“Ayah apa tadi juga mendengarkan?” Anggara masih dengan raut datarnya. Tidak ada kebahagiaan juga tidak ada keraguan.Semua yang menunggu di kursi tunggu terlihat sama terkejutnya. Meski Bunda Zia dan Mama Dara sudah menduga tetap berita yang barusan didengar sangat mengejutkan bagi mereka. Kecuali Eyang Cakra, ia nampak melebarkan senyum merekah dibibirnya.“Alhamdulillah, aku mau dapat cucu buyut,” celetuknya begitu terdengar senang, “pasti istriku dan sahabatku juga sama bahagianya mendengarkan ini disana,” lanjut Eyang Cakra bergumam semakin pelan.“Rasyid tidak menyangka Tuhan memberi waktu yang panjang sampai saat ini meski aku kesepian,” adunya pada putra semata wayangnya. Jari telunjuknya menyeka ujung mata sungguh terharu.Sementara Anggara masih mencerna, begitu yang lain. Kondisi tidak bisa dikatakan mudah, apalagi kondisi keduanya bukan seperti hubungan seharusnya. Beberapa kali Bunda Zia mengatur napasnya. Rasa sesak, bahagia dan malu secara bersamaan sebagai orang tua di
Eva membuka matanya dan botol infus yang menggantung serta ruang serba bercat putih menjadi pemandangan pertamanya ketika kelopak mata terbuka sempurna. Ringisan pelan keluar dari mulutnya ketika merasakan denyutan di kepalanya kembali terasa.“Aku dimana?” batin Eva berusaha mengingat kejadian sebelumnya. Terakhir dalam ingatannya terakhir di pelaminan akan berdansa.“Kenapa bisa kesini?” gumannya pelan. Tangannya menyapu tubuhnya terbalut selimut, tidak ada gaun indah sebelumnya, riasan tebal tidak terasa juga di wajahnya, begitu juga dengan rambutnya sudah tergerai rapi meski rasanya masih ada begitu tidak nyaman.Eva menoleh ke sisi kiri. Terlihat Anggara tidur di sampingnya. Pantas tangannya terasa hangat saat ini. Eva menatap langit-langit ruang rawatnya. Apa yang sebenarnya terjadi.“Kamu sudah bangun, aku gak mimpi, bukan?” Suara Anggara membuyarkan lamunan Eva sesaat.Eva menoleh cepat. “Aku mau minum,” lirihnya merasa tenggorokan begitu terasa kering, mengabaikan pertanyaan
Anggara terpaku mendengarkan ucapan Eva. Meski begitu pelan, tapi sangat jelas menggema hingga membuat telinganya berdengung. Gelengan kepala pria itu lakukan, mulutnya bergerak ragu-ragu segera menyela tidak terima.“Maafkan aku, biarkan aku menemani kamu, Eva.” Suara begitu rendah, nyaris seperti terdengar bisikan.Eva menoleh, wajahnya begitu datar. Kedua tangan di bawah selimut masih terpaku di atas perut, tidak bergerak hanya meletakkan bersamaan rasa bersalah sekaligus menyayangkan kehadirannya tanpa rencana sama sekali. Berharap sedikit pun tidak pernah apalagi mengharapkan kehadiran di sela kehidupannya entah dikatakan rumah tangga atau rumah duka yang dialami ini.“Biarkan aku disini, kamu boleh meminta yang lain kecuali itu dan perpisahan.” Anggara masih mengeluarkan suara pelan, terdengar tanpa semangat dan sedikit pirau.“Tolong biarkan aku sendiri,” lirih Eva. Kemudian membuang muka, tidak ingin berdebat karena yang Eva inginkan tidak melihat Anggara.Sesaat langsung kehe
“Biarkan, Eva pasti perlu waktu untuk menerima. Bagaimanapun kedatangan anak juga perlu persiapan dan rencananya kedepannya, mungkin berita ini membuat Eva cukup terkejut.” Bunda Zia menatap pintu di depannya yang kini tertutup sempurna. Anggara sudah memastikan beberapa kali dan pintu terkunci. Pria yang terlihat sangat buruk itu hanya terkulas malas, lemas dan seolah tidak ada semangat hidup bersandar pada kursi yang didudukinya.Ayah Rasyid hanya diam menyimak. Sejak Anggara bercerita apa yang terjadi tidak ada sepatah kata yang dikeluarkan pria paruh baya itu. Tatapan tidak terbaca sesekali mengatur napasnya dengan hembusan napas keluar.“Aku sudah jahat banget, ya, Bun?” seloroh Anggara bertanya.Dengusan pelan dilakukan oleh Ayah Rasyid. “Kamu masih saja begitu ditanyakan? terus pas kamu melakukan apa yang kamu pikirkan? memang kamu bodoh kalau soal perempuan, entah kamu nurun siapa, Anggara, perasaan Eyang dan aku tidak pernah buruk memperlakukan pasangan.”Bunda Zia mendelik.
