Smith tahu bahwa Sisil hendak berlutut di depan kakinya. Tapi ia sengaja membiarkan gadis itu sampai lututnya menyentuh lantai, baru kemudian berkata, "Tidak, tidak. Itu tidak perlu. Kau tidak usah berlutut di kakiku karena aku tidak akan memintamu untuk melakukan hal receh seperti itu."
Smith mundur beberapa langkah, mengambil jarak dari Sisil. Seolah kakinya terlalu berharga untuk bersentuhan dengan tangan Sisil.
Sisil langsung bangkit dan kembali bertanya, "Kalau begitu, apa yang kau inginkan Smith? Aku berjanji akan melakukannya. Katakan saja," kata Sisil bersungguh-sungguh.
Sisil benar-benar tidak tahu harus melakukan apa lagi. Yang jelas, semua yang dikatakan oleh Smith, kenyataannya memang benar. Ia dan mamanya telah membuat gadis itu menjadi sangat menderita, tidak hanya sebulan dua bulan, tapi sampai bertahun-tahun.
Sisil sadar kalau ia menanggung dosa yang sangat besar hingga kini harus menerima karma akibat perbuatannya dulu. Sejujurnya selama
Peluh mulai bermunculan di dahi Sisil. Darahnya bahkan seolah berhenti mengalir karena jantung yang memompanya masih berhenti.Selama beberapa detik Sisil menunggu penjelasan dari omongan Smith tentang kebohongan yang akan dibicarakan sekarang, gadis itu sampai menahan napasnya."Ya, kebohonganku. Apa kau pikir di dunia ini orang yang lihai dalam berbohong hanya mamamu, hanya dirimu? Tidak! Kau salah besar. Aku adalah pembohong ulung. Bahkan aku bisa membuat orang yang jujur menjadi pembohong sepertiku. Kau tahu pasti siapa yang aku maksud," ucap Smith sengaja menuntun Sisil untuk menebak siapa orang jujur yang telah berubah menjadi pembohong sepertinya.Faktanya, memberi sedikit tebak-tebakan pada Sisil dalam keadaan yang mendebarkan itu jauh lebih menyenangkan ketimbang memberi tahu Sisil secara langsung bahwa orang yang ia maksud adalah Janu."Smith, jangan-jangan orang yang kau maksud itu Janu?" tebak Sisil dengan dada yang terasa semakin sesak.
Smith terkekeh seolah ucapan Sisil adalah sebuah lelucon. Tapi gadis itu sungguh-sungguh tertawa.Di telinga Smith, perkataan Sisil barusan tak ubahnya lawakan belaka. Bagaimana mungkin seseorang yang telah menyakiti hati orang lain seperti Sisil, berbicara sebagai orang suci dan baik hati, yang peduli pada hati manusia lainnya.Dulu Sisil dan mamanya telah menyakiti hati Smith hingga tidak mungkin untuk sembuh lagi, dan kini gadis itu mengoceh bahwa ia khawatir Smith akan menyakiti orang lain? Omong kosong!"Menyakiti hati banyak orang? Coba sebutkan satu saja orang yang aku sakiti karena kebohongan ini! Tentunya selain dirimu dan mamamu ya! Karena aku tidak peduli meski kau dan mamamu mati sekali pun," ujar Smith berbisik di telinga Sisil saat memberikan pernyataan perihal ketidakpeduliannya pada gadis itu."Apakah kau tidak memikirkan Ayah? Bagaimana perasaan Ayah jika tahu bahwa ternyata kau hanya membohonginya, bahwa semua perkataanmu ten
Sisil yang hampir ke luar matanya, terus menatap tajam Smith yang mengelus-elus pipinya. Itu adalah bagian pipi yang sama dengan yang ia tampar kemarin. Sisil sengaja memukul pipi yang sama supaya lebih terasa bekasnya.Pikir Sisil, Smith memang perlu dikasih pelajaran. Semakin lama tingkah gadis itu semakin seenaknya sendiri, persis dengan yang dikatakan oleh mamanya dulu.Maka, dengan didorong kemarahan yang luar biasa besar, keberanian Sisil juga turut mencuat. Ia tidak mau ditindas atau dipermainkan lagi. Sudah cukup semuanya! Jika setelah ini Smith masih berbicara macam-macam, Sisil bersumpah akan kembali menampar saudara sambungnya itu. Kalau perlu akan meninju mulutnya juga sampai tidak bisa dipakai bicara lagi.Plakkk!Dalam keheningan di kamar Sisil, tetiba saja sebuah tamparan melayang dan membentur dengan sangat keras hingga memunculkan suara tertentu lebih keras dari bunyi yang dihasilkan oleh tamparan Sisil tadi.Ternyata kali in
Dengan tergesa-gesa Sisil berlari menuruni tangga. Apa pun yang terjadi, ia akan mengungkap kebenaran saat ini juga. Ia tidak akan menunda sampai besok, bahkan tidak untuk satu jam saja.Sisil tidak peduli meski wajahnya pasti terlihat sangat kacau setelah dua kali menerima tamparan keras dari Smith. Pasti ayahnya akan sangat kaget melihat kenampakkannya yang sudah seperti istri yang menjadi korban KDRT."Sisil, apa yang terjadi? Kenapa wajahmu ...." kata Hendry yang langsung berdiri saat melihat putri tirinya tampak menyedihkan dengan kedua pipi yang lebam dan merah, juga sudut bibir yang berdarah."Aku tidak apa-apa Ayah. Aku tadi kurang hati-hati sampai terjatuh dua kali. Ini tidak sakit, Ayah. Tidak usah cemas," elak Sisil yang berusaha untuk memajang senyum supaya orang-orang tidak tahu kalau ia sedang sangat menderita."Apanya yang tidak sakit! Lihatlah wajahmu. Pipimu lebam seperti bekas tamparan. Bibirmu juga berdarah. Sekarang duduklah. Ayah akan
