“Tumben Ayah datang ke kantor.” Anggara masuk tanpa duduk menyapa ayahnya yang kini terduduk di kursi kebesarannya. Meski tanggung jawab penuh masih atas nama Ayahnya, tetap Anggara juga mendapatkan wewenang mengambil alih perusahaan, hanya namanya saja belum diresmikan menjadi CEO berikutnya. “Kenapa kamu tidak beritahu kami soal mertua kamu yang sakit? bahkan sudah empat hari! kamu ….” Ayah Rasyid menunjukkan jari telunjuknya. Wajahnya menegang, tatapan begitu tajam dengan sorot mata nampak serius bercampur kecewa. Suara terpotong dengan helaan napas panjang keluar dari bibirnya. “Bahkan ketika pemakaman hingga malam kamu tidak ada. Ketika dihubungi selalu dialihkan. Eyang menyerahkan berkas dan semua akan beralih mulai hari Senin besok, sepertinya ini yang kamu inginkan sudah terwujud.” Ayah Rasyid menyerahkan map coklat, hanya sebatas meletakkan di meja kerjanya dulu kini sangat rapi sekali. Kemudian meninggalkan ruangannya. Anggara yang belum duduk terpaku, muka nampak terk
Eva beradu tatap dengan Anggara. Dia tidak menyangka pria itu datang, meski sangat dikatakan terlambat. Tidak menunggu Anggara, segera ia berbalik masuk kembali. Tidak ingin ada kegaduhan apalagi membawa curiga mamanya.“Kenapa Kakak izinkan dia masuk.” Aluna menghampiri cepat, Eva. Suaranya lirih, meski tinggal beberapa pelayat kebanyakan kerabat terdekat, tetap Aluna tidak ingin membuat kegaduhan.“Dia baru datang, padahal Kakak butuh ….”“Dia masih suami, Kakak. Kamu tidak lupa kalau Kakak sudah menikah?” kata Eva pelan. Ujung matanya melirik Anggara. Ia berusaha keras untuk baik-baik saja dan tenang.“Kita ke depan. Mereka mau pamit,” sarkas Eva segera mencegah Aluna yang terlihat akan berbicara lagi.Aluna menutup mulutnya. Wajah Eva terlihat serius. Mulut yang akan bicara segera ia tutup rapat kembali dan mengangguk mengikuti langkah mamanya lebih dulu ke depan. Sadar masih suasana duka, Aluna akan menunda pembicaraan yang ditahan sejak kemarin.Sejak menunggu papanya di rumah s
Aluna mengepalkan tangannya. Sebagai saudara perempuan tentu tidak terima. Terlihat jelas ternyata hubungan rumah tangga Kakaknya tidak seperti yang dia dan keluarganya kira. “Masuklah ke kamar, Luna.” Suara bariton cukup pelan menghentikan pergerakan Aluna. Aluna membalikan badannya dengan cepat.“Ta-tapi, Kak!” Aluna menyela, gelengan kepala pelan dengan keinginan kuat ingin menghampiri kakaknya.“Bukaan urusan kita, Luna. Biarkan Kakak menyelesaikan urusannya. Masuk.” Perintah begitu tegas.Aluna menghentikan kakinya keras. Tentu, dirinya tidak bisa menolak lagi. Dengan menutup pintu sedikit keras entah, Eva mendengarkan atau tidak.Disisi lain Anggara tercengang, perempuan di depannya membuat tangannya mengepal menahan amarah. Hanya mengandalkan feeling segera pria tidak suka dibantah mendorong Eva masuk ke dalam kamar di depannya ia yakini kamar Eva.“Coba katakan apa tadi.” Anggara mengungkung Eva. Tubuh Eva terkunci dalam kungkungan tangan Anggara. Tidak bisa bergerak, ruang g
