Keyla menangis sesenggukan memeluk koper dan beberapa dus berisi barang-barang miliknya didepan sebuah ruko yang sudah tutup. Ia tidak tahu harus pergi kemana tengah malam begini.
"Aku harus pergi kemana lagi Tuhaaaan. Aku gak mungkin balik lagi ke panti." Keyla menangis semakin dalam kala menyebut nama panti. Tadi begitu mendapat telpon dari nomor asing, Keyla langsung terkejut kala mengetahui kalau uang yang harusnya dibayarkan pada pemilik kos raib diambil oleh teman sesama panti-nya. Ia tidak menyangka teman sesama nasibnya tega melakukan itu. "Aku gak mungkin tinggal diruang piket, apalagi ada dokter residen. Gimana ya, heu heu heu." Kepala Keyla terangkat. Ia merogoh ponsel dari saku tas ranselnya. Ia mencari nomor Bu Fatma, ibu panti yang pasti akan membantunya disaat sulit seperti ini. "Enggak-enggak, aku udah terlalu sering nyusahin ibu. Aku bahkan dapet uang simpanan paling besar karena ibu tambahin." Keyla mematikan ponselnya. Ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam ransel dan bangkit berdiri, "Aku harus cari tempat tidur buat malem ini aja. Pokoknya aku gak boleh nyusahin ibu." Dibawah temaram lampu jalanan, Keyla berjalan. Entah ia akan pergi kemana. Yang pasti ia harus bisa bermalam ditempat aman guna menjaga dirinya dan barang-barangnya. Dengan langkah gontai, perut lapar, dan mata bengkak karena tak henti menangis sejak siang, Keyla hanya berharap teman panti asuhannya mau berbaik hati mengembalikan uang tabungan yang sudah ia tabung sedari kecil demi hidup mandiri sesuai janjinya jika ia sudah memasuki masa ko-asisten. "Ah, capek banget sih." Keyla menyeka air matanya yang kembali mengalir. Ia berjongkok dipinggir jalan tak jauh dari ruko tempatnya bernaung tadi. "Heu heu heu... Dunia gak adil buat aku. Udah gak punya orang tua, dari kecil selalu gagal di adopsi, sekarang uang tabungan aku diambil temen sendiri. Tuhan... Kenapa engkau jahat sama aku." Tak-Tik-Tok Suara langkah sepatu mendekati Keyla yang sedang menangis menunduk. "Heu heu heu, jangan ganggu aku, jangan sakitin aku. Aku anak yatim piatu dan habis kena tipu." Tidak ada pergerakkan ataupun suara apapun selain suara tangisan Keyla yang beradu dengan suara ingusnya sendiri. Keyla bingung, kenapa manusia yang menghampirinya tidak bicara apapun. Karena penasaran ia mengangkat wajahnya dan menatap seorang yang seperti pernah dilihatnya berdiri menatapnya iba. "Bapak... siapa?" tanyanya lirih. Tenaganya sudah habis untuk menangisi nasib tragisnya hari ini. Lelaki paruh baya itu tersenyum. Keyla berdiri dengan sisa tenaga yang ada. Ia mundur dan mengamankan koper dan barang-barangnya. "Pak, tolong jangan ambil barang-barang saya. Saya orang gak punya. Ini cuma... cuma baju-baju jelek dan buku-buku aja." "Hahaha." Keyla mengernyit mendengar tawa lelaki itu. Ia pun sedikit menyesali ucapannya barusan. Orang dihadapannya ini begitu rapi dan wangi, mana mungkin membutuhkan baju atau barang-barangnya yang jelek. Lelaki paruh baya itu mengulurkan tangannya, "Perkenalkan saya Prasetyo. Nama kamu siapa?" Keyla menatap wajah lelaki kisaran usia enam puluh tahunan itu jeli. Tak ada raut jahat atau berniat tidak baik padanya. Ia malah merasa wajahnya begitu hangat dan penuh pengertian. Tanpa sadar tangannya mengulur, menjabat tangan pak Prasetyo, "Saya Keyla, pak." "Oh, Keyla." jabatan tangan mereka