Tidak bisa dipungkiri, pikiran Hendry masih tersita pada Sisil. Ia terus saja memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada putrinya itu hingga mengalami luka di wajahnya. Walau sekeras apa pun ia memikirkan penyebabnya, tetap tidak ada jawaban yang bisa diterima.Padahal, peristiwa Sisil yang pulang dalam keadaan berlinang air mata tempo hari saja, Hendry masih belum tahu siapa yang menyebabkan putrinya demikian, sebab sampai detik ini Sisil tidak juga menceritakan hal itu padanya."Ayah, tenanglah. Sisil pasti baik-baik saja. Dia gadis yang kuat. Aku mohon jangan bebani pikiran Ayah dengan dugaan-dugaan yang bisa membuat Ayah menjadi tidak tenang," tutur Janu membuyarkan renungan mertuanya."Ya, semoga dia baik-baik saja Janu. Sejujurnya meskipun Sisil adalah anak tiri Ayah, ia sudah Ayah anggap seperti anak Ayah sendiri. Ayah sangat menyayanginya. Ayah tidak bisa tenang melihatnya seperti itu. Dia anak yang sangat baik, penyayang, peduli, lembut, dan pengertian
Hendry sampai berdiri mendengar perkataan menantunya. Ia tidak mengira jika permintaan Smith akan sesulit itu. Sebuah permintaan yang tidak mungkin ia penuhi. "Iya Ayah. Smith ingin mengangkat Bibi Ipah menjadi nenek di rumah ini, sehingga mereka bisa terus bersama dan Bibi Ipah tidak harus mengerjakan pekerjaan rumah yang melelahkan," kata Janu setelah mertuanya kembali duduk di sampingnya. "Tidak Janu. Itu sangat tidak mungkin. Bibi Ipah adalah pembantu di rumah ini. Bagaimana bisa dia diangkat menjadi seorang nenek. Kau tahu, Ayah adalah orang yang sangat terhormat. Keluarga Hendry Sasongko selalu menjaga kehormatannya dengan cara apa pun. Ayah bahkan masih belum tahu bagaimana caranya untuk menghindari isu miring tentang Smith yang hamil di luar nikah nanti. Semua orang akan tahu dan menduga-duga ketika Smith melahirkan lebih cepat dari semestinya. Dan sekarang apa, Hendry Sasongko mengangkat pembantunya sendiri menjadi bagian dari keluarga? Tidak! Itu tidak mung
Tanpa diduga oleh Smith, raut wajah Janu berubah seketika setelah ia menyinggung soal Sisil. Wajah dingin yang semestinya ditunjukkan Janu sejak memasuki kamar itu ternyata baru terlihat sekarang. Dan jujur saja, hal itu mendatangkan sedikit takut di batin Smith."Smith, kenapa kau bertanya tentang Sisil? Apa yang sudah terjadi di antara kalian? Apa ketika aku dan Ayah berada di lantai dasar tadi kalian terlibat pertengkaran?" tanya Janu menyelidik dengan tatapan semakin tajam.Entah bagaimana jantung Smith tetiba saja seperti ditumbuk palu. Membuat detak jantungnya meningkat.Smith masih diam tanpa berani menatap tajam mata suaminya. Tidak seperti yang ia lakukan tadi.Satu-satunya hal yang tiba-tiba membuat Janu tampak tidak senang adalah kemungkinan adanya hubungan antara Smith dengan wajah Sisil yang terluka. Jika ternyata dugaan dari Hendry perihal Smith yang menyebabkan memar di wajah Sisil adalah benar, maka Janu akan mengingatkan Smith untuk
"Lepaskan! Lepaskan aku! Kau pergi saja sana ke kamar Sisil! Obati lukanya! Cium kedua pipinya, lalu cium juga bibirnya. Biar dia cepat sembuh! Aku tidak butuh siapa-siapa! Aku tidak akan mati hanya karena kau tidak mendukungku. Toh, sejak dulu aku sudah biasa menghadapi semuanya sendiri. Tanpa siapa pun. Tanpa Ibu, tanpa Ayah, juga tanpa dirimu!" omel Smith tanpa henti. Ia terus mengoceh dengan air mata yang juga meluber sendiri."Jangan berkata seperti itu. Aku mohon, aku minta maaf. Seharusnya aku mendengarkan dulu penjelasan darimu sebelum menanyakan hal yang tidak-tidak. Aku memang salah, masih saja sint*ng di saat yang harusnya waras," tutur Janu menyalahkan diri sendiri.Janu sadar benar. Ia sudah melakukan kesalahan besar karena telah menghakimi Smith dengan pertanyaan-pertanyaan yang memojokkan. Tidak biasanya ia seceroboh itu. Biasanya Janu akan bersikap netral sampai dengan suatu masalah jelas duduk perkaranya.Entahlah! Mungkin Janu menjadi dem
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j