Kayla melongo saat mobil berhenti didepan fasad rumah bergaya American Classic yang berdiri megah dihadapannya. Mulutnya melongo karena tidak menyangka rumah pak Pras bisa sebesar ini.
“Ayo masuk, Key.” ajak pak Pras. “I-iya, pak.” Pak Pras mempersilakan Keyla berjalan lebih dulu. Pintu dibuka oleh asisten rumah tangga yang sudah tahu jadwal kepulangannya, “Nanti barang-barang kamu langsung diantar supir ke kamar. Lebih baik sekarang kamu makan dulu.” Keyla mengangguk. Kebetulan perutnya lapar sekali. Ia begitu senang karena pak Pras bisa mengerti situasi dan kondisi perutnya. “Kamu makan aja duluan. Pasti belum makan dari tadi ‘kan?” “Hehe, iya, pak.” “Saya mau panggilkan anak saya,” Pak Pras menatap asisten rumah tangga yang mengikutinya dari ruang tamu, “Mbok, tolong antar Keyla ke ruang makan.” “Baik, pak.” Pak Pras berjalan cepat dan penuh semangat menuju sebuah ruangan yang terletak didekat ruang keluarga. Keyla sempat melihatnya dan sangat penasaran dengan sosok anak tunggalnya. Apakah nanti anaknya akan menyetujui dan mengizinkan ia menjadi bagian dari keluarga ini atau tidak? “Non, mari kita ke ruang makan.” “Oh, iya, bu.” “Panggil mbok aja. Mari, non.” Keyla diantarkan pada sebuah meja makan panjang yang diatasnya penuh dengan banyak sajian. Dengan noraknya ia melongokan mulutnya sangking terpukaunya. “Silakan, non.” “Mbok kita gaj tunggu istrinya pak Pras dulu?” “Anu, non, istrinya bapak sudah tidak ada.” Keyla terkejut. Tadi pak Pras tidak memberitahukan soal itu. Beliau hanya menceritakan anaknya yang ternyata seorang dokter dirumah sakit ternama. Setelah mengatakan bahwa ia adalah dokter muda alias dokter ko-asisten, pak Pras tersenyum amat senang. Terdengar suara langkah kaki khas dari sepatu pak Pras, “Key, ini anak saya.” Keyla yang masih berdiri disamping meja makan membalikkan badannya menatap lelaki yang berada disamping pak Pras. Belum selesai rasa terkejutnya berada dirumah sebesar ini dan mendapati bahwa orang baik yang mau menampungnya malam-malam begini ternyata sudah tidak memiliki istri, kini ia kembali dikejutkan dengan fakta bahwa anak tunggal pak Pras adalah, “Dokter Arial?” Pak Pras menatap ekspresi terkejut Keyla dan anak tunggalnya, Arial, “Kalian saling kenal?” “Dokter Arial konsulen saya di stase Kandungan, pak.” Keyla menjelaskan. Pak Pras tersenyum senang, “Wah, bagus dong.” Arial menatap pak Pras datar, “Bagus apanya, pa?” “Ya bagus, kedua anak papa dokter. Kamu bisa bantu Keyla selama di stase Kandungan.” Arial tersenyum sinis. “Ya udah kalian makan dulu, papa mau mandi. Key, makan yang banyak ya.” “Iya, pak.” “Panggil papa, kamu ‘kan adiknya Arial sekarang.” Keyla tak menjawab, ia malah menatap Arial yang terlihat gusar dengan ucapan papanya. “Papa tinggal. Kalian yang akur ya. Mbok, tolong di awasi.” “Baik, pak.” Pak Pras meninggalkan ruang makan. Beliau berjalan menaiki tangga sambil bersenandung senang. Arial yang sudah memastikan papanya masuk ke kamar menarik kursi dengan kencang dan duduk disana dengan tidak nyaman. “Silakan, non.” Mbok menarik kursi disamping Arial untuk Keyla. “Makasih, mbok.” Arial melirik mbok, ia memberikan kode untuk meninggalkan mereka berdua. Arial dan Keyla kini hanya berdua. Tidak ada yang memulai makan karena Keyla tidak enak kalau harus makan duluan. Ia berharap Arial memulai duluan sebagai tuan rumah. “Makan. Bukannya di panti asuhan nasinya berebut?” Keyla