“Aku gak mau bercerai.” Anggara memeluk tubuh Eva. Semakin dipikirkan semakin hatinya tidak rela.Eva yang baru terusik dan mulai membuka matanya. Mata mengerjap mendengarkan apa yang diungkapkan Anggara beberapa detik yang lalu. Begitu jelas, membuat denyutan tiba-tiba di kepalanya. Dirinya pura-pura melanjutkan tidur, sebenarnya sudah bangun beberapa menit yang lalu. Hanya penasaran saja, apa yang dilakukan Anggara begitu tidak tenang di kamarnya dan perpindahan kini tidur disampingnya.“Kenapa? bukannya kamu tidak mengharapkan pernikahan ini? kenapa harus dipertahankan? pernikahan ini sudah tidak sehat lagi.” Eva menggerakkan tubuhnya. Sangat tidak nyaman ketika kontak fisik dengan Anggara.Anggara melepaskan pelukan. Memiringkan tubuhnya. Pertama kali, entah dirinya tidak merelakan itu terjadi.“Kenapa harus cerai? kamu mau nikah sama Akbar?” Anggara memutar kembali dengan bertanya. Wajahnya datar, menatap Eva yang tidak membalas begitu enggan tatapan lawan bicaranya.Tawa kecil
Eva mengedarkan matanya ke penjuru kamarnya. Tidak terlihat sosok yang dicarinya menghadirkan senyum tipis di ujung bibirnya. Dengan balutan baju santai, handuk melilit rambut basahnya, ia melangkah menuju meja rias. Beberapa menit berlalu kegiatannya hanya menatap kaca yang menampilkan wajahnya dan separuh tubuhnya. Namun, pikirannya berkelana jauh menatap tampilan ranjang di cermin. Dimana beberapa waktu lalu ada pria yang mengganggu pikirannya.“Pernikahan kita tidak ada kehangatan, semua terasa dingin dan hambar,” lirih Eva pelan. Perlu pertimbangan panjang, masih ada keraguan di hatinya. Apalagi ucapan Anggara tadi, apakah bisa dipercaya atau dipegang? Eva menggeleng pelan.Ketukan pintu terdengar membuyarkan pikiran Eva. Tanpa ia perlu beranjak pintu kamar kini terbuka.“Kakak … Aluna ganggu, gak?”“Ternyata kamu,” ujar Eva mendapati adiknya yang masuk. Dia sempat berpikir Anggara belum juga pergi, tapi ternyata, tidak. Pria itu benar menepati janjinya.“Kakak berpikir siapa?
“Jangan hubungi aku lagi.” Anggara menatap datar perempuan berada di rumahnya.Perempuan yang duduk di teras segera menghampiri Anggara senyum mengembang. Mengabaikan kalimat menohok keluar dari mulut Anggara.“Kamu apa kabar? kenapa tidak menghubungi aku lagi?” Perempuan bergaun minim warna marun hampir meraih lengan Anggara. Namun, dalam waktu singkat semua gerakannya hanya tersentuh angin. Anggara bisa menepisnya tepat sasaran, menghindari tanpa saling kontak fisik.“Hubungan kita selesai. Ada apa kamu sampai kesini? begitu sangat berani! apa kurang cukup bayaran kamu, kemarin? Ingat hubunganmu dengan aku tidak lebih dari sekedar uang. Jangan kelewatan!” Anggara menatap tidak suka. Wajahnya mengeras tatapan begitu tajam tidak ada keramahan.“Bukannya kamu kurang perhatian istrimu? aku siap melakukan apapun itu lagi, aku dengar dari Art kamu dan dia gak ada? sekarang kamu tidak pulang bersama jadi ….”“Apa hak kamu sampai sejauh ini. Jangan berharap tinggi hanya karena kamu pernah k
“Pagi, Ma.”Anggara menepati janjinya, bahkan sinar matahari belum sepenuhnya terang sudah pria itu muncul menjadi tamu pagi di rumah Mama Dara. Dengan balutan pakaian formalnya jas seperti biasanya. Rambut tertata rapi, tapi penampilannya tidak menutupi kantung mata terlihat jelas menghitam.“Pagi.” Mama Dara yang baru akan ke dapur, tidak bisa menutupi keterkejutannya kedatangan Anggara dipagi kali ini.“Masuk, Nak Anggara. Apa pekerjaan kamu sudah selesai?” tanya Mama Dara basa-basi. Meski sebenarnya hati terkecilnya cukup marah. Tapi sebagai orang tua belum ingin untuk ikut campur. Semua keputusan diserahkan pada Eva.Anggara mau bergerak masuk sesaat terhenti. Pertanyaan Mama Dara begitu terdengar bukan hanya sebuah pertanyaan semata melainkan sindiran untuknya. “Sudah, Ma. Apa Eva sudah bangun?” tanya Anggara melihat kesepian dirumah mertuanya.Anggara melewati malam yang panjang. Entah karena rasa bersalahnya ia tidak mendapatkan tidur nyenyak. Mimpi buruk membuatnya tiba-tiba
