Share

Bab 5 - Pembuktian Tuduhan

Pagi ini tugas Keyla adalah menemani Arial praktek konsultasi rawat jalan. Arial dengan jelas bisa melihat mata Keyla sembab dan merah. Ia pasti sudah menangis hebat setelah turun dari mobilnya.

“Sus, masih ada pasien?”

Perawat menggeleng dan tersenyum, “Akhirnya kita selesai lebih awal dari biasanya, dok.”

“Iya.”

“Kalau begitu saya permisi, dok.”

“Silakan.”

Suster mengangguk sopan pada Arial dan Keyla, “Mari, dok.”

“Mari.” jawab Arial dan Keyla bersamaan.

Setelah suster keluar dari ruang praktek, Keyla juga ikut menyusul. Tapi tangan Arial bergerak cepat sehingga lengannya bisa menahan Keyla.

“Tunggu dulu.”

Keyla membalikkan badan, “Dokter mau ngatain saya apa lagi? Saya bener-bener janji akan keluar dari rumah keluarga dokter.”

“Bukan itu. Saya cuma mau tahu apa yang kamu bilang sama papa sehingga kamu bisa dapet apartemen secara cuma-cuma?”

“Loh, kenapa gak dokter tanya aja sama pak Pras sendiri? Kan beliau yang berniat kasih itu untuk saya.”

Arial membuang mukanya, “Gak usah berbelit-belit. Saya cuma tanya itu, kamu tinggal jawab.”

“Saya cuma ngobrol biasa sama papanya dokter. Saya sama sekali gak menceritakan kisah sedih dan berusaha membuat beliau iba.”

“Oyah?”

Keyla membuang nafas pelan. Ia tidak ingin memulai masalah sehingga dengan cepat membuka pintu tapi Arial menahannya, “Apa lagi sih, dok? Saya harus jaga di Ponek dan buat salinan rekam medis pasien.”

“Tas kamu di ruangan saya.”

“Nanti saya ambil.”

***

Di kantin rumah sakit, saat Arial baru selesai makan siang ia melihat Keyla baru datang bersama kelima teman kelompok ko-asistennya. Keyla terlihat ceria seperti hari-hari biasanya. Arial yang sebenarnya tak peduli karena tas Keyla masih belum diambil diruang pribadinya, mendadak menatap Keyla tanpa henti ketika gadis berambut hitam sebahu itu melewati dirinya.

“Selamat siang, dokter.” sapa kelima anak ko-as kecuali Keyla.

“Siang.”

“Dokter Arial udah selesai ya, makan siangnya?” tanya salah satu dari mereka.

Arial menatap piringnya yang sudah kosong, “Iya, saya sudah selesai.”

“Kalau begitu kami permisi, dok."

“Silakan.”

Mereka mengangguk sopan ketika melewati Arial yang baru berdiri dari meja.

“Keyla bisa ikut saya sebentar?”

Keyla mendelik kesal. Ia tahu konsulennya ini pasti akan membuat masalah baru padanya karena terlihat dari raut wajahnya yang berubah menyeramkan seperti tadi pagi.

“Bisa, dok,” jawabnya menyanggupi, “Aku ikut dokter Arial dulu ya. Aku titip makanannya.” Keyla menitipkan piring miliknya pada salah satu teman kelompoknya.

“Iya, Key.”

Arial berjalan lebih dulu. Setelah menyimpan piring kotor ditempat yang sudah disediakan ia menarik lengan Keyla dan membawanya ke balik tembok kantin rumah sakit yang sepi.

“Apa itu?” tanya Arial dingin setelah cengkraman tangannya terlepas.

Keyla menatap Arial kebingungan, “Itu apa? Memangnya dokter lihat apa?”

“Itu,” tunjuk Arial pada kalung Mutiara yang menggantung dileher Keyla, “Kamu dapet dari papa saya, ‘kan?”

Keyla melotot, “Dari pak Pras?”

“Ya dari siapa lagi? Anak panti asuhan kayak kamu mana mungkin bisa beli kalung Mutiara itu. Uang buat bayar kost aja kamu gak punya, apalagi buat beli kalung seperti itu.”

PLAK!

Mata Keyla merah menahan marah, “Dokter boleh hina saya sebagai anak panti yang mungkin buat dokter sangat-sangat miskin. Tapi jangan pernah sekali-kali nuduh saya dapetin kalung ini dari pak Pras!”

“Kenapa? Kamu pikir kalung itu bisa ada tiba-tiba dileher kamu kalau bukan papa saya yang belikan?”

