Pagi ini tugas Keyla adalah menemani Arial praktek konsultasi rawat jalan. Arial dengan jelas bisa melihat mata Keyla sembab dan merah. Ia pasti sudah menangis hebat setelah turun dari mobilnya.
“Sus, masih ada pasien?” Perawat menggeleng dan tersenyum, “Akhirnya kita selesai lebih awal dari biasanya, dok.” “Iya.” “Kalau begitu saya permisi, dok.” “Silakan.” Suster mengangguk sopan pada Arial dan Keyla, “Mari, dok.” “Mari.” jawab Arial dan Keyla bersamaan. Setelah suster keluar dari ruang praktek, Keyla juga ikut menyusul. Tapi tangan Arial bergerak cepat sehingga lengannya bisa menahan Keyla. “Tunggu dulu.” Keyla membalikkan badan, “Dokter mau ngatain saya apa lagi? Saya bener-bener janji akan keluar dari rumah keluarga dokter.” “Bukan itu. Saya cuma mau tahu apa yang kamu bilang sama papa sehingga kamu bisa dapet apartemen secara cuma-cuma?” “Loh, kenapa gak dokter tanya aja sama pak Pras sendiri? Kan beliau yang berniat kasih itu untuk saya.” Arial membuang mukanya, “Gak usah berbelit-belit. Saya cuma tanya itu, kamu tinggal jawab.” “Saya cuma ngobrol biasa sama papanya dokter. Saya sama sekali gak menceritakan kisah sedih dan berusaha membuat beliau iba.” “Oyah?” Keyla membuang nafas pelan. Ia tidak ingin memulai masalah sehingga dengan cepat membuka pintu tapi Arial menahannya, “Apa lagi sih, dok? Saya harus jaga di Ponek dan buat salinan rekam medis pasien.” “Tas kamu di ruangan saya.” “Nanti saya ambil.” *** Di kantin rumah sakit, saat Arial baru selesai makan siang ia melihat Keyla baru datang bersama kelima teman kelompok ko-asistennya. Keyla terlihat ceria seperti hari-hari biasanya. Arial yang sebenarnya tak peduli karena tas Keyla masih belum diambil diruang pribadinya, mendadak menatap Keyla tanpa henti ketika gadis berambut hitam sebahu itu melewati dirinya. “Selamat siang, dokter.” sapa kelima anak ko-as kecuali Keyla. “Siang.” “Dokter Arial udah selesai ya, makan siangnya?” tanya salah satu dari mereka. Arial menatap piringnya yang sudah kosong, “Iya, saya sudah selesai.” “Kalau begitu kami permisi, dok." “Silakan.” Mereka mengangguk sopan ketika melewati Arial yang baru berdiri dari meja. “Keyla bisa ikut saya sebentar?” Keyla mendelik kesal. Ia tahu konsulennya ini pasti akan membuat masalah baru padanya karena terlihat dari raut wajahnya yang berubah menyeramkan seperti tadi pagi. “Bisa, dok,” jawabnya menyanggupi, “Aku ikut dokter Arial dulu ya. Aku titip makanannya.” Keyla menitipkan piring miliknya pada salah satu teman kelompoknya. “Iya, Key.” Arial berjalan lebih dulu. Setelah menyimpan piring kotor ditempat yang sudah disediakan ia menarik lengan Keyla dan membawanya ke balik tembok kantin rumah sakit yang sepi. “Apa itu?” tanya Arial dingin setelah cengkraman tangannya terlepas. Keyla menatap Arial kebingungan, “Itu apa? Memangnya dokter lihat apa?” “Itu,” tunjuk Arial pada kalung Mutiara yang menggantung dileher Keyla, “Kamu dapet dari papa saya, ‘kan?” Keyla melotot, “Dari pak Pras?” “Ya dari siapa lagi? Anak panti asuhan kayak kamu mana mungkin bisa beli kalung Mutiara itu. Uang buat bayar kost aja kamu gak punya, apalagi buat beli kalung seperti itu.” PLAK! Mata Keyla merah menahan marah, “Dokter boleh hina saya sebagai anak panti yang mungkin buat dokter sangat-sangat miskin. Tapi jangan pernah sekali-kali nuduh saya dapetin kalung ini dari pak Pras!” “Kenapa? Kamu pikir kalung itu bisa ada tiba-tiba dileher kamu kalau bukan papa saya yang belikan?” Keyla maju satu langkah dan menatap Arial penuh intimidasi, “Ini kalung pemberian orang tua saya, dokter! Saya gak pernah menerima atau mendapatkan apapun dari pak Pras kecuali tawaran untuk tinggal dirumahnya semalam!” Arial menaikkan bibir atasnya meledek, “Oyah? Baru