Janu masih belum berani mengatakan apa-apa. Tapi sesekali ia menoleh ke belakang untuk menengok istrinya yang duduk anteng di belakangnya.
Jika pasangan suami istri yang baru menikah pada umunya terlihat mesra dan terkesan tidak ingin terpisah, menempel terus termasuk saat berboncengan menaiki motor, tidak demikian dengan Smith dan Janu. Tidak ada yang berubah. Sama seperti saat mereka belum menikah, Smith lebih memilih untuk memegang jok motor yang menyebabkan jarak antara dirinya dengan sang suami semakin kentara, cukup untuk diduduki satu orang lagi di tengah-tengah mereka.
Namun, itu sama sekali bukan masalah serius. Janu tidak sedang pusing memikirkan cara agar Smith mau melingkarkan tangan di perutnya, tetapi pikiran Janu menjadi kusut lantaran Smith belum mengatakan satu patah kata pun sejak mereka menaiki motor.
Biasanya, jika Smith dalam kondisi normal, tentu kini telah terdengar ocehan yang menyuruh Janu untuk
Heningnya malam sampai membuat suara angin terdengar. Juga dedaunan pada pohon yang bergerak-gerak sendiri.Smith terus memandang mata kucing Janu tanpa berucap. Ia masih menunggu suaminya itu untuk bicara."Smith, tadi pagi Sisil menemuiku. Kami berbincang di kafe kecil dekat kampus. Aku tidak mengerti mengapa dia sangat ingin berbicara padaku hingga harus repot-repot menyusulku dan tidak sabar untuk menungguku pulang.""Apa yang dia katakan?" sergap Smith supaya Janu lekas menceritakan intinya."Sisil, aku tidak tahu kenapa ... ""Berhenti berputar-putar. Aku tahu kau tidak tahu apa-apa. Katakan saja langsung secara terus terang. Kenapa kau senang sekali membuatku kesal? Sekarang katakan apa yang Sisil katakan padamu!" tukas Smith memotong perkataan Janu. Ia sungguh geregetan mendengar omongan Janu yang bertele-tele."Dia menanyakan padaku, apa kau benar-be
"Anak ini harus diberi pelajaran!" ujar Sinta dalam batin mendidih.Sinta terus berjalan tanpa peduli pada ucapan Sisil. Ia bahkan mencengkeram lebih kuat tangan putrinya ketika Sisil berusaha untuk melawan. Ia sudah muak dengan semuanya dan memutuskan untuk bersikap tegas pada Sisil detik ini juga.Sinta pada akhirnya harus mengambil pilihan itu sebab tampaknya Sisil memang tidak pernah menghiraukan semua perkataannya yang meminta putrinya itu untuk tidak kalah dari Smith. Sisil bahkan tetap ngeyel mau minta maaf pada Smith meski Sinta telah melarangnya berulang-ulang."Mama! Kenapa Mama selalu memaksakan kehendak Mama padaku? Tidak bisakah Mama membiarkan aku melakukan apa yang aku inginkan? Lagi pula, apa salahnya jika aku meminta maaf pada Smith? Bahkan Ayah juga mendukungku untuk berbaikan dengan Smith," protes Sisil setelah masuk ke dalam kamarnya dengan tangan yang masih digenggam erat oleh Sinta.
"Smith mengapa kau memukulku sepagi ini?" protes Janu yang berusaha untuk membuka matanya. Kepalanya terasa sedikit pening karena bangun bersama kejut.Namun, yang lebih membuatnya pusing adalah ketika memikirkan mengapa Smith memukulnya. Janu bahkan merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Tapi sebuah pukulan mendarat di jidatnya tanpa alasan. Apakah itu bagian dari efek kehamilan? Yang benar saja! Tidak lucu sama sekali model mengidam seperti itu."Aku tidak memukulmu! Aku memukul nyamuk yang hinggap di dahimu," jawab Smith dengan intonasi dimarah-marahkan. Sebenarnya ia baru sadar jika pukulannya tadi terlalu kuat.Sudah barang tentu Janu tidak percaya begitu saja. Alasan Smith terdengar mengada-ada. Jika memang ada nyamuk yang menggigitnya, tentu rasanya tidak sebanding dengan rasa sakit dari pukulan Smith.Namun Smith memang berkata jujur. Ia memang bermaksud untuk menepuk nyamuk di kening Janu
Sendok yang dipegang Sisil terjatuh di atas piring saat matanya menangkap sosok Janu berjalan beriringan dengan Smith menuju ruang makan. Keduanya tampak sangat mesra dengan tangan Smith yang melingkar di lengan Janu, menggenggamnya dengan erat seolah takut kalau ada perempuan lain yang hendak mencuri suaminya. Bukankah ada pelakor dan anaknya yang sedang menumpang di rumah mewah itu? Tetiba saja Sisil menjadi kenyang. Padahal makanan di piringnya baru di lahap beberapa sendok saja.Di saat yang sama mata Sinta langsung melihat tajam ke arah anak tirinya beserta sang suami yang kembali ke rumah dan merusak suasana hatinya sepagi ini. Jika saja saat ini ada senapan di tangannya, sudah pasti ia akan membidik Smith. Sekalian juga menembak Janu. Untuk apa? Supaya dua manusia brengs*k itu mamp*s! Bagi Sinta sekarang, kebahagiaan adalah saat ia dan keluarganya hidup tanpa Smith ataupun Janu. Sudah itu saja!Sinta menoleh sesaat ke arah Sisil. Tamp