“Ssst, ayo naik dan istirahat. Mama suapi, Mama lama tidak menyuapi kamu.” Mama Dara berusaha keras untuk menahan kesedihannya.“Kenapa dia memilih aku jadi ibu, Ma?”“Karena kamu wanita kuat. Jangan sesali, Sayang. Kamu tidak sendiri, ada Mama.” Mama Dara mengatakan dengan suara lembutnya.Eva menundukkan kepalanya. Membiarkan Mama Dara menyelimuti bagian kakinya. “Eva takut tidak bisa merawatnya.” Eva mengatakan dengan ragu. Membayangkan ada makhluk tubuh di bagian tubuhnya.“Kenapa tidak bisa, nanti Mama bantu. Pasti makin ramai nanti.” Mama Dara tersenyum dengan lebar. Meski sebenarnya senyum paksa ia lakukan.Eva memejamkan matanya sesak. “Aku tidak ingin ketemu dia, Ma!”Mana Dara menghentikan gerakan tangannya. Gerakan tangan ingin menyiapkan sarapan untuk Eva langsung terhenti.“Minum susunya dulu. Kita fokus untuk kesehatan kamu dan cucu Mama, ya.” Mama Dara mengatakan dengan ragu, tidak mendukung juga tidak menolak keputusan Eva.“Rasanya aku kesal ketika melihatnya. Bayang
Anggara menghentikan langkahnya. Helaan napas panjang kembali pria itu lakukan. Bukan Anggara kalau begitu saja menuruti permintaan Eva. langkahnya cepat kembali masuk dan menutup rapat ruang Eva. "Aku ingin disini, sama kamu." Anggara mengatakan dengan santai.Eva berdecak dengan raut wajah datar. "Tapi aku tidak ingin."Anggara menanggapi dengan senyuman. "Kenapa? apa itu dinamakan ngidam?" Ucapan Eva dibalikkan dengan kembali bertanya.Anggara menarik kursi di sisi ranjang rawat Eva. menduduki dengan pelan, wajahnya terlihat biasa saja. "Keluarlah, Gara!" sarkas Eva dengan tajam.Semua yang ada diruang Mama Dara, Aluna dan Akbar dalam diam menyaksikan drama keduanya. Kedua mata mereka tidak lepas dengan pergerakan keduanya. "Gak mau, Sayang," balas Anggara terdengar dengan rengekan."Anggap aku pernah baru kalau kamu masih kesal. Aku ingin siaga menjaga kalian. Kata dokter perut kamu, kram, apa masih sakit?"Eva merebahkan tubuhnya. Memiringkan badannya memunggungi Anggara. Sang
“Ayo kita pulang, biarkan Kakak kamu istirahat.” Mama Dara mengatakan dengan suara pelan takut Eva terganggu. Cukup pelan mengalun lembut ketika berbicara, obrolan ringan sudah kembali tercipta, meski semua tidak tahu bahwa rasa khawatir menyelimuti hati Anggara setelah apa yang Mama Dara katakan tadi.“Pulang? kita gak nginap, Ma? Aluna gak ada jadwal kuliah, hari ini free.”Mama Dara menggeleng, tidak setuju dengan ajakan Aluna. “Kita pulang, biarkan Kakak kamu istirahat agar segera pulang.”“Aluna gak akan ramai, Ma. Mama saja pulang dulu, Bang Akbar anter Mama, ya?” Aluna dengan alasannya.Mama Dara mulai beranjak. “Mama sudah hubungi supir. Anggara, Mama titip Eva, hubungi Mama kalau perlu bantuan atau memerlukan sesuatu.”Anggaran mengangguk, kemudian tidak lama bergerak mengikuti langkah Mama Dara.“Salam buat Eva kalau bangun nanti. Sepertinya efek obat yang disuntikkan. Kamu harus sabar ibu hamil suka rewel,” kata Mama Dara pelan. Meski dalam hati tidak rela, masih ada rasa
