“Aku gak mau bercerai.” Anggara memeluk tubuh Eva. Semakin dipikirkan semakin hatinya tidak rela.Eva yang baru terusik dan mulai membuka matanya. Mata mengerjap mendengarkan apa yang diungkapkan Anggara beberapa detik yang lalu. Begitu jelas, membuat denyutan tiba-tiba di kepalanya. Dirinya pura-pura melanjutkan tidur, sebenarnya sudah bangun beberapa menit yang lalu. Hanya penasaran saja, apa yang dilakukan Anggara begitu tidak tenang di kamarnya dan perpindahan kini tidur disampingnya.“Kenapa? bukannya kamu tidak mengharapkan pernikahan ini? kenapa harus dipertahankan? pernikahan ini sudah tidak sehat lagi.” Eva menggerakkan tubuhnya. Sangat tidak nyaman ketika kontak fisik dengan Anggara.Anggara melepaskan pelukan. Memiringkan tubuhnya. Pertama kali, entah dirinya tidak merelakan itu terjadi.“Kenapa harus cerai? kamu mau nikah sama Akbar?” Anggara memutar kembali dengan bertanya. Wajahnya datar, menatap Eva yang tidak membalas begitu enggan tatapan lawan bicaranya.Tawa kecil
Eva mengedarkan matanya ke penjuru kamarnya. Tidak terlihat sosok yang dicarinya menghadirkan senyum tipis di ujung bibirnya. Dengan balutan baju santai, handuk melilit rambut basahnya, ia melangkah menuju meja rias. Beberapa menit berlalu kegiatannya hanya menatap kaca yang menampilkan wajahnya dan separuh tubuhnya. Namun, pikirannya berkelana jauh menatap tampilan ranjang di cermin. Dimana beberapa waktu lalu ada pria yang mengganggu pikirannya.“Pernikahan kita tidak ada kehangatan, semua terasa dingin dan hambar,” lirih Eva pelan. Perlu pertimbangan panjang, masih ada keraguan di hatinya. Apalagi ucapan Anggara tadi, apakah bisa dipercaya atau dipegang? Eva menggeleng pelan.Ketukan pintu terdengar membuyarkan pikiran Eva. Tanpa ia perlu beranjak pintu kamar kini terbuka.“Kakak … Aluna ganggu, gak?”“Ternyata kamu,” ujar Eva mendapati adiknya yang masuk. Dia sempat berpikir Anggara belum juga pergi, tapi ternyata, tidak. Pria itu benar menepati janjinya.“Kakak berpikir siapa?
“Jangan hubungi aku lagi.” Anggara menatap datar perempuan berada di rumahnya.Perempuan yang duduk di teras segera menghampiri Anggara senyum mengembang. Mengabaikan kalimat menohok keluar dari mulut Anggara.“Kamu apa kabar? kenapa tidak menghubungi aku lagi?” Perempuan bergaun minim warna marun hampir meraih lengan Anggara. Namun, dalam waktu singkat semua gerakannya hanya tersentuh angin. Anggara bisa menepisnya tepat sasaran, menghindari tanpa saling kontak fisik.“Hubungan kita selesai. Ada apa kamu sampai kesini? begitu sangat berani! apa kurang cukup bayaran kamu, kemarin? Ingat hubunganmu dengan aku tidak lebih dari sekedar uang. Jangan kelewatan!” Anggara menatap tidak suka. Wajahnya mengeras tatapan begitu tajam tidak ada keramahan.“Bukannya kamu kurang perhatian istrimu? aku siap melakukan apapun itu lagi, aku dengar dari Art kamu dan dia gak ada? sekarang kamu tidak pulang bersama jadi ….”“Apa hak kamu sampai sejauh ini. Jangan berharap tinggi hanya karena kamu pernah k
“Pagi, Ma.”Anggara menepati janjinya, bahkan sinar matahari belum sepenuhnya terang sudah pria itu muncul menjadi tamu pagi di rumah Mama Dara. Dengan balutan pakaian formalnya jas seperti biasanya. Rambut tertata rapi, tapi penampilannya tidak menutupi kantung mata terlihat jelas menghitam.“Pagi.” Mama Dara yang baru akan ke dapur, tidak bisa menutupi keterkejutannya kedatangan Anggara dipagi kali ini.“Masuk, Nak Anggara. Apa pekerjaan kamu sudah selesai?” tanya Mama Dara basa-basi. Meski sebenarnya hati terkecilnya cukup marah. Tapi sebagai orang tua belum ingin untuk ikut campur. Semua keputusan diserahkan pada Eva.Anggara mau bergerak masuk sesaat terhenti. Pertanyaan Mama Dara begitu terdengar bukan hanya sebuah pertanyaan semata melainkan sindiran untuknya. “Sudah, Ma. Apa Eva sudah bangun?” tanya Anggara melihat kesepian dirumah mertuanya.Anggara melewati malam yang panjang. Entah karena rasa bersalahnya ia tidak mendapatkan tidur nyenyak. Mimpi buruk membuatnya tiba-tiba
