Eva terbangun selalu terlambat. Anggara seperti biasanya akan bangun lebih dulu. Entah karena ia terlalu larut dalam kesedihan dan tidak tahu jam berapa ketika tertidur membuatnya terlambat bangun atau memang kebiasaan Anggara bangun lebih dulu.
Aroma parfum maskulin menyeruak. Eva merasakan tubuhnya sakit karena memang posisi tidur di sofa sangat sempit dan tidak nyaman. “Mas Gara mau kemana?” tanya Eva. Anggara hanya melirik melalui ujung matanya. Kemudian melanjutkan aktivitasnya dan bersikap tak acuh seperti biasanya tidak menganggap ada sosok Eva. Setelah selesai ia segera menuju kursi khusus, ternyata sudah tersedia hidangan sarapan dan Eva baru menyadari itu. “Cepat pergi! tampilan kau buruk! merusak mood makanku!” Suara datar dan dingin Anggara kembali bagaikan belati yang menggores hatinya kembali. Eva menatap seluruh tubuhnya. Masih dengan baju tidur panjangnya dan rambutnya segera ia rapikan. Memang harus seperti apa tampilan ketika bangun tidur? tidak ingin bersedih maupun berdebat segera Eva meninggalkan Anggara. Eva bergegas mandi cepat. Berharap, Anggara belum selesai makan dan bisa sarapan bersama. Setidaknya pagi ini Eva ingin berdamai. Namun, ketika keluar kamar semua bersih dan sepi. Tidak ada sosok Anggara, tidak pula ada sisa menu makanan untuknya. Sungguh tega, hanya memesankan makanan untuknya tidak pria itu lakukan. Eva mendesah panjang, harapan memang sekedar harapan. “Aku takut keluar,” gumannya mengingat kejadian semalam. Mengurungkan niatnya untuk makan di restoran dan memilih memesan makanan seperti yang Anggara sebelumnya lakukan. Selepas makan hanya terdiam, Eva hanya menghabiskan waktu dikamar dengan ponselnya. Meski berusaha untuk sibuk keindahan diluar menarik Eva menuju balkon kamar. Hotel yang menyajikan view yang indah. Menghadap keindahan laut yang terlihat biru. “Indah sekali, sayang ini honeymoon macam apa!” Eva lagi-lagi merasakan dorongan untuk menikmati liburan kali ini sendiri lagi, mengharamkan Anggara tentu tidak mungkin. Namun, pengalaman semalam membuat rasa takut. Hingga terdengar Anggara masuk ke kamar hotelnya dengan terburu-buru. “Mas Gara ….” “Eyang sedang telepon, Sayang.” Anggara berkata manis. Memotong ucapan terkejut Eva. Seakan menunjukkan bahwa akting kembali dimulai. Meski bukan pertama kalinya tetap Eva merasa merinding mendengarkan Anggara bersikap manis. Selalu seperti ini ketika berhadapan dengan Eyang. Benar-benar bermuka dua. “Apakah kamu selesai bersiap? mari kita keluar.” Anggara mengecup mesra pipi Eva dengan kamera ponsel panggilan video menyorot keduanya. “Aku menunggu kamu di luar, kenapa lama!” Eva mengangguk kikuk. Eyang terlihat jelas tersenyum senang dari layar ponsel Anggara pegang. Sangat pantas Anggara menjadi aktor ternama akan aktingnya saat ini daripada CEO. “Eyang ….” “Kalian lanjutkan saja, maafkan pria tua ini mengganggu kalian. Semoga bahagia, lebih lama tidak masalah,” ucap Eyang sebelum ponsel terputus. Tercetak rasa puas, apalagi rambut setengah basah milik Eva terlihat tergerai indah. Anggara mendesah panjang ketika obrolan sepenuhnya berakhir. Menyimpan ponselnya segera. “Cepat bereskan tampilan kamu! kita keluar.” “Kenapa dengan tampilan, ku?” Eva membalikan dengan bertanya. Menatap tampilan tubuhnya sudah seperti biasa. Anggara memindai tajam tampilan Eva dari atas hingga ke bawah. Tidak ada lekuk tubuh sama sekali, baju terlihat kebesaran hingga sebatas bawah lutut, rambut hanya model lurus panjang tidak lebih dari itu. Sangat jauh dari kata sempurna menurut Anggara. Dari sekian model jaman sekarang. “Aku selalu begini. Apa kamu malu dengan penampilan ini?” Eva merapikan beberapa kali dressnya. Merasa risih dengan tatapan. “Buruk!” Anggara mencela dengan kalimat pedas, pelan, menyakitkan dan penuh penekanan. Eva memejamkan matanya sesaat. Lagi-lagi Anggara melontarkan kalimat pedasnya. Padahal