melirik Arial. Ucapannya begitu menyakiti hatinya. Matanya terasa merah dan panas. Tangan Arial menyiuk nasi dan beberapa macam lauk. Ia juga menuangkan air putih. Bukannya mulai makan, piring dan gelas itu malah diberikannya pada Keyla yang diam-diam sedang menangis. “Makan. Besok kamu gak bisa kabur begitu aja dari rumah sakit kayak tadi.” Keyla masih bergeming. Perasaan laparnya hilang setelah mendengar ucapan Arial beberapa detik lalu mengenai berebut nasi di panti asuhan. “Kamu gak bisa diem aja begini. Habis makan dan bersih-bersih segera catat rekam medis pasien hari ini sebelum besok kamu kasih ke dokter residen.” Arial berdiri. Ia memang tidak berniat makan malam. “Dok.” Arial melirik Keyla. Ia bisa melihat punggungnya bergerak pelan sedang menangis, “Kenapa?” “Maaf.” “Minta maafnya besok aja dirumah sakit karena kamu tadi pergi tanpa mengurus perizinan dulu.” Keyla berdiri, “Saya minta maaf karena ada dirumah dokter dan berniat menerima adopsi dari pak Pras.” “Yang penting malem ini kamu gak tidur luntang-lantung dijalan. Saya tinggal. Nanti kamu bisa cek e-mail buat salin ulang rekam medis. Kali ini saya baik hati untuk tolong kamu. Besok-besok jangan harap.” “Baik, dok. Terima kasih banyak.” “Tadi maaf, sekarang terima kasih. Nanti minta tolong?” Keyla menggeleng. “Ya udah, kamu makan yang banyak biar bisa tidur nyenyak.” Arial menghilang dengan cepat dari ruang makan. Keyla yang masih berdiri menatap punggung itu berjalan menaiki tangga. Ia yang sedang tersenyum karena tidak menyangka ternyata Arial bisa sebaik itu mendadak melotot. Sebuah aturan tidak tertulis untuk tidak menerima kebaikan dokter konsulen saat sedang ko-as menggema memenuhi pikirannya. “Tuhaaan, jangan sampe aku jadi tumbal ko-as.” Ponsel Keyla bergetar diatas meja makan. Buru-buru ia mengambilnya. Ada pesan singkat dari Arial. “Nama lengkap kamu siapa?” Keyla menggeleng, “Enggak-enggak. Gak boleh. Tahan, Key, jangan sampe dokter Arial bantu kamu.” Drrrrttt~ “Buruan katanya.” Keyla menutup wajahnya bingung. Ia tentu ingat betul dengan aturan tak tertulis untuk tidak menerima bantuan dari konsulen atau masa ko-as selama stasenya akan dipenuhi kesialan. Drrrrrrt~ Keyla kembali menatap layar ponselnya. Dengan pelan ia kembali membaca isi pesan dari Arial. “Jangan percaya aturan tumbal ko-as. Buruan, saya sibuk!” Keyla mengigit jarinya, “Kalo sekali aja gak akan sial, ‘kan?”Keyla tertawa saat sarapan bersama pak Pras. Mereka layaknya ayah dan anak yang baru bertemu kembali. Tawa keduanya terdengar sampai ke tangga, dimana Arial baru menuruninya.“Pa, aku langsung berangkat.” Arial berpamitan tanpa menghampiri pak Pras.“Loh, kamu gak sarapan dulu?” pak Pras menghentikan sarapannya saat melihat Arial memalingkan wajah saat sampai diujung tangga.“Nanti aja dirumah sakit.”“Ada pasien darurat?”Arial menggeleng.“Kenapa buru-buru?”Tak ada jawaban. Keyla yang merasa kehadirannya membuat Arial yang mungkin selalu sarapan menjadi enggan, berdiri. Pak Pras pun menatap Keyla yang berubah diam.“Key, kamu udah makannya?”“Udah, pak. Eh, maksudnya papa.”Pak Pras menatap Arial, “Oh ya sudah, kalian berangkat bareng aja.”Arial mendelik, “Bareng aja sama papa, aku buru-buru.”Pak Pras berjalan sambil mendorong Keyla pelan, “Rial, jangan gitu dong. Keyla ini sekarang adik kamu. Kalian juga satu rumah sakit, dan Key kebetulan sedang ko-as di stase obgy