“Kalau aku berkata akan berubah apa kamu percaya?” Anggara mengatakan dengan serius. Semalam hingga pagi semua bayangan keburukan menghantuinya, seolah emang karma dibayar kontan. Rasa ingin dekat dengan Eva, entah itu perasaan yang muncul saat ini tanpa tahu apa penyebabnya. Ingin Anggara tidak peduli dan abay, tapi tidak bisa.Eva tergelak. Tawa terdengar hambar. Menggeleng melas melihat Anggara saat ini. Bukan Anggara saja, Eva juga merasakan hal sama. Tubuhnya sedikit lebih baik, pusingnya berangsur berbeda meski berhadapan dengan Anggara juga membuatnya pusing.“Tentu tidak. Pertanyaan macam apa itu? seribu kali bertanya mungkin jawabannya sama tetap akan selalu tidak, Garan”“Kenapa? apa tidak ada maaf untukku, Va?” Anggara merendahkan ucapannya. Meski sadar kesalahannya bukan hal kecil, bahkan sangat sengaja.“Bukannya kamu tahu sendiri. Seperti apa yang kamu lakukan.” Eva melepaskan diri dengan mudah. Mendorong pelan Anggara, entah pria itu selalu suka berbicara dengan cara m
“Bu, ada kiriman makan siang.” Lucky kembali mengganggu istirahat sesaat yang Eva lakukan.“Apa?” Eva dengan suara melemah bertanya. Wajahnya tidak menunjukkan lebih baik. Masih sama meski sudah satu jam Eva lakukan dengan berusaha untuk istirahat. Tangan sesekali memijat pelipisnya dengan mata terpejam kembali.“Ada kiriman makanan.” Lucky mendekat Eva. Tatapan iba terlihat dari sorot matanya. Eva terlihat tidak baik-baik saja.“Aku tidak memesan dan aku tidak berniat makan, Lucky.” Eva membuka matanya kembali. Kedua matanya tertuju pada bingkisan besar dengan brand restoran ternama.“Bukan dari pesanan ibu, seperti bunga. Dengan nama Gara.” Lucky menatap lagi tulisan tergantung di bagian atas. Dengan warna yang sama, hijau dan nama pengirim juga sama Gara dengan emot gambar hati dua di belakangnya.Lucky semakin penasaran. Namun, tidak bisa mengungkapkan. Segera pria itu meletakkan makanan terasa berat di atas meja. “Sepertinya pria spesial, Bu. Dia tahu Ibu yang tidak enak badan,”
Respon Anggara membuat perempuan bertugas sebagai penjaga resepsionis cukup terkejut. Apalagi suara Anggara menggelegar, terdengar begitu terkejut, beberapa pasang mata juga mengalihkan tatapan pada ia dengan raut penasaran.Bukan maksud ikut campur. Eva menyambut tamunya tepat didepan meja resepsionis, tidak salah jika tanpa sengaja perempuan itu mendengarkan keakraban keduanya. Hingga saling bercengkrama pelan begitu sangat akrab, meski yang terdengar hanya panggilan Eyang, selebihnya begitu sangat pelan dan berpikir kerabat terdekat Eva yang baru datang mungkin mengucapkan bela sungkawa.“Maaf apa ada yang salah?” Resepsionis begitu ragu menanyakan itu.“Berapa lama?” tanya Anggara mulai tidak tenang lagi. Wajahnya semakin dingin, auranya seolah menggelap begitu menakutkan.“Sudah berapa lama mereka pergi?” tegasnya menuntut jawaban cepat.Perempuan itu mengangkat tangan kirinya dan melihat jam tangannya. “Belum ada setengah jam,” jelasnya dengan terdengar tidak begitu pasti dideng
Eyang Cakra mendongak membenarkan posisi letak kacamatanya. “Jelaskan apa lagi, Anggara?” Anggara menggeram karena suara datar eyangnya. Sudah ia menduga, pasti tidak mungkin mempercepat pengumuman pengalihan posisi CEO tanpa syarat lagi. “Kamu tinggal tanda tangan dan semua akan diurus pengacara sekalian.” Eva yang mendengarkan menyimpulkan sikap Anggara hampir mirip dengan Eyang Cakra ketika marah. Raut muka begitu dengan suaranya yang begitu datar. Membuat ia mengusap lengannya merasakan bulu kuduk mulai berdiri. Merasa mereka dua orang sama dengan usia yang berbeda. “Apanya? tidak akan ada. Kita tidak akan bercerai.” Anggara mengatakan dengan tegas. Suara hingga menggema membuat Eva segera mendongak. “Kenapa kamu tidak berusaha sabar untuk menunggu aku membuktikan? baru satu hari Eva! aku beneran kemarin hanya ….” Anggara mengusap wajahnya kasar menjeda ucapannya. Sangat menyesal, apalagi setelah pertemuan tahunan kegiatan besar. Banyak yang mengincar perempuan yang bers