Share

Bab 3 - Respon Tak Terduga

Kayla melongo saat mobil berhenti didepan fasad rumah bergaya American Classic yang berdiri megah dihadapannya. Mulutnya melongo karena tidak menyangka rumah pak Pras bisa sebesar ini.

“Ayo masuk, Key.” ajak pak Pras.

“I-iya, pak.”

Pak Pras mempersilakan Keyla berjalan lebih dulu. Pintu dibuka oleh asisten rumah tangga yang sudah tahu jadwal kepulangannya, “Nanti barang-barang kamu langsung diantar supir ke kamar. Lebih baik sekarang kamu makan dulu.”

Keyla mengangguk. Kebetulan perutnya lapar sekali. Ia begitu senang karena pak Pras bisa mengerti situasi dan kondisi perutnya.

“Kamu makan aja duluan. Pasti belum makan dari tadi ‘kan?”

“Hehe, iya, pak.”

“Saya mau panggilkan anak saya,” Pak Pras menatap asisten rumah tangga yang mengikutinya dari ruang tamu, “Mbok, tolong antar Keyla ke ruang makan.”

“Baik, pak.”

Pak Pras berjalan cepat dan penuh semangat menuju sebuah ruangan yang terletak didekat ruang keluarga. Keyla sempat melihatnya dan sangat penasaran dengan sosok anak tunggalnya. Apakah nanti anaknya akan menyetujui dan mengizinkan ia menjadi bagian dari keluarga ini atau tidak?

“Non, mari kita ke ruang makan.”

“Oh, iya, bu.”

“Panggil mbok aja. Mari, non.”

Keyla diantarkan pada sebuah meja makan panjang yang diatasnya penuh dengan banyak sajian. Dengan noraknya ia melongokan mulutnya sangking terpukaunya.

“Silakan, non.”

“Mbok kita gaj tunggu istrinya pak Pras dulu?”

“Anu, non, istrinya bapak sudah tidak ada.”

Keyla terkejut. Tadi pak Pras tidak memberitahukan soal itu. Beliau hanya menceritakan anaknya yang ternyata seorang dokter dirumah sakit ternama. Setelah mengatakan bahwa ia adalah dokter muda alias dokter ko-asisten, pak Pras tersenyum amat senang.

Terdengar suara langkah kaki khas dari sepatu pak Pras, “Key, ini anak saya.”

Keyla yang masih berdiri disamping meja makan membalikkan badannya menatap lelaki yang berada disamping pak Pras. Belum selesai rasa terkejutnya berada dirumah sebesar ini dan mendapati bahwa orang baik yang mau menampungnya malam-malam begini ternyata sudah tidak memiliki istri, kini ia kembali dikejutkan dengan fakta bahwa anak tunggal pak Pras adalah,

“Dokter Arial?”

Pak Pras menatap ekspresi terkejut Keyla dan anak tunggalnya, Arial, “Kalian saling kenal?”

“Dokter Arial konsulen saya di stase Kandungan, pak.” Keyla menjelaskan.

Pak Pras tersenyum senang, “Wah, bagus dong.”

Arial menatap pak Pras datar, “Bagus apanya, pa?”

“Ya bagus, kedua anak papa dokter. Kamu bisa bantu Keyla selama di stase Kandungan.”

Arial tersenyum sinis.

“Ya udah kalian makan dulu, papa mau mandi. Key, makan yang banyak ya.”

“Iya, pak.”

“Panggil papa, kamu ‘kan adiknya Arial sekarang.”

Keyla tak menjawab, ia malah menatap Arial yang terlihat gusar dengan ucapan papanya.

“Papa tinggal. Kalian yang akur ya. Mbok, tolong di awasi.”

“Baik, pak.”

Pak Pras meninggalkan ruang makan. Beliau berjalan menaiki tangga sambil bersenandung senang.

Arial yang sudah memastikan papanya masuk ke kamar menarik kursi dengan kencang dan duduk disana dengan tidak nyaman.

“Silakan, non.” Mbok menarik kursi disamping Arial untuk Keyla.

“Makasih, mbok.”

Arial melirik mbok, ia memberikan kode untuk meninggalkan mereka berdua.

Arial dan Keyla kini hanya berdua. Tidak ada yang memulai makan karena Keyla tidak enak kalau harus makan duluan. Ia berharap Arial memulai duluan sebagai tuan rumah.

“Makan. Bukannya di panti asuhan nasinya berebut?”

Keyla melirik Arial. Ucapannya begitu menyakiti hatinya. Matanya terasa merah dan panas.

Tangan Arial menyiuk nasi dan beberapa macam lauk. Ia juga menuangkan air putih. Bukannya mulai makan, piring dan gelas itu malah diberikannya pada Keyla yang diam-diam sedang menangis.

“Makan. Besok kamu gak bisa kabur begitu aja dari rumah sakit kayak tadi.”

Keyla masih bergeming. Perasaan laparnya hilang setelah mendengar ucapan Arial beberapa detik lalu mengenai berebut nasi di panti asuhan.

“Kamu gak bisa diem aja begini. Habis makan dan bersih-bersih segera catat rekam medis pasien hari ini sebelum besok kamu kasih ke dokter residen.” Arial berdiri. Ia memang tidak berniat makan malam.

“Dok.”

Arial melirik Keyla. Ia bisa melihat punggungnya bergerak pelan sedang menangis, “Kenapa?”

“Maaf.”

“Minta maafnya besok aja dirumah sakit karena kamu tadi pergi tanpa mengurus perizinan dulu.”

Keyla berdiri, “Saya minta maaf karena ada dirumah dokter dan berniat menerima adopsi dari pak Pras.”

“Yang penting malem ini kamu gak tidur luntang-lantung dijalan. Saya tinggal. Nanti kamu bisa cek e-mail buat salin ulang rekam medis. Kali ini saya baik hati untuk tolong kamu. Besok-besok jangan harap.”

“Baik, dok. Terima kasih banyak.”

“Tadi maaf, sekarang terima kasih. Nanti minta tolong?”

Keyla menggeleng.

“Ya udah, kamu makan yang banyak biar bisa tidur nyenyak.”

Arial menghilang dengan cepat dari ruang makan. Keyla yang masih berdiri menatap punggung itu berjalan menaiki tangga. Ia yang sedang tersenyum karena tidak menyangka ternyata Arial bisa sebaik itu mendadak melotot. Sebuah aturan tidak tertulis untuk tidak menerima kebaikan dokter konsulen saat sedang ko-as menggema memenuhi pikirannya.

“Tuhaaan, jangan sampe aku jadi tumbal ko-as.”

Ponsel Keyla bergetar diatas meja makan. Buru-buru ia mengambilnya. Ada pesan singkat dari Arial.

“Nama lengkap kamu siapa?” Keyla menggeleng, “Enggak-enggak. Gak boleh. Tahan, Key, jangan sampe dokter Arial bantu kamu.”

Drrrrttt~

“Buruan katanya.” Keyla menutup wajahnya bingung. Ia tentu ingat betul dengan aturan tak tertulis untuk tidak menerima bantuan dari konsulen atau masa ko-as selama stasenya akan dipenuhi kesialan.

Drrrrrrt~

Keyla kembali menatap layar ponselnya. Dengan pelan ia kembali membaca isi pesan dari Arial.

“Jangan percaya aturan tumbal ko-as. Buruan, saya sibuk!”

Keyla mengigit jarinya, “Kalo sekali aja gak akan sial, ‘kan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status