Pagi ini tugas Keyla adalah menemani Arial praktek konsultasi rawat jalan. Arial dengan jelas bisa melihat mata Keyla sembab dan merah. Ia pasti sudah menangis hebat setelah turun dari mobilnya. “Sus, masih ada pasien?” Perawat menggeleng dan tersenyum, “Akhirnya kita selesai lebih awal dari biasanya, dok.” “Iya.” “Kalau begitu saya permisi, dok.” “Silakan.” Suster mengangguk sopan pada Arial dan Keyla, “Mari, dok.” “Mari.” jawab Arial dan Keyla bersamaan. Setelah suster keluar dari ruang praktek, Keyla juga ikut menyusul. Tapi tangan Arial bergerak cepat sehingga lengannya bisa menahan Keyla. “Tunggu dulu.” Keyla membalikkan badan, “Dokter mau ngatain saya apa lagi? Saya bener-bener janji akan keluar dari rumah keluarga dokter.” “Bukan itu. Saya cuma mau tahu apa yang kamu bilang sama papa sehingga kamu bisa dapet apartemen secara cuma-cuma?” “Loh, kenapa gak dokter tanya aja sama pak Pras sendiri? Kan beliau yang berniat kasih itu untuk saya.” Arial membuang
“Papa bisa bukttiin dengan cara menikahkan kalian,” Pak Pras menatap Arial dan Keyla silih berganti. “Gimana?” “Pa!” bentak Arial. “Pak...” Keyla berkata lirih. “Cuma cara itu yang bisa papa buktiin kalau Keyla bukan perempuan simpanan apalagi anak haram papa. Iya ‘kan?” “Tapi ‘kan—” protes Arial. “Papa tidak mau dengar protes kamu.” Arial menutup matanya, “Pa, aku janji gak akan nuduh Keyla macem-macem lagi. Papa mau adopsi dia pun aku gak masalah.” Pak Pras menggeleng, “Keputusan papa sudah bulat. Kalian harus menikah.” “Pa, tapi menikah itu gak boleh cuma untuk membuktikan sesuatu. Pernikahan terlalu sakral untuk dipermainkan.” Arial berusaha mempertahankan protesnya. Pak Pras tertawa, “Kamu ini lucu ya. Tadi kamu bersikeras minta papa buktikan. Setelah papa buktikan kamu malah menolak.” Arial menatap Keyla kesal, “Key, ngomong dong, jangan diem terus!” Keyla melirik Arial lalu menatap pak Pras, “Ucapan dokter Arial bener, pak. Pernikahan terlalu sakral hanya u
Selesai bersalaman dengan kolega papa, Arial mengajak Keyla menepi ke pinggir ballroom. Arial menuntun Keyla cepat sebelum ada yang melihat mereka.“Kenapa sih, dok?” Keyla berusaha melepaskan lengannya yang terus diseret Arial.Arial melihat kanan-kiri. Setelah yakin tidak ada yang mengikuti mereka, ia melepaskan lengan Keyla, “Jangan panggil dokter. Kan saya udah bilang.”Keyla menghembuskan nafas pelan, “Iya, maaf,” Ia menatap Arial datar, “Kakak kenapa ajak aku kesini? Kalo papa nyariin gimana?”“Kalo kita gak sembunyi papa bisa ngenalin kita sama seluruh staf rumah sakit. Kamu mau kita lagi dirumah sakit tiba-tiba mereka bilang kita ini suami istri?”Keyla menggeleng kencang, “Lagian ‘kan kita jarang ketemu staf rumah sakit, kak, pasti aman kok.”Arial mendecek, “Anak ko-as kayak kamu tahu apa? Belum juga sebulan dirumah sakit.”Keyla menunduk. Ada benarnya juga ucapan Arial. Tak lama ia menatap papa yang sed
Keyla menatap dirinya dipantulan cermin toilet hotel. Setelah membersihkan diri dan melepas gaun pernikahan yang tahu-tahu ada sesuai wedding gown impiannya, ia merasa enggan bertemu Arial.Keyla membuang nafas pelan, “Kalo dipikir-pikir kenapa aku menyetujui pernikahan kontrak ini ya?”Bayangan wajah papa memenuhi pikiran Keyla. Ia hanya ingin membalas budi kebaikan papa, tidak lebih. Meskipun kebaikan papa hanya mengajaknya bermalam dirumah, untuknya itu sangat berarti. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika kemarin malam ia tidak bertemu pak Prasetyo. Mungkin ia sudah diganggu preman lokal atau kedinginan semalaman.Tiba-tiba wajah pengertian papa terganti dengan wajah Arial yang tampan namun sangat menyebalkan. Kebaikannya yang sering hilang timbul berganti dengan sifatnya yang bagai lelaki bermulut Ular, membuat Keyla sering kebingungan menghadapinya.“Kamu mau sampe subuh diem di sini?”Keyla terperanjat kaget. Ia membalikkan badan dan menatap Arial yang berdiri tak jauh
