“Cepat bangun!” Suara keras menggema satu kamar. Belum lagi tarikan keras selimut tebal yang digunakan Eva. Siapa lagi kalau bukan Anggara pelakunya.
Eva terkejut. Langsung terduduk dengan tatapan linglung. Nyawanya seolah belum kembali menatap dan mengingat apa yang terjadi. “Ada apa? bisakah kamu sedikit punya hati untuk membangunkan orang tidur?” Eva memijat pelipisnya. Denyutan rasa sakit menerpa kepala karena bangun tidur dengan keterkejutan. “Aku tidak tuli.” Eva masih bergumam dengan kesal. Meski sebenarnya ia memperhatikan bajunya apakah masih sama seperti semalam. Anggara mendengus kesal. Eva menurutnya sangat pelor, akan percuma dengan cara halus dan menurutnya akan membuang waktu. “Cepat bereskan barang kamu! dua jam lagi ke Bandara.” Anggara berkata dengan ketus. Tidak ada kata maaf mengganggu tidur Eva. “Apa?” pekik Eva dengan sisa mengumpulkan nyawanya. “Bukanya harusnya besok? mau kemana?” Eva mengingat hari, benar harusnya besok dan kemarin tetap menjadi honeymoon tersuram. Bagaimana tidak, mengingat kemarin hanya formalitas akting seperti biasa ketika Bunda Zia menghubungi selebihnya dia hanya sebagai obat nyamuk menemani Anggara berkencan. Meski tidak ada cinta diantara hubungan dadakan ini, tetap hati sangat sakit dan memilih pulang lebih dulu langsung ke hotel takut terjadi sesuatu seperti kemarin dan berakhirlah dia tertidur di ranjang hingga pagi dan dibangunkan dengan paksa. Bahkan ia tidak tahu kapan Anggara pulang dan apa dia benar pulang, tidurnya cukup nyenyak membuat tubuhnya sedikit lebih segar dari hari sebelumnya. Tidak peduli lagi dengan Anggara meski kenyataan pertanyaan besar masih memenuhi otaknya, ada berapa pacar Anggara dan apakah dia selalu melakukan itu, apa tidak takut dengan penyakit tertular? “Kemana lagi? pulang! atau kamu masih tinggal dan mencari preman kemarin!” Eva melotot tajam, ucapan Anggara begitu terdengar ringan tanpa beban mengatakan buruk padanya. “Apa yang kamu katakan, Tuan Anggara Cakra? mulut Anda seperti perlu disekolahkan. Tidakkah, Anda bisa sedikit menghargai saya?” Eva mendesah lelah. Melihat Anggara yang santai dengan ponselnya. Seperti sangat percuma berbicara dengan pria arogan itu. “Aku sekedar bertanya, kenapa tidak membalas seperlunya tanpa menyakiti perasaan orang lain. Seperti percuma berbicara!” Anggara melirik malas. “Cepat! waktu terus berjalan, tidak ada besok. Waktuku sangat berharga, jangankan katakan pada Eyang kalau kita pulang lebih awal!” tegas Anggara. Meski tidak yakin keputusannya singkat tidak diketahui Eyang. “Kalau Eyang tahu sendiri dan bertanya? kamu tidak lupa pengaruh besar Eyang Cakra.” jawab Eva acuh. Memutar bola matanya malas, selalu Anggara dengan keputusan sendiri tanpa berbicara baik-baik kepadanya. Anggara terdiam mencerna. Membenarkan bahwa Eyang meski sudah berumur dan selalu di rumah. Namun, kenyataan besar bahwa ibarat mata dan telinganya selalu tahu dan dimana-mana. Anggara membenarkan dugaan Eva. “Kamu bisa mengatakan honeymoon lain waktu.” Anggara tiba-tiba berucap kembali. “Kalau begitu aku bersiap.” Eva segera beranjak dan mengangguk. Pulang lebih awal bukan keputusan buruk, dia juga bisa bekerja kembali dan mencari alasan nanti ia pikirkan. “Ini juga keputusan sangat