“Tidak perlu campuri urusanku. Aku ada janji dengan kekasihku.”Eva terpaku sesaat ketika mendengar ucapan Anggara, suami yang baru dinikahinya 5 jam yang lalu. Mereka baru sampai di rumah pengantin, tapi suaminya malah mengatakan hal seperti itu.Ia menggenggam erat koper di tangannya. Apa ini yang namanya pernikahan? Padahal ini adalah malam pertama mereka.“M-Mas Gara gak capek selepas pernikahan kita?” Eva bingung bagaimana mencegah Anggara.Anggara menghentikan langkahnya, mendengarkan panggilan asing untuk pertama kalinya. Tatapan mata memindai Eva dari atas sampai bawah."Pernikahan ini terjadi hanya karena Eyang, jadi kamu tidak perlu bersikap seperti istri sungguhan," Anggara menjawab dengan wajah datar.Brak!Eva terkejut bertepatan dengan pintu utama tertutup kembali dengan kasar. Ini pertama kalinya ia dibentak seperti itu seumur hidupnya.Eva tahu bahwa air matanya tidak berarti, apalagi sampai membuat Anggara kembali. Mereka menikah karena perjodohan dadakan oleh kedua k
"Kita sudahi saja pernikahan ini!"Anggara memutar kepalanya begitu Eva mengucapkan itu. Namun, Eva buru-buru membuang pandangannya lagi sambil menyembunyikan air mata.Baru satu bulan yang lalu ia kembali ke Indonesia, setelah menghabiskan hampir 6 tahun untuk pendidikannya di Jerman. Pada awalnya, Eva hanya ingin fokus berkarier, tapi tiba-tiba sang papa malah menyuruhnya menikah.Ia merelakan gelar dan kariernya bukan untuk menjadi istri yang dilecehkan seperti ini.Orang tuanya baik, tapi sangat ketat dan penuh disiplin. Eva tumbuh sebagai wanita sempurna yang anggun dan penuh tata krama. Walaupun di satu sisi, ia jadi sulit mengatakan apa kemauannya.Anggara yang sudah berpakaian rapi pun menatap Eva sejenak, sebelum mendengus.Ia berjalan mendekat ke arah Eva, membuat wanita itu refleks menggenggam erat selimutnya. Kepalanya tertunduk, takut menatap mata tajam Anggara."Hentikan omong kosong itu! Bukankah kamu juga dapat keuntungan dari pernikahan ini!" ucap Anggara penuh peneka
Pria itu pun membalikkan tubuh Eva ke arahnya dan sebuah kecupan mendarat di puncak kening Eva dengan lembut.Cup!"K-kamu...."Senyum manis Anggara langsung sirna, dan digantikan dengan wajah dingin. Karena posisinya membelakangi para orang tua, jadi hanya Eva yang bisa melihat perubahan ekspresi itu.“Eyang sedang memperhatikan kita,” bisik Anggara dengan penuh penekanan membuat Eva tidak jadi bertanya. "Jangan bertindak macam-macam di depan mereka."Tubuh Eva langsung kaku. Ia tidak mengangguk, atau hanya sekadar tersenyum. Saat Anggara membalikkan tubuhnya pun Eva hanya bisa menundukkan kepala.Makan malam pun berlangsung. Eva lebih banyak diam dan menikmati makanannya perlahan. Sepanjang makan malam, Anggara menunjukkan bagaimana ia adalah suami yang perhatian padanya.Anggara mengambilkan Eva piring, minuman, bahkan memotongkan dagingnya. Sikapnya berbeda 180 derajat dari kemarin. Meskipun begitu, hati Eva malah bertambah sakit.Pria ini seolah menganggap kejadian kemarin tidak