tadi pagi saya percaya kamu anak baik-baik. Anak panti asuhan yang perlu dikasihani. Tapi ternyata penilaian saya salah. Kamu gak lebih dari sekedar perempuan murahan yang rela menjual tubuh kamu pada laki-laki kesepian seperti papa saya!” “Cukup!” tunjuk Keyla berani, “Sekali lagi dokter hina saya, saya akan—" “Akan apa?” tantang Arial. Keyla tak menjawab. Air matanya turun saat ia mengingat rentetan ujaran kebencian Arial padanya sejak tadi pagi. “Malah nangis. Kamu pikir saya bisa terpedaya sama air mata palsu kamu ini?” “Saya... bukan perempuan seperti yang dokter tuduhkan.” Keyla membela diri dengan suara lirih. “Apa buktinya? Kalo kamu bisa buktikan kalau kalung itu bukan dari papa saya, saya akan berhenti menuduh kamu.” Keyla diam. Ia juga bingung harus membuktikan dengan cara apa. “Kamu gak bisa buktikan ‘kan?” Keyla masih diam. “Sekarang kamu ambil tas kamu diruangan saya. Dan nanti sore setelah shift kamu selesai, jangan lupa bawa semua barang-barang kamu dari rumah saya dan jangan pernah menampakan diri didepan papa saya lagi.” “Baik. Saya ambil tas saya sekarang.” Keyla berjalan cepat meninggalkan Arial. Ia jengah dituduh menjadi perempuan simpanan pak Pras. Langkahnya yang mungil kini berubah besar karena enggan berurusan lagi dengan semua tentang Arial. Ia akan membawa tasnya sekarang juga. Begitu pintu ruangan dibuka, Keyla terkejut melihat pak Pras sedang makan siang diruangan pribadi Arial. “Pak Pras?” “Eh, Key, sini makan siang sama papa.” Keyla diam. Ia yang masih memegang handel pintu menoleh mendapati Arial berdiri dibelakang tubuhnya. Ia menatap Arial yang sedang menatapnya sinis. Ia pun teringat sesuatu mengenai pembuktian kalau ia bukanlah perempuan simpanan pak Pras. Keyla melepaskan handel pintu dan melangkah pelan. Ia berdiri dihadapan pak Pras yang sedang mengelap mulutnya, “Pak, saya butuh bantuan bapak.” “Boleh. Kamu butuh bantuan apa, Key? Bilang aja sama papa.” “Saya... dituduh perempuan simpanan bapak karena memiliki kalung ini.” Keyla menunjukkan kalung Mutiara putih yang mengkilap indah pada pak Pras. Pak Pras berdiri. Beliau menatap kalung itu lekat-lekat lalu melirik Arial, “Kamu masih belum berhenti?” “Pa, Keyla ini cuma anak dari panti asuhan. Mana mungkin dia punya uang buat beli kalung Mutiara itu. Kalungnya pasti papa yang belikan ‘kan?” “Papa gak pernah beliin Keyla kalung, karena papa tahu Key pasti menolak.” “Terus papa mau bilang kalau itu memang kalung punya dia?” “Ya kalau kalung itu memang punya Keyla, papa harus bilang apa?” Arial membuang nafas kasar. Ia tidak puas dengan jawaban papa, tapi ucapan papa ada benarnya. “Berhenti menuduh Keyla yang bukan-bukan, Rial. Keyla ini perempuan baik-baik. Kan papa udah bilang, papa sudah memastikannya dengan bertanya pada ibu panti. Kenapa kamu masih keukeuh nuduh Keyla seperti itu?” “Karena Keyla gak bisa buktiin kalau dia bukan perempuan simpanan papa atau anak haram dari perempuan yang mungkin papa tiduri.” Pak Pras menahan marah mendengar tuduhan dari anak tunggalnya. “Semenjak ada dia kita terus berantem, pa. Baru dua hari loh, tapi dia udah bisa ambil kuasa atas papa.” “Cukup, Arial! Keyla gak bisa berbuat apapun untuk membuktikan semua tuduhan kamu. Tapi papa bisa buktiin itu.” “Papa mau buktiin dengan cara apa?” “Papa bisa buktiin dengan cara menikahkan kalian.” Arial dan Keyla yang mendengar itu saling bertatapan bingung.