Smith tidak ingin mengakhiri dramanya begitu saja. Setidaknya ia harus melihat Sisil menangis dulu, baru paginya akan terasa ceria dan menyenangkan. Tidak hal yang lebih membahagiakan selain melihat saudara sambungnya itu mewek dan mamanya tirinya uring-uringan.
"Wah, iya Ayah. Tumis kangkung Bibi Ipah memang yang terbaik. Selain enak, kangkung juga sangat baik untuk kesehatan. Kangkung mengandung banyak mineral, vitamin A dan vitamin C, juga serat yang cukup. Selain itu, mengandung sedikit kalori," kata Janu sembari mengisi piringnya dengan tumis kangkung. Ia tidak mengerti mengapa ia malah memberikan kuliah umum tentang kangkung seolah dirinya adalah ahli gizi keluarga Hendry Sasongko. Padahal Janu tidak begitu suka dengan kangkung karena trauma dengan masa kecilnya yang selalu makan kangkung setiap hari. Entah bagaimana saat remaja Janu menjadi enggan makan kangkung. Memakan kangkung bisa membuatnya merasa mual.
Namun Janu tidak memiliki
Smith menderita kecewa berat atas ucapan suaminya. Bisa-bisanya lelaki itu meminta maaf setelah Smith berpidato panjang lebar di depan orang-orang. Sinta, Sisil, dan Hendry bahkan sudah tidak berkutik mendengar ceramah Smith. Kenapa si Janu malah minta maaf? Benar-benar antiklimaks yang payah.Akan tetapi Janu belum selesai bicara. Ia sengaja tidak lekas melanjutkan perkataannya, menunggu Sinta tersenyum dulu. Ia benar-benar mengamati perangai para penghuni rumah sejak tinggal di kediaman Hendry Sasongko. Dan Janu mulai mengerti, orang seperti apakah ibu tiri dari istrinya itu.Benar, beberapa detik kemudian, Sinta tersenyum. Mengira bahwa Janu berada di pihaknya dan justru menyalahkan Smith atas kekacauan kemarin. Ia pun sangat bersemangat untuk mendengar ucapan Janu berikutnya yang mungkin akan memojokkan Smith. Pasti akan terdengar sangat merdu di telinganya."Tidak masalah. Walau bagaimanapun Smith adalah putri dari
"Aku ke kamar mandi dulu," ucap Janu setelah pintu kamar tertutup. Membuat Smith mengangguk pelan tanpa membuka mulutnya sedikit pun.Smith masih tidak percaya pada apa yang dilakukan Janu. Ia merasa kaget, senang, kagum, takut, sekaligus merasa bersalah. Perasaan campur aduk yang sulit dikalimatkan.Jika Smith tidak melihat dengan kepalanya sendiri bagaimana cara Janu menyumpal mulut Sinta dan Sisil dengan ceramah yang mengagumkan, juga membuat sang ayah terpaku hingga kehabisan stok kata, ia pasti tidak akan pernah percaya jika Janu bisa menjadi demikian tegasnya.Selama ini yang dilakukan Janu padanya hanyalah protes dengan wajah sedikit masam dan yang paling sering adalah nyengir kuda seolah memiliki gigi paling indah sejagat raya.Klek!Smith buru-buru menyibukkan dirinya dengan berlagak sedang menyiapkan buku kuliah. Padahal ia hanya sedang bingung karena belum siap berhada
Matahari sudah mulai memudar keperkasaannya. Sinarnya sudah tidak begitu ganas, membuat hari terlihat lebih redup.Smith menyingkirkan rambutnya yang berterbangan disapa angin sore yang intens datang. Rambutnya yang bergoyang-goyang di depan wajah, sungguh menganggu penglihatan. Kalau saja ibunya yang memintanya untuk membuatkan rambutnya panjang, sudah pasti Smith memangkasnya menjadi pendek sekali sejak dulu. Bahkan kalau perlu sampai botak. Rambutnya yang ogah dijinakkan dan lebih memilih mengikuti gerakan angin, pada akhirnya membuat Smith yang sudah kesal menjadi semakin kesal. Smith bahkan terus mengoceh dan turut menghujat angin yang sepertinya memang sengaja ingin mengganggu dirinya.Gadis Singa Jantan itu masih tidak terima karena teman-temannya menilai Janu terlalu baik. Padahal Janu bukanlah orang yang polos, melainkan bodoh. Sehingga tidak tahu apa-apa, tidak pernah berprasangka macam-macam, dan selalu mengangguk saja setia
Smith tersenyum lebar. Ia tahu kalau kemenangan memang menjadi miliknya. Dan ia akan segera mendapatkan hadiahnya, yakni mie instan soto spesial favoritnya."Tidak, Bibi Ipah," sanggah Janu membuat Bibi Ipah meletakkan kembali panci yang hendak ia gunakan untuk merebus air."Itu hanya mitos. Tidak ada hubungan antara tidak dituruti keinginan ibu hamil dengan anak yang ileran. Kalau ada bayi yang sering keluar air liurnya, ya wajar. Namanya juga bayi. Tapi meski air liur, tetep wangi baunya kan? Soalnya masih suci, belum ada dosanya. Besok kalau anakku ileran, ya tidak apa-apa. Akan aku lap sampai bersih hehe.""Maafkan Bibi ya Non, tapi sepertinya kali ini Nona tidak bisa makan mie instan karena suami Nona tidak mengizinkan. Memang benar kok Non, ibu hamil tidak baik makan mie instan. Ditahan dulu ya Non sampai lahiran," kata Bibi Ipah yang kemudian meringis seperti Janu."Apa? Yaaah, masih lama dong