Eva keluar hotel bertepatan dengan senja akan datang. Kebetulan hotel yang ditempati tidak begitu jauh dari pantai, hanya berjalan sebentar sudah sampai.Suara ombak terdengar membuat Eva terpaku melihat keindahan air terlihat biru itu. Alas kaki segera ia lepas kemudian berlari kecil menghampiri. Sejenak pantai yang terkenal sedikit menyembuhkan Eva. Suara gemuruh sorak terdengar. Sorakan para pengunjung pantai menyaksikan senja yang akan datang dan sangat indah. Eva juga menyaksikan itu, tapi hanya terpaku dalam diam tangan terlipat menatap indahnya sinar oren itu.Hingga dalam sekejap malam sudah datang. Semua berubah menjadi gelap dan orang-orang mulai berhamburan pergi. Seiring dengan itu, perutnya mulai bernyanyi nyaring.“Aku lapar…,” guman Eva. Langkahnya asal menuju salah satu restoran. Hanya berbekal mengira-ngira, ia segera masuk. Tidak ada niat untuk kembali, bayangan panas. Anggara dengan perempuan itu terlintas tanpa dicegah.Dibandingkan dengan bulan madu, Eva malah s
“Sialan kau!” teriak Anggara sambil terus memukul. Eva membeku sejenak. Ia memang tahu kalau Anggara itu adalah orang yang arogan dan dingin, tapi ini adalah kali pertama Eva melihatnya mengamuk. Anggara memukul pria itu membabi buta, mulutnya juga tidak berhenti mengucapkan kata kasar. Tubuh Eva semakin bergetar. Rasa takutnya berganti. Suara bogem terdengar menyakitkan. ‘Bagaimana kalau Anggara membunuh pria itu?’ “Anggara! S-sudah!” dengan pikiran buruknya itu, Eva pun berteriak di tengah hujan. Tangannya terulur, meraih baju belakang Anggara. “Anggara… a-aku takut….” Mungkin karena merasakan tarikan di bagian belakang bajunya yang basah, Anggara akhirnya berhenti. Pria bertato itu pun sudah tak sadarkan diri dengan wajah babak belur. Anggara mendecih, lalu segera menarik tangan Eva dari sana. Ia membawanya masuk ke mobil yang terparkir tak jauh dari sana. “Apa kamu udah gila?!” bentak Anggara langsung begitu mereka berdua ada di mobil. Ia pun menjalankan kendaraan itu. Eva
Eva terbangun selalu terlambat. Anggara seperti biasanya akan bangun lebih dulu. Entah karena ia terlalu larut dalam kesedihan dan tidak tahu jam berapa ketika tertidur membuatnya terlambat bangun atau memang kebiasaan Anggara bangun lebih dulu.Aroma parfum maskulin menyeruak. Eva merasakan tubuhnya sakit karena memang posisi tidur di sofa sangat sempit dan tidak nyaman. “Mas Gara mau kemana?” tanya Eva.Anggara hanya melirik melalui ujung matanya. Kemudian melanjutkan aktivitasnya dan bersikap tak acuh seperti biasanya tidak menganggap ada sosok Eva. Setelah selesai ia segera menuju kursi khusus, ternyata sudah tersedia hidangan sarapan dan Eva baru menyadari itu.“Cepat pergi! tampilan kau buruk! merusak mood makanku!” Suara datar dan dingin Anggara kembali bagaikan belati yang menggores hatinya kembali.Eva menatap seluruh tubuhnya. Masih dengan baju tidur panjangnya dan rambutnya segera ia rapikan. Memang harus seperti apa tampilan ketika bangun tidur? tidak ingin bersedih maupu
“Cepat bangun!” Suara keras menggema satu kamar. Belum lagi tarikan keras selimut tebal yang digunakan Eva. Siapa lagi kalau bukan Anggara pelakunya.Eva terkejut. Langsung terduduk dengan tatapan linglung. Nyawanya seolah belum kembali menatap dan mengingat apa yang terjadi.“Ada apa? bisakah kamu sedikit punya hati untuk membangunkan orang tidur?” Eva memijat pelipisnya. Denyutan rasa sakit menerpa kepala karena bangun tidur dengan keterkejutan.“Aku tidak tuli.” Eva masih bergumam dengan kesal. Meski sebenarnya ia memperhatikan bajunya apakah masih sama seperti semalam. Anggara mendengus kesal. Eva menurutnya sangat pelor, akan percuma dengan cara halus dan menurutnya akan membuang waktu.“Cepat bereskan barang kamu! dua jam lagi ke Bandara.” Anggara berkata dengan ketus. Tidak ada kata maaf mengganggu tidur Eva.“Apa?” pekik Eva dengan sisa mengumpulkan nyawanya. “Bukanya harusnya besok? mau kemana?”Eva mengingat hari, benar harusnya besok dan kemarin tetap menjadi honeymoon ter
