Keyla tertawa saat sarapan bersama pak Pras. Mereka layaknya ayah dan anak yang baru bertemu kembali. Tawa keduanya terdengar sampai ke tangga, dimana Arial baru menuruninya.
“Pa, aku langsung berangkat.” Arial berpamitan tanpa menghampiri pak Pras. “Loh, kamu gak sarapan dulu?” pak Pras menghentikan sarapannya saat melihat Arial memalingkan wajah saat sampai diujung tangga. “Nanti aja dirumah sakit.” “Ada pasien darurat?” Arial menggeleng. “Kenapa buru-buru?” Tak ada jawaban. Keyla yang merasa kehadirannya membuat Arial yang mungkin selalu sarapan menjadi enggan, berdiri. Pak Pras pun menatap Keyla yang berubah diam. “Key, kamu udah makannya?” “Udah, pak. Eh, maksudnya papa.” Pak Pras menatap Arial, “Oh ya sudah, kalian berangkat bareng aja.” Arial mendelik, “Bareng aja sama papa, aku buru-buru.” Pak Pras berjalan sambil mendorong Keyla pelan, “Rial, jangan gitu dong. Keyla ini sekarang adik kamu. Kalian juga satu rumah sakit, dan Key kebetulan sedang ko-as di stase obgyn ‘kan?” “Tapi aku gak langsung ke rumah sakit.” “Gak papa, ajak aja Key nya.” “Pa!” Arial berang, “Dia ini anak siapa sih?” Pak Pras diam sejenak, “Arial. Kok begitu pertanyaan kamu?” Arial bergegas pergi. Langkahnya begitu besar sehingga Keyla dan pak Pras sulit mengejarnya. “Arial, tunggu dulu. Ajak Keyla pergi bareng sama kamu.” Arial membalikkan badannya, “Bareng aja sama papa. Dia ‘kan anak kesayangan papa.” “Rial, papa cuma—“ “Dok, papa, udah ya. Aku gak papa kok berangkat sendiri.” sebelum pertengkaran ayah dan anak ini semakin membesar, Keyla melerainya. “Tuh, papa denger? Anak baru papa yang entah datengnya dari mana ini bilang gak papa berangkat sendiri. Gak ada masalah ‘kan?” Pak Pras tak membalas ucapan Arial, beliau hanya menghela nafas pelan. Selain bertengkar dengan Arial hanya akan membuang waktu dan energi, beliau juga tidak enak pada Keyla. Ia akan semakin merasa bersalah karena pertengkaran mereka bersumber karena dirinya. Arial berjalan menuruni tangga teras dan memasuki mobil yang sudah disiapkan. Dengan cepat pak Pras menarik lengan Keyla untuk masuk ke dalam mobil anak tunggalnya. “Pa? Aku—” “Udah, kamu berangkat sama kakakmu ya. Nanti tas nya biar papa yang bawakan ke rumah sakit sekalian kerja.” “Ta-tapi—" Pak Pras menatap Arial, “Kalo kamu macem-macem sama Key, kamu tahu papa akan ngelakuin apa sama kamu. Sana berangkat.” Pak Pras menutup pintu mobil samping Kayla, membuat Arial tak punya pilihan lain. Apalagi barusan ada ancaman yang bisa saja papa serius memberikan padanya. Arial menatap Keyla tanpa bicara. Matanya meliriknya amat kesal karena semenjak kehadirannya yang baru satu malam papa sudah berani membentaknya. “Dok, maaf.” Tak ada balasan. Arial langsung menstater mobilnya dan melajukan dengan kecepatan tinggi. Ketika mobil baru keluar dari pelataran rumah, dengan nafas tertahan Arial semakin mengencangkan laju mobilnya. “Gak pernah naek mobil apa sebelumnya? Cepet pake sabuk pengaman!” Keyla yang sibuk berpegangan tangan dan mengatur nafasnya karena ketakutan berusaha