"Kau! Apa yang kau lakukan di sini? Mana Bibi Ipah?" ujar Sinta masih dengan nada tinggi."Bibi Ipah sedang sakit. Beliau tidak kuat bangun karena punggungnya terasa nyeri," jawab Janu menyampaikan hasil simpulannya berdasar pengamatannya beberapa hari ini."Apa? Dasar perempuan tidak berguna! Tidak seharusnya suamiku mempekerjakan nenek-nenek seperti dia. Sia-sia! Hanya buang-buang uang saja!" gerutu Sinta yang berjalan masuk melewati Janu.Perempuan itu sewot setengah mati. Bagaimana bisa seorang pembantu membiarkan majikannya menunggu lama di depan pintu hingga harus berteriak? Sebenarnya siapa yang menjadi majikan di rumah ini? Orang sudah tua bukannya mati saja, malah menyusahkan majikannya dengan penyakit tua yang memuakkan! Sudah tua masih ngeyel kerja jadi pembantu, mengurus rumah semegah itu? Yang benar saja? Tidak tahu diri! Begitulah yang sedang ada di pikiran Sinta sekarang.Sejujurnya Si
Masih dengan tangan yang melekat erat di mulut Smith, Janu berjalan mengajak istrinya untuk sedikit menjauh dari depan pintu kamar Bibi Ipah."Smith aku tidak peduli kalau kau akan marah atau memukuliku setelah ini. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membuatmu diam. Jika kau tidak mau diam, kau tidak akan mendengar suaraku. Akan aku jelaskan padamu."Janu menarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. Sebenarnya ia merasa sangat tidak enak karena harus membungkam mulut Smith seperti itu. Apalagi jika mengingat Smith sedang hamil. Rasa tidak enak Janu langsung menggunung. Tapi apa boleh buat. Mulut istrinya tidak akan pernah tertutup setelah ia mengambil tangannya."Sudah dua atau tiga hari ini aku mengamati Bibi Ipah. Saat Bibi Ipah sendiri, beliau sering memegangi punggungnya dan berjalan dengan sedikit terbungkuk. Wajahnya menunjukkan kalau beliau sedang menahan sakit. Sedangkan ketika ada kau, beliau selalu berusaha menegakkan punggungnya
Saat jam makan malam, semua orang telah berada di rumah. Kini keluarga Hendry Sasongko sedang berkumpul di ruang makan.Tampak jelas jika Sinta menatap tajam ke arah meja yang masih kosong. Hanya ada kantong kresek besar berwarna putih dengan beberapa bungkus nasi di dalamnya."Apa-apaan ini?" kata Sinta sambil menggertakkan giginya. Ia sudah cukup kesal dengan peristiwa sore tadi saat dirinya memencet bel dan menggedor-gedor pintu, tapi Bibi Ipah tidak lekas membukakan pintu untuknya. Dan ia semakin kesal karena malah Janu yang membuka pintu dan sang pembantu sedang bermalas-malasan di kamarnya dengan alibi sakit.Dan sekarang apa? Pembantunya masih berbaring santai di kamarnya? Sinta bisa gila kalau memikirkan tingkah Bibi Ipah hari ini yang sudah seperti majikan saja.Sinta sudah hendak mengadukan Bibi Ipah pada Hendry. Tapi tampaknya itu tidak perlu lagi, sebab Hendry telah melihat sendiri betapa
Hendry menelan ludahnya. Sejujurnya masih ada rasa ngeri yang melingkupi dirinya melihat nasi bungkus yang telah ia buka. Lantas ia menggeser pandangannya pada piring Smith. Hendry sampai terbelalak melihat piring putrinya sudah bersih nyaris tanpa sisa sedikit pun.Meskipun dulu Hendry pernah hidup sederhana, ia tidak pernah makan nasi bungkus. Ia selalu makan masakan Lisa, juga membawa bekal yang disiapkan istrinya. Rasa ngerinya semakin bertambah karena ketika ia menyetir melewati jalanan tertentu, ia pernah melihat sendiri betapa tidak pedulinya penjual makanan terhadap kebersihan makanan yang dijual. Dan kebetulan sekali, Hendry melihat penjual itu membungkus dagangannya untuk pembeli."Bagaimana bisa putriku menikmati makanan murahan seperti ini? Sedangkan pikiranku dipenuhi pertanyaan yang membuatku ragu untuk memakannya," ucap Hendry dalam batin.Ada banyak pertanyaan yang menganggu pikiran Hendry. Ia memikirkan apakah makanan yang ada di hadapannya itu
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j