“Akbar memang perlu kacamata,” guman Anggara. Tatapan datar tidak lepas pada penampilan Eva kini.Kedua mata memindai, wajah Eva tidak ada yang berubah. Wajah tanpa polesan, rambut yang terlihat acak-acakan, dengan baju tidur lengan panjang kebesaran yang Eva kenakan. Mengingat perkataan Akbar membuat Anggara berdecak dengan gelengan kepala malas.Mengabaikan posisi tidur Eva yang terduduk di sofa dengan berkas dan laptop di depannya. Anggara segera beranjak, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Lelah dan lengket dia rasakan rasanya segera harus ke kamar mandi menyiram seluruh tubuhnya.Keluar kamar mandi, masih sama. Anggara masih melihat Eva, meski dengan posisi berbeda. Dengan bahu terangkat, minimnya rasa simpati, Anggara meraih baju tidurnya dan lagi-lagi mengabaikan posisi tidak nyaman Eva.Memang pernikahan mereka ada karena keterpaksaan. Di hati, Anggara tidak terbesit untuk menjalani serius. Baginya keluarganya menganggap Eva menantunya lebih dari cukup, tidak dengan d
“Jangan kecewakan, Papa.” Papa Alfian menghentikan langkahnya di ambang pintu. Berbalik dan menatap putrinya dengan sorot mata tegas.Lidah Eva terasa kelu. Tidak ada lima menit rasanya beban terasa berat di pundaknya. Perkataan papanya bukan lagi tawaran atau ajakan, melainkan tuntutan diharuskan untuk datang.“Apa Papa tidak datang?” pertanyaan pelan lolos kembali membuat Papa Alfian menghentikan langkahnya untuk membuka pintu ruang kerja Eva.Ingin sekali Eva menolak, tentu tidak ingin bertemu dengan suaminya. Rasanya ingin sekali Eva menghindari semua itu. Cukup di rumah bagai orang asing sudah membuatnya sesak. Apalagi bagaimana diluar nanti, sangat kenal bahkan hampir tiap malam di ruang yang sama harus asing ketika di luar rumah.Papa Alfian menggeleng. Sorot matanya tidak berubah selalu tegas, tapi tersirat rasa kelegaan menatap Eva. “Sudah ada kamu, kenapa Papa harus datang.”Eva membuang napas panjang dan mengangguk. “Eva mengerti dan tidak akan kecewakan Papa.”Papa Alfian
Aluna menatap Eva dari atas hingga ke bawah. “Kakak ipar gak pernah komentar pakaian, Kakak?”Deg!Aluna beranjak dari duduk. Kemudian menatap dari atas hingga kebawah, dari ujung kepala hingga kaki, tampilan sederhana Eva. Tatapan seolah menilai detail selayaknya juri fashion pada apa yang Eva kenakan. Memang dibandingkan dengan Aluna cukup sangat jauh, adiknya sangat fashionable dengan kapasitas otak pas-pasan. Sedangkan Eva otaknya luar biasa, tapi kemampuan untuk berpakaian jauh dari kata trend masa kini. Rambutnya hanya dibiarkan lurus dengan warna aslinya. Begitu pakaian selalu longgar dengan model itu-itu saja sejak dulu.Eva merasa degup jantungnya semakin kencang memompa. Pikirannya kembali berkelana, menunduk kepala dan menatap tampilannya sekali lagi, tidak hanya sekali sekarang sudah dua kalinya Eva melihat pakaiannya. Kenapa dengan pakaiannya, perasaan tidak ada yang buruk dan tergolong sangat sopan.“Kenapa? ada apa dengan pakaian Kakak? selama ini kamu tidak masalah,