Anggara segera beranjak dari duduknya. Membenarkan membantu posisi setengah berbaring yang dilakukan Eva tanpa mengatakan sepatah kata. Tindakan tidak lepas dari kedua mata Lucky seolah menilai penasaran dan perempuan asing itu sama layaknya membandingkan tindakan sangat jauh berbeda perlakuan Anggara yang ia tahu dan lihat saat ini.“Dia Sarah sekretaris baruku,” jelas Anggara pelan setelah memastikan Eva nyaman.Eva masih diatas keterkejutan. Bagaimana dia sebelumnya nampak terkejut dengan adanya Lucky dan perempuan baru ditemuinya. Tidak sadar bahwa masih ada Anggara tidak jauh dari ranjang rawatnya. Ternyata pria itu beneran tidak mengikuti perintahnya untuk tidak nampak.“Hem,” balas Eva dengan deheman. Kemudian fokusnya kembali teralih pada Lucky.“Bagaimana dengan pekerjaanku Lucky? aku belum membuka email. Kamu kirim saja yang perlu aku kerjakan, meski tidak bisa secepat biasanya.” Eva bertutur kata tegas dan lembut. Terdengar sangat ramah dan enak bagi Sarah yang baru terhit
“Bagaimana kerja kamu hari ini?” Anggara dengan balutan baju tidur keluar dari kamar mandi. Langkahnya pelan menghampiri Eva yang sibuk dengan ponselnya.Kedua pasangan menginap di rumah Mama Dara tentu Aluna berhenti berdebat karena suara rendah Mama Dara. Entah perempuan muda masih belum menerima kenyataan kakaknya yang disakiti, atau mungkin karena sesama perempuan dengan ego tinggi merasa tidak terima dengan perlakuan Anggara dengan mudah mendapatkan maaf kakaknya.Eva mendongak kepalanya dengan cepat. Beberapa saat aktivitasnya terhenti ketika mendengarkan pertanyaan Anggara. Bukan merasa aneh, lebih tepatnya kenapa Anggara perlu bertanya, merasa tidak biasa.“Kamu tanya?” balas Eva dengan nada malas.Anggara segera duduk di sofa kosong tepat di sebelah Eva. Anggukan kepala Eva lakukan, kemudian membalas tatapan Eva dengan sorot mata menunggu jawaban dari Eva.“Bukannya laporan Sarah tidak telat, bukan?” balas Eva dengan nada sindiran, “kurang kerjaan banget ada Sarah.”“Kamu bis
“Mama ….” Eva memeluk Mama Dara. Pelukan begitu erat seakan lama tidak bertemu.“Sudah mulai bekerja lagi?” Mama Dara membalas pelukan dengan lembut. Tatapan beralih pada kedatangan putri sulungnya yang tidak sendiri, ada David dan perempuan yang baru ditemuinya.“Baru hari ini, Ma.” Eva melepaskan pelukan dengan pelan.“Kenapa David tidak bercerita?” Kedua mata Mama Dara menatap David, kemudian bergerak cepat beralih menatap Sarah hari ini hanya punya kerjaan satu hari penuh tidak menjauh meninggalkan Eva.“David juga baru tahu, Ma.” David mengatakan tanpa ekspresi seperti biasanya.“Sore, Tante.” Sarah menyadari tatapan Mama Dara segera mengulurkan tangannya. Tersenyum dengan sopan santun.“Sore, Sayang. Ini siapa? Mama baru lihat. Pacar kamu David?” Mama Dara tertawa seraya menatap anak laki-laki dengan gelengan kepala.David nampak terhenyak beberapa saat karena terkejut tuduhan tiba-tiba Mama Dara, sementara Eva sudah duduk di sofa.“Tidak menyangka sekali, ini sangat peningkatan
Eva menatap bingung dengan kelakuan Anggara. Masih dengan wajah tidak mengerti ucapan terakhirnya, lebih tepatnya di saat ini merasakan jantungnya terpompa lebih cepat karena tindakan Anggara yang menciumnya di depan David. Meski pria terlihat datar tidak peduli tetap Eva tidak merasa biasa.