“Kenapa dengan wajah kamu?” Akbar merapikan jasnya. “Bukannya aku pernah berkata ini. Dia permata, seperti malam ini dia berkilau menjadi pusat perhatian semua orang. Apa kamu yakin masih tidak mengakui istri? aku siap menggantikan dengan senang hati.”Akbar begitu senang. Berdiri seolah menyambut kedatangan perempuan itu. Berkata dengan senyum miring melirik perubahan wajah Anggara.Anggara mendengus kesal. Bukan hanya semua pria di sekitarnya. Akbar juga jadi salah satu memuja penampilan Eva. Tangannya mengepal dirinya merasa kesal tidak senang. “Perempuan itu baru pertama kali melihatnya.”“Dia Adeeva, putri Alfian Adhitama. Aku pernah ketemu beberapa hari lalu, tapi penampilannya tidak luar biasa seperti sekarang. Kemarin cukup sederhana, tapi tidak membuat bosan memandangnya apalagi kalau tersenyum, beh ….”“Manis ….”“Apa itu perempuan yang kamu bicarakan tadi? dia jarang ikut papanya karena hidup di luar negeri sebelumnya? terus kenapa sekarang disini? sepertinya kita perlu be
Lucky menoleh bingung. Acara inti memang selesai, tapi masih ada serangkaian acara hiburan dan makan hidangan yang bisa nikmati. Namun, Tuan Anggara menarik pergi atasannya.“Tuan Akbar, apa yang terjadi? apa atasan saya menyinggung Tuan Anggara?” Lucky memastikan. Antara bingung harus bagaimana, atasannya tidak berontak, malah sebaliknya keduanya keluar lebih dulu dan pertama membuat pemicu keterkejutan semua pengunjung.Wajah mereka tercengang, menatap bergantian antara Akbar terlihat biasa saja dan Anggara masih saling bertautan dengan perempuan yang malam ini menjadi pusat perhatian di acara. Bisikin pelan tidak dihindari lagi. Banyak yang saling bertaruh antara Akbar dan Anggara yang mendapatkan perempuan menjadi primadona kali ini.Bagaimana tidak terkejut, sepanjang acara berlangsung dominan Akbar yang terlihat mendekati Eva terang-terangan sangat nampak. Semua sudah menduga pemenang mereka adalah Akbar yang selalu ramah dan mudah bergaul, tapi tidak menyangka Anggara yang terk
Eva menahan rasa sakit di bagian inti tubuhnya, mengabaikan rasa sakitnya langsung berlari ke kamar mandi. Air mata bagaikan kran yang tidak terhenti terus mengalir. Isak tangisan keras di bawah shower air dingin ia lakukan. Raungan terdengar begitu menggema di kamar mandi.Terdengar histeris dan miris di ruang persegi yang tidak begitu luas namun tidak juga sempit. Rasanya perih, tidak hanya bagian bawah karena perlakuan kasar Anggara kedua kalinya, tetapi juga hatinya merasa kecewa sakit yang luar biasa.Eva menatap Anggara terlihat tidur nyaman. Kamar masih memberantakan tidak terbentuk, jejak masih terlihat. Bahkan Anggara masih tertutup dengan sedikit selimut tanpa mengenakan satu benang ditubuhnya. Pakaian tercecer di lantai, Eva tidak berniat membereskan.Tidak berniat apapun selain beranjak pergi dari kamarnya.Masih dengan isakan sesekali terdengar ia keluar dari kamar begitu menorehkan jejak luka. Luka kedua kalinya. Lagi-lagi air mata seolah sulit dibendung, meski semua suda
“Tidak perlu campuri urusanku. Aku ada janji dengan kekasihku.”Eva terpaku sesaat ketika mendengar ucapan Anggara, suami yang baru dinikahinya 5 jam yang lalu. Mereka baru sampai di rumah pengantin, tapi suaminya malah mengatakan hal seperti itu.Ia menggenggam erat koper di tangannya. Apa ini yang namanya pernikahan? Padahal ini adalah malam pertama mereka.“M-Mas Gara gak capek selepas pernikahan kita?” Eva bingung bagaimana mencegah Anggara.Anggara menghentikan langkahnya, mendengarkan panggilan asing untuk pertama kalinya. Tatapan mata memindai Eva dari atas sampai bawah."Pernikahan ini terjadi hanya karena Eyang, jadi kamu tidak perlu bersikap seperti istri sungguhan," Anggara menjawab dengan wajah datar.Brak!Eva terkejut bertepatan dengan pintu utama tertutup kembali dengan kasar. Ini pertama kalinya ia dibentak seperti itu seumur hidupnya.Eva tahu bahwa air matanya tidak berarti, apalagi sampai membuat Anggara kembali. Mereka menikah karena perjodohan dadakan oleh kedua k