“Lalu?” Anggara bergumam dengan malas.“Memang berbicara sama kamu selalu percuma. Terserah!” Eva sudah merasa muak dan lelah. Dirinya tidak mau peduli lagi. Anggara tertawa kecil. Tawa selalu terdengar meremehkan, tatapan matanya acuh ketika menatap berbicara dengan Eva. Bahkan sesekali asyik dengan ponselnya tanpa menanggapi dengan serius apa yang Eva bicarakan.“Aku sudah mengatakan tidak perlu peduli urusanku! urus saja dirimu. Kita tidak lebih dari status diatas kertas.”Eva yang sudah beberapa langkah berjalan meninggalkan Anggara seketika menghentikan langkahnya. Ucapan Anggara meski santai, tapi sangat jelas masuk indera pendengarannya. Cukup jelas karena ruang hanya ada interaksi mereka berdua.Eva mengepalkan tangannya. Mengingat lagi-lagi ketika berbicara seperti lawan bicaranya adalah patung dan membuang waktunya, Eva mengabaikan semua itu. Ia lantas kembali melajukan langkahnya. Tentu kamar tujuan utamanya.Anggara menyeringai melihat Eva semakin menjauh. Tatapan tidak l
“Kakak luar biasa,” kata Aluna antusias. Memutari tubuh Eva yang berubah sempurna, wajah kagum nampak jelas di wajahnya, “Kakak cantik sekali. Begini baru putri Adhitama.” Tidak hanya Aluna seperti petugas salon tidak bisa juga menyembunyikan rasa kekagumannya. Eva mengulum bibirnya membentuk senyuman. Merasa geli dengan adiknya. Perasaan perubahan hanya di rambut dan pakaiannya. Selebihnya masih cenderung natural seperti biasa. “Biasa aja, Aluna! apa ini tidak berlebihan? apa gaun tidak ada lengan yang lebih panjang?” Aluna menggelengkan kepalanya cepat. Masih memutari tubuh Eva, dia melakukan tidak sekali, memindai seolah melihat apakah ada yang kurang. Decak puas bisa mengubah penampilan Eva kali ini. Rasanya menyenangkan. “Kakak mulai sekarang harus terbiasa dengan penampilan begini. Bahwa Kakak tahu, kemarin itu perempuan yang bertemu Kakak ipar lebih minim lagi berpakaian, kurang bahan tepatnya! Aluna sudah memilihkan yang pas. Tidak terbuka juga memberi kesan luar bias
“Kenapa dengan wajah kamu?” Akbar merapikan jasnya. “Bukannya aku pernah berkata ini. Dia permata, seperti malam ini dia berkilau menjadi pusat perhatian semua orang. Apa kamu yakin masih tidak mengakui istri? aku siap menggantikan dengan senang hati.”Akbar begitu senang. Berdiri seolah menyambut kedatangan perempuan itu. Berkata dengan senyum miring melirik perubahan wajah Anggara.Anggara mendengus kesal. Bukan hanya semua pria di sekitarnya. Akbar juga jadi salah satu memuja penampilan Eva. Tangannya mengepal dirinya merasa kesal tidak senang. “Perempuan itu baru pertama kali melihatnya.”“Dia Adeeva, putri Alfian Adhitama. Aku pernah ketemu beberapa hari lalu, tapi penampilannya tidak luar biasa seperti sekarang. Kemarin cukup sederhana, tapi tidak membuat bosan memandangnya apalagi kalau tersenyum, beh ….”“Manis ….”“Apa itu perempuan yang kamu bicarakan tadi? dia jarang ikut papanya karena hidup di luar negeri sebelumnya? terus kenapa sekarang disini? sepertinya kita perlu be
Lucky menoleh bingung. Acara inti memang selesai, tapi masih ada serangkaian acara hiburan dan makan hidangan yang bisa nikmati. Namun, Tuan Anggara menarik pergi atasannya.“Tuan Akbar, apa yang terjadi? apa atasan saya menyinggung Tuan Anggara?” Lucky memastikan. Antara bingung harus bagaimana, atasannya tidak berontak, malah sebaliknya keduanya keluar lebih dulu dan pertama membuat pemicu keterkejutan semua pengunjung.Wajah mereka tercengang, menatap bergantian antara Akbar terlihat biasa saja dan Anggara masih saling bertautan dengan perempuan yang malam ini menjadi pusat perhatian di acara. Bisikin pelan tidak dihindari lagi. Banyak yang saling bertaruh antara Akbar dan Anggara yang mendapatkan perempuan menjadi primadona kali ini.Bagaimana tidak terkejut, sepanjang acara berlangsung dominan Akbar yang terlihat mendekati Eva terang-terangan sangat nampak. Semua sudah menduga pemenang mereka adalah Akbar yang selalu ramah dan mudah bergaul, tapi tidak menyangka Anggara yang terk