Eva menatap pria yang kini terpejam. Akhir-akhir ini Eva bangun lebih dulu dari Anggara. Andai pria itu mau berbicara baik, sedikit berdiskusi, setidaknya ia bisa berharap kecil sama pernikahan ini. Ada setitik harapan ingin bahwa pernikahan ini adalah sekali dalam seumur hidup, tapi sepertinya hanya mimpinya dulu yang terlalu percaya diri.Sepertinya memang dirinya berjuang sendiri dan mengakui pernikahan itu sendiri. Eva sadar, kalau selalu berjuang sendiri. Berjuang untuk tidak menyakiti orang tua, almarhum kakek dan tentu Eyang. Semua dikorbankan digantikan dengan rasa sakit hatinya.Setelah sekian lamanya berstatus istri, setelah kemarin menjalani drama bulan madu baru kali ini Eva melihat detail wajah Anggara dalam jarak dekat. Tidak buruk, secara fisik sempurna dan Anggara pria idaman untuk jadi suami. Sayang sikap dan ucapannya jauh dari nilai baik itu.Seberapa lama harus bertahan, seperti itu pertanyaan yang sering muncul sejak kedatangan kembali di rumah hadiah pernikahan m
“Bagaimana kerja kamu hari ini?” Anggara dengan balutan baju tidur keluar dari kamar mandi. Langkahnya pelan menghampiri Eva yang sibuk dengan ponselnya.Kedua pasangan menginap di rumah Mama Dara tentu Aluna berhenti berdebat karena suara rendah Mama Dara. Entah perempuan muda masih belum menerima kenyataan kakaknya yang disakiti, atau mungkin karena sesama perempuan dengan ego tinggi merasa tidak terima dengan perlakuan Anggara dengan mudah mendapatkan maaf kakaknya.Eva mendongak kepalanya dengan cepat. Beberapa saat aktivitasnya terhenti ketika mendengarkan pertanyaan Anggara. Bukan merasa aneh, lebih tepatnya kenapa Anggara perlu bertanya, merasa tidak biasa.“Kamu tanya?” balas Eva dengan nada malas.Anggara segera duduk di sofa kosong tepat di sebelah Eva. Anggukan kepala Eva lakukan, kemudian membalas tatapan Eva dengan sorot mata menunggu jawaban dari Eva.“Bukannya laporan Sarah tidak telat, bukan?” balas Eva dengan nada sindiran, “kurang kerjaan banget ada Sarah.”“Kamu bis
“Mama ….” Eva memeluk Mama Dara. Pelukan begitu erat seakan lama tidak bertemu.“Sudah mulai bekerja lagi?” Mama Dara membalas pelukan dengan lembut. Tatapan beralih pada kedatangan putri sulungnya yang tidak sendiri, ada David dan perempuan yang baru ditemuinya.“Baru hari ini, Ma.” Eva melepaskan pelukan dengan pelan.“Kenapa David tidak bercerita?” Kedua mata Mama Dara menatap David, kemudian bergerak cepat beralih menatap Sarah hari ini hanya punya kerjaan satu hari penuh tidak menjauh meninggalkan Eva.“David juga baru tahu, Ma.” David mengatakan tanpa ekspresi seperti biasanya.“Sore, Tante.” Sarah menyadari tatapan Mama Dara segera mengulurkan tangannya. Tersenyum dengan sopan santun.“Sore, Sayang. Ini siapa? Mama baru lihat. Pacar kamu David?” Mama Dara tertawa seraya menatap anak laki-laki dengan gelengan kepala.David nampak terhenyak beberapa saat karena terkejut tuduhan tiba-tiba Mama Dara, sementara Eva sudah duduk di sofa.“Tidak menyangka sekali, ini sangat peningkatan
