“Kenapa kamu begitu perhatian dengan orang dikenal?” Anggara bertanya dengan penasaran. Kondisi ruangan tinggal mereka berdua. Baik Aluna dan Akbar juga sudah kembali, entah mereka kemana. Eva menggeleng. Tidak menanggapi karena dirinya juga tidak tahu alasan utamanya. Intinya melihat Sarah terlihat begitu tertekan mengingat dia juga pernah di posisinya begitu tertekan saat awal pernikahan dulu itu. “Mau kemana?” tanya Anggara segera bergerak menghampiri cepat dan segera membantu Eva sudah bergerak menuruni ranjang rawatnya. “Aku bisa sendiri.” Eva mengatur napas dan menegakkan tubuhnya. Meski rasa pusing masih dia rasakan, tapi tidak separah kemarin hingga kepala terasa akan pecah dan semua nampak gelap. “Aku bantu. Bagaimana kalau pingsan tiba-tiba lagi?” Anggara tidak menghiraukan penolakan Eva kesekian kalinya. Eva membuang napasnya kasar. Baru beberapa langkah ia lakukan kembali terhenti, tiang infus dirampas dan didorong oleh Anggara. Meski desakan kantung kemih Eva ras
“Kamu anak nomor tiga, ya?” Akbar menoleh sebentar, kemudian menatap kembali ke depan fokus ke kemudi.Aluna mengangguk cepat sebagai tanggapannya. “Perasaan Abang pernah bertanya.”“Benarkah? lupa! kakak kedua kamu cowok, ya? almarhum papa kamu jarang ekspos tentang keluarga. Kalaupun dikenalkan tidak sering, jadi jarang menghafalkan.” Akbar tertawa kecil terdengar.“Kami jarang ada yang suka acara begitu. Apalagi kedua kakakku hobinya belajar terus. Tidak ada hari tanpa belajar, jadi wajar mereka lulusan luar negeri."“Kamu gak suka belajar? kapan lulus?” Akbar kembali mengajukan pertanyaannya.“Biasa saja, mungkin karena anak bungsu jadi kapasitas pembagi otaknya jadi sisa mungkin. Jadi tidak sepandai kedua kakakku.” Aluna menanggapi dengan tertawa.“Mana ada konsep seperti itu? aku baru saja mendengarnya. Btw jadi kapan kamu lulusnya?” Akbar kembali mengutarakan pertanyaan yang belum mendapatkan jawabannya.“Masih lama, Kak. Dua atau mungkin bisa lebih.”“Kenapa mungkin,” cecar Ak
“Ingat, meski sudah diizinkan pulang tetap istirahat total,” ucap Anggara sudah tidak terhitung.Eva mengangguk malas. “Kamu sudah dua puluh kali mengatakan itu!”Anggara tertawa, tawa membuat Eva yang sudah bersiap menatap dalam diam. Raut wajahnya tidak terbaca.“Kamu menghitungnya? tunggu sebentar Sarah bentar lagi datang anter kursi roda.”“Sarah lagi? bukanya dia habis kamu suruh ke kantor? kenapa sudah sampai sini lagi? kamu mengerjakan Sarah sebagai sekertaris atau pesuruh?” tanya Eva.Anggara mengusap dagunya dengan jambang tipis menghiasi. Wajahnya tampak berpikir keras. “Keduanya boleh! aku membayarnya mahal.”Eva berdecak dengan menggelengkan kepalanya. “Tidak kasihan sepertinya itu memang karakter kamu! kursi roda di depan ada! aku juga bisa jalan pelan. Merepotkan orang lain!” cetus Eva.toktok.tokKetukan pintu terdengar menghentikan perdebatan pasangan yang sering berdebat. Tidak lama Sarah masuk dan tidak sendiri.“Tuan Anggara, maaf sedikit terlambat,” lirih Sarah d
Eva menarik napasnya bersamaan mobil terhenti di halaman rumah keluarga besar Anggara. Anggara benar-benar definisi meratukan dirinya saat ini. Mata sedikit terpejam, hati merasakan rasa aneh dengan perubahan semakin hari semakin besar.Pertanyaan muncul di otak, seperti inilah diperlakukan suami? perjalanan tidak memerlukan waktu hanya diisi dengan Eva yang terus terdiam dan Anggara banyak bertanya, membuat supir pribadi keluarga merasa aneh dengan sikap perubahan Anggara.Eva tidak menunggu Anggara, segera bergegas membuka pintu dan turun ketika mobil sudah sepenuhnya berhenti. Tangan langsung terentang, menarik napas dalam-dalam setidaknya udara kali ini cukup segar karena selepas hujan. Tubuh digerakkan ke kanan dan kiri, rasanya merindukan udara segar setelah hampir tiga hari dirawat rasanya seperti berbulan-bulan.Anggara menggeleng pelan melihat tingkah Eva. Mengurungkan menegur Eva yang terlihat begitu menggerakkan tubuhnya terlihat menggemaskan. Awalnya ingin marah karena Eva
Eva termenung di depan cermin kamar mandi. Semua nampak disediakan lengkap oleh Anggara. Dari handuk kecil, sedang hingga besar lengkap beserta handuk kimono dengan semua serba warna putih. Bath up sudah terisi dengan tidak jauh ada lilin aromaterapi menyeruak menyegarkan ruangan.Meski tidak ada yang spesial atau taburan bunga atau buket bunga manis, tetap perlakuan pertama ini lagi-lagi sangat menyentuh hati Eva.“Aku tunggu di depan, jangan kunci pintunya,” ucapan Anggara seolah terus menggema ditelinganya. Suara sangat lembut dan pelan tanpa penekanan atau suara keras sangat Eva dambakan sejak dulu.Eva masih menatap dirinya dari balutan cermin di depannya. “Apa harus terluka dulu? apa setelah ini aku tidak akan terluka?” batin Eva dengan trauma yang tidak terlihat, tapi cukup membekas dalam hatinya.“Sayang kamu baik-baik saja? apa sudah selesai? apa perlu bantuan?” Suara Anggara serta ketukan pintu terdengar membuyarkan lamunan Eva.TokTokTok“Baik,” balas Eva sedikit teriak.