Eva menahan rasa sakit di bagian inti tubuhnya, mengabaikan rasa sakitnya langsung berlari ke kamar mandi. Air mata bagaikan kran yang tidak terhenti terus mengalir. Isak tangisan keras di bawah shower air dingin ia lakukan. Raungan terdengar begitu menggema di kamar mandi.Terdengar histeris dan miris di ruang persegi yang tidak begitu luas namun tidak juga sempit. Rasanya perih, tidak hanya bagian bawah karena perlakuan kasar Anggara kedua kalinya, tetapi juga hatinya merasa kecewa sakit yang luar biasa.Eva menatap Anggara terlihat tidur nyaman. Kamar masih memberantakan tidak terbentuk, jejak masih terlihat. Bahkan Anggara masih tertutup dengan sedikit selimut tanpa mengenakan satu benang ditubuhnya. Pakaian tercecer di lantai, Eva tidak berniat membereskan.Tidak berniat apapun selain beranjak pergi dari kamarnya.Masih dengan isakan sesekali terdengar ia keluar dari kamar begitu menorehkan jejak luka. Luka kedua kalinya. Lagi-lagi air mata seolah sulit dibendung, meski semua suda
“Bagaimana kerja kamu hari ini?” Anggara dengan balutan baju tidur keluar dari kamar mandi. Langkahnya pelan menghampiri Eva yang sibuk dengan ponselnya.Kedua pasangan menginap di rumah Mama Dara tentu Aluna berhenti berdebat karena suara rendah Mama Dara. Entah perempuan muda masih belum menerima kenyataan kakaknya yang disakiti, atau mungkin karena sesama perempuan dengan ego tinggi merasa tidak terima dengan perlakuan Anggara dengan mudah mendapatkan maaf kakaknya.Eva mendongak kepalanya dengan cepat. Beberapa saat aktivitasnya terhenti ketika mendengarkan pertanyaan Anggara. Bukan merasa aneh, lebih tepatnya kenapa Anggara perlu bertanya, merasa tidak biasa.“Kamu tanya?” balas Eva dengan nada malas.Anggara segera duduk di sofa kosong tepat di sebelah Eva. Anggukan kepala Eva lakukan, kemudian membalas tatapan Eva dengan sorot mata menunggu jawaban dari Eva.“Bukannya laporan Sarah tidak telat, bukan?” balas Eva dengan nada sindiran, “kurang kerjaan banget ada Sarah.”“Kamu bis
“Mama ….” Eva memeluk Mama Dara. Pelukan begitu erat seakan lama tidak bertemu.“Sudah mulai bekerja lagi?” Mama Dara membalas pelukan dengan lembut. Tatapan beralih pada kedatangan putri sulungnya yang tidak sendiri, ada David dan perempuan yang baru ditemuinya.“Baru hari ini, Ma.” Eva melepaskan pelukan dengan pelan.“Kenapa David tidak bercerita?” Kedua mata Mama Dara menatap David, kemudian bergerak cepat beralih menatap Sarah hari ini hanya punya kerjaan satu hari penuh tidak menjauh meninggalkan Eva.“David juga baru tahu, Ma.” David mengatakan tanpa ekspresi seperti biasanya.“Sore, Tante.” Sarah menyadari tatapan Mama Dara segera mengulurkan tangannya. Tersenyum dengan sopan santun.“Sore, Sayang. Ini siapa? Mama baru lihat. Pacar kamu David?” Mama Dara tertawa seraya menatap anak laki-laki dengan gelengan kepala.David nampak terhenyak beberapa saat karena terkejut tuduhan tiba-tiba Mama Dara, sementara Eva sudah duduk di sofa.“Tidak menyangka sekali, ini sangat peningkatan