“Kalau aku berkata akan berubah apa kamu percaya?” Anggara mengatakan dengan serius. Semalam hingga pagi semua bayangan keburukan menghantuinya, seolah emang karma dibayar kontan. Rasa ingin dekat dengan Eva, entah itu perasaan yang muncul saat ini tanpa tahu apa penyebabnya. Ingin Anggara tidak peduli dan abay, tapi tidak bisa.Eva tergelak. Tawa terdengar hambar. Menggeleng melas melihat Anggara saat ini. Bukan Anggara saja, Eva juga merasakan hal sama. Tubuhnya sedikit lebih baik, pusingnya berangsur berbeda meski berhadapan dengan Anggara juga membuatnya pusing.“Tentu tidak. Pertanyaan macam apa itu? seribu kali bertanya mungkin jawabannya sama tetap akan selalu tidak, Garan”“Kenapa? apa tidak ada maaf untukku, Va?” Anggara merendahkan ucapannya. Meski sadar kesalahannya bukan hal kecil, bahkan sangat sengaja.“Bukannya kamu tahu sendiri. Seperti apa yang kamu lakukan.” Eva melepaskan diri dengan mudah. Mendorong pelan Anggara, entah pria itu selalu suka berbicara dengan cara m
“Bagaimana kerja kamu hari ini?” Anggara dengan balutan baju tidur keluar dari kamar mandi. Langkahnya pelan menghampiri Eva yang sibuk dengan ponselnya.Kedua pasangan menginap di rumah Mama Dara tentu Aluna berhenti berdebat karena suara rendah Mama Dara. Entah perempuan muda masih belum menerima kenyataan kakaknya yang disakiti, atau mungkin karena sesama perempuan dengan ego tinggi merasa tidak terima dengan perlakuan Anggara dengan mudah mendapatkan maaf kakaknya.Eva mendongak kepalanya dengan cepat. Beberapa saat aktivitasnya terhenti ketika mendengarkan pertanyaan Anggara. Bukan merasa aneh, lebih tepatnya kenapa Anggara perlu bertanya, merasa tidak biasa.“Kamu tanya?” balas Eva dengan nada malas.Anggara segera duduk di sofa kosong tepat di sebelah Eva. Anggukan kepala Eva lakukan, kemudian membalas tatapan Eva dengan sorot mata menunggu jawaban dari Eva.“Bukannya laporan Sarah tidak telat, bukan?” balas Eva dengan nada sindiran, “kurang kerjaan banget ada Sarah.”“Kamu bis
“Mama ….” Eva memeluk Mama Dara. Pelukan begitu erat seakan lama tidak bertemu.“Sudah mulai bekerja lagi?” Mama Dara membalas pelukan dengan lembut. Tatapan beralih pada kedatangan putri sulungnya yang tidak sendiri, ada David dan perempuan yang baru ditemuinya.“Baru hari ini, Ma.” Eva melepaskan pelukan dengan pelan.“Kenapa David tidak bercerita?” Kedua mata Mama Dara menatap David, kemudian bergerak cepat beralih menatap Sarah hari ini hanya punya kerjaan satu hari penuh tidak menjauh meninggalkan Eva.“David juga baru tahu, Ma.” David mengatakan tanpa ekspresi seperti biasanya.“Sore, Tante.” Sarah menyadari tatapan Mama Dara segera mengulurkan tangannya. Tersenyum dengan sopan santun.“Sore, Sayang. Ini siapa? Mama baru lihat. Pacar kamu David?” Mama Dara tertawa seraya menatap anak laki-laki dengan gelengan kepala.David nampak terhenyak beberapa saat karena terkejut tuduhan tiba-tiba Mama Dara, sementara Eva sudah duduk di sofa.“Tidak menyangka sekali, ini sangat peningkatan
