“Pagi, Ma.”Anggara menepati janjinya, bahkan sinar matahari belum sepenuhnya terang sudah pria itu muncul menjadi tamu pagi di rumah Mama Dara. Dengan balutan pakaian formalnya jas seperti biasanya. Rambut tertata rapi, tapi penampilannya tidak menutupi kantung mata terlihat jelas menghitam.“Pagi.” Mama Dara yang baru akan ke dapur, tidak bisa menutupi keterkejutannya kedatangan Anggara dipagi kali ini.“Masuk, Nak Anggara. Apa pekerjaan kamu sudah selesai?” tanya Mama Dara basa-basi. Meski sebenarnya hati terkecilnya cukup marah. Tapi sebagai orang tua belum ingin untuk ikut campur. Semua keputusan diserahkan pada Eva.Anggara mau bergerak masuk sesaat terhenti. Pertanyaan Mama Dara begitu terdengar bukan hanya sebuah pertanyaan semata melainkan sindiran untuknya. “Sudah, Ma. Apa Eva sudah bangun?” tanya Anggara melihat kesepian dirumah mertuanya.Anggara melewati malam yang panjang. Entah karena rasa bersalahnya ia tidak mendapatkan tidur nyenyak. Mimpi buruk membuatnya tiba-tiba
“Kalau aku berkata akan berubah apa kamu percaya?” Anggara mengatakan dengan serius. Semalam hingga pagi semua bayangan keburukan menghantuinya, seolah emang karma dibayar kontan. Rasa ingin dekat dengan Eva, entah itu perasaan yang muncul saat ini tanpa tahu apa penyebabnya. Ingin Anggara tidak peduli dan abay, tapi tidak bisa.Eva tergelak. Tawa terdengar hambar. Menggeleng melas melihat Anggara saat ini. Bukan Anggara saja, Eva juga merasakan hal sama. Tubuhnya sedikit lebih baik, pusingnya berangsur berbeda meski berhadapan dengan Anggara juga membuatnya pusing.“Tentu tidak. Pertanyaan macam apa itu? seribu kali bertanya mungkin jawabannya sama tetap akan selalu tidak, Garan”“Kenapa? apa tidak ada maaf untukku, Va?” Anggara merendahkan ucapannya. Meski sadar kesalahannya bukan hal kecil, bahkan sangat sengaja.“Bukannya kamu tahu sendiri. Seperti apa yang kamu lakukan.” Eva melepaskan diri dengan mudah. Mendorong pelan Anggara, entah pria itu selalu suka berbicara dengan cara m
“Bu, ada kiriman makan siang.” Lucky kembali mengganggu istirahat sesaat yang Eva lakukan.“Apa?” Eva dengan suara melemah bertanya. Wajahnya tidak menunjukkan lebih baik. Masih sama meski sudah satu jam Eva lakukan dengan berusaha untuk istirahat. Tangan sesekali memijat pelipisnya dengan mata terpejam kembali.“Ada kiriman makanan.” Lucky mendekat Eva. Tatapan iba terlihat dari sorot matanya. Eva terlihat tidak baik-baik saja.“Aku tidak memesan dan aku tidak berniat makan, Lucky.” Eva membuka matanya kembali. Kedua matanya tertuju pada bingkisan besar dengan brand restoran ternama.“Bukan dari pesanan ibu, seperti bunga. Dengan nama Gara.” Lucky menatap lagi tulisan tergantung di bagian atas. Dengan warna yang sama, hijau dan nama pengirim juga sama Gara dengan emot gambar hati dua di belakangnya.Lucky semakin penasaran. Namun, tidak bisa mengungkapkan. Segera pria itu meletakkan makanan terasa berat di atas meja. “Sepertinya pria spesial, Bu. Dia tahu Ibu yang tidak enak badan,”
Respon Anggara membuat perempuan bertugas sebagai penjaga resepsionis cukup terkejut. Apalagi suara Anggara menggelegar, terdengar begitu terkejut, beberapa pasang mata juga mengalihkan tatapan pada ia dengan raut penasaran.Bukan maksud ikut campur. Eva menyambut tamunya tepat didepan meja resepsionis, tidak salah jika tanpa sengaja perempuan itu mendengarkan keakraban keduanya. Hingga saling bercengkrama pelan begitu sangat akrab, meski yang terdengar hanya panggilan Eyang, selebihnya begitu sangat pelan dan berpikir kerabat terdekat Eva yang baru datang mungkin mengucapkan bela sungkawa.“Maaf apa ada yang salah?” Resepsionis begitu ragu menanyakan itu.“Berapa lama?” tanya Anggara mulai tidak tenang lagi. Wajahnya semakin dingin, auranya seolah menggelap begitu menakutkan.“Sudah berapa lama mereka pergi?” tegasnya menuntut jawaban cepat.Perempuan itu mengangkat tangan kirinya dan melihat jam tangannya. “Belum ada setengah jam,” jelasnya dengan terdengar tidak begitu pasti dideng
