygan menggeleng pasti. “Kita langsung ke sana. Kalau pulang dulu takut macet.” Ayrin menghela napas panjang. Sementara Reygan hanya tersenyum sambil melirik ke arah jam tangannya. “Tenang, kita bisa mandi dan ganti di rumah. Masih ada waktu sebelum makan malam. Daripada balik ke apartemen, lebih baik kita mandi di sana
Suasana di meja makan terasa sangat canggung bagi Ayrin. Apalagi dengan tatapan Rayden dan Veranda yang seolah tak pernah lepas darinya. “Makanmu kok cuma sedikit, Rin. Lagi diet atau makanannya nggak sesuai selera?” tanya Vina tanpa nada menyindir. “Nggak… nggak kok, Ma. Makanannya enak, Ayrin suka,” balas Ayrin dengan salah tingkah karena tiba-tiba menjadi pusat perhatian. Vina tersenyum lalu kembali bertanya dengan santai, “Gimana rencana bulan madu kalian? Sudah ada rencana mau pergi ke mana?” Ayrin hanya terdiam, ia melirik ke arah Reygan yang ada di sampingnya. Merasa diperhatikan, Reygan pun menoleh. “Belum ada rencana apa-apa, Ma. Masih nunggu Ayrin selesai koas,” sahut Reygan, berusaha meredakan kecanggungan. Vina mengangguk pelan. “Kalau soal baby gimana? Masih belum ada rencana juga? goda Vina. Wajah Ayrin memerah, ia melirik lagi ke arah suaminya. “Rey mau Ayrin fokus dulu menyelesaikan pendidikannya, Ma,” balas Reygan dengan sabar. Mamanya itu memang senan
“Apa yang kamu lakukan?” Ayrin hampir memekik ketika Rayden tiba-tiba muncul di belakangnya. Gelas di sebelah tangannya pun hampir meluncur ke lantai. “Mas sendiri ngapain sih di situ? Kenapa juga lampunya nggak dinyalain? Bikin orang kaget, tahu!” seru Ayrin sambil menebah dadanya. “Kebiasaanmu belum hilang juga, ya? Ditanya malah balik nanya.” “....” Ayrin memutar bola matanya malas. Ia melangkah untuk mengisi gelasnya dengan air. “Tidak bisa tidur?” tanya Rayden yang kini berdiri di samping Ayin. Gadis itu mengangguk lalu menoleh ke arah Rayden. “Mas juga?” Rayden mengangguk, matanya terus tertuju pada Ayrin. “Nggak bisa tidur… tapi malah minum kopi?” gumam Ayrin sambil memandang segelas kopi di tangan Rayden. Rayden tidak menjawabnya, ia lebih tertarik dengan topik lain. “Hmm… bagaimana pernikahanmu?” Ayrin mengangkat satu alisnya, merasa dejavu dengan pertanyaan itu. Kenapa Rayden dan Veranda tampak begitu penasaran. “Ya gitu,” balas Ayrin dengan singkat.
