"Aku ke kamar mandi dulu," ucap Janu setelah pintu kamar tertutup. Membuat Smith mengangguk pelan tanpa membuka mulutnya sedikit pun.
Smith masih tidak percaya pada apa yang dilakukan Janu. Ia merasa kaget, senang, kagum, takut, sekaligus merasa bersalah. Perasaan campur aduk yang sulit dikalimatkan.
Jika Smith tidak melihat dengan kepalanya sendiri bagaimana cara Janu menyumpal mulut Sinta dan Sisil dengan ceramah yang mengagumkan, juga membuat sang ayah terpaku hingga kehabisan stok kata, ia pasti tidak akan pernah percaya jika Janu bisa menjadi demikian tegasnya.
Selama ini yang dilakukan Janu padanya hanyalah protes dengan wajah sedikit masam dan yang paling sering adalah nyengir kuda seolah memiliki gigi paling indah sejagat raya.
Klek!
Smith buru-buru menyibukkan dirinya dengan berlagak sedang menyiapkan buku kuliah. Padahal ia hanya sedang bingung karena belum siap berhada
Matahari sudah mulai memudar keperkasaannya. Sinarnya sudah tidak begitu ganas, membuat hari terlihat lebih redup.Smith menyingkirkan rambutnya yang berterbangan disapa angin sore yang intens datang. Rambutnya yang bergoyang-goyang di depan wajah, sungguh menganggu penglihatan. Kalau saja ibunya yang memintanya untuk membuatkan rambutnya panjang, sudah pasti Smith memangkasnya menjadi pendek sekali sejak dulu. Bahkan kalau perlu sampai botak. Rambutnya yang ogah dijinakkan dan lebih memilih mengikuti gerakan angin, pada akhirnya membuat Smith yang sudah kesal menjadi semakin kesal. Smith bahkan terus mengoceh dan turut menghujat angin yang sepertinya memang sengaja ingin mengganggu dirinya.Gadis Singa Jantan itu masih tidak terima karena teman-temannya menilai Janu terlalu baik. Padahal Janu bukanlah orang yang polos, melainkan bodoh. Sehingga tidak tahu apa-apa, tidak pernah berprasangka macam-macam, dan selalu mengangguk saja setia
Smith tersenyum lebar. Ia tahu kalau kemenangan memang menjadi miliknya. Dan ia akan segera mendapatkan hadiahnya, yakni mie instan soto spesial favoritnya."Tidak, Bibi Ipah," sanggah Janu membuat Bibi Ipah meletakkan kembali panci yang hendak ia gunakan untuk merebus air."Itu hanya mitos. Tidak ada hubungan antara tidak dituruti keinginan ibu hamil dengan anak yang ileran. Kalau ada bayi yang sering keluar air liurnya, ya wajar. Namanya juga bayi. Tapi meski air liur, tetep wangi baunya kan? Soalnya masih suci, belum ada dosanya. Besok kalau anakku ileran, ya tidak apa-apa. Akan aku lap sampai bersih hehe.""Maafkan Bibi ya Non, tapi sepertinya kali ini Nona tidak bisa makan mie instan karena suami Nona tidak mengizinkan. Memang benar kok Non, ibu hamil tidak baik makan mie instan. Ditahan dulu ya Non sampai lahiran," kata Bibi Ipah yang kemudian meringis seperti Janu."Apa? Yaaah, masih lama dong
"Kau! Apa yang kau lakukan di sini? Mana Bibi Ipah?" ujar Sinta masih dengan nada tinggi."Bibi Ipah sedang sakit. Beliau tidak kuat bangun karena punggungnya terasa nyeri," jawab Janu menyampaikan hasil simpulannya berdasar pengamatannya beberapa hari ini."Apa? Dasar perempuan tidak berguna! Tidak seharusnya suamiku mempekerjakan nenek-nenek seperti dia. Sia-sia! Hanya buang-buang uang saja!" gerutu Sinta yang berjalan masuk melewati Janu.Perempuan itu sewot setengah mati. Bagaimana bisa seorang pembantu membiarkan majikannya menunggu lama di depan pintu hingga harus berteriak? Sebenarnya siapa yang menjadi majikan di rumah ini? Orang sudah tua bukannya mati saja, malah menyusahkan majikannya dengan penyakit tua yang memuakkan! Sudah tua masih ngeyel kerja jadi pembantu, mengurus rumah semegah itu? Yang benar saja? Tidak tahu diri! Begitulah yang sedang ada di pikiran Sinta sekarang.Sejujurnya Si
Masih dengan tangan yang melekat erat di mulut Smith, Janu berjalan mengajak istrinya untuk sedikit menjauh dari depan pintu kamar Bibi Ipah."Smith aku tidak peduli kalau kau akan marah atau memukuliku setelah ini. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membuatmu diam. Jika kau tidak mau diam, kau tidak akan mendengar suaraku. Akan aku jelaskan padamu."Janu menarik napas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. Sebenarnya ia merasa sangat tidak enak karena harus membungkam mulut Smith seperti itu. Apalagi jika mengingat Smith sedang hamil. Rasa tidak enak Janu langsung menggunung. Tapi apa boleh buat. Mulut istrinya tidak akan pernah tertutup setelah ia mengambil tangannya."Sudah dua atau tiga hari ini aku mengamati Bibi Ipah. Saat Bibi Ipah sendiri, beliau sering memegangi punggungnya dan berjalan dengan sedikit terbungkuk. Wajahnya menunjukkan kalau beliau sedang menahan sakit. Sedangkan ketika ada kau, beliau selalu berusaha menegakkan punggungnya