Eva menatap bingung dengan kelakuan Anggara. Masih dengan wajah tidak mengerti ucapan terakhirnya, lebih tepatnya di saat ini merasakan jantungnya terpompa lebih cepat karena tindakan Anggara yang menciumnya di depan David. Meski pria terlihat datar tidak peduli tetap Eva tidak merasa biasa.“Ibu ukuran sandalnya berapa?” Sarah bertanya dengan pelan ketika Anggara sepenuhnya tidak terlihat lagi. Suaranya terdengar memburu sepertinya tadi cukup menguras tenaganya membawa barang brand tidak hanya satu, melainkan cukup memenuhi kedua tangannya.Eva segera tertarik dari lamunannya sekilas hanyut jauh menatap Anggara yang keluar ruangannya. Langkahnya begitu nampak terburu-buru, bahkan mengabaikan sekertarisnya Sarah yang masih tertinggal.“Tiga sembilan, kenapa?” kata Eva menatap Sarah mulai mengeluarkan sandal-sandal yang dibawanya.“Syukurlah.” Sarah membuang napasnya lega.“Kenapa?” Eva masih belum mencerna.“Mau minum dulu?" David menyerahkan air mineral. Tidak menunggu Sarah menerim
“Davit, kapan kamu datang?” Eva tidak kuasa untuk langsung menghamburkan memeluk adiknya.Davit segera membalasnya, memeluk dengan wajah cuek, datar, senyum sekilas tampak sedikit langsung lenyap dalam hitungan beberapa detik.“Apa sekolah kamu selesai? ada agenda apa pulang? kenapa tidak ngabarin?” Eva melepaskan pelukan. Pertanyaan muncul dengan beruntun dan berbicara terdengar sangat cepat.“Dua hari yang lalu. Hampir selesai, doakan segera selesai.” David melenggang menuju sofa. Dimana Anggara yang menyaksikan adegan pelukan itu dengan rasa dongkol dan cemburu karena ia tidak seluassa dan sebebas Davit memeluk Eva yang tampak mesra.Eva segera mengikuti. Masih mengenakan sandal bulu miliknya. “Kenapa tidak ngasih kabar. Kamu baik-baik saja, bukan?”Davit hanya membalas dengan anggukan sekali. Kemudian tatapannya menoleh teralih menatap Anggara. “Kak Angga, aku sudah kirim email. Aplikasi baru milik Kakak luar biasa.”Eva mengerutkan dahinya. Apalagi respon Anggara terlihat mengang
Eva menatap tampilannya saat ini. Entah sudah tidak terhitung berapa kali dia melihat tampilannya kini, hingga sampai di kantor semakin membuat Eva memelankan langkahnya setelah menyadari tatapan tidak biasa para karyawan sejak keluar mobil.Ekor matanya melirik Anggara tidak melepaskan belitan tangan menggenggam tangannya sejak keluar mobil. Pria yang terkenal, sombong, arogan dan bermulut pedas tanpa ekspresi melangkah satu langkah lebih dulu dari langkahnya.“Ada apa? apa merasakan sakit?” tanyanya sangat jelas terdengar. Semakin membuat suara bisik-bisik dan perhatian karyawan tertuju pada Eva dan Anggara.Eva menggeleng pelan. Merapatkan langkahnya mendekati Anggara. “Tampilanku jelek banget? mereka melihat terus.”“Mereka punya mata.”Anggara mengatakan dengan santai. Menoleh sekilas dan mata mengedarkan ke sekitar menurutnya hal biasa.“Bukan itu,” kesal Eva.“Kamu seksi dan cantik, Sayang. Jangan lupakan kalau suami kamu cukup sangat tampan, jadi biasakan seperti ini.”Eva lant
“Duduk dulu. Tunggu sebentar.” Anggara datang dengan kursi meja rias. Wajahnya tampak sangat datar tidak terbaca. Suara tidak sekeras sebelumnya, terdengar merendah penuh penekanan seperti menahan amarahnya.Eva masih tidak mengerti menautkan alisnya. Tangan kanan masih memegang handle pintu yang belum terbuka sepenuhnya.“Duduk, jangan kemana-mana.” Anggara mengatakan tegas. Menarik Eva dan mendudukkannya pelan.Eva tidak bisa mengelak banyak. Apalagi gerakan Anggara kali ini. Kemudian nampak pria itu mulai berlari menuju walk in closet dengan langkah cepat terburu-buru.“Apasih? gak jelas.” Eva mengatakan dengan kesal. “Aku tidak tuli,” geramnya mengingat tidak terima atas suara keras Anggara yang terkejut, tapi di terima Eva seperti bentakan perintah.“Ganti sepatu kamu.” Anggara datang dengan sandal rumahan milik Eva. Sandal berbulu imut tanpa hak yang dibelikan Bunda Zia, beberapa waktu lalu. Sandal trepes satu-satunya miliknya.“Apa!” Eva memekik kaget. Menatap sepatu berhak tid
