Sisil telah duduk di kursi ruang makan. Tepat di samping kirinya telah duduk Sinta yang menunggu dengan wajah masam. Dan orang lain yang juga telah siap untuk makan malam adalah Hendry.
Hendry sengaja meminta Sinta dan Sisil untuk menunggu Smith dan Janu turun. Mereka telah membiarkan hidangan di meja nganggur saja selama lebih dari sepuluh menit dari waktu biasa makan malam dilakukan.
"Bangs*t! Gadis itu pasti sengaja! Duh, perutku sudah sakit lagi!" gerutu Sinta membatin.
Hendry memang ingin memulai makan malam secara serempak. Ada hal yang ingin ia sampaikan sebelum makan malam dimulai. Tapi tampaknya Smith masih malas bertemu dengannya.
"Apa aku perlu memanggil mereka?" tanya Sinta menawarkan diri. Ia sudah tidak tahan lagi.
Sinta bersumpah jika sampai suaminya mengiyakan tawarannya, ia tidak akan mengajak Smith dan Janu untuk makan bersama. Tetapi ia akan mendatangi ka
Janu masih belum berani mengatakan apa-apa. Tapi sesekali ia menoleh ke belakang untuk menengok istrinya yang duduk anteng di belakangnya.Jika pasangan suami istri yang baru menikah pada umunya terlihat mesra dan terkesan tidak ingin terpisah, menempel terus termasuk saat berboncengan menaiki motor, tidak demikian dengan Smith dan Janu. Tidak ada yang berubah. Sama seperti saat mereka belum menikah, Smith lebih memilih untuk memegang jok motor yang menyebabkan jarak antara dirinya dengan sang suami semakin kentara, cukup untuk diduduki satu orang lagi di tengah-tengah mereka.Namun, itu sama sekali bukan masalah serius. Janu tidak sedang pusing memikirkan cara agar Smith mau melingkarkan tangan di perutnya, tetapi pikiran Janu menjadi kusut lantaran Smith belum mengatakan satu patah kata pun sejak mereka menaiki motor.Biasanya, jika Smith dalam kondisi normal, tentu kini telah terdengar ocehan yang menyuruh Janu untuk
Heningnya malam sampai membuat suara angin terdengar. Juga dedaunan pada pohon yang bergerak-gerak sendiri.Smith terus memandang mata kucing Janu tanpa berucap. Ia masih menunggu suaminya itu untuk bicara."Smith, tadi pagi Sisil menemuiku. Kami berbincang di kafe kecil dekat kampus. Aku tidak mengerti mengapa dia sangat ingin berbicara padaku hingga harus repot-repot menyusulku dan tidak sabar untuk menungguku pulang.""Apa yang dia katakan?" sergap Smith supaya Janu lekas menceritakan intinya."Sisil, aku tidak tahu kenapa ... ""Berhenti berputar-putar. Aku tahu kau tidak tahu apa-apa. Katakan saja langsung secara terus terang. Kenapa kau senang sekali membuatku kesal? Sekarang katakan apa yang Sisil katakan padamu!" tukas Smith memotong perkataan Janu. Ia sungguh geregetan mendengar omongan Janu yang bertele-tele."Dia menanyakan padaku, apa kau benar-be
"Anak ini harus diberi pelajaran!" ujar Sinta dalam batin mendidih.Sinta terus berjalan tanpa peduli pada ucapan Sisil. Ia bahkan mencengkeram lebih kuat tangan putrinya ketika Sisil berusaha untuk melawan. Ia sudah muak dengan semuanya dan memutuskan untuk bersikap tegas pada Sisil detik ini juga.Sinta pada akhirnya harus mengambil pilihan itu sebab tampaknya Sisil memang tidak pernah menghiraukan semua perkataannya yang meminta putrinya itu untuk tidak kalah dari Smith. Sisil bahkan tetap ngeyel mau minta maaf pada Smith meski Sinta telah melarangnya berulang-ulang."Mama! Kenapa Mama selalu memaksakan kehendak Mama padaku? Tidak bisakah Mama membiarkan aku melakukan apa yang aku inginkan? Lagi pula, apa salahnya jika aku meminta maaf pada Smith? Bahkan Ayah juga mendukungku untuk berbaikan dengan Smith," protes Sisil setelah masuk ke dalam kamarnya dengan tangan yang masih digenggam erat oleh Sinta.