"Kita sudahi saja pernikahan ini!"Anggara memutar kepalanya begitu Eva mengucapkan itu. Namun, Eva buru-buru membuang pandangannya lagi sambil menyembunyikan air mata.Baru satu bulan yang lalu ia kembali ke Indonesia, setelah menghabiskan hampir 6 tahun untuk pendidikannya di Jerman. Pada awalnya, Eva hanya ingin fokus berkarier, tapi tiba-tiba sang papa malah menyuruhnya menikah.Ia merelakan gelar dan kariernya bukan untuk menjadi istri yang dilecehkan seperti ini.Orang tuanya baik, tapi sangat ketat dan penuh disiplin. Eva tumbuh sebagai wanita sempurna yang anggun dan penuh tata krama. Walaupun di satu sisi, ia jadi sulit mengatakan apa kemauannya.Anggara yang sudah berpakaian rapi pun menatap Eva sejenak, sebelum mendengus.Ia berjalan mendekat ke arah Eva, membuat wanita itu refleks menggenggam erat selimutnya. Kepalanya tertunduk, takut menatap mata tajam Anggara."Hentikan omong kosong itu! Bukankah kamu juga dapat keuntungan dari pernikahan ini!" ucap Anggara penuh peneka
Pria itu pun membalikkan tubuh Eva ke arahnya dan sebuah kecupan mendarat di puncak kening Eva dengan lembut.Cup!"K-kamu...."Senyum manis Anggara langsung sirna, dan digantikan dengan wajah dingin. Karena posisinya membelakangi para orang tua, jadi hanya Eva yang bisa melihat perubahan ekspresi itu.“Eyang sedang memperhatikan kita,” bisik Anggara dengan penuh penekanan membuat Eva tidak jadi bertanya. "Jangan bertindak macam-macam di depan mereka."Tubuh Eva langsung kaku. Ia tidak mengangguk, atau hanya sekadar tersenyum. Saat Anggara membalikkan tubuhnya pun Eva hanya bisa menundukkan kepala.Makan malam pun berlangsung. Eva lebih banyak diam dan menikmati makanannya perlahan. Sepanjang makan malam, Anggara menunjukkan bagaimana ia adalah suami yang perhatian padanya.Anggara mengambilkan Eva piring, minuman, bahkan memotongkan dagingnya. Sikapnya berbeda 180 derajat dari kemarin. Meskipun begitu, hati Eva malah bertambah sakit.Pria ini seolah menganggap kejadian kemarin tidak
Eva keluar hotel bertepatan dengan senja akan datang. Kebetulan hotel yang ditempati tidak begitu jauh dari pantai, hanya berjalan sebentar sudah sampai.Suara ombak terdengar membuat Eva terpaku melihat keindahan air terlihat biru itu. Alas kaki segera ia lepas kemudian berlari kecil menghampiri. Sejenak pantai yang terkenal sedikit menyembuhkan Eva. Suara gemuruh sorak terdengar. Sorakan para pengunjung pantai menyaksikan senja yang akan datang dan sangat indah. Eva juga menyaksikan itu, tapi hanya terpaku dalam diam tangan terlipat menatap indahnya sinar oren itu.Hingga dalam sekejap malam sudah datang. Semua berubah menjadi gelap dan orang-orang mulai berhamburan pergi. Seiring dengan itu, perutnya mulai bernyanyi nyaring.“Aku lapar…,” guman Eva. Langkahnya asal menuju salah satu restoran. Hanya berbekal mengira-ngira, ia segera masuk. Tidak ada niat untuk kembali, bayangan panas. Anggara dengan perempuan itu terlintas tanpa dicegah.Dibandingkan dengan bulan madu, Eva malah s
“Sialan kau!” teriak Anggara sambil terus memukul. Eva membeku sejenak. Ia memang tahu kalau Anggara itu adalah orang yang arogan dan dingin, tapi ini adalah kali pertama Eva melihatnya mengamuk. Anggara memukul pria itu membabi buta, mulutnya juga tidak berhenti mengucapkan kata kasar. Tubuh Eva semakin bergetar. Rasa takutnya berganti. Suara bogem terdengar menyakitkan. ‘Bagaimana kalau Anggara membunuh pria itu?’ “Anggara! S-sudah!” dengan pikiran buruknya itu, Eva pun berteriak di tengah hujan. Tangannya terulur, meraih baju belakang Anggara. “Anggara… a-aku takut….” Mungkin karena merasakan tarikan di bagian belakang bajunya yang basah, Anggara akhirnya berhenti. Pria bertato itu pun sudah tak sadarkan diri dengan wajah babak belur. Anggara mendecih, lalu segera menarik tangan Eva dari sana. Ia membawanya masuk ke mobil yang terparkir tak jauh dari sana. “Apa kamu udah gila?!” bentak Anggara langsung begitu mereka berdua ada di mobil. Ia pun menjalankan kendaraan itu. Eva