terlepas, "Kamu lagi ngapain di jalan sepi begini sendirian?" Keyla menunduk, "Saya ditipu teman panti asuhan yang saya tinggali, pak." Pak Pras tampak tertarik dengan ucapan Keyla, "Panti asuhan?" Keyla mengangguk, "Saya selama ini tinggal di panti asuhan. Saya seharusnya keluar panti empat tahun lalu, ketika mulai kuliah. Tapi ibu panti bilang, saya lebih baik disana dulu sampai tabungan saya cukup untuk hidup mandiri." "Lalu?" "Begitu tabungan saya cukup, saya minta bantuan teman saya yang sudah lebih dulu keluar dari panti untuk mencarikan kos-kosan murah. Saya transfer uang sewa untuk enam bulan kedepan biar tenang. Saya pikir teman saya jujur. Ternyata dia malah bawa pergi semua uang itu ditambah sisa tabungan yang saya titipkan." Keyla kembali menangis. Ia masih tidak menyangka Tuhan begitu jahat karena selalu memberikannya kesulitan. Pak Pras membuang nafas pelan. Tangannya mengelus bahu Keyla pelan, “Saya turut prihatin dengan apa yang sudah menimpa kamu. Bagaimana kalau malam ini kamu tidur dirumah saya?” Keyla melotot. Ia mundur dua langkah dan menatap pak Pras dengan waspada. Jangan sampai ia dipekerjakan menjadi perempuan malam. Bisa saja pak Pras ini adalah boss perdagangan jasa perempuan malam ‘kan? “Saya bukan orang jahat, Keyla. Saya hanya seorang lelaki tua yang berniat membantu kamu. Saya sama sekali tidak punya niat jahat sama kamu.” Keyla tak menjawab. Ia sibuk berpikir untuk menyelamatkan diri. Dengan ancang-ancang penuh perhitungan, ia mencengkram erat gagang koper dan tali dus berisi buku-buku kuliahnya. “Lariiiii!” teriaknya untuk menambah semangat ditengah badannya yang semula terasa lemah. “Keyla, tunggu! Saya mau adopsi kamu.” teriak pak Pras. Langkah Keyla terhenti setelah berlari cukup jauh. Ia membalikkan badan dan menatap pak Pras yang berusaha mengejar dirinya. “Saya tidak berniat jahat, Keyla, saya hanya mau adopsi kamu. Saya hanya punya satu anak laki-laki, dan saya butuh anak lain untuk menemani saya.” Keyla masih tak menjawab. Dari nada bicaranya, raut wajahnya, Keyla sekarang yakin sekali bahwa pak Pras adalah orang baik. Ia kini menatap pak Pras yang sudah berdiri dihadapannya dengan tatapan prihatin. “Bapak... serius mau adopsi saya?” “Iya. Bagaimana? Kamu mau?” “Saya....”Kayla melongo saat mobil berhenti didepan fasad rumah bergaya American Classic yang berdiri megah dihadapannya. Mulutnya melongo karena tidak menyangka rumah pak Pras bisa sebesar ini.“Ayo masuk, Key.” ajak pak Pras.“I-iya, pak.”Pak Pras mempersilakan Keyla berjalan lebih dulu. Pintu dibuka oleh asisten rumah tangga yang sudah tahu jadwal kepulangannya, “Nanti barang-barang kamu langsung diantar supir ke kamar. Lebih baik sekarang kamu makan dulu.”Keyla mengangguk. Kebetulan perutnya lapar sekali. Ia begitu senang karena pak Pras bisa mengerti situasi dan kondisi perutnya.“Kamu makan aja duluan. Pasti belum makan dari tadi ‘kan?”“Hehe, iya, pak.”“Saya mau panggilkan anak saya,” Pak Pras menatap asisten rumah tangga yang mengikutinya dari ruang tamu, “Mbok, tolong antar Keyla ke ruang makan.”“Baik, pak.”Pak Pras berjalan cepat dan penuh semangat menuju sebuah ruangan yang terletak didekat ruang keluarga. Keyla sempat melihatnya dan sangat penasaran dengan sosok anak t