“Papa bisa bukttiin dengan cara menikahkan kalian,” Pak Pras menatap Arial dan Keyla silih berganti. “Gimana?” “Pa!” bentak Arial. “Pak...” Keyla berkata lirih. “Cuma cara itu yang bisa papa buktiin kalau Keyla bukan perempuan simpanan apalagi anak haram papa. Iya ‘kan?” “Tapi ‘kan—” protes Arial. “Papa tidak mau dengar protes kamu.” Arial menutup matanya, “Pa, aku janji gak akan nuduh Keyla macem-macem lagi. Papa mau adopsi dia pun aku gak masalah.” Pak Pras menggeleng, “Keputusan papa sudah bulat. Kalian harus menikah.” “Pa, tapi menikah itu gak boleh cuma untuk membuktikan sesuatu. Pernikahan terlalu sakral untuk dipermainkan.” Arial berusaha mempertahankan protesnya. Pak Pras tertawa, “Kamu ini lucu ya. Tadi kamu bersikeras minta papa buktikan. Setelah papa buktikan kamu malah menolak.” Arial menatap Keyla kesal, “Key, ngomong dong, jangan diem terus!” Keyla melirik Arial lalu menatap pak Pras, “Ucapan dokter Arial bener, pak. Pernikahan terlalu sakral hanya u
Selesai bersalaman dengan kolega papa, Arial mengajak Keyla menepi ke pinggir ballroom. Arial menuntun Keyla cepat sebelum ada yang melihat mereka.“Kenapa sih, dok?” Keyla berusaha melepaskan lengannya yang terus diseret Arial.Arial melihat kanan-kiri. Setelah yakin tidak ada yang mengikuti mereka, ia melepaskan lengan Keyla, “Jangan panggil dokter. Kan saya udah bilang.”Keyla menghembuskan nafas pelan, “Iya, maaf,” Ia menatap Arial datar, “Kakak kenapa ajak aku kesini? Kalo papa nyariin gimana?”“Kalo kita gak sembunyi papa bisa ngenalin kita sama seluruh staf rumah sakit. Kamu mau kita lagi dirumah sakit tiba-tiba mereka bilang kita ini suami istri?”Keyla menggeleng kencang, “Lagian ‘kan kita jarang ketemu staf rumah sakit, kak, pasti aman kok.”Arial mendecek, “Anak ko-as kayak kamu tahu apa? Belum juga sebulan dirumah sakit.”Keyla menunduk. Ada benarnya juga ucapan Arial. Tak lama ia menatap papa yang sed
Keyla menatap dirinya dipantulan cermin toilet hotel. Setelah membersihkan diri dan melepas gaun pernikahan yang tahu-tahu ada sesuai wedding gown impiannya, ia merasa enggan bertemu Arial.Keyla membuang nafas pelan, “Kalo dipikir-pikir kenapa aku menyetujui pernikahan kontrak ini ya?”Bayangan wajah papa memenuhi pikiran Keyla. Ia hanya ingin membalas budi kebaikan papa, tidak lebih. Meskipun kebaikan papa hanya mengajaknya bermalam dirumah, untuknya itu sangat berarti. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi jika kemarin malam ia tidak bertemu pak Prasetyo. Mungkin ia sudah diganggu preman lokal atau kedinginan semalaman.Tiba-tiba wajah pengertian papa terganti dengan wajah Arial yang tampan namun sangat menyebalkan. Kebaikannya yang sering hilang timbul berganti dengan sifatnya yang bagai lelaki bermulut Ular, membuat Keyla sering kebingungan menghadapinya.“Kamu mau sampe subuh diem di sini?”Keyla terperanjat kaget. Ia membalikkan badan dan menatap Arial yang berdiri tak jauh
Keyla membuka matanya perlahan. Ia mengedarkan matanya ke sekeliling kamar hotel. Tubuhnya yang masih memakai bathrobe terasa hangat karena ternyata tubuhnya didekap Arial. Ia sempat melotot tidak percaya. Apakah Arial memeluknya semalaman?Perlahan, tubuh Keyla bergerak. Ia tidak mau membangunkan Arial. Toh ini masih jam enam. Ia tidak tahu jadwal Arial bangun tidur sehingga takut sekali akan mengganggunya.“Hmmmm.” gumam Arial. Matanya masih tertutup sempurna.Keyla menutup mata. Ia ingin bergerak karena kebelet pipis, tapi takut membangunkan Arial. “Jangan pergi.” lirih Arial.Ucapan Arial sontak membuat Keyla diam. Arial tidak ingin ia pergi? Kenapa? Pipinya terasa panas dan merah.“Jangan pergi, Sarah. Aku sayang sama kamu.” lirih Arial lagi.Sarah? Mata Keyla melotot. Ia bangun sekaligus tak peduli dengan Arial yang akan terganggu.“Keyla?” Arial membuka matanya. Ia menguceknya pelan dan bangun untuk duduk.Keyla tak menggubris panggilan itu. Ia terus berjalan hingga