Keyla maju satu langkah dan menatap Arial penuh intimidasi, “Ini kalung pemberian orang tua saya, dokter! Saya gak pernah menerima atau mendapatkan apapun dari pak Pras kecuali tawaran untuk tinggal dirumahnya semalam!”

Arial menaikkan bibir atasnya meledek, “Oyah? Baru tadi pagi saya percaya kamu anak baik-baik. Anak panti asuhan yang perlu dikasihani. Tapi ternyata penilaian saya salah. Kamu gak lebih dari sekedar perempuan murahan yang rela menjual tubuh kamu pada laki-laki kesepian seperti papa saya!”

“Cukup!” tunjuk Keyla berani, “Sekali lagi dokter hina saya, saya akan—"

“Akan apa?” tantang Arial.

Keyla tak menjawab. Air matanya turun saat ia mengingat rentetan ujaran kebencian Arial padanya sejak tadi pagi.

“Malah nangis. Kamu pikir saya bisa terpedaya sama air mata palsu kamu ini?”

“Saya... bukan perempuan seperti yang dokter tuduhkan.” Keyla membela diri dengan suara lirih.

“Apa buktinya? Kalo kamu bisa buktikan kalau kalung itu bukan dari papa saya, saya akan berhenti menuduh kamu.”

Keyla diam. Ia juga bingung harus membuktikan dengan cara apa.

“Kamu gak bisa buktikan ‘kan?”

Keyla masih diam.

“Sekarang kamu ambil tas kamu diruangan saya. Dan nanti sore setelah shift kamu selesai, jangan lupa bawa semua barang-barang kamu dari rumah saya dan jangan pernah menampakan diri didepan papa saya lagi.”

“Baik. Saya ambil tas saya sekarang.”

Keyla berjalan cepat meninggalkan Arial. Ia jengah dituduh menjadi perempuan simpanan pak Pras. Langkahnya yang mungil kini berubah besar karena enggan berurusan lagi dengan semua tentang Arial. Ia akan membawa tasnya sekarang juga.

Begitu pintu ruangan dibuka, Keyla terkejut melihat pak Pras sedang makan siang diruangan pribadi Arial.

“Pak Pras?”

“Eh, Key, sini makan siang sama papa.”

Keyla diam. Ia yang masih memegang handel pintu menoleh mendapati Arial berdiri dibelakang tubuhnya. Ia menatap Arial yang sedang menatapnya sinis. Ia pun teringat sesuatu mengenai pembuktian kalau ia bukanlah perempuan simpanan pak Pras.

Keyla melepaskan handel pintu dan melangkah pelan. Ia berdiri dihadapan pak Pras yang sedang mengelap mulutnya, “Pak, saya butuh bantuan bapak.”

“Boleh. Kamu butuh bantuan apa, Key? Bilang aja sama papa.”

“Saya... dituduh perempuan simpanan bapak karena memiliki kalung ini.” Keyla menunjukkan kalung Mutiara putih yang mengkilap indah pada pak Pras.

Pak Pras berdiri. Beliau menatap kalung itu lekat-lekat lalu melirik Arial, “Kamu masih belum berhenti?”

“Pa, Keyla ini cuma anak dari panti asuhan. Mana mungkin dia punya uang buat beli kalung Mutiara itu. Kalungnya pasti papa yang belikan ‘kan?”

“Papa gak pernah beliin Keyla kalung, karena papa tahu Key pasti menolak.”

“Terus papa mau bilang kalau itu memang kalung punya dia?”

“Ya kalau kalung itu memang punya Keyla, papa harus bilang apa?”

Arial membuang nafas kasar. Ia tidak puas dengan jawaban papa, tapi ucapan papa ada benarnya.

“Berhenti menuduh Keyla yang bukan-bukan, Rial. Keyla ini perempuan baik-baik. Kan papa udah bilang, papa sudah memastikannya dengan bertanya pada ibu panti. Kenapa kamu masih keukeuh nuduh Keyla seperti itu?”

“Karena Keyla gak bisa buktiin kalau dia bukan perempuan simpanan papa atau anak haram dari perempuan yang mungkin papa tiduri.”

Pak Pras menahan marah mendengar tuduhan dari anak tunggalnya.

“Semenjak ada dia kita terus berantem, pa. Baru dua hari loh, tapi dia udah bisa ambil kuasa atas papa.”

“Cukup, Arial! Keyla gak bisa berbuat apapun untuk membuktikan semua tuduhan kamu. Tapi papa bisa buktiin itu.”

“Papa mau buktiin dengan cara apa?”

“Papa bisa buktiin dengan cara menikahkan kalian.”

Arial dan Keyla yang mendengar itu saling bertatapan bingung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status