Keyla tertawa saat sarapan bersama pak Pras. Mereka layaknya ayah dan anak yang baru bertemu kembali. Tawa keduanya terdengar sampai ke tangga, dimana Arial baru menuruninya.“Pa, aku langsung berangkat.” Arial berpamitan tanpa menghampiri pak Pras.“Loh, kamu gak sarapan dulu?” pak Pras menghentikan sarapannya saat melihat Arial memalingkan wajah saat sampai diujung tangga.“Nanti aja dirumah sakit.”“Ada pasien darurat?”Arial menggeleng.“Kenapa buru-buru?”Tak ada jawaban. Keyla yang merasa kehadirannya membuat Arial yang mungkin selalu sarapan menjadi enggan, berdiri. Pak Pras pun menatap Keyla yang berubah diam.“Key, kamu udah makannya?”“Udah, pak. Eh, maksudnya papa.”Pak Pras menatap Arial, “Oh ya sudah, kalian berangkat bareng aja.”Arial mendelik, “Bareng aja sama papa, aku buru-buru.”Pak Pras berjalan sambil mendorong Keyla pelan, “Rial, jangan gitu dong. Keyla ini sekarang adik kamu. Kalian juga satu rumah sakit, dan Key kebetulan sedang ko-as di stase obgy
Pagi ini tugas Keyla adalah menemani Arial praktek konsultasi rawat jalan. Arial dengan jelas bisa melihat mata Keyla sembab dan merah. Ia pasti sudah menangis hebat setelah turun dari mobilnya. “Sus, masih ada pasien?” Perawat menggeleng dan tersenyum, “Akhirnya kita selesai lebih awal dari biasanya, dok.” “Iya.” “Kalau begitu saya permisi, dok.” “Silakan.” Suster mengangguk sopan pada Arial dan Keyla, “Mari, dok.” “Mari.” jawab Arial dan Keyla bersamaan. Setelah suster keluar dari ruang praktek, Keyla juga ikut menyusul. Tapi tangan Arial bergerak cepat sehingga lengannya bisa menahan Keyla. “Tunggu dulu.” Keyla membalikkan badan, “Dokter mau ngatain saya apa lagi? Saya bener-bener janji akan keluar dari rumah keluarga dokter.” “Bukan itu. Saya cuma mau tahu apa yang kamu bilang sama papa sehingga kamu bisa dapet apartemen secara cuma-cuma?” “Loh, kenapa gak dokter tanya aja sama pak Pras sendiri? Kan beliau yang berniat kasih itu untuk saya.” Arial membuang
“Papa bisa bukttiin dengan cara menikahkan kalian,” Pak Pras menatap Arial dan Keyla silih berganti. “Gimana?” “Pa!” bentak Arial. “Pak...” Keyla berkata lirih. “Cuma cara itu yang bisa papa buktiin kalau Keyla bukan perempuan simpanan apalagi anak haram papa. Iya ‘kan?” “Tapi ‘kan—” protes Arial. “Papa tidak mau dengar protes kamu.” Arial menutup matanya, “Pa, aku janji gak akan nuduh Keyla macem-macem lagi. Papa mau adopsi dia pun aku gak masalah.” Pak Pras menggeleng, “Keputusan papa sudah bulat. Kalian harus menikah.” “Pa, tapi menikah itu gak boleh cuma untuk membuktikan sesuatu. Pernikahan terlalu sakral untuk dipermainkan.” Arial berusaha mempertahankan protesnya. Pak Pras tertawa, “Kamu ini lucu ya. Tadi kamu bersikeras minta papa buktikan. Setelah papa buktikan kamu malah menolak.” Arial menatap Keyla kesal, “Key, ngomong dong, jangan diem terus!” Keyla melirik Arial lalu menatap pak Pras, “Ucapan dokter Arial bener, pak. Pernikahan terlalu sakral hanya u
Selesai bersalaman dengan kolega papa, Arial mengajak Keyla menepi ke pinggir ballroom. Arial menuntun Keyla cepat sebelum ada yang melihat mereka.“Kenapa sih, dok?” Keyla berusaha melepaskan lengannya yang terus diseret Arial.Arial melihat kanan-kiri. Setelah yakin tidak ada yang mengikuti mereka, ia melepaskan lengan Keyla, “Jangan panggil dokter. Kan saya udah bilang.”Keyla menghembuskan nafas pelan, “Iya, maaf,” Ia menatap Arial datar, “Kakak kenapa ajak aku kesini? Kalo papa nyariin gimana?”“Kalo kita gak sembunyi papa bisa ngenalin kita sama seluruh staf rumah sakit. Kamu mau kita lagi dirumah sakit tiba-tiba mereka bilang kita ini suami istri?”Keyla menggeleng kencang, “Lagian ‘kan kita jarang ketemu staf rumah sakit, kak, pasti aman kok.”Arial mendecek, “Anak ko-as kayak kamu tahu apa? Belum juga sebulan dirumah sakit.”Keyla menunduk. Ada benarnya juga ucapan Arial. Tak lama ia menatap papa yang sed