Arial merapikan penampilannya. Ia juga terlihat menjaga sikap dan wibawanya. Keyla mengerti. Mungkin perempuan dihadapannya ini adalah perempuan yang dimaksud disukai suami kontraknya.“Kamu lagi ngapain disini, Sar?”Sarah mengeluarkan kedua lengannya dari saku jas dokternya, “Pasien kamu punya masalah HNP. Jadi aku kesini buat menemani persalinannya.”“HNP? Saraf kejepit?”Sarah mengangguk.“Ah, iya, aku baru inget, pasien yang namanya bu Nuke ‘kan?”“Yup!”Arial mengangguk. Ketika itu ia baru menyadari keberadaan Keyla. Dengan kode ia meminta Keyla pergi.Keyla yang mendapat perintah untuk pergi merasa enggan mengikuti pinta Arial. Enak saja. Kenapa ia harus pergi? Apa karena ada perempuan yang bernama Sarah ini disini?Sarah melirik Keyla, “Kamu... dokter ko-as ya?”Keyla mengangguk tersenyum, “Iya, dok. Saya dokter koas yang sedang bertugas di stase obgyn.”Sarah mengulurkan tangan kananya, “Kenalin, saya Sarah.”Keyla menjabat tangan Sarah, “Saya Keyla, dok.”“Dia
Sebelum papa mengutarakan kecurigaannya, banyak perawat yang menyusul Arial untuk segera membantu proses kelahiran pasien yang tadi dibicarakan dengan Sarah. Alhasil ia dan Keyla langsung berlari ke ruang Ponek atau IGD khusus pelayanan ibu hamil.Arial dibantu dokter residen dan dokter ko-as yang harus melihat proses persalinan ini. Di dalam ruang persalinan sudah berdiri Sarah yang sedang berbicara dengan pasien.“Ibu yakin mau mencoba lahiran normal?” tanya Sarah.Pasien berusia awal tiga puluhan itu mengangguk, “Saya mau lahiran normal, dok.”Sarah diam sejenak, “Kita harus berkoordinasi dengan dokter obgynnya dulu ya, bu? Kalau memang memungkinkan untuk normal, saya akan izinkan. Tapi kalau dokter Arial menyampaikan ada kendala lain, kita ambil proses sectio.”Pasien itu mengangguk lemas.Arial sudah duduk dihadapan kemaluan pasien yang sudah tertutup kain, dibantu dokter residen ia memeriksa pembukaan total. “Dok, sepertinya pasien tidak bisa lahiran normal.” ujar dokter
Keyla masih memikirkan perlakuan wali pasien tadi pagi. Ia terduduk lemas ditangga evakuasi. Tiga puluh menit lalu shiftnya di ruang IGD sedang rest dan kini ia memiliki waktu untuk beristirahat sejenak sebelum tiga puluh menit lagi ia kembali berjaga disana.Arial yang baru selesai visit mencarinya kemana-mana. Ia membawakan makan siang, karena menurut teman kelompoknya Keyla hanya makan sedikit tadi siang.Saat Arial masih mencari Keyla, Jasmine datang menghampirinya. Ia sempat merapikan rambut dan riasannya sebelum menghampiri Arial yang sedang mengecek ponselnya, “Dok?”Arial melirik Jasmine, “Iya?”“Cari Keyla ya?”Arial mengangguk, “Saya takut dia kelaperan.”Jasmine menatap rice bowl yang Arial bawakan. Perhatian sekali dokter konsulennya itu pada Keyla, “Itu biar saya aja yang kasiin ke Keyla.”“Kamu tahu Keyla dimana?”Jasmine menggeleng pelan, “Tapi saya bisa cari, dok.”“Gak papa, ka
Semenjak kejadian pelukkan Keyla pada Arial didepan meja respsionis Ponek malam itu, mereka belum bicara lagi. Keduanya sama-sama saling kesal karena jadi gosip satu poli dan kini merembet menjadi satu rumah sakit. Arial yang terkenal sebagai dokter tampan dan kalem berubah menjadi dokter tampan, kalem, dan perhatian, namun hanya pada satu dokter ko-as saja yang bernama Keyla. Sontak hal itu membuatnya begitu marah pada istri kontraknya.Mereka yang masih tinggal di kamar hotel hanya saling tatap ketika pandangan mereka bertemu. Seperti pagi ini, Keyla hanya menatap Arial yang enggan menyentuh nasi goreng buatannya.“Apa?” tantang Arial.“Apa?” tanya Keyla.“Kenapa melotot?”“Oh ini namanya melotot?” Arial membuang nafas kesal. Ia berdiri dari kursi dimeja ailen.“Gak ada ya pergi tanpa sarapan. Makan!” perintah Keyla galak.Arial melirik Keyla kesal, “Siapa kamu ngatur-ngatur?”“Makan atau aku lapor papa?”Arial menutup matanya untuk meredakan amarah. Ia terpaksa kembali