“Ibu ukuran sandalnya berapa?” Sarah bertanya dengan pelan ketika Anggara sepenuhnya tidak terlihat lagi. Suaranya terdengar memburu sepertinya tadi cukup menguras tenaganya membawa barang brand tidak hanya satu, melainkan cukup memenuhi kedua tangannya.Eva segera tertarik dari lamunannya sekilas hanyut jauh menatap Anggara yang keluar ruangannya. Langkahnya begitu nampak terburu-buru, bahkan mengabaikan sekertarisnya Sarah yang masih tertinggal.“Tiga sembilan, kenapa?” kata Eva menatap Sarah mulai mengeluarkan sandal-sandal yang dibawanya.“Syukurlah.” Sarah membuang napasnya lega.“Kenapa?” Eva masih belum mencerna.“Mau minum dulu?" David menyerahkan air mineral. Tidak menunggu Sarah menerim
“Davit, kapan kamu datang?” Eva tidak kuasa untuk langsung menghamburkan memeluk adiknya.Davit segera membalasnya, memeluk dengan wajah cuek, datar, senyum sekilas tampak sedikit langsung lenyap dalam hitungan beberapa detik.“Apa sekolah kamu selesai? ada agenda apa pulang? kenapa tidak ngabarin?” Eva melepaskan pelukan. Pertanyaan muncul dengan beruntun dan berbicara terdengar sangat cepat.“Dua hari yang lalu. Hampir selesai, doakan segera selesai.” David melenggang menuju sofa. Dimana Anggara yang menyaksikan adegan pelukan itu dengan rasa dongkol dan cemburu karena ia tidak seluassa dan sebebas Davit memeluk Eva yang tampak mesra.Eva segera mengikuti. Masih mengenakan sandal bulu miliknya. “Kenapa tidak ngasih kabar. Kamu baik-baik saja, bukan?”Davit hanya membalas dengan anggukan sekali. Kemudian tatapannya menoleh teralih menatap Anggara. “Kak Angga, aku sudah kirim email. Aplikasi baru milik Kakak luar biasa.”Eva mengerutkan dahinya. Apalagi respon Anggara terlihat mengang
Eva menatap tampilannya saat ini. Entah sudah tidak terhitung berapa kali dia melihat tampilannya kini, hingga sampai di kantor semakin membuat Eva memelankan langkahnya setelah menyadari tatapan tidak biasa para karyawan sejak keluar mobil.Ekor matanya melirik Anggara tidak melepaskan belitan tangan menggenggam tangannya sejak keluar mobil. Pria yang terkenal, sombong, arogan dan bermulut pedas tanpa ekspresi melangkah satu langkah lebih dulu dari langkahnya.“Ada apa? apa merasakan sakit?” tanyanya sangat jelas terdengar. Semakin membuat suara bisik-bisik dan perhatian karyawan tertuju pada Eva dan Anggara.Eva menggeleng pelan. Merapatkan langkahnya mendekati Anggara. “Tampilanku jelek banget? mereka melihat terus.”“Mereka punya mata.”Anggara mengatakan dengan santai. Menoleh sekilas dan mata mengedarkan ke sekitar menurutnya hal biasa.“Bukan itu,” kesal Eva.“Kamu seksi dan cantik, Sayang. Jangan lupakan kalau suami kamu cukup sangat tampan, jadi biasakan seperti ini.”Eva lant
“Duduk dulu. Tunggu sebentar.” Anggara datang dengan kursi meja rias. Wajahnya tampak sangat datar tidak terbaca. Suara tidak sekeras sebelumnya, terdengar merendah penuh penekanan seperti menahan amarahnya.Eva masih tidak mengerti menautkan alisnya. Tangan kanan masih memegang handle pintu yang belum terbuka sepenuhnya.“Duduk, jangan kemana-mana.” Anggara mengatakan tegas. Menarik Eva dan mendudukkannya pelan.Eva tidak bisa mengelak banyak. Apalagi gerakan Anggara kali ini. Kemudian nampak pria itu mulai berlari menuju walk in closet dengan langkah cepat terburu-buru.“Apasih? gak jelas.” Eva mengatakan dengan kesal. “Aku tidak tuli,” geramnya mengingat tidak terima atas suara keras Anggara yang terkejut, tapi di terima Eva seperti bentakan perintah.“Ganti sepatu kamu.” Anggara datang dengan sandal rumahan milik Eva. Sandal berbulu imut tanpa hak yang dibelikan Bunda Zia, beberapa waktu lalu. Sandal trepes satu-satunya miliknya.“Apa!” Eva memekik kaget. Menatap sepatu berhak tid