“Bunda ….”“Bun ….”“Bunda dimana?”Anggara keluar kamarnya dengan terburu-buru. Tanpa berpikir untuk sekedar mengeringkan rambutnya yang masih menetes. Dengan telanjang dada mencari ibunya.“Bunda ….”“Astaga, kenapa terus teriak, Angga? ini rumah bukan hutan, Anggara!” Bunda Zia yang sibuk di dapur segera keluar. Celemek berwarna pink melekat pada bagian depan tubuhnya. Spatula di acungkan menyambut kedatangan Anggara berteriak kencang berdiri di ambang pintu dapur.“Kemana Eva, Bun?” Anggara menoleh, masuk ke dapur hanya terdapat pelayan yang menutup matanya, kemudian membalikan tubuhnya dan meja makan kosong.“Dikamar gak ada,” jelasnya.“Eva?” ulang Bunda Zia.“Iya, Eva istriku. Dia gak ada di kamar. Mana kursi roda juga di kamar,” kesal Anggara mengatakan dengan mata terus mengedarkan sekitar. Bergerak tidak tentu arah mencari sosok Eva.“Dulu aja di sia-siakan, disakiti, berkhianat, cari pacar bawang-bawangan! eh, sekarang tinggal lima menit gak ada aja sudah dicari-cari.”“Bun
Makan malam dominan banyak terisi dengan suara Anggara. Baik Eyang maupun Ayah Rasyid lebih banyak diam menikmati hidangan makanan malamnya. Keduanya tampak tidak bercengkrama seperti sebelumnya.Eva melirik piring makan Anggara masih utuh, tanda pria itu belum menyuapkan satu suapan masuk ke mulutnya. Pria itu sibuk memisahkan duri dari ikan yang Eva pilih. Memilih lauk dan menawarkan banyak hal.“Makan yang banyak, kamu tidak makan sendiri sekarang. Sejak pagi dan siang kamu selalu makan sedikit.” Anggara tampak antusias, apalagi kini Eva begitu lahab menikmati masakan Bunda Zia.Eva mengangguk sekali. Mulutnya terus tanpa henti menyuapkan makanan, membalas pertanyaan Anggara lebih banyak dengan bahasa tubuh atau sekedar iya maupun tidak. Apa yang dikatakan Anggara sangat benar, lidahnya terasa enak untuk mengecap dan perutnya begitu tidak protes merasa mual ketika makan malam saat ini, tidak seperti biasa seperti hari-hari sebelumnya.“Masakan Bunda enak, biasanya aku mual, Bun.”
Suapan terakhir langsung terasa tersendat dan sulit tertelan bersamaan dengan pernyataan Eva. Anggara segera meraih kasar dan meneguk cepat air minumnya dengan tergesa-gesa. Napas lega dilakukan ketika sudah bisa lagi menelan makanan yang seolah berhenti di tenggorokan begitu menyakitkan.TakSuara gelas yang sudah tandas diletakkan dengan kasar beradu dengan meja makan terdengar kencang.Masih tanpa merespon atau menjawab ucapan Eva, pria itu segera beranjak berdiri dengan kasar. Suara kaki kursi beradu dengan lantai terdengar menggema sangking kerasnya memekik telinga.KrakEva reflek langsung memejamkan matanya. Tangan mencengkram erat pegang kursi rodanya. Bibir bagian dalam tanpa sadar dia menggigitnya, gerakan reflek akhir-akhir ketika melihat kemarahan Anggara. Bedanya biasanya dengan suara nyaring, namun kali ini Eva belum mendengarkan sepatah kata satupun.Saat kedua mata terbuka kursi rodanya mulai berjalan perlahan didorong Anggara.Dorongan tidak cepat juga tidak lambat. Ev