"Smith mengapa kau memukulku sepagi ini?" protes Janu yang berusaha untuk membuka matanya. Kepalanya terasa sedikit pening karena bangun bersama kejut.Namun, yang lebih membuatnya pusing adalah ketika memikirkan mengapa Smith memukulnya. Janu bahkan merasa tidak melakukan kesalahan apa pun. Tapi sebuah pukulan mendarat di jidatnya tanpa alasan. Apakah itu bagian dari efek kehamilan? Yang benar saja! Tidak lucu sama sekali model mengidam seperti itu."Aku tidak memukulmu! Aku memukul nyamuk yang hinggap di dahimu," jawab Smith dengan intonasi dimarah-marahkan. Sebenarnya ia baru sadar jika pukulannya tadi terlalu kuat.Sudah barang tentu Janu tidak percaya begitu saja. Alasan Smith terdengar mengada-ada. Jika memang ada nyamuk yang menggigitnya, tentu rasanya tidak sebanding dengan rasa sakit dari pukulan Smith.Namun Smith memang berkata jujur. Ia memang bermaksud untuk menepuk nyamuk di kening Janu
Sendok yang dipegang Sisil terjatuh di atas piring saat matanya menangkap sosok Janu berjalan beriringan dengan Smith menuju ruang makan. Keduanya tampak sangat mesra dengan tangan Smith yang melingkar di lengan Janu, menggenggamnya dengan erat seolah takut kalau ada perempuan lain yang hendak mencuri suaminya. Bukankah ada pelakor dan anaknya yang sedang menumpang di rumah mewah itu? Tetiba saja Sisil menjadi kenyang. Padahal makanan di piringnya baru di lahap beberapa sendok saja.Di saat yang sama mata Sinta langsung melihat tajam ke arah anak tirinya beserta sang suami yang kembali ke rumah dan merusak suasana hatinya sepagi ini. Jika saja saat ini ada senapan di tangannya, sudah pasti ia akan membidik Smith. Sekalian juga menembak Janu. Untuk apa? Supaya dua manusia brengs*k itu mamp*s! Bagi Sinta sekarang, kebahagiaan adalah saat ia dan keluarganya hidup tanpa Smith ataupun Janu. Sudah itu saja!Sinta menoleh sesaat ke arah Sisil. Tamp
Smith tidak ingin mengakhiri dramanya begitu saja. Setidaknya ia harus melihat Sisil menangis dulu, baru paginya akan terasa ceria dan menyenangkan. Tidak hal yang lebih membahagiakan selain melihat saudara sambungnya itu mewek dan mamanya tirinya uring-uringan."Wah, iya Ayah. Tumis kangkung Bibi Ipah memang yang terbaik. Selain enak, kangkung juga sangat baik untuk kesehatan. Kangkung mengandung banyak mineral, vitamin A dan vitamin C, juga serat yang cukup. Selain itu, mengandung sedikit kalori," kata Janu sembari mengisi piringnya dengan tumis kangkung. Ia tidak mengerti mengapa ia malah memberikan kuliah umum tentang kangkung seolah dirinya adalah ahli gizi keluarga Hendry Sasongko. Padahal Janu tidak begitu suka dengan kangkung karena trauma dengan masa kecilnya yang selalu makan kangkung setiap hari. Entah bagaimana saat remaja Janu menjadi enggan makan kangkung. Memakan kangkung bisa membuatnya merasa mual.Namun Janu tidak memiliki
Smith menderita kecewa berat atas ucapan suaminya. Bisa-bisanya lelaki itu meminta maaf setelah Smith berpidato panjang lebar di depan orang-orang. Sinta, Sisil, dan Hendry bahkan sudah tidak berkutik mendengar ceramah Smith. Kenapa si Janu malah minta maaf? Benar-benar antiklimaks yang payah.Akan tetapi Janu belum selesai bicara. Ia sengaja tidak lekas melanjutkan perkataannya, menunggu Sinta tersenyum dulu. Ia benar-benar mengamati perangai para penghuni rumah sejak tinggal di kediaman Hendry Sasongko. Dan Janu mulai mengerti, orang seperti apakah ibu tiri dari istrinya itu.Benar, beberapa detik kemudian, Sinta tersenyum. Mengira bahwa Janu berada di pihaknya dan justru menyalahkan Smith atas kekacauan kemarin. Ia pun sangat bersemangat untuk mendengar ucapan Janu berikutnya yang mungkin akan memojokkan Smith. Pasti akan terdengar sangat merdu di telinganya."Tidak masalah. Walau bagaimanapun Smith adalah putri dari
"Aku ke kamar mandi dulu," ucap Janu setelah pintu kamar tertutup. Membuat Smith mengangguk pelan tanpa membuka mulutnya sedikit pun.Smith masih tidak percaya pada apa yang dilakukan Janu. Ia merasa kaget, senang, kagum, takut, sekaligus merasa bersalah. Perasaan campur aduk yang sulit dikalimatkan.Jika Smith tidak melihat dengan kepalanya sendiri bagaimana cara Janu menyumpal mulut Sinta dan Sisil dengan ceramah yang mengagumkan, juga membuat sang ayah terpaku hingga kehabisan stok kata, ia pasti tidak akan pernah percaya jika Janu bisa menjadi demikian tegasnya.Selama ini yang dilakukan Janu padanya hanyalah protes dengan wajah sedikit masam dan yang paling sering adalah nyengir kuda seolah memiliki gigi paling indah sejagat raya.Klek!Smith buru-buru menyibukkan dirinya dengan berlagak sedang menyiapkan buku kuliah. Padahal ia hanya sedang bingung karena belum siap berhada
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j