Eva menatap bingung dengan kelakuan Anggara. Masih dengan wajah tidak mengerti ucapan terakhirnya, lebih tepatnya di saat ini merasakan jantungnya terpompa lebih cepat karena tindakan Anggara yang menciumnya di depan David. Meski pria terlihat datar tidak peduli tetap Eva tidak merasa biasa.“Ibu ukuran sandalnya berapa?” Sarah bertanya dengan pelan ketika Anggara sepenuhnya tidak terlihat lagi. Suaranya terdengar memburu sepertinya tadi cukup menguras tenaganya membawa barang brand tidak hanya satu, melainkan cukup memenuhi kedua tangannya.Eva segera tertarik dari lamunannya sekilas hanyut jauh menatap Anggara yang keluar ruangannya. Langkahnya begitu nampak terburu-buru, bahkan mengabaikan sekertarisnya Sarah yang masih tertinggal.“Tiga sembilan, kenapa?” kata Eva menatap Sarah mulai mengeluarkan sandal-sandal yang dibawanya.“Syukurlah.” Sarah membuang napasnya lega.“Kenapa?” Eva masih belum mencerna.“Mau minum dulu?" David menyerahkan air mineral. Tidak menunggu Sarah menerim
“Davit, kapan kamu datang?” Eva tidak kuasa untuk langsung menghamburkan memeluk adiknya.Davit segera membalasnya, memeluk dengan wajah cuek, datar, senyum sekilas tampak sedikit langsung lenyap dalam hitungan beberapa detik.“Apa sekolah kamu selesai? ada agenda apa pulang? kenapa tidak ngabarin?” Eva melepaskan pelukan. Pertanyaan muncul dengan beruntun dan berbicara terdengar sangat cepat.“Dua hari yang lalu. Hampir selesai, doakan segera selesai.” David melenggang menuju sofa. Dimana Anggara yang menyaksikan adegan pelukan itu dengan rasa dongkol dan cemburu karena ia tidak seluassa dan sebebas Davit memeluk Eva yang tampak mesra.Eva segera mengikuti. Masih mengenakan sandal bulu miliknya. “Kenapa tidak ngasih kabar. Kamu baik-baik saja, bukan?”Davit hanya membalas dengan anggukan sekali. Kemudian tatapannya menoleh teralih menatap Anggara. “Kak Angga, aku sudah kirim email. Aplikasi baru milik Kakak luar biasa.”Eva mengerutkan dahinya. Apalagi respon Anggara terlihat mengang
Eva menatap tampilannya saat ini. Entah sudah tidak terhitung berapa kali dia melihat tampilannya kini, hingga sampai di kantor semakin membuat Eva memelankan langkahnya setelah menyadari tatapan tidak biasa para karyawan sejak keluar mobil.Ekor matanya melirik Anggara tidak melepaskan belitan tangan menggenggam tangannya sejak keluar mobil. Pria yang terkenal, sombong, arogan dan bermulut pedas tanpa ekspresi melangkah satu langkah lebih dulu dari langkahnya.“Ada apa? apa merasakan sakit?” tanyanya sangat jelas terdengar. Semakin membuat suara bisik-bisik dan perhatian karyawan tertuju pada Eva dan Anggara.Eva menggeleng pelan. Merapatkan langkahnya mendekati Anggara. “Tampilanku jelek banget? mereka melihat terus.”“Mereka punya mata.”Anggara mengatakan dengan santai. Menoleh sekilas dan mata mengedarkan ke sekitar menurutnya hal biasa.“Bukan itu,” kesal Eva.“Kamu seksi dan cantik, Sayang. Jangan lupakan kalau suami kamu cukup sangat tampan, jadi biasakan seperti ini.”Eva lant
“Duduk dulu. Tunggu sebentar.” Anggara datang dengan kursi meja rias. Wajahnya tampak sangat datar tidak terbaca. Suara tidak sekeras sebelumnya, terdengar merendah penuh penekanan seperti menahan amarahnya.Eva masih tidak mengerti menautkan alisnya. Tangan kanan masih memegang handle pintu yang belum terbuka sepenuhnya.“Duduk, jangan kemana-mana.” Anggara mengatakan tegas. Menarik Eva dan mendudukkannya pelan.Eva tidak bisa mengelak banyak. Apalagi gerakan Anggara kali ini. Kemudian nampak pria itu mulai berlari menuju walk in closet dengan langkah cepat terburu-buru.“Apasih? gak jelas.” Eva mengatakan dengan kesal. “Aku tidak tuli,” geramnya mengingat tidak terima atas suara keras Anggara yang terkejut, tapi di terima Eva seperti bentakan perintah.“Ganti sepatu kamu.” Anggara datang dengan sandal rumahan milik Eva. Sandal berbulu imut tanpa hak yang dibelikan Bunda Zia, beberapa waktu lalu. Sandal trepes satu-satunya miliknya.“Apa!” Eva memekik kaget. Menatap sepatu berhak tid