mencari sabuk pengaman. Ia tidak menyangka Arial yang semalam terlihat baik padanya berubah menjadi monster seperti ini. Moodnya berubah cepat entah karena apa. “Kamu sebenernya siapa papa?” tanya Arial tanpa menoleh. Keyla menggeleng, “Aku bukan siapa-siapanya pak Pras. Aku ‘kan udah bilang sama dokter, aku selama ini tinggal dipanti asuhan.” “Oyah? Kamu pikir saya percaya?” “Dok, gimana caranya aku buktiin kalo aku bukan siapa-siapanya pak Pras?” “Mana saya tahu. Kalo kamu jadi saya, memangnya kamu gak ada pikiran kenapa ada perempuan muda yang tiba-tiba dibawa papa ke rumah malam-malam?” “Aku ngerti perasaan dokter. Aku bakal tolak tawaran adopsi pak Pras, aku janji.” Mobil berhenti. Arial menatap Keyla yang tengah mengatur nafasnya setelah dibawa ngebut, “Kamu... bukan simpanan papa ‘kan?” Keyla melotot, “Dok!” Arial merogoh ponsel dan memberikannya dengan kasar pada Keyla, “Baca!” Keyla membawa ponsel Arial. Ia langsung membaca isi chat panjang yang didalamnya tertera namanya. Ia menutup mulutnya. Matanya melotot kaget. “Papa gak pernah sebaik itu sama orang. Kamu pasti perempuan simpanan papa ‘kan?” Keyla menggeleng, matanya juga sudah berembun, “Aku— gak tahu kenapa pak Pras sampe kepikiran ngelakuin ini, dok. Aku bener bukan simpanan pak Pras.” Arial tersenyum sinis, “Papa sampe pesenin unit apartemen buat kamu karena liat respon saya gak baik dirumah. Kalo bukan simpanan papa, kamu pasti anak haramnya ‘kan? Selama ini kamu disimpen dipanti asuhan dan dikenalkan semalam pada saya menunggu usia saya matang, dengan harapan saya bisa dengan bijaksana menerima kamu?” Tangis yang sedari tadi ditahan Keyla tumpah. Ia tak menyangka akan keluar tuduhan hina seperti itu dari mulut dokter yang ia hormati. Meski baru mengenal Arial, ia tahu dokter yang ada disampingnya begitu dihormati di rumah sakit, sehingga tuduhan seperti itu terasa begitu menyakitkan untuknya. Melihat Keyla menangis Arial sedikit terkejut. Mulutnya ingin sekali meminta maaf meski prasangka itu terus menggelayuti pikirannya. Tapi mulutnya tak juga bergerak karena malu. Keyla membuka sabuk pengaman, “Terima kasih tumpangannya, dokter. Saya janji, setelah shift saya selesai hari ini, saya akan keluar dari rumah dokter.” Keyla keluar dari mobil dan berjalan cepat entah ke arah mana. *** Arial duduk termenung diruangan pribadinya. Jadwal prakteknya akan dimulai sebentar lagi. Ia begitu menyesali perkataan yang diutarakan pada Keyla tadi di mobil. Entah kemana sekarang ia pergi. “Harusnya gue gak ngomong gitu tadi. Meskipun— mungkin dia beneran simpenan papa atau anak haram papa.” Arial mengacak-acak rambutnya kesal. Tok-Tok-Tok “Masuk.” Pak Pras berjalan santai membawakan tas ransel milik Keyla yang berwarna pink, “Arial. Tolong kamu kasiin tasnya ke Keyla ya. Papa ada rapat rutin.” Arial berdiri, “Eum, pa...” “Kenapa? Papa taruh disini tasnya.” pak Pras menyimpan tas ransel Keyla di sofa. “Keyla tadi--” “Kenapa sama Keyla? Kalian gak berantem di mobil ‘kan?” Arial menunduk dan tak mengatakan