Ayrin duduk dengan gelisah di sebuah bangku kayu yang menghadap kolam. Hatinya dipenuhi dengan berbagai perasaan, harapan, dan kecemasan. Dia terus memandangi jalan setapak yang mengarah ke taman, menunggu kehadiran Lily. Frans telah berjanji untuk membawa gadis itu ke sana, dan saat itu akhirnya tiba.Ketika Lily muncul di kejauhan, melangkah mendekatinya dengan perlahan, Ayrin merasa ada kehangatan yang tak bisa dijelaskan dalam hatinya. Gadis itu tumbuh menjadi remaja cantik, penuh pesona, namun di mata Ayrin, Lily masih seperti anak kecil yang dulu pernah hilang dari pelukannya.Mereka saling pandang untuk beberapa saat, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Keheningan itu begitu penuh makna, seolah semua yang ingin mereka katakan sudah tercurah dalam tatapan mereka."Lily..." suara Ayrin bergetar saat dia akhirny
Frans tampak gelisah ketika dia menemui Ayrin di tempat prakteknya. Sejenak mereka hanya saling bertatapan, seolah kata-kata yang ingin diucapkan Frans begitu berat untuk disampaikan."Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Rin," kata Frans akhirnya, suaranya terdengar gemetar.Ayrin menatapnya dengan cemas. "Ada apa sih, Frans? Kenapa akhir-akhir ini kamu aneh sekali?" desaknya, penasaran dan khawatir karena tidak biasanya Frans datang ke tempat prakteknya dengan ekspresi seperti ini."Kamu tidak sakit, kan?" tuntutnya lagi dengan nada gemetar, takut kalau-kalau ada sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.Frans menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya penuh kebimbangan. Dia menatap Ayrin dengan lekat, seakan mencari keberanian dalam pandangannya sebelum akhirnya
"Selamat datang, silakan duduk," sambut Ayrin dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar bahagia.Lily dan Frans duduk di tempat yang telah disiapkan, dan tanpa menunggu lama, mereka mulai menyantap hidangan yang telah tersedia. Suasana terasa nyaman dan akrab, seolah mereka sudah menjadi satu keluarga besar."Wah, masakan Tante memang oke juga," puji Lily dengan jujur setelah mencicipi satu suapan. "Semuanya enak, Tan."Ayrin baru akan menjawab, tetapi Rania dengan cepat menyela. "Iya, dong. Masakan Mama emang yang paling enak," ujarnya penuh kebanggaan. Pujian itu membuat semua orang di meja makan tersenyum."Kalau begitu, aku main ke sini setiap hari deh, biar bisa makan enak terus," goda Lily sambil melirik ke arah Rania.
Setelah semua ketegangan ini mereda, Ayrin dan Reygan kembali ke rumah mereka sambil saling bergandengan tangan, perasaan lega dan bahagia terpancar dari wajah mereka."Hai, Sayang," sapa mereka pada anak-anaknya yang tengah duduk bersama di ruang keluarga. Rian dan Rania, yang sedang asyik dengan aktivitas mereka, segera menoleh bersamaan. Melihat kedua orang tuanya datang bersama dengan senyum bahagia membuat hati mereka meledak oleh kebahagiaan."Mama dan Papa nggak akan berpisah, kan?" tanya Rian dengan hati-hati setelah beberapa saat lamanya mereka duduk bersama. Ada kekhawatiran di balik tatapan matanya yang polos, kekhawatiran akan perpisahan yang mungkin terjadi lagi.Reygan tersenyum sambil menoleh ke arah Ayrin, tatapannya penuh kasih. "Bodoh kalau Papa melepaskan wanita sebaik Mama, Rian," katanya dengan
Setelah akhirnya pulih, Ayrin memutuskan untuk menemui Lily bersama Reygan.Saat mereka masuk, mata Lily menatap mereka dengan perasaan campur aduk. Tidak ada lagi sorot tajam dan kebencian seperti dulu. Yang terlihat di sana hanyalah penyesalan yang mendalam. Gadis itu menundukkan kepalanya, suaranya gemetar saat berkata, "Maafkan Lily, Tante. Maafkan sikap Lily selama ini."Ayrin merasakan gelombang kesedihan mengalir di hatinya. Dia mendekati Lily dengan langkah pelan dan mendekap tubuh gadis itu dengan lembut. "Maafkan Tante juga, Lily. Maaf karena sikap Tante membuatmu salah paham. Maaf karena membuatmu tidak nyaman selama ini," balasnya dengan suara bergetar.Lily pun menangis, menumpahkan segala penyesalan dan kesedihannya di dada Ayrin. Dalam dekapan hangat itu, semua ketegangan yang selama ini a