Keyla membuka matanya perlahan. Ia mengedarkan matanya ke sekeliling kamar hotel. Tubuhnya yang masih memakai bathrobe terasa hangat karena ternyata tubuhnya didekap Arial. Ia sempat melotot tidak percaya. Apakah Arial memeluknya semalaman?Perlahan, tubuh Keyla bergerak. Ia tidak mau membangunkan Arial. Toh ini masih jam enam. Ia tidak tahu jadwal Arial bangun tidur sehingga takut sekali akan mengganggunya.“Hmmmm.” gumam Arial. Matanya masih tertutup sempurna.Keyla menutup mata. Ia ingin bergerak karena kebelet pipis, tapi takut membangunkan Arial. “Jangan pergi.” lirih Arial.Ucapan Arial sontak membuat Keyla diam. Arial tidak ingin ia pergi? Kenapa? Pipinya terasa panas dan merah.“Jangan pergi, Sarah. Aku sayang sama kamu.” lirih Arial lagi.Sarah? Mata Keyla melotot. Ia bangun sekaligus tak peduli dengan Arial yang akan terganggu.“Keyla?” Arial membuka matanya. Ia menguceknya pelan dan bangun untuk duduk.Keyla tak menggubris panggilan itu. Ia terus berjalan hingga
Arial merapikan penampilannya. Ia juga terlihat menjaga sikap dan wibawanya. Keyla mengerti. Mungkin perempuan dihadapannya ini adalah perempuan yang dimaksud disukai suami kontraknya.“Kamu lagi ngapain disini, Sar?”Sarah mengeluarkan kedua lengannya dari saku jas dokternya, “Pasien kamu punya masalah HNP. Jadi aku kesini buat menemani persalinannya.”“HNP? Saraf kejepit?”Sarah mengangguk.“Ah, iya, aku baru inget, pasien yang namanya bu Nuke ‘kan?”“Yup!”Arial mengangguk. Ketika itu ia baru menyadari keberadaan Keyla. Dengan kode ia meminta Keyla pergi.Keyla yang mendapat perintah untuk pergi merasa enggan mengikuti pinta Arial. Enak saja. Kenapa ia harus pergi? Apa karena ada perempuan yang bernama Sarah ini disini?Sarah melirik Keyla, “Kamu... dokter ko-as ya?”Keyla mengangguk tersenyum, “Iya, dok. Saya dokter koas yang sedang bertugas di stase obgyn.”Sarah mengulurkan tangan kananya, “Kenalin, saya Sarah.”Keyla menjabat tangan Sarah, “Saya Keyla, dok.”“Dia
Sebelum papa mengutarakan kecurigaannya, banyak perawat yang menyusul Arial untuk segera membantu proses kelahiran pasien yang tadi dibicarakan dengan Sarah. Alhasil ia dan Keyla langsung berlari ke ruang Ponek atau IGD khusus pelayanan ibu hamil.Arial dibantu dokter residen dan dokter ko-as yang harus melihat proses persalinan ini. Di dalam ruang persalinan sudah berdiri Sarah yang sedang berbicara dengan pasien.“Ibu yakin mau mencoba lahiran normal?” tanya Sarah.Pasien berusia awal tiga puluhan itu mengangguk, “Saya mau lahiran normal, dok.”Sarah diam sejenak, “Kita harus berkoordinasi dengan dokter obgynnya dulu ya, bu? Kalau memang memungkinkan untuk normal, saya akan izinkan. Tapi kalau dokter Arial menyampaikan ada kendala lain, kita ambil proses sectio.”Pasien itu mengangguk lemas.Arial sudah duduk dihadapan kemaluan pasien yang sudah tertutup kain, dibantu dokter residen ia memeriksa pembukaan total. “Dok, sepertinya pasien tidak bisa lahiran normal.” ujar dokter