Keyla menatap dirinya dipantulan cermin toilet hotel. Setelah membersihkan diri dan melepas gaun pernikahan yang tahu-tahu ada sesuai wedding gown impiannya, ia merasa enggan bertemu Arial.Keyla membuang nafas pelan, “Kalo dipikir-pikir kenapa aku menyetujui pernikahan kontrak ini ya?”Bayangan wajah papa memenuhi pikiran Keyla. Ia hanya ingin membalas budi kebaikan papa, tidak lebih. Meskipun kebaikan papa hanya mengajaknya bermalam dirumah, untuknya itu sangat berarti. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika kemarin malam ia tidak bertemu pak Prasetyo. Mungkin ia sudah diganggu preman lokal atau kedinginan semalaman.Tiba-tiba wajah pengertian papa terganti dengan wajah Arial yang tampan namun sangat menyebalkan. Kebaikannya yang sering hilang timbul berganti dengan sifatnya yang bagai lelaki bermulut Ular, membuat Keyla sering kebingungan menghadapinya.“Kamu mau sampe subuh diem di sini?”Keyla terperanjat kaget. Ia membalikkan badan dan menatap Arial yang berdiri tak jauh
Keyla membuka matanya perlahan. Ia mengedarkan matanya ke sekeliling kamar hotel. Tubuhnya yang masih memakai bathrobe terasa hangat karena ternyata tubuhnya didekap Arial. Ia sempat melotot tidak percaya. Apakah Arial memeluknya semalaman?Perlahan, tubuh Keyla bergerak. Ia tidak mau membangunkan Arial. Toh ini masih jam enam. Ia tidak tahu jadwal Arial bangun tidur sehingga takut sekali akan mengganggunya.“Hmmmm.” gumam Arial. Matanya masih tertutup sempurna.Keyla menutup mata. Ia ingin bergerak karena kebelet pipis, tapi takut membangunkan Arial. “Jangan pergi.” lirih Arial.Ucapan Arial sontak membuat Keyla diam. Arial tidak ingin ia pergi? Kenapa? Pipinya terasa panas dan merah.“Jangan pergi, Sarah. Aku sayang sama kamu.” lirih Arial lagi.Sarah? Mata Keyla melotot. Ia bangun sekaligus tak peduli dengan Arial yang akan terganggu.“Keyla?” Arial membuka matanya. Ia menguceknya pelan dan bangun untuk duduk.Keyla tak menggubris panggilan itu. Ia terus berjalan hingga
Arial merapikan penampilannya. Ia juga terlihat menjaga sikap dan wibawanya. Keyla mengerti. Mungkin perempuan dihadapannya ini adalah perempuan yang dimaksud disukai suami kontraknya.“Kamu lagi ngapain disini, Sar?”Sarah mengeluarkan kedua lengannya dari saku jas dokternya, “Pasien kamu punya masalah HNP. Jadi aku kesini buat menemani persalinannya.”“HNP? Saraf kejepit?”Sarah mengangguk.“Ah, iya, aku baru inget, pasien yang namanya bu Nuke ‘kan?”“Yup!”Arial mengangguk. Ketika itu ia baru menyadari keberadaan Keyla. Dengan kode ia meminta Keyla pergi.Keyla yang mendapat perintah untuk pergi merasa enggan mengikuti pinta Arial. Enak saja. Kenapa ia harus pergi? Apa karena ada perempuan yang bernama Sarah ini disini?Sarah melirik Keyla, “Kamu... dokter ko-as ya?”Keyla mengangguk tersenyum, “Iya, dok. Saya dokter koas yang sedang bertugas di stase obgyn.”Sarah mengulurkan tangan kananya, “Kenalin, saya Sarah.”Keyla menjabat tangan Sarah, “Saya Keyla, dok.”“Dia