lebih baik, ini memang bukan lagi honeymoon hanya numpang tidur dan makan, dan melihat orang berkencan!” Eva bergumam dengan sindiran. Melirik Anggara yang sudah menatap tajam dengan wajah arogannya. Tawa Anggara terdengar. Tawa menggema yang seolah mengejek Eva. “Kamu memang mengharapkan apa? bercinta? ciuman atau ….” “Tutup mulut kamu!” Eva memotong cepat ucapan Anggara. Tatapan Anggara begitu merendah, mengingatkan kembali pada malam itu seperti wanita hina. Padahal status mereka suami istri dan semua jauh dari pernikahan pada umumnya. *** “Aku perlu berhenti di pusat oleh-oleh.” Eva mengusap, menyeka keringat dahinya dengan tisu. Lelah sekali, bersiap harus dengan cepat, waktu begitu singkat dan Anggara tidak sedikitpun mengeluarkan sedikit tenaganya untuk membantu. Sekedar menarik kopernya tidak laki-laki itu lakukan. Kegiatannya tidak lepas dari ponsel dan mengatakan waktu yang terus berjalan. “Tidak, kita ….” “Hanya sebentar. Tidak mungkin kita tidak membawa sesuatu untuk Bunda!” Eva memotong ucapan Anggara. “Haruskah aku memohon dan meminta tolong dulu?” Eva lelah berdebat. Tenaga terkuras habis, belum ada satu suap makanan sejak tadi. “Aku juga perlu mengganjal perutku,” guman Eva merasakan sangat lapar. “Merepotkan! lima belas menit atau ….” “Kalau kamu beneran sibuk aku bisa beli tiket penerbangan selanjutnya.” Eva kembali memotong ucapan Anggara dengan suara datar. Dirinya perlu makan dan membeli sedikit oleh-oleh untuk keluarga dan mertuanya. Masih ada tiga puluh menit lebih dan menurutnya lebih dari cukup, apalagi jarak bandara tidak jauh. Anggara mendesah panjang. Meski begitu tetap memberhentikan mobilnya di pusat oleh-oleh terdekat. Eva tidak berharap lagi apapun. Ia segera masuk dan mempercepat waktu yang tersisa.Eva menatap pria yang kini terpejam. Akhir-akhir ini Eva bangun lebih dulu dari Anggara. Andai pria itu mau berbicara baik, sedikit berdiskusi, setidaknya ia bisa berharap kecil sama pernikahan ini. Ada setitik harapan ingin bahwa pernikahan ini adalah sekali dalam seumur hidup, tapi sepertinya hanya mimpinya dulu yang terlalu percaya diri.Sepertinya memang dirinya berjuang sendiri dan mengakui pernikahan itu sendiri. Eva sadar, kalau selalu berjuang sendiri. Berjuang untuk tidak menyakiti orang tua, almarhum kakek dan tentu Eyang. Semua dikorbankan digantikan dengan rasa sakit hatinya.Setelah sekian lamanya berstatus istri, setelah kemarin menjalani drama bulan madu baru kali ini Eva melihat detail wajah Anggara dalam jarak dekat. Tidak buruk, secara fisik sempurna dan Anggara pria idaman untuk jadi suami. Sayang sikap dan ucapannya jauh dari nilai baik itu.Seberapa lama harus bertahan, seperti itu pertanyaan yang sering muncul sejak kedatangan kembali di rumah hadiah pernikahan m
