"Kau! Apa yang kau lakukan di sini? Mana Bibi Ipah?" ujar Sinta masih dengan nada tinggi.
"Bibi Ipah sedang sakit. Beliau tidak kuat bangun karena punggungnya terasa nyeri," jawab Janu menyampaikan hasil simpulannya berdasar pengamatannya beberapa hari ini.
"Apa? Dasar perempuan tidak berguna! Tidak seharusnya suamiku mempekerjakan nenek-nenek seperti dia. Sia-sia! Hanya buang-buang uang saja!" gerutu Sinta yang berjalan masuk melewati Janu.
Perempuan itu sewot setengah mati. Bagaimana bisa seorang pembantu membiarkan majikannya menunggu lama di depan pintu hingga harus berteriak? Sebenarnya siapa yang menjadi majikan di rumah ini? Orang sudah tua bukannya mati saja, malah menyusahkan majikannya dengan penyakit tua yang memuakkan! Sudah tua masih ngeyel kerja jadi pembantu, mengurus rumah semegah itu? Yang benar saja? Tidak tahu diri! Begitulah yang sedang ada di pikiran Sinta sekarang.
Sejujurnya Si
Masih dengan tangan yang melekat erat di mulut Smith, Janu berjalan mengajak istrinya untuk sedikit menjauh dari depan pintu kamar Bibi Ipah."Smith aku tidak peduli kalau kau akan marah atau memukuliku setelah ini. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membuatmu diam. Jika kau tidak mau diam, kau tidak akan mendengar suaraku. Akan aku jelaskan padamu."Janu menarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. Sebenarnya ia merasa sangat tidak enak karena harus membungkam mulut Smith seperti itu. Apalagi jika mengingat Smith sedang hamil. Rasa tidak enak Janu langsung menggunung. Tapi apa boleh buat. Mulut istrinya tidak akan pernah tertutup setelah ia mengambil tangannya."Sudah dua atau tiga hari ini aku mengamati Bibi Ipah. Saat Bibi Ipah sendiri, beliau sering memegangi punggungnya dan berjalan dengan sedikit terbungkuk. Wajahnya menunjukkan kalau beliau sedang menahan sakit. Sedangkan ketika ada kau, beliau selalu berusaha menegakkan punggungnya
Saat jam makan malam, semua orang telah berada di rumah. Kini keluarga Hendry Sasongko sedang berkumpul di ruang makan.Tampak jelas jika Sinta menatap tajam ke arah meja yang masih kosong. Hanya ada kantong kresek besar berwarna putih dengan beberapa bungkus nasi di dalamnya."Apa-apaan ini?" kata Sinta sambil menggertakkan giginya. Ia sudah cukup kesal dengan peristiwa sore tadi saat dirinya memencet bel dan menggedor-gedor pintu, tapi Bibi Ipah tidak lekas membukakan pintu untuknya. Dan ia semakin kesal karena malah Janu yang membuka pintu dan sang pembantu sedang bermalas-malasan di kamarnya dengan alibi sakit.Dan sekarang apa? Pembantunya masih berbaring santai di kamarnya? Sinta bisa gila kalau memikirkan tingkah Bibi Ipah hari ini yang sudah seperti majikan saja.Sinta sudah hendak mengadukan Bibi Ipah pada Hendry. Tapi tampaknya itu tidak perlu lagi, sebab Hendry telah melihat sendiri betapa
Hendry menelan ludahnya. Sejujurnya masih ada rasa ngeri yang melingkupi dirinya melihat nasi bungkus yang telah ia buka. Lantas ia menggeser pandangannya pada piring Smith. Hendry sampai terbelalak melihat piring putrinya sudah bersih nyaris tanpa sisa sedikit pun.Meskipun dulu Hendry pernah hidup sederhana, ia tidak pernah makan nasi bungkus. Ia selalu makan masakan Lisa, juga membawa bekal yang disiapkan istrinya. Rasa ngerinya semakin bertambah karena ketika ia menyetir melewati jalanan tertentu, ia pernah melihat sendiri betapa tidak pedulinya penjual makanan terhadap kebersihan makanan yang dijual. Dan kebetulan sekali, Hendry melihat penjual itu membungkus dagangannya untuk pembeli."Bagaimana bisa putriku menikmati makanan murahan seperti ini? Sedangkan pikiranku dipenuhi pertanyaan yang membuatku ragu untuk memakannya," ucap Hendry dalam batin.Ada banyak pertanyaan yang menganggu pikiran Hendry. Ia memikirkan apakah makanan yang ada di hadapannya itu
Sisil menutup pintu kamarnya dengan perasaan perih yang masih belum berkurang. Entah mengapa meski ia tahu bahwa Smith dan Janu telah menikah dan bebas melakukan apa pun, ia tidak bisa memungkiri rasa sakit yang muncul saat melihat suami istri itu terlihat mesra dan harmonis di meja makan.Padahal sebagai pasangan yang sah, tentu saja mereka telah melakukan hal luar biasa di kamar mereka, termasuk bersenang-senang di atas ranjang. Bercinta!Tetiba saja Sisil menjadi frustasi saat membayangkan Smith dan Janu saling berbagi tubuh. Ada rasa cemburu yang kembali mencuat di hatinya. Padahal Sisil telah berusaha keras untuk menetralkan perasaannya. Ia telah berhasil mengendalikan pikiran dan perasaannya beberapa waktu belakangan.Namun kini hatinya kembali tercabik-cabik. Pikirannya juga kembali teringat pada pertanyaan besar apakah Smith hamil atau tidak, apakah Janu yang menghamilinya atau bukan. Jika ia terus saja membiarkan pertanyaan tersebut berkeliaran di