“Kamu mau kemana? kenapa sudah cantik sekali?” Anggara menatap Eva. Tubuhnya mulai terlihat lebih berisi, meski setiap malam selalu mual-mual hingga muntah parah.Bila kebanyakan ibu hamil merasakan morning sick parah setelah bangun pagi, beda dengan Eva lebih sering mual di malam hari di dua Minggu terlahir ini.Eva melanjutkan menyisir rambutnya. Menatap Anggara dengan balutan pakaian olahraga dari kaca riasnya. Dokter kandungan sudah mengatakan janinnya sudah kuat, bahkan Eva tidak mengalami flek lagi. Bisa dikatakan dua Minggu hampir tiga minggu diperlakukan Anggara seperti orang lumpuh berhasil membuat kehamilannya aman, atau bisa dikatakan emang bayi tanpa rencana yang hidup di rahimnya memilihnya untuk jadi ibu.“Ke kantor. Lama gak ke kantor.” Eva mengatakan dengan tenang. Masih melanjutkan merapikan ribut dan mengaplikasikan skincare ke wajahnya.“Apa!” Anggara tampak terkejut. Keringat terlihat menetes di wajahnya, rambut tampak lembab. Langkahnya segera berayun cepat mendek
“Semua sudah aku urus. Berkas perceraian yang naik sudah aku tarik. Pengalihan sudah tidak jelas semua harta akan berpindah pada kamu dan anak kita.” Anggara kembali dengan kertas di tangannya. Suaranya terdengar tenang, tapi beda dengan Eva sangat penasaran apa yang dimaksud atas apa yang Anggara katakan.“Maksudnya?” Eva menautkan alisnya. Ponselnya sudah diabaikan dan fokusnya pada Anggara.“Kamu bisa baca sendiri.” Anggara tersenyum tipis. Menyerahkan kertas pengalihan harta yang baru diterimanya tidak lama. Bahkan pengesahannya tepat saat Eva masuk ke rumah sakit, itu artinya saat peresmian sekaligus pesta pernikahan yang berakhir dengan berita kehamilan. Dan saat ini tepatnya kemarin semua berubah isinya.Eva menerima dan setiap kata tertulis, angka hingga huruf tidak lepas dari kedua mata Eva. Ia butuh dua kali untuk membaca untuk menyakinkan semua, meski kenyataannya isinya sangat jelas dan sebenarnya bukan pertama kalinya membaca meski dengan konsep dan isi yang berbeda berb
Eva melototkan matanya. Perasaan baru beberapa hari tidak memegang ponsel dan yang terjadi sangat luar biasa. Berita tentang pernikahan menjadi trending, begitu juga kehamilannya menduga karena tragedi saat resepsi dan dibenarkan oleh Anggara. Bahkan di akun media sosialnya biasanya sepi saat ini sangat ramai sekali.“Apa-apaan ini?” Eva sampai tidak berkedip. Notifikasi tidak berhenti ketika ponselnya mulai menyala. Bagaimana bisa akunnya di temui oleh orang-orang. Bahkan karyawannya banyak yang tidak tahu jadi sekarang tahu. Apalagi komentar yang bermunculan tidak berhenti.“Astaga! dia banyak idola!” Eva menggeleng melihat tag dirinya dengan Anggara.“Dia milikku!” lirih Eva dengan muka mulai serius. Dahi berkerut dengan alis terangkat.“Apa maksudnya? akun tidak jelas!” Eva mengatakan dengan pelan. Dua kata aneh dengan tanda seru tidak hanya sekali begitu banyak dibaca berulang-ulang oleh Eva. Belum lagi akun tidak ada nama yang jelas pemiliknya bisa dikatakan akun palsu.Guratan