Saat jam makan malam, semua orang telah berada di rumah. Kini keluarga Hendry Sasongko sedang berkumpul di ruang makan.Tampak jelas jika Sinta menatap tajam ke arah meja yang masih kosong. Hanya ada kantong kresek besar berwarna putih dengan beberapa bungkus nasi di dalamnya."Apa-apaan ini?" kata Sinta sambil menggertakkan giginya. Ia sudah cukup kesal dengan peristiwa sore tadi saat dirinya memencet bel dan menggedor-gedor pintu, tapi Bibi Ipah tidak lekas membukakan pintu untuknya. Dan ia semakin kesal karena malah Janu yang membuka pintu dan sang pembantu sedang bermalas-malasan di kamarnya dengan alibi sakit.Dan sekarang apa? Pembantunya masih berbaring santai di kamarnya? Sinta bisa gila kalau memikirkan tingkah Bibi Ipah hari ini yang sudah seperti majikan saja.Sinta sudah hendak mengadukan Bibi Ipah pada Hendry. Tapi tampaknya itu tidak perlu lagi, sebab Hendry telah melihat sendiri betapa
Hendry menelan ludahnya. Sejujurnya masih ada rasa ngeri yang melingkupi dirinya melihat nasi bungkus yang telah ia buka. Lantas ia menggeser pandangannya pada piring Smith. Hendry sampai terbelalak melihat piring putrinya sudah bersih nyaris tanpa sisa sedikit pun.Meskipun dulu Hendry pernah hidup sederhana, ia tidak pernah makan nasi bungkus. Ia selalu makan masakan Lisa, juga membawa bekal yang disiapkan istrinya. Rasa ngerinya semakin bertambah karena ketika ia menyetir melewati jalanan tertentu, ia pernah melihat sendiri betapa tidak pedulinya penjual makanan terhadap kebersihan makanan yang dijual. Dan kebetulan sekali, Hendry melihat penjual itu membungkus dagangannya untuk pembeli."Bagaimana bisa putriku menikmati makanan murahan seperti ini? Sedangkan pikiranku dipenuhi pertanyaan yang membuatku ragu untuk memakannya," ucap Hendry dalam batin.Ada banyak pertanyaan yang menganggu pikiran Hendry. Ia memikirkan apakah makanan yang ada di hadapannya itu
Sisil menutup pintu kamarnya dengan perasaan perih yang masih belum berkurang. Entah mengapa meski ia tahu bahwa Smith dan Janu telah menikah dan bebas melakukan apa pun, ia tidak bisa memungkiri rasa sakit yang muncul saat melihat suami istri itu terlihat mesra dan harmonis di meja makan.Padahal sebagai pasangan yang sah, tentu saja mereka telah melakukan hal luar biasa di kamar mereka, termasuk bersenang-senang di atas ranjang. Bercinta!Tetiba saja Sisil menjadi frustasi saat membayangkan Smith dan Janu saling berbagi tubuh. Ada rasa cemburu yang kembali mencuat di hatinya. Padahal Sisil telah berusaha keras untuk menetralkan perasaannya. Ia telah berhasil mengendalikan pikiran dan perasaannya beberapa waktu belakangan.Namun kini hatinya kembali tercabik-cabik. Pikirannya juga kembali teringat pada pertanyaan besar apakah Smith hamil atau tidak, apakah Janu yang menghamilinya atau bukan. Jika ia terus saja membiarkan pertanyaan tersebut berkeliaran di
Suara detak jam menjadi satu-satunya bunyi yang memecah keheningan di kamar Sisil. Meski begitu, kesunyian memang tidak selamanya sejalan dengan kedamaian. Buktinya, kini batin Sisil sedang berkecamuk hebat, menunggu Smith memulai percakapan.Faktanya, Sisil memang tidak cukup berani untuk memecah kebisuan di antara mereka. Meski ia ingin mengatakan maaf, Sisil tidak yakin kesalahannya kemarin bisa dimaafkan Smith. Smith menjadi orang pertama yang ia tampar selama hidupnya. Dan sebagai seorang amatiran, nyatanya Sisil mempu melayangkan tamparan yang sangat keras.Sementara itu, Smith sangat menikmati saat-saat seperti sekarang. Kecemasan yang ia temukan di wajah Sisil merupakan salah satu jenis kebahagiaan yang sangat ingin ia rasakan, selain melihat Sisil menangis. Itu sebabnya Smith tidak bermaksud untuk berbicara lebih dulu. Biar saja kalau mereka saling diam di kamar itu. Smith akan menunggu Sisil untuk berbicara lebih dulu.