dia tidak mengakuinya kecuali di depan keluarganya, kenapa harus sedetail ini. Tidak puaskan sebelumnya sudah menilainya begitu menyakitkan. “Tidak perlu nangis. Cepat! sebelum Eyang meneror ku dengan panggilan teleponnya!” Anggara kembali berucap. Jari tangannya menunjukkan otot lehernya menonjol seolah semua yang terjadi semua selalu akibat ulah Eva. “Mau kemana? aku akan seperti ini. Terserah kamu mau atau tidak!” Eva menyela cepat. “Cepat! waktu ku tidak banyak.” Anggara menggeram. Tanpa menjelaskan langsung melenggang pergi lebih dulu. Eva tidak langsung keluar kamar mengejar Anggara. Dia menatap cermin menampilkan seluruh tubuhnya. Beberapa menatap tampilannya, menurutnya masih sangat sopan dari wanita kemarin yang menjadi pacar Anggara. “Apa aku harus berpakaian seksi dulu dia baru mengakui aku cantik?” guman Eva dengan senyum miring. Kemudian menggeleng, perempuan kemarin seperti murahan menurutnya, begitu juga kurang sopan. Ia gak mau disamakan dengan penampilan seperti golongan dia. *** “Sialan, lama sekali?” umpatan Anggara menyambut Eva yang baru saja membuka pintu samping kemudi. “Siapa dia?” ucapnya bertanya melihat tempat yang seharusnya untuknya. Tetapi kini ada sosok yang duduk bersandar santai tanpa bersalah menatapnya acuh dan sombong. “Bukan urusan kamu! cepat masuk!” Anggara menyela dengan ketus dan kesal. Eva masih menatap perempuan bergaun merah muda cerah itu. Sangat berbeda dari perempuan kemarin. Meski tidak berinteraksi lama cukup kuat ingatannya mengingat perempuan kemarin. Sangat yakin kali ini beda orang. Pertanyaan muncul, berapa banyak pacar Anggara? “Apa kamu tuli! merepotkan dan selalu merepotkan!” pekik Anggar kesal. “Sudah aku katakan lebih baik tinggal saja, tetap saja kamu tunggu, Sayang.” Suara perempuan itu menambahkan. Suara begitu menjadi mendayu-dayu dibuat-buat langsung memberi efek ingin mual yang Eva rasakan. “Akan semakin merepotkan dan mengganggu kencan kita seperti tadi kalau tidak membawanya. Anggaplah dia menumpang,” kata Anggara dengan senyum dan tawa kecil. Eva ingin sekali menampar pipi keduanya. Berapa kejamnya mulut mereka, ingin sekali rasanya menjerit dan menangis. Namun, Eva sadar ini tempat umum dan tidak mau mengotori tangannya. “Aku mabuk kendaraan bila duduk dibelakang,” dusta Eva berbohong. Tentu sengaja ingin membuat perempuan centil itu sedikit mendapatkan oleh-oleh darinya. “Tapi kalau kalian tidak keberatan dengan aroma begitu tidak masalah. Aku akan ke belakang.” Eva menekan ucapannya. “Kamu ke belakang sebentar Tasya. Tidak akan lama, dari pada kita terganggu dan menjijikan,” balas Anggara. Eva menyeringai pelan. Merasa menang meski sebenarnya hatinya sakit. Anggara selalu melibatkan perempuan lain untuk menyakiti hatinya. “Tapi ….” Tasya tentu tidak langsung setuju. “Nanti bisa belanja sepuasnya atau kita bermain sepuasnya. Hanya sebentar, Tasya Sayang.” Anggara menyela dan tersenyum. Senyum selalu menjadi pemikat para wanita yang menatapnya. “Oke! ini tidak gratis!” Tasya menghentakkan kakinya kesal. Menabrak keras pundak Eva dengan sengaja. “Pelakor sialan,” umpat Eva tanpa bisa dicegah mengumpat untuk sekian kalinya. Anggara mulai melajukan mobilnya. Eva berharap perjalanan tetap kondusif dan tenang ternyata salah. Dua manusia bisa melakukan apa saja membuat hatinya sakit. Meski sebenarnya berusaha untuk tidak melihat, tapi telinganya tidak tuli mendengarkan obrolan menjijikan itu. Rayuan demi rayuan, belum lagi suara memuakkan dari wanita yang didengar bernama Tasya itu. “Kita akan kemana?” tanya Eva tidak tahan lagi. “Terserah aku!” Anggara menjawab dengan seringai puas di wajahnya.“Cepat bangun!” Suara keras menggema satu kamar. Belum lagi tarikan keras selimut tebal yang digunakan Eva. Siapa lagi kalau bukan Anggara pelakunya.Eva terkejut. Langsung terduduk dengan tatapan linglung. Nyawanya seolah belum kembali menatap dan mengingat apa yang terjadi.