“Apa yang terjadi, Sayang? kenapa? bukanya masih jam kantor? atau kamu hari ini belum masuk kantor?” Pertanyaan beruntun di layangkan Mama Dara.Eva memeluk begitu erat ibunya. Mengabaikan pertanyaan panjang Mama Dara yang seolah hanya masuk dan lewat gendang telinganya.Mama Dara paham membiarkan putri sulungnya. Meski sebenarnya awalnya sangat terkejut, ketika membuat kue mendapatkan kejutan pelukan tiba-tiba dari Eva, untung tidak ada riwayat jantung seperti suaminya.“Untung bukan Papa kamu yang kamu beginikan. Sudah pasti akan langsung ke rumah sakit,” kekhawatiran Mama Dara menunggu putrinya melepaskan pelukan erat itu.Eva melepas belitan tangannya. Aroma khas mamanya seolah memberi obat rasa sakit yang kurasakan tadi. Meski itu hanya sesaat, setidaknya lebih baik.“Mama tanya apa tadi?” kata Eva meletakkan oleh-oleh dari Bali yang baru sempat ia antar.“Darimana? kenapa gak ngabarin kalau mau datang, kata mertua kamu kemarin kalian bulan madu, apa Anggara tidak ikut,” kata Mam
“Istrimu kembali,” ucap perempuan berbeda kesekian kalinya menyambut kepulangan Eva.Eva memejamkan matanya sesaat. Suguhan adegan sudah tidak terhitung lagi. Lelah sekaligus muak, capek sekali apalagi ia pulang dari kerja. Mau tidak pulang, tapi tidak ada lagi tempatnya pulang kecuali rumah hadiah pernikahan ini.Anggara mengecup pipi kekasihnya. “Biarkan saja, Sayang!”“Apa dia tidak memberi servis terbaik? aku rasa tanpa kamu menjawab jawabannya sudah tentu, tidak!” ejek perempuan itu. Tatapan merendahkan begitu angkuh.“Biarkan saja,” tegas Anggara. Namun, wajahnya puas melihat wajah kekesalan Eva kali ini. “Tidakkah tempat diluar sana yang cocok untuk berpacaran,” kata Eva yang sudah tidak tahan lagi. Kalimat terdengar datar. Sudah ia tahan selama ini. Namun, tetap Anggara selalu dengan tingkahnya. Seolah ada ribuan cara untuk menguji besar kesabarannya.Seringai lebar nampak di wajah angkuh Anggara. Akhirnya, berhasil membuat Eva mengatakan protesnya.“Seharusnya dengan adanya
“Tolong sajikan hidangan dan minuman hangat. Gulanya pakai khusus, Bik. Eva akan turun sebentar lagi, masih bergantian mandi sama Mas Gara.” Bik Darmi mengangguk. “Saya permisi, Bu.” “Bik, tunggu.” Bik Darmi baru beberapa langkah menghentikan langkahnya. Eva segera beranjak bergerak menghampiri dengan langkah cepat. Kepalanya mulai bergerak menatap lantai bawah, meski kenyataan tidak terlihat sama sekali, tapi mampu membuat hati Eva was-was. “Bik, tolong jangan katakan apapun.” Eva berkata dengan pelan. Tangan lembutnya meraih tangan Bik Darmi pelan. “Apapun yang Bik Darmi lihat selama ini. Kalau Eyang tanya sesuatu tentang itu,” tegas Eva. Bik Darmi mengangguk. Mata senjanya tersorot rasa prihatin sekaligus kasihan. Selain benda mati di rumah dua lantai itu, Bik Darmi lah satu-satunya yang menjadi saksi bagaimana tingkah Anggara dengan pacarnya. Mau berkomentar tentu sebagai orang luar tidak bisa melakukan apapun. “Bik Darmi tidak begitu, Bu. Kata cucu saya zaman sekara
“Kalian terdengar keberatan.” Eva dan Anggara saling bersitatap. Tatapan seolah saling beradu membayangkan adegan yang akan terjadi kedepannya. Selama Eyang berada di ruang mereka.“Bu-bu ….”“Berapa lama, Eyang? kita sibuk, Eyang pasti tahu itu?” Anggara menyela menyatakan keberatannya.“Besok bukannya kamu juga ke kantor, Sayang?” Anggara merapatkan duduknya menghampiri Eva. Rangkulan dan kecupan mendarat di pipinya.“I-iya.” Eva gugup dan terkejut dengan serangan tiba-tiba Anggara. Bukan serangan, tapi seolah sinyal tanda bahwa adegan akting sudah dimulai.“Eyang juga jangan sampai ingin mencari perawan karena melihat kemesraan pengantin baru,” lanjut Anggara dengan nada mengejek dan kembali mengecup pipi Eva. Emuah …Eva menegang. Jantungnya berdegup dengan kencang seiring dengan kecupan yang terdengar. Mesti bukan pertama kali tentu perlakuan Anggara yang sangat manis dan mesra selalu berhasil membuat bulu kuduk berdiri merinding meremang.“Dasar cucu sialan. Apa yang kamu kata