Eva menatap bingung dengan kelakuan Anggara. Masih dengan wajah tidak mengerti ucapan terakhirnya, lebih tepatnya di saat ini merasakan jantungnya terpompa lebih cepat karena tindakan Anggara yang menciumnya di depan David. Meski pria terlihat datar tidak peduli tetap Eva tidak merasa biasa.“Ibu ukuran sandalnya berapa?” Sarah bertanya dengan pelan ketika Anggara sepenuhnya tidak terlihat lagi. Suaranya terdengar memburu sepertinya tadi cukup menguras tenaganya membawa barang brand tidak hanya satu, melainkan cukup memenuhi kedua tangannya.Eva segera tertarik dari lamunannya sekilas hanyut jauh menatap Anggara yang keluar ruangannya. Langkahnya begitu nampak terburu-buru, bahkan mengabaikan sekertarisnya Sarah yang masih tertinggal.“Tiga sembilan, kenapa?” kata Eva menatap Sarah mulai mengeluarkan sandal-sandal yang dibawanya.“Syukurlah.” Sarah membuang napasnya lega.“Kenapa?” Eva masih belum mencerna.“Mau minum dulu?" David menyerahkan air mineral. Tidak menunggu Sarah menerim
“Davit, kapan kamu datang?” Eva tidak kuasa untuk langsung menghamburkan memeluk adiknya.Davit segera membalasnya, memeluk dengan wajah cuek, datar, senyum sekilas tampak sedikit langsung lenyap dalam hitungan beberapa detik.“Apa sekolah kamu selesai? ada agenda apa pulang? kenapa tidak ngabarin?” Eva melepaskan pelukan. Pertanyaan muncul dengan beruntun dan berbicara terdengar sangat cepat.“Dua hari yang lalu. Hampir selesai, doakan segera selesai.” David melenggang menuju sofa. Dimana Anggara yang menyaksikan adegan pelukan itu dengan rasa dongkol dan cemburu karena ia tidak seluassa dan sebebas Davit memeluk Eva yang tampak mesra.Eva segera mengikuti. Masih mengenakan sandal bulu miliknya. “Kenapa tidak ngasih kabar. Kamu baik-baik saja, bukan?”Davit hanya membalas dengan anggukan sekali. Kemudian tatapannya menoleh teralih menatap Anggara. “Kak Angga, aku sudah kirim email. Aplikasi baru milik Kakak luar biasa.”Eva mengerutkan dahinya. Apalagi respon Anggara terlihat mengang
Eva menatap tampilannya saat ini. Entah sudah tidak terhitung berapa kali dia melihat tampilannya kini, hingga sampai di kantor semakin membuat Eva memelankan langkahnya setelah menyadari tatapan tidak biasa para karyawan sejak keluar mobil.Ekor matanya melirik Anggara tidak melepaskan belitan tangan menggenggam tangannya sejak keluar mobil. Pria yang terkenal, sombong, arogan dan bermulut pedas tanpa ekspresi melangkah satu langkah lebih dulu dari langkahnya.“Ada apa? apa merasakan sakit?” tanyanya sangat jelas terdengar. Semakin membuat suara bisik-bisik dan perhatian karyawan tertuju pada Eva dan Anggara.Eva menggeleng pelan. Merapatkan langkahnya mendekati Anggara. “Tampilanku jelek banget? mereka melihat terus.”“Mereka punya mata.”Anggara mengatakan dengan santai. Menoleh sekilas dan mata mengedarkan ke sekitar menurutnya hal biasa.“Bukan itu,” kesal Eva.“Kamu seksi dan cantik, Sayang. Jangan lupakan kalau suami kamu cukup sangat tampan, jadi biasakan seperti ini.”Eva lant
“Duduk dulu. Tunggu sebentar.” Anggara datang dengan kursi meja rias. Wajahnya tampak sangat datar tidak terbaca. Suara tidak sekeras sebelumnya, terdengar merendah penuh penekanan seperti menahan amarahnya.Eva masih tidak mengerti menautkan alisnya. Tangan kanan masih memegang handle pintu yang belum terbuka sepenuhnya.“Duduk, jangan kemana-mana.” Anggara mengatakan tegas. Menarik Eva dan mendudukkannya pelan.Eva tidak bisa mengelak banyak. Apalagi gerakan Anggara kali ini. Kemudian nampak pria itu mulai berlari menuju walk in closet dengan langkah cepat terburu-buru.“Apasih? gak jelas.” Eva mengatakan dengan kesal. “Aku tidak tuli,” geramnya mengingat tidak terima atas suara keras Anggara yang terkejut, tapi di terima Eva seperti bentakan perintah.“Ganti sepatu kamu.” Anggara datang dengan sandal rumahan milik Eva. Sandal berbulu imut tanpa hak yang dibelikan Bunda Zia, beberapa waktu lalu. Sandal trepes satu-satunya miliknya.“Apa!” Eva memekik kaget. Menatap sepatu berhak tid