“Ada apa? bisakah kamu sedikit punya hati untuk membangunkan orang tidur?” Eva memijat pelipisnya. Denyutan rasa sakit menerpa kepala karena bangun tidur dengan keterkejutan.“Aku tidak tuli.” Eva masih bergumam dengan kesal. Meski sebenarnya ia memperhatikan bajunya apakah masih sama seperti semalam. Anggara mendengus kesal. Eva menurutnya sangat pelor, akan percuma dengan cara halus dan menurutnya akan membuang waktu.“Cepat bereskan barang kamu! dua jam lagi ke Bandara.” Anggara berkata dengan ketus. Tidak ada kata maaf mengganggu tidur Eva.“Apa?” pekik Eva dengan sisa mengumpulkan nyawanya. “Bukanya harusnya besok? mau kemana?”Eva mengingat hari, benar harusnya besok dan kemarin tetap menjadi honeymoon ter
Eva menatap pria yang kini terpejam. Akhir-akhir ini Eva bangun lebih dulu dari Anggara. Andai pria itu mau berbicara baik, sedikit berdiskusi, setidaknya ia bisa berharap kecil sama pernikahan ini. Ada setitik harapan ingin bahwa pernikahan ini adalah sekali dalam seumur hidup, tapi sepertinya hanya mimpinya dulu yang terlalu percaya diri.Sepertinya memang dirinya berjuang sendiri dan mengakui pernikahan itu sendiri. Eva sadar, kalau selalu berjuang sendiri. Berjuang untuk tidak menyakiti orang tua, almarhum kakek dan tentu Eyang. Semua dikorbankan digantikan dengan rasa sakit hatinya.Setelah sekian lamanya berstatus istri, setelah kemarin menjalani drama bulan madu baru kali ini Eva melihat detail wajah Anggara dalam jarak dekat. Tidak buruk, secara fisik sempurna dan Anggara pria idaman untuk jadi suami. Sayang sikap dan ucapannya jauh dari nilai baik itu.Seberapa lama harus bertahan, seperti itu pertanyaan yang sering muncul sejak kedatangan kembali di rumah hadiah pernikahan m
“Apa yang terjadi, Sayang? kenapa? bukanya masih jam kantor? atau kamu hari ini belum masuk kantor?” Pertanyaan beruntun di layangkan Mama Dara.Eva memeluk begitu erat ibunya. Mengabaikan pertanyaan panjang Mama Dara yang seolah hanya masuk dan lewat gendang telinganya.Mama Dara paham membiarkan putri sulungnya. Meski sebenarnya awalnya sangat terkejut, ketika membuat kue mendapatkan kejutan pelukan tiba-tiba dari Eva, untung tidak ada riwayat jantung seperti suaminya.“Untung bukan Papa kamu yang kamu beginikan. Sudah pasti akan langsung ke rumah sakit,” kekhawatiran Mama Dara menunggu putrinya melepaskan pelukan erat itu.Eva melepas belitan tangannya. Aroma khas mamanya seolah memberi obat rasa sakit yang kurasakan tadi. Meski itu hanya sesaat, setidaknya lebih baik.“Mama tanya apa tadi?” kata Eva meletakkan oleh-oleh dari Bali yang baru sempat ia antar.“Darimana? kenapa gak ngabarin kalau mau datang, kata mertua kamu kemarin kalian bulan madu, apa Anggara tidak ikut,” kata Mam
“Istrimu kembali,” ucap perempuan berbeda kesekian kalinya menyambut kepulangan Eva.Eva memejamkan matanya sesaat. Suguhan adegan sudah tidak terhitung lagi. Lelah sekaligus muak, capek sekali apalagi ia pulang dari kerja. Mau tidak pulang, tapi tidak ada lagi tempatnya pulang kecuali rumah hadiah pernikahan ini.Anggara mengecup pipi kekasihnya. “Biarkan saja, Sayang!”“Apa dia tidak memberi servis terbaik? aku rasa tanpa kamu menjawab jawabannya sudah tentu, tidak!” ejek perempuan itu. Tatapan merendahkan begitu angkuh.“Biarkan saja,” tegas Anggara. Namun, wajahnya puas melihat wajah kekesalan Eva kali ini. “Tidakkah tempat diluar sana yang cocok untuk berpacaran,” kata Eva yang sudah tidak tahan lagi. Kalimat terdengar datar. Sudah ia tahan selama ini. Namun, tetap Anggara selalu dengan tingkahnya. Seolah ada ribuan cara untuk menguji besar kesabarannya.Seringai lebar nampak di wajah angkuh Anggara. Akhirnya, berhasil membuat Eva mengatakan protesnya.“Seharusnya dengan adanya