Suara langkah kaki begitu menggema dengan alunan sepatu hak rendah menggema mengenai lantai marmer. Senyum merekah tidak lepas dari bibirnya, seperti biasa Eva selalu bisa menempatkan dirinya. Membuang semua beban rumah dan kini begitu ramah dengan para karyawannya. Sapaan demi sapaan selamat pagi, Eva dapatkan. Balasan dengan suara lembut Eva lakukan tidak terlewatkan satu karyawan yang menyapanya. “Selamat pagi, Bu.” Sekretaris berpakaian rapi sebagai orang terakhir menyambut kedatangan Eva yang selalu tepat waktu. “Pagi, Lucky. Apa pekerjaan hari ini sangat banyak?” Eva segera masuk dan duduk di kursi kebesarannya di ruangan diikuti oleh sekretarisnya. Merapikan tempatnya dan mengeluarkan komputer lipat dari tas sederhana yang selalu menemani kerja setiap harinya. “Tidak begitu banyak, Bu. Seperti biasa, tambahan ada meeting sebelum peluncuran penerbitan dan cetak produk terbaru.” Lucky menggeser layar tablet di bawa saat ini di tangan kiri. Kemudian mengangguk-angguk membaca
“Akbar memang perlu kacamata,” guman Anggara. Tatapan datar tidak lepas pada penampilan Eva kini.Kedua mata memindai, wajah Eva tidak ada yang berubah. Wajah tanpa polesan, rambut yang terlihat acak-acakan, dengan baju tidur lengan panjang kebesaran yang Eva kenakan. Mengingat perkataan Akbar membuat Anggara berdecak dengan gelengan kepala malas.Mengabaikan posisi tidur Eva yang terduduk di sofa dengan berkas dan laptop di depannya. Anggara segera beranjak, menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Lelah dan lengket dia rasakan rasanya segera harus ke kamar mandi menyiram seluruh tubuhnya.Keluar kamar mandi, masih sama. Anggara masih melihat Eva, meski dengan posisi berbeda. Dengan bahu terangkat, minimnya rasa simpati, Anggara meraih baju tidurnya dan lagi-lagi mengabaikan posisi tidak nyaman Eva.Memang pernikahan mereka ada karena keterpaksaan. Di hati, Anggara tidak terbesit untuk menjalani serius. Baginya keluarganya menganggap Eva menantunya lebih dari cukup, tidak dengan d
“Jangan kecewakan, Papa.” Papa Alfian menghentikan langkahnya di ambang pintu. Berbalik dan menatap putrinya dengan sorot mata tegas.Lidah Eva terasa kelu. Tidak ada lima menit rasanya beban terasa berat di pundaknya. Perkataan papanya bukan lagi tawaran atau ajakan, melainkan tuntutan diharuskan untuk datang.“Apa Papa tidak datang?” pertanyaan pelan lolos kembali membuat Papa Alfian menghentikan langkahnya untuk membuka pintu ruang kerja Eva.Ingin sekali Eva menolak, tentu tidak ingin bertemu dengan suaminya. Rasanya ingin sekali Eva menghindari semua itu. Cukup di rumah bagai orang asing sudah membuatnya sesak. Apalagi bagaimana diluar nanti, sangat kenal bahkan hampir tiap malam di ruang yang sama harus asing ketika di luar rumah.Papa Alfian menggeleng. Sorot matanya tidak berubah selalu tegas, tapi tersirat rasa kelegaan menatap Eva. “Sudah ada kamu, kenapa Papa harus datang.”Eva membuang napas panjang dan mengangguk. “Eva mengerti dan tidak akan kecewakan Papa.”Papa Alfian