“Kamu mau kemana? kenapa sudah cantik sekali?” Anggara menatap Eva. Tubuhnya mulai terlihat lebih berisi, meski setiap malam selalu mual-mual hingga muntah parah.Bila kebanyakan ibu hamil merasakan morning sick parah setelah bangun pagi, beda dengan Eva lebih sering mual di malam hari di dua Minggu terlahir ini.Eva melanjutkan menyisir rambutnya. Menatap Anggara dengan balutan pakaian olahraga dari kaca riasnya. Dokter kandungan sudah mengatakan janinnya sudah kuat, bahkan Eva tidak mengalami flek lagi. Bisa dikatakan dua Minggu hampir tiga minggu diperlakukan Anggara seperti orang lumpuh berhasil membuat kehamilannya aman, atau bisa dikatakan emang bayi tanpa rencana yang hidup di rahimnya memilihnya untuk jadi ibu.“Ke kantor. Lama gak ke kantor.” Eva mengatakan dengan tenang. Masih melanjutkan merapikan ribut dan mengaplikasikan skincare ke wajahnya.“Apa!” Anggara tampak terkejut. Keringat terlihat menetes di wajahnya, rambut tampak lembab. Langkahnya segera berayun cepat mendek
“Semua sudah aku urus. Berkas perceraian yang naik sudah aku tarik. Pengalihan sudah tidak jelas semua harta akan berpindah pada kamu dan anak kita.” Anggara kembali dengan kertas di tangannya. Suaranya terdengar tenang, tapi beda dengan Eva sangat penasaran apa yang dimaksud atas apa yang Anggara katakan.“Maksudnya?” Eva menautkan alisnya. Ponselnya sudah diabaikan dan fokusnya pada Anggara.“Kamu bisa baca sendiri.” Anggara tersenyum tipis. Menyerahkan kertas pengalihan harta yang baru diterimanya tidak lama. Bahkan pengesahannya tepat saat Eva masuk ke rumah sakit, itu artinya saat peresmian sekaligus pesta pernikahan yang berakhir dengan berita kehamilan. Dan saat ini tepatnya kemarin semua berubah isinya.Eva menerima dan setiap kata tertulis, angka hingga huruf tidak lepas dari kedua mata Eva. Ia butuh dua kali untuk membaca untuk menyakinkan semua, meski kenyataannya isinya sangat jelas dan sebenarnya bukan pertama kalinya membaca meski dengan konsep dan isi yang berbeda berb
Eva melototkan matanya. Perasaan baru beberapa hari tidak memegang ponsel dan yang terjadi sangat luar biasa. Berita tentang pernikahan menjadi trending, begitu juga kehamilannya menduga karena tragedi saat resepsi dan dibenarkan oleh Anggara. Bahkan di akun media sosialnya biasanya sepi saat ini sangat ramai sekali.“Apa-apaan ini?” Eva sampai tidak berkedip. Notifikasi tidak berhenti ketika ponselnya mulai menyala. Bagaimana bisa akunnya di temui oleh orang-orang. Bahkan karyawannya banyak yang tidak tahu jadi sekarang tahu. Apalagi komentar yang bermunculan tidak berhenti.“Astaga! dia banyak idola!” Eva menggeleng melihat tag dirinya dengan Anggara.“Dia milikku!” lirih Eva dengan muka mulai serius. Dahi berkerut dengan alis terangkat.“Apa maksudnya? akun tidak jelas!” Eva mengatakan dengan pelan. Dua kata aneh dengan tanda seru tidak hanya sekali begitu banyak dibaca berulang-ulang oleh Eva. Belum lagi akun tidak ada nama yang jelas pemiliknya bisa dikatakan akun palsu.Guratan