“Kamu mau kemana? kenapa sudah cantik sekali?” Anggara menatap Eva. Tubuhnya mulai terlihat lebih berisi, meski setiap malam selalu mual-mual hingga muntah parah.Bila kebanyakan ibu hamil merasakan morning sick parah setelah bangun pagi, beda dengan Eva lebih sering mual di malam hari di dua Minggu terlahir ini.Eva melanjutkan menyisir rambutnya. Menatap Anggara dengan balutan pakaian olahraga dari kaca riasnya. Dokter kandungan sudah mengatakan janinnya sudah kuat, bahkan Eva tidak mengalami flek lagi. Bisa dikatakan dua Minggu hampir tiga minggu diperlakukan Anggara seperti orang lumpuh berhasil membuat kehamilannya aman, atau bisa dikatakan emang bayi tanpa rencana yang hidup di rahimnya memilihnya untuk jadi ibu.“Ke kantor. Lama gak ke kantor.” Eva mengatakan dengan tenang. Masih melanjutkan merapikan ribut dan mengaplikasikan skincare ke wajahnya.“Apa!” Anggara tampak terkejut. Keringat terlihat menetes di wajahnya, rambut tampak lembab. Langkahnya segera berayun cepat mendek
“Semua sudah aku urus. Berkas perceraian yang naik sudah aku tarik. Pengalihan sudah tidak jelas semua harta akan berpindah pada kamu dan anak kita.” Anggara kembali dengan kertas di tangannya. Suaranya terdengar tenang, tapi beda dengan Eva sangat penasaran apa yang dimaksud atas apa yang Anggara katakan.“Maksudnya?” Eva menautkan alisnya. Ponselnya sudah diabaikan dan fokusnya pada Anggara.“Kamu bisa baca sendiri.” Anggara tersenyum tipis. Menyerahkan kertas pengalihan harta yang baru diterimanya tidak lama. Bahkan pengesahannya tepat saat Eva masuk ke rumah sakit, itu artinya saat peresmian sekaligus pesta pernikahan yang berakhir dengan berita kehamilan. Dan saat ini tepatnya kemarin semua berubah isinya.Eva menerima dan setiap kata tertulis, angka hingga huruf tidak lepas dari kedua mata Eva. Ia butuh dua kali untuk membaca untuk menyakinkan semua, meski kenyataannya isinya sangat jelas dan sebenarnya bukan pertama kalinya membaca meski dengan konsep dan isi yang berbeda berb
Eva melototkan matanya. Perasaan baru beberapa hari tidak memegang ponsel dan yang terjadi sangat luar biasa. Berita tentang pernikahan menjadi trending, begitu juga kehamilannya menduga karena tragedi saat resepsi dan dibenarkan oleh Anggara. Bahkan di akun media sosialnya biasanya sepi saat ini sangat ramai sekali.“Apa-apaan ini?” Eva sampai tidak berkedip. Notifikasi tidak berhenti ketika ponselnya mulai menyala. Bagaimana bisa akunnya di temui oleh orang-orang. Bahkan karyawannya banyak yang tidak tahu jadi sekarang tahu. Apalagi komentar yang bermunculan tidak berhenti.“Astaga! dia banyak idola!” Eva menggeleng melihat tag dirinya dengan Anggara.“Dia milikku!” lirih Eva dengan muka mulai serius. Dahi berkerut dengan alis terangkat.“Apa maksudnya? akun tidak jelas!” Eva mengatakan dengan pelan. Dua kata aneh dengan tanda seru tidak hanya sekali begitu banyak dibaca berulang-ulang oleh Eva. Belum lagi akun tidak ada nama yang jelas pemiliknya bisa dikatakan akun palsu.Guratan