Eyang Cakra mendongak membenarkan posisi letak kacamatanya. “Jelaskan apa lagi, Anggara?” Anggara menggeram karena suara datar eyangnya. Sudah ia menduga, pasti tidak mungkin mempercepat pengumuman pengalihan posisi CEO tanpa syarat lagi. “Kamu tinggal tanda tangan dan semua akan diurus pengacara sekalian.” Eva yang mendengarkan menyimpulkan sikap Anggara hampir mirip dengan Eyang Cakra ketika marah. Raut muka begitu dengan suaranya yang begitu datar. Membuat ia mengusap lengannya merasakan bulu kuduk mulai berdiri. Merasa mereka dua orang sama dengan usia yang berbeda. “Apanya? tidak akan ada. Kita tidak akan bercerai.” Anggara mengatakan dengan tegas. Suara hingga menggema membuat Eva segera mendongak. “Kenapa kamu tidak berusaha sabar untuk menunggu aku membuktikan? baru satu hari Eva! aku beneran kemarin hanya ….” Anggara mengusap wajahnya kasar menjeda ucapannya. Sangat menyesal, apalagi setelah pertemuan tahunan kegiatan besar. Banyak yang mengincar perempuan yang bers
“Apa setelah resepsi kamu beneran akan melepaskan aku?” tanya Eva dengan suara datar. Tatapan lurus tanpa menghiraukkan lagi Anggara.Anggara mendesah pelan. “Mau pulang kemana?” Anggara keluar bersama dengan Eva. Tanpa membalas pertanyaan Eva kembali tentang perceraian. Ingin sekali ia berteriak tidak mau bercerai berulang mengatakan itu.Tentu perdebatan di meja makan sebelumnya terjadi tanpa titik temu. Keluarganya bersikeras menolak karena sadar sikap putranya begitu tidak bisa dikatakan mudah dimanfaatkan. Dirinya sebenarnya malu, tapi kembali lagi Anggara sangat keras kepala.“Kalau memang begitu aku tidak masalah resepsi. Tapi setelah itu talak aku. Aku berniat pisah baik-baik tanpa ada permusuhan Anggara.”Seperti yang dilakukan Anggara. Eva juga mengalihkan pembicaraan tidak menjawab pertanyaan Anggara.Anggara menggeram pelan. Membukakan pintu kemudi terhitung kedua kalinya untuk Eva. Tentu yang pertama saat mengantar Eva ke kantornya tadi. Sama sekali penuh dengan perdebata
“Kakak sudah pulang, Ma.” Aluna yang tidak sabar menyambut kedatangan Eva.Baru masuk pintu utama Eva disambut suara adiknya. Terdengar ceria dan antusias, meski terlihat hanya sesaat karena Eva tahu Anggara berjalan di belakangnya.“Aluna pikir Kakak sendirian, kenapa tidak bisa dihubungi?” protes Aluna dengan nada tidak suka.“Assalamualaikum.” Eva mengucapkan salam. Mengabaikan pertanyaan adiknya dengan tatapan tidak suka terus tertuju pada Anggara.Eva berjalan menghampiri Mama Dara lebih dulu. Mengecup dahi dan meraih tangan terasa hangat untuk bersalaman dengan sopan dan hikmat.“Waalaikumsalam,” balas Mama Dara tersenyum. Sentuhan sapuan lembut terusap di puncak kepala Eva. Begitu nyaman dan entah Eva selalu menyukai perlakuan mamanya itu.“Sudah makan, Kak?” Mama Dara menatap putri bungsunya lekat-leket. Kemudian tangannya teralih bergantian karena uluran tangan Anggara selepas Eva bergeser duduk disebelahnya.“Sudah, Ma. Tadi ketemu Eyang dan menyempatkan makan sama Bunda Zia
Mama Dara tidak bisa menyembunyikan dari keterkejutannya. Walau sebelumnya sudah menebak apa yang akan dibicarakan Anggara, tetap tidak percaya hingga Anggara terdengar menangis bersimpuh di kakinya.“Bangunlah, Anggara. Kamu kenapa seperti ini?” Mama Dara masih seperti sebelumnya, pura-pura tidak mengerti dan lebih tepatnya tidak mau ikut campur terlalu dalam ruang tangga anaknya meski sudah seharusnya dikatakan sangat fatal.“Maafkan Anggara, Ma.”“Anggara salah, hukum saja Anggara, jangan seperti ini.”Anggara pertama kali menurunkan egonya didepan mertuanya, begitu merendah semakin sadar salah besarnya. Foto yang berjejer rapi, tulisan kecil di ujung pigura sebagai keterangan menggambarkan sosok bahwa Eva cukup dicintai oleh keluarganya. Merasa hatinya tercubit bahkan terasa teriris belati sangat tajam karena perlakuannya atas tidak suka keputusan Eva yang begitu cepat.Mama Dara menarik napas dan mengeluarkan dengan kasar. Beberapa melakukan itu dengan tatapan menatap Anggara mas