Suara detak jam menjadi satu-satunya bunyi yang memecah keheningan di kamar Sisil. Meski begitu, kesunyian memang tidak selamanya sejalan dengan kedamaian. Buktinya, kini batin Sisil sedang berkecamuk hebat, menunggu Smith memulai percakapan.Faktanya, Sisil memang tidak cukup berani untuk memecah kebisuan di antara mereka. Meski ia ingin mengatakan maaf, Sisil tidak yakin kesalahannya kemarin bisa dimaafkan Smith. Smith menjadi orang pertama yang ia tampar selama hidupnya. Dan sebagai seorang amatiran, nyatanya Sisil mempu melayangkan tamparan yang sangat keras.Sementara itu, Smith sangat menikmati saat-saat seperti sekarang. Kecemasan yang ia temukan di wajah Sisil merupakan salah satu jenis kebahagiaan yang sangat ingin ia rasakan, selain melihat Sisil menangis. Itu sebabnya Smith tidak bermaksud untuk berbicara lebih dulu. Biar saja kalau mereka saling diam di kamar itu. Smith akan menunggu Sisil untuk berbicara lebih dulu. 
Smith tahu bahwa Sisil hendak berlutut di depan kakinya. Tapi ia sengaja membiarkan gadis itu sampai lututnya menyentuh lantai, baru kemudian berkata, "Tidak, tidak. Itu tidak perlu. Kau tidak usah berlutut di kakiku karena aku tidak akan memintamu untuk melakukan hal receh seperti itu."Smith mundur beberapa langkah, mengambil jarak dari Sisil. Seolah kakinya terlalu berharga untuk bersentuhan dengan tangan Sisil.Sisil langsung bangkit dan kembali bertanya, "Kalau begitu, apa yang kau inginkan Smith? Aku berjanji akan melakukannya. Katakan saja," kata Sisil bersungguh-sungguh.Sisil benar-benar tidak tahu harus melakukan apa lagi. Yang jelas, semua yang dikatakan oleh Smith, kenyataannya memang benar. Ia dan mamanya telah membuat gadis itu menjadi sangat menderita, tidak hanya sebulan dua bulan, tapi sampai bertahun-tahun.Sisil sadar kalau ia menanggung dosa yang sangat besar hingga kini harus menerima karma akibat perbuatannya dulu. Sejujurnya selama
Peluh mulai bermunculan di dahi Sisil. Darahnya bahkan seolah berhenti mengalir karena jantung yang memompanya masih berhenti.Selama beberapa detik Sisil menunggu penjelasan dari omongan Smith tentang kebohongan yang akan dibicarakan sekarang, gadis itu sampai menahan napasnya."Ya, kebohonganku. Apa kau pikir di dunia ini orang yang lihai dalam berbohong hanya mamamu, hanya dirimu? Tidak! Kau salah besar. Aku adalah pembohong ulung. Bahkan aku bisa membuat orang yang jujur menjadi pembohong sepertiku. Kau tahu pasti siapa yang aku maksud," ucap Smith sengaja menuntun Sisil untuk menebak siapa orang jujur yang telah berubah menjadi pembohong sepertinya.Faktanya, memberi sedikit tebak-tebakan pada Sisil dalam keadaan yang mendebarkan itu jauh lebih menyenangkan ketimbang memberi tahu Sisil secara langsung bahwa orang yang ia maksud adalah Janu."Smith, jangan-jangan orang yang kau maksud itu Janu?" tebak Sisil dengan dada yang terasa semakin sesak.
Smith terkekeh seolah ucapan Sisil adalah sebuah lelucon. Tapi gadis itu sungguh-sungguh tertawa.Di telinga Smith, perkataan Sisil barusan tak ubahnya lawakan belaka. Bagaimana mungkin seseorang yang telah menyakiti hati orang lain seperti Sisil, berbicara sebagai orang suci dan baik hati, yang peduli pada hati manusia lainnya.Dulu Sisil dan mamanya telah menyakiti hati Smith hingga tidak mungkin untuk sembuh lagi, dan kini gadis itu mengoceh bahwa ia khawatir Smith akan menyakiti orang lain? Omong kosong!"Menyakiti hati banyak orang? Coba sebutkan satu saja orang yang aku sakiti karena kebohongan ini! Tentunya selain dirimu dan mamamu ya! Karena aku tidak peduli meski kau dan mamamu mati sekali pun," ujar Smith berbisik di telinga Sisil saat memberikan pernyataan perihal ketidakpeduliannya pada gadis itu."Apakah kau tidak memikirkan Ayah? Bagaimana perasaan Ayah jika tahu bahwa ternyata kau hanya membohonginya, bahwa semua perkataanmu ten