Smith tidak ingin mengakhiri dramanya begitu saja. Setidaknya ia harus melihat Sisil menangis dulu, baru paginya akan terasa ceria dan menyenangkan. Tidak hal yang lebih membahagiakan selain melihat saudara sambungnya itu mewek dan mamanya tirinya uring-uringan."Wah, iya Ayah. Tumis kangkung Bibi Ipah memang yang terbaik. Selain enak, kangkung juga sangat baik untuk kesehatan. Kangkung mengandung banyak mineral, vitamin A dan vitamin C, juga serat yang cukup. Selain itu, mengandung sedikit kalori," kata Janu sembari mengisi piringnya dengan tumis kangkung. Ia tidak mengerti mengapa ia malah memberikan kuliah umum tentang kangkung seolah dirinya adalah ahli gizi keluarga Hendry Sasongko. Padahal Janu tidak begitu suka dengan kangkung karena trauma dengan masa kecilnya yang selalu makan kangkung setiap hari. Entah bagaimana saat remaja Janu menjadi enggan makan kangkung. Memakan kangkung bisa membuatnya merasa mual.Namun Janu tidak memiliki
Smith menderita kecewa berat atas ucapan suaminya. Bisa-bisanya lelaki itu meminta maaf setelah Smith berpidato panjang lebar di depan orang-orang. Sinta, Sisil, dan Hendry bahkan sudah tidak berkutik mendengar ceramah Smith. Kenapa si Janu malah minta maaf? Benar-benar antiklimaks yang payah.Akan tetapi Janu belum selesai bicara. Ia sengaja tidak lekas melanjutkan perkataannya, menunggu Sinta tersenyum dulu. Ia benar-benar mengamati perangai para penghuni rumah sejak tinggal di kediaman Hendry Sasongko. Dan Janu mulai mengerti, orang seperti apakah ibu tiri dari istrinya itu.Benar, beberapa detik kemudian, Sinta tersenyum. Mengira bahwa Janu berada di pihaknya dan justru menyalahkan Smith atas kekacauan kemarin. Ia pun sangat bersemangat untuk mendengar ucapan Janu berikutnya yang mungkin akan memojokkan Smith. Pasti akan terdengar sangat merdu di telinganya."Tidak masalah. Walau bagaimanapun Smith adalah putri dari
"Aku ke kamar mandi dulu," ucap Janu setelah pintu kamar tertutup. Membuat Smith mengangguk pelan tanpa membuka mulutnya sedikit pun.Smith masih tidak percaya pada apa yang dilakukan Janu. Ia merasa kaget, senang, kagum, takut, sekaligus merasa bersalah. Perasaan campur aduk yang sulit dikalimatkan.Jika Smith tidak melihat dengan kepalanya sendiri bagaimana cara Janu menyumpal mulut Sinta dan Sisil dengan ceramah yang mengagumkan, juga membuat sang ayah terpaku hingga kehabisan stok kata, ia pasti tidak akan pernah percaya jika Janu bisa menjadi demikian tegasnya.Selama ini yang dilakukan Janu padanya hanyalah protes dengan wajah sedikit masam dan yang paling sering adalah nyengir kuda seolah memiliki gigi paling indah sejagat raya.Klek!Smith buru-buru menyibukkan dirinya dengan berlagak sedang menyiapkan buku kuliah. Padahal ia hanya sedang bingung karena belum siap berhada
Matahari sudah mulai memudar keperkasaannya. Sinarnya sudah tidak begitu ganas, membuat hari terlihat lebih redup.Smith menyingkirkan rambutnya yang berterbangan disapa angin sore yang intens datang. Rambutnya yang bergoyang-goyang di depan wajah, sungguh menganggu penglihatan. Kalau saja ibunya yang memintanya untuk membuatkan rambutnya panjang, sudah pasti Smith memangkasnya menjadi pendek sekali sejak dulu. Bahkan kalau perlu sampai botak. Rambutnya yang ogah dijinakkan dan lebih memilih mengikuti gerakan angin, pada akhirnya membuat Smith yang sudah kesal menjadi semakin kesal. Smith bahkan terus mengoceh dan turut menghujat angin yang sepertinya memang sengaja ingin mengganggu dirinya.Gadis Singa Jantan itu masih tidak terima karena teman-temannya menilai Janu terlalu baik. Padahal Janu bukanlah orang yang polos, melainkan bodoh. Sehingga tidak tahu apa-apa, tidak pernah berprasangka macam-macam, dan selalu mengangguk saja setia