“Tolong sajikan hidangan dan minuman hangat. Gulanya pakai khusus, Bik. Eva akan turun sebentar lagi, masih bergantian mandi sama Mas Gara.” Bik Darmi mengangguk. “Saya permisi, Bu.” “Bik, tunggu.” Bik Darmi baru beberapa langkah menghentikan langkahnya. Eva segera beranjak bergerak menghampiri dengan langkah cepat. Kepalanya mulai bergerak menatap lantai bawah, meski kenyataan tidak terlihat sama sekali, tapi mampu membuat hati Eva was-was. “Bik, tolong jangan katakan apapun.” Eva berkata dengan pelan. Tangan lembutnya meraih tangan Bik Darmi pelan. “Apapun yang Bik Darmi lihat selama ini. Kalau Eyang tanya sesuatu tentang itu,” tegas Eva. Bik Darmi mengangguk. Mata senjanya tersorot rasa prihatin sekaligus kasihan. Selain benda mati di rumah dua lantai itu, Bik Darmi lah satu-satunya yang menjadi saksi bagaimana tingkah Anggara dengan pacarnya. Mau berkomentar tentu sebagai orang luar tidak bisa melakukan apapun. “Bik Darmi tidak begitu, Bu. Kata cucu saya zaman sekara
“Kalian terdengar keberatan.” Eva dan Anggara saling bersitatap. Tatapan seolah saling beradu membayangkan adegan yang akan terjadi kedepannya. Selama Eyang berada di ruang mereka.“Bu-bu ….”“Berapa lama, Eyang? kita sibuk, Eyang pasti tahu itu?” Anggara menyela menyatakan keberatannya.“Besok bukannya kamu juga ke kantor, Sayang?” Anggara merapatkan duduknya menghampiri Eva. Rangkulan dan kecupan mendarat di pipinya.“I-iya.” Eva gugup dan terkejut dengan serangan tiba-tiba Anggara. Bukan serangan, tapi seolah sinyal tanda bahwa adegan akting sudah dimulai.“Eyang juga jangan sampai ingin mencari perawan karena melihat kemesraan pengantin baru,” lanjut Anggara dengan nada mengejek dan kembali mengecup pipi Eva. Emuah …Eva menegang. Jantungnya berdegup dengan kencang seiring dengan kecupan yang terdengar. Mesti bukan pertama kali tentu perlakuan Anggara yang sangat manis dan mesra selalu berhasil membuat bulu kuduk berdiri merinding meremang.“Dasar cucu sialan. Apa yang kamu kata
Suara langkah kaki begitu menggema dengan alunan sepatu hak rendah menggema mengenai lantai marmer. Senyum merekah tidak lepas dari bibirnya, seperti biasa Eva selalu bisa menempatkan dirinya. Membuang semua beban rumah dan kini begitu ramah dengan para karyawannya. Sapaan demi sapaan selamat pagi, Eva dapatkan. Balasan dengan suara lembut Eva lakukan tidak terlewatkan satu karyawan yang menyapanya. “Selamat pagi, Bu.” Sekretaris berpakaian rapi sebagai orang terakhir menyambut kedatangan Eva yang selalu tepat waktu. “Pagi, Lucky. Apa pekerjaan hari ini sangat banyak?” Eva segera masuk dan duduk di kursi kebesarannya di ruangan diikuti oleh sekretarisnya. Merapikan tempatnya dan mengeluarkan komputer lipat dari tas sederhana yang selalu menemani kerja setiap harinya. “Tidak begitu banyak, Bu. Seperti biasa, tambahan ada meeting sebelum peluncuran penerbitan dan cetak produk terbaru.” Lucky menggeser layar tablet di bawa saat ini di tangan kiri. Kemudian mengangguk-angguk membaca
“Akbar memang perlu kacamata,” guman Anggara. Tatapan datar tidak lepas pada penampilan Eva kini.Kedua mata memindai, wajah Eva tidak ada yang berubah. Wajah tanpa polesan, rambut yang terlihat acak-acakan, dengan baju tidur lengan panjang kebesaran yang Eva kenakan. Mengingat perkataan Akbar membuat Anggara berdecak dengan gelengan kepala malas.Mengabaikan posisi tidur Eva yang terduduk di sofa dengan berkas dan laptop di depannya. Anggara segera beranjak, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Lelah dan lengket dia rasakan rasanya segera harus ke kamar mandi menyiram seluruh tubuhnya.Keluar kamar mandi, masih sama. Anggara masih melihat Eva, meski dengan posisi berbeda. Dengan bahu terangkat, minimnya rasa simpati, Anggara meraih baju tidurnya dan lagi-lagi mengabaikan posisi tidak nyaman Eva.Memang pernikahan mereka ada karena keterpaksaan. Di hati, Anggara tidak terbesit untuk menjalani serius. Baginya keluarganya menganggap Eva menantunya lebih dari cukup, tidak dengan d