“Kamu mau kemana? kenapa sudah cantik sekali?” Anggara menatap Eva. Tubuhnya mulai terlihat lebih berisi, meski setiap malam selalu mual-mual hingga muntah parah.Bila kebanyakan ibu hamil merasakan morning sick parah setelah bangun pagi, beda dengan Eva lebih sering mual di malam hari di dua Minggu terlahir ini.Eva melanjutkan menyisir rambutnya. Menatap Anggara dengan balutan pakaian olahraga dari kaca riasnya. Dokter kandungan sudah mengatakan janinnya sudah kuat, bahkan Eva tidak mengalami flek lagi. Bisa dikatakan dua Minggu hampir tiga minggu diperlakukan Anggara seperti orang lumpuh berhasil membuat kehamilannya aman, atau bisa dikatakan emang bayi tanpa rencana yang hidup di rahimnya memilihnya untuk jadi ibu.“Ke kantor. Lama gak ke kantor.” Eva mengatakan dengan tenang. Masih melanjutkan merapikan ribut dan mengaplikasikan skincare ke wajahnya.“Apa!” Anggara tampak terkejut. Keringat terlihat menetes di wajahnya, rambut tampak lembab. Langkahnya segera berayun cepat mendek
“Semua sudah aku urus. Berkas perceraian yang naik sudah aku tarik. Pengalihan sudah tidak jelas semua harta akan berpindah pada kamu dan anak kita.” Anggara kembali dengan kertas di tangannya. Suaranya terdengar tenang, tapi beda dengan Eva sangat penasaran apa yang dimaksud atas apa yang Anggara katakan.“Maksudnya?” Eva menautkan alisnya. Ponselnya sudah diabaikan dan fokusnya pada Anggara.“Kamu bisa baca sendiri.” Anggara tersenyum tipis. Menyerahkan kertas pengalihan harta yang baru diterimanya tidak lama. Bahkan pengesahannya tepat saat Eva masuk ke rumah sakit, itu artinya saat peresmian sekaligus pesta pernikahan yang berakhir dengan berita kehamilan. Dan saat ini tepatnya kemarin semua berubah isinya.Eva menerima dan setiap kata tertulis, angka hingga huruf tidak lepas dari kedua mata Eva. Ia butuh dua kali untuk membaca untuk menyakinkan semua, meski kenyataannya isinya sangat jelas dan sebenarnya bukan pertama kalinya membaca meski dengan konsep dan isi yang berbeda berb
Eva melototkan matanya. Perasaan baru beberapa hari tidak memegang ponsel dan yang terjadi sangat luar biasa. Berita tentang pernikahan menjadi trending, begitu juga kehamilannya menduga karena tragedi saat resepsi dan dibenarkan oleh Anggara. Bahkan di akun media sosialnya biasanya sepi saat ini sangat ramai sekali.“Apa-apaan ini?” Eva sampai tidak berkedip. Notifikasi tidak berhenti ketika ponselnya mulai menyala. Bagaimana bisa akunnya di temui oleh orang-orang. Bahkan karyawannya banyak yang tidak tahu jadi sekarang tahu. Apalagi komentar yang bermunculan tidak berhenti.“Astaga! dia banyak idola!” Eva menggeleng melihat tag dirinya dengan Anggara.“Dia milikku!” lirih Eva dengan muka mulai serius. Dahi berkerut dengan alis terangkat.“Apa maksudnya? akun tidak jelas!” Eva mengatakan dengan pelan. Dua kata aneh dengan tanda seru tidak hanya sekali begitu banyak dibaca berulang-ulang oleh Eva. Belum lagi akun tidak ada nama yang jelas pemiliknya bisa dikatakan akun palsu.Guratan