Ayrin menatap wajah Lily yang pucat di ranjang rumah sakit sebelum operasi transplantasi ginjal yang sebentar lagi akan dilakukan. Hatinya serasa diremas melihat betapa rapuhnya gadis itu. Di dalam hatinya, ada perasaan yang tak terlukiskan. Entah dari mana datangnya perasaan ini, setiap kali berada di samping gadis ini, dia merasakan ada tali tak kasat mata yang mengikat mereka, seolah-olah Lily adalah bagian dari dirinya sendiri.Dengan lembut, Ayrin membelai kepala Lily, sentuhan yang penuh kasih dan kelembutan, seakan gadis itu adalah anaknya sendiri. "Cepatlah sembuh, Lily. Cepatlah kembali pulih. Izinkan Tante meminta maaf padamu. Izinkan Tante menjelaskan semuanya," bisik Ayrin dengan suara yang hangat namun penuh harap. Matanya berkaca-kaca, berharap agar gadis itu segera membuka mata indahnya lagi.Jika dulu Ayrin sangat tidak menyukai tatapan Lily yan
Reygan duduk di sudut ruang tunggu rumah sakit, dengan tatapan kosong yang menatap ke langit-langit putih yang terang. Setiap hari, ia merasa tersiksa oleh pertanyaan tak terjawab dan rasa bersalah yang membelit hatinya. Air mata sering kali tak bisa ia tahan lagi, mengalir deras ketika melihat Rania yang terbaring tak sadarkan diri di ranjang perawatan, dan Lily yang masih berjuang untuk hidupnya."Kalau memang dosa-dosaku lah yang menyebabkan semua ini. Tolong limpahkan semuanya padaku, Tuhan. Jangan pada anak istriku. Mereka tidak bersalah. Akulah yang penuh dosa," gumam Reygan dengan suara gemetar, bibirnya bergetar dalam keputusasaan yang mendalam.Tidak hanya Reygan yang dihantui rasa bersalah yang mendalam, tetapi juga Frans. Setiap hari, pria itu duduk di sisi ranjang Lily, memegang tangannya yang lemah, membelai rambutnya dengan penuh kasih sayang. Kat
Reygan melangkah masuk ke dalam klub malam yang gemerlap, tempat di mana dia pertama kali bertemu dengan Lily. Lampu berwarna-warni yang berkedip-kedip dan musik yang menghentak keras tidak mampu mengalihkan perhatiannya dari kekhawatiran yang menghimpit hatinya. Dia menelusuri setiap sudut klub, berharap menemukan gadis itu di antara kerumunan orang. Namun, sia-sia. Lily tidak terlihat di mana pun."Di mana kamu, Lily?" bisiknya putus asa pada diri sendiri, suaranya tenggelam di tengah bisingnya musik. Rasa bersalah semakin mencengkeram hatinya dengan setiap detik yang berlalu tanpa menemukan gadis itu.Dia hampir tergoda untuk mengalihkan perasaannya dengan segelas minuman. Namun, saat tangan terulur menuju bar, ponselnya bergetar. Panggilan dari Ayrin menyentak kesadarannya."Lily, Mas. Kami sudah bertemu d
Ayrin dan Reygan kembali bersama ke rumah sakit. Langkah mereka terayun mantap, seakan sudah menemukan keputusan besar yang akan mengubah segalanya. Ketika Frans melihat mereka, matanya langsung menangkap sinyal yang jelas—Ayrin telah membuat keputusan untuk memaafkan suaminya."Jadi, inikah kejutannya?" kata Frans dengan tenang, matanya yang penuh pengertian menatap dalam ke mata Ayrin. Setelah Reygan pergi ke sudut lain ruangan untuk memberi keduanya privasi, mereka akhirnya mendapatkan kesempatan untuk berbicara."Maafkan aku, Frans," gumam Ayrin sambil menundukkan kepalanya, jemarinya saling meremas dengan gelisah. Dia merasa berat untuk mengucapkan kata-kata itu, tetapi tahu bahwa dia harus melakukannya.Frans mendekat dan memegang kedua pundak Ayrin dengan lembut namun tegas, memaksa wanita itu men