apapun. “Rial?” “Pa, Keyla itu sebenernya siapa?” “Kan papa udah bilang malem, Keyla itu anak dari panti asuhan. Papa ketemu dia malem jalan luntang-lantung karena di tipu temennya.” Arial memberanikan diri menatap papa, “Dia beneran gak ada hubungan apa-apa sama papa?” “Rial, berapa kali papa harus jelasin? Memangnya kamu pikir Keyla itu siapanya papa?” “Tadi pagi aku dapet kabar dari notaris papa, katanya papa minta diurus untuk pembelian apartemen buat Kayla karena respon aku malem kurang baik sama dia. Jadi—“ “Jadi apa?” Arial diam. “Rial?” Arial kembali memberanikan diri menatap pak Pras, “Jadi tadi aku nuduh dia simpanan papa atau anak haram dari perempuan lain.” Pak Pras melotot, “Arial! Keterlaluan kamu!” “Pa, aku cuma heran sama papa yang sebaik itu sama orang asing. Kita gak pernah tahu Keyla itu siapa.” “Malem papa udah pastiin ke panti asuhan terkait. Keyla memang anak yatim piatu, makannya papa berani beliin dia apartemen. Kamu kenapa gegabah sekali sih. Keyla pasti sangat terpukul dengar ucapan kamu.” “Maaf, pa.” “Minta maaf sama Keyla, bukan sama papa! Cari dia dan pastikan dia pulang ke rumah nanti sore!” “Tapi, pa—" “Kalo kamu gak bisa bawa pulang Keyla, kamu gak perlu pulang sekalian!” Arial melotot. Ia tidak percaya papa berani mempertaruhkan dirinya demi Keyla. Jangan-jangan benar lagi Keyla adalah simpanan atau anak haram papa?Pagi ini tugas Keyla adalah menemani Arial praktek konsultasi rawat jalan. Arial dengan jelas bisa melihat mata Keyla sembab dan merah. Ia pasti sudah menangis hebat setelah turun dari mobilnya. “Sus, masih ada pasien?” Perawat menggeleng dan tersenyum, “Akhirnya kita selesai lebih awal dari biasanya, dok.” “Iya.” “Kalau begitu saya permisi, dok.” “Silakan.” Suster mengangguk sopan pada Arial dan Keyla, “Mari, dok.” “Mari.” jawab Arial dan Keyla bersamaan. Setelah suster keluar dari ruang praktek, Keyla juga ikut menyusul. Tapi tangan Arial bergerak cepat sehingga lengannya bisa menahan Keyla. “Tunggu dulu.” Keyla membalikkan badan, “Dokter mau ngatain saya apa lagi? Saya bener-bener janji akan keluar dari rumah keluarga dokter.” “Bukan itu. Saya cuma mau tahu apa yang kamu bilang sama papa sehingga kamu bisa dapet apartemen secara cuma-cuma?” “Loh, kenapa gak dokter tanya aja sama pak Pras sendiri? Kan beliau yang berniat kasih itu untuk saya.” Arial membuang
“Papa bisa bukttiin dengan cara menikahkan kalian,” Pak Pras menatap Arial dan Keyla silih berganti. “Gimana?” “Pa!” bentak Arial. “Pak...” Keyla berkata lirih. “Cuma cara itu yang bisa papa buktiin kalau Keyla bukan perempuan simpanan apalagi anak haram papa. Iya ‘kan?” “Tapi ‘kan—” protes Arial. “Papa tidak mau dengar protes kamu.” Arial menutup matanya, “Pa, aku janji gak akan nuduh Keyla macem-macem lagi. Papa mau adopsi dia pun aku gak masalah.” Pak Pras menggeleng, “Keputusan papa sudah bulat. Kalian harus menikah.” “Pa, tapi menikah itu gak boleh cuma untuk membuktikan sesuatu. Pernikahan terlalu sakral untuk dipermainkan.” Arial berusaha mempertahankan protesnya. Pak Pras tertawa, “Kamu ini lucu ya. Tadi kamu bersikeras minta papa buktikan. Setelah papa buktikan kamu malah menolak.” Arial menatap Keyla kesal, “Key, ngomong dong, jangan diem terus!” Keyla melirik Arial lalu menatap pak Pras, “Ucapan dokter Arial bener, pak. Pernikahan terlalu sakral hanya u
Selesai bersalaman dengan kolega papa, Arial mengajak Keyla menepi ke pinggir ballroom. Arial menuntun Keyla cepat sebelum ada yang melihat mereka.“Kenapa sih, dok?” Keyla berusaha melepaskan lengannya yang terus diseret Arial.Arial melihat kanan-kiri. Setelah yakin tidak ada yang mengikuti mereka, ia melepaskan lengan Keyla, “Jangan panggil dokter. Kan saya udah bilang.”Keyla menghembuskan nafas pelan, “Iya, maaf,” Ia menatap Arial datar, “Kakak kenapa ajak aku kesini? Kalo papa nyariin gimana?”“Kalo kita gak sembunyi papa bisa ngenalin kita sama seluruh staf rumah sakit. Kamu mau kita lagi dirumah sakit tiba-tiba mereka bilang kita ini suami istri?”Keyla menggeleng kencang, “Lagian ‘kan kita jarang ketemu staf rumah sakit, kak, pasti aman kok.”Arial mendecek, “Anak ko-as kayak kamu tahu apa? Belum juga sebulan dirumah sakit.”Keyla menunduk. Ada benarnya juga ucapan Arial. Tak lama ia menatap papa yang sed
Keyla menatap dirinya dipantulan cermin toilet hotel. Setelah membersihkan diri dan melepas gaun pernikahan yang tahu-tahu ada sesuai wedding gown impiannya, ia merasa enggan bertemu Arial.Keyla membuang nafas pelan, “Kalo dipikir-pikir kenapa aku menyetujui pernikahan kontrak ini ya?”Bayangan wajah papa memenuhi pikiran Keyla. Ia hanya ingin membalas budi kebaikan papa, tidak lebih. Meskipun kebaikan papa hanya mengajaknya bermalam dirumah, untuknya itu sangat berarti. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika kemarin malam ia tidak bertemu pak Prasetyo. Mungkin ia sudah diganggu preman lokal atau kedinginan semalaman.Tiba-tiba wajah pengertian papa terganti dengan wajah Arial yang tampan namun sangat menyebalkan. Kebaikannya yang sering hilang timbul berganti dengan sifatnya yang bagai lelaki bermulut Ular, membuat Keyla sering kebingungan menghadapinya.“Kamu mau sampe subuh diem di sini?”Keyla terperanjat kaget. Ia membalikkan badan dan menatap Arial yang berdiri tak jauh
Keyla membuka matanya perlahan. Ia mengedarkan matanya ke sekeliling kamar hotel. Tubuhnya yang masih memakai bathrobe terasa hangat karena ternyata tubuhnya didekap Arial. Ia sempat melotot tidak percaya. Apakah Arial memeluknya semalaman?Perlahan, tubuh Keyla bergerak. Ia tidak mau membangunkan Arial. Toh ini masih jam enam. Ia tidak tahu jadwal Arial bangun tidur sehingga takut sekali akan mengganggunya.“Hmmmm.” gumam Arial. Matanya masih tertutup sempurna.Keyla menutup mata. Ia ingin bergerak karena kebelet pipis, tapi takut membangunkan Arial. “Jangan pergi.” lirih Arial.Ucapan Arial sontak membuat Keyla diam. Arial tidak ingin ia pergi? Kenapa? Pipinya terasa panas dan merah.“Jangan pergi, Sarah. Aku sayang sama kamu.” lirih Arial lagi.Sarah? Mata Keyla melotot. Ia bangun sekaligus tak peduli dengan Arial yang akan terganggu.“Keyla?” Arial membuka matanya. Ia menguceknya pelan dan bangun untuk duduk.Keyla tak menggubris panggilan itu. Ia terus berjalan hingga
Arial merapikan penampilannya. Ia juga terlihat menjaga sikap dan wibawanya. Keyla mengerti. Mungkin perempuan dihadapannya ini adalah perempuan yang dimaksud disukai suami kontraknya.“Kamu lagi ngapain disini, Sar?”Sarah mengeluarkan kedua lengannya dari saku jas dokternya, “Pasien kamu punya masalah HNP. Jadi aku kesini buat menemani persalinannya.”“HNP? Saraf kejepit?”Sarah mengangguk.“Ah, iya, aku baru inget, pasien yang namanya bu Nuke ‘kan?”“Yup!”Arial mengangguk. Ketika itu ia baru menyadari keberadaan Keyla. Dengan kode ia meminta Keyla pergi.Keyla yang mendapat perintah untuk pergi merasa enggan mengikuti pinta Arial. Enak saja. Kenapa ia harus pergi? Apa karena ada perempuan yang bernama Sarah ini disini?Sarah melirik Keyla, “Kamu... dokter ko-as ya?”Keyla mengangguk tersenyum, “Iya, dok. Saya dokter koas yang sedang bertugas di stase obgyn.”Sarah mengulurkan tangan kananya, “Kenalin, saya Sarah.”Keyla menjabat tangan Sarah, “Saya Keyla, dok.”“Dia
Sebelum papa mengutarakan kecurigaannya, banyak perawat yang menyusul Arial untuk segera membantu proses kelahiran pasien yang tadi dibicarakan dengan Sarah. Alhasil ia dan Keyla langsung berlari ke ruang Ponek atau IGD khusus pelayanan ibu hamil.Arial dibantu dokter residen dan dokter ko-as yang harus melihat proses persalinan ini. Di dalam ruang persalinan sudah berdiri Sarah yang sedang berbicara dengan pasien.“Ibu yakin mau mencoba lahiran normal?” tanya Sarah.Pasien berusia awal tiga puluhan itu mengangguk, “Saya mau lahiran normal, dok.”Sarah diam sejenak, “Kita harus berkoordinasi dengan dokter obgynnya dulu ya, bu? Kalau memang memungkinkan untuk normal, saya akan izinkan. Tapi kalau dokter Arial menyampaikan ada kendala lain, kita ambil proses sectio.”Pasien itu mengangguk lemas.Arial sudah duduk dihadapan kemaluan pasien yang sudah tertutup kain, dibantu dokter residen ia memeriksa pembukaan total. “Dok, sepertinya pasien tidak bisa lahiran normal.” ujar dokter
Keyla masih memikirkan perlakuan wali pasien tadi pagi. Ia terduduk lemas ditangga evakuasi. Tiga puluh menit lalu shiftnya di ruang IGD sedang rest dan kini ia memiliki waktu untuk beristirahat sejenak sebelum tiga puluh menit lagi ia kembali berjaga disana.Arial yang baru selesai visit mencarinya kemana-mana. Ia membawakan makan siang, karena menurut teman kelompoknya Keyla hanya makan sedikit tadi siang.Saat Arial masih mencari Keyla, Jasmine datang menghampirinya. Ia sempat merapikan rambut dan riasannya sebelum menghampiri Arial yang sedang mengecek ponselnya, “Dok?”Arial melirik Jasmine, “Iya?”“Cari Keyla ya?”Arial mengangguk, “Saya takut dia kelaperan.”Jasmine menatap rice bowl yang Arial bawakan. Perhatian sekali dokter konsulennya itu pada Keyla, “Itu biar saya aja yang kasiin ke Keyla.”“Kamu tahu Keyla dimana?”Jasmine menggeleng pelan, “